JIHAD ADALAH SEBAIK-BAIK AMAL.
Di dalam as Shahih disebutkan, bahwa seseorang berkata, “Saya tidak peduli bahwa saya tidak akan melakukan suatu amal setelah Islam selain mengurus Masjidil Haram!” lalu Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Jihad fi sabilillah lebih baik dari ini semua.” Dan Umar bin Khattab r.a. berkata, “janganlah kalian angkat suara kalian di atas mimbar Rasulullah saw akan tetapi bila saya telah selesai shalat saya akan menanyakan hal tersebut kepada Beliau.” Lalu dia menanyakan kepada Beliau saw menjelaskan kepada mereka, bahwa imam dan jihad adalah baik dari pada Masjidil Haram, haji, umrah, thawaf dan memberi minum orang-orang yang melaksanakan haji. Oleh karena itu, Abu Hurairah r.a. berkata, “Saya berada di medan jihad di malam hari lebih saya sukai dari pada qiyamul lail di sisi hajar Aswad pada malam Lailatul Qadar.
Oleh karena itu, tetap berada di medan perang lebih baik dari pada tetap berada di Makkah atau Madinah, dan berbuat dengan tombak dan busur adalah lebih baik dari pada shalat sunnah. Sedangkan, berada di kota-kota yang jauh yang jauh sama dengan shalat sunnah.[1]
Di dalam shahihain dari Nabi saw, beliau bersabda:
Sesungguhnya di dalam surga ada seratus tingkatan, antara satu tingkat dengan tingkat yang lain seperti antara langit dan bumi. Semua itu disediakan oleh Allah untuk orang-orang yang berjihad di jalanNya.[2]

PERBANDINGAN KEBAIKAN DIANTARA AMAL-AMAL JIHAD
Amal-amal ini masing-masing memiliki tempatnya yang sesuai, dimana lebih baik dari amalan yang lainnya. (dengan) pedang di saat perang dengan musuh, menikam di saat dekat dengannya, kemudian memanah di saat jauh dengannya atau ketika ada penghalang seperti sungai, benteng dan lain-lainnya. Maka setiap hal yang lebih untuk dapat mengalahkan musuh dan lebih bermanfaat untuk kaum muslimin, itu adalah lebih baik. Kebaikan ini berbeda sesuai dengan kondisi musuh dan kondisi para mujahidin. Dalam kondisi tertentu, memanah lebih bermanfaat[3], dan dalam kondisi tertentu menikam lebih baik. Termasuk juga apa-apa yang diketahui orang-orang yang berperang.

BELAJAR DAN MENGAJARKAN JIHADTERMASUK AMAL SHOLIH
Mempelajari amal-amalan itu bagi orang-orang yang mencari wajah Allah adalah termasuk amal sholih. Barangsiapa yang mengajarkan hal tersebut kepada orang lain, maka dia adalah sekutunya di dalam setiap jihad yang dia lakukan, pahala dari salah satu keduanya tidak dikurangi sedikit pun, seperti halnya orang yang membaca Al Qur’an dan mengajarkan ilmunya. Bagi yang belajar, hendaklah mempunyai niat yang baik, semata-mata bertujuan mencari wajah Allah. Dan bagi yang mengajar, hendaknya memberi nasihat kepada yang belajar dan bersungguh-sungguh dalam mengajarkannya. Bagi yang belajar hendaknya juga mengetahui kehormatan gurunya, dan berterima kasih atas kebaikannya, karena orang yang tidak berterima kasih kepada manusia berarti dia tidak bersyukur kepada Allah, dan juga jangan sampai mengingkari hak dan kebaikannya.

WAJIB TOLONG MENOLONG DALAM KEBAIKAN DAN TAKWA DAN HARAM BERMUSUHAN
Para pengajar hendaklah tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, sebagaimana yang diperintahkan Nabi saw dengan sabdanya:
Orang Islam adalah saudara Islam, janganlah mengabaikan dan menzhaliminya.[4]
Perumpamaan orang-orang mukmin di dalam saling cinta dan kasihnya seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggotanya merasa sakit, seluruh tubuhnya merasakan sakit dengan demam dan tidak bisa tidur.[5]

Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggamanNya, tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai dia mencintai kebaikan untuk saudaranya seperti yang dia cintai untuk dirinya sediri.[6]

Orang mukmin yang satu dengan yang lainnya bagaikan satu bangunan yang saling mengokohkan (Beliau sambil mengaitkan jari-jarinya).[7]
Janganlah saling menghasud, saling memutuskan hubungan, saling membenci dan saling bermusuhan. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.[8]
Semua hadits di atas terdapat dalam ash-Shahih.

Di dalam as Sunan, dari Beliua, bersabda:
“Maukah aku kabarkan sesuatu kepada kalian, yang derajatnya lebih baik dari derajat shalat, shaum dan shodaqoh serta amar ma’ruf nahi munkar?” mereka menjawab, “Mau wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Baiknya hubungan persaudaraan. Karena rusaknya hubungan persaudaraan adalah pemotong, saya bukan mengatakan memotong rambut, namun memotong dien.[9]

Di dalam ash Ahahih dari Beliau, bersabda:
Pintu-pintu surga dibuka setiap hari senin dan kamis, lalu diberi ampunan bagi setiap hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, kecuali bagi orang yang antara dia dengan saudaranya ada permusuhan. Kemudian dikatakan: tangguhkanlah kedua orang ini sampai mereka berdua akur.[10]
Tidak halal bagi seorang muslim mengisolir saudaranya lebih dari tiga hari, keduanya bertemu tapi saling berpaling. Dan yang paling baik dari keduanya adalah yang memulai dengan salam.[11]

HARAMNYA MENGANIAYA TANPA ALASAN YANG BENAR
Seorang guru tidak dibenarkan menganiaya orang lain dan menyakitinya, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan tanpa alasan yang benar, karena Allah Ta’ala berfirman:
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (al Ahzab: 58)
Seseorang yang menghukumi orang lain bukan karena berbuat zhalim, bukan karena melanggar suatu ketentuan atau karena mengabaikan kebenaran, akan tetapi karena hawa nafsunya, maka yang demikian ini adalah termasuk kezhaliman yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya. Allah Ta’ala telah berfirman dalam hadits qudsi.
Wahai hambaKu, sesungguhnya aku mengharamkan kezhaliman terhadap diriKu, dan Aku jadikan dia haram di antara kamu. Maka janganlah kalian saling berbuat zhalim.[12]

TIDAK ADA HUKUMAN KECUALI DENGAN SYARA’
Apabila seseorang melakukan suatu kesalahan, maka dia tidak boleh dihukum dengan selain hukum syara’. Seorang mu’allim atau ustadz tidak diperkenankan memberikan hukuman semaunya sendiri. Dan orang lain tidak boleh memberikan bantuan atau dukungan dalam melakukan hal tersebut, seperti memerintahkan untuk mengisolir seseorang yang bukan melakukan kesalahan syar’i. Atau mengatakan, “Saya mengisolasi dia!” atau “Saya halalkan darahnya!” dan lain sebagainya.
Yang demikian ini termasuk pekerjaan yang dilakukan oleh pendeta terhadap orang-orang Nashrani, dan Huzzab terhadap orang-orang Yahudi. Dan juga termasuk jenis pekerjaan yang dilakukan oleh para pemimpin kesesatan terhadap para pengikutnya.
Abu Bakar as Shidiq, khalifah Rasulullah saw berkata, “Taatilah aku selama aku taat kepada Allah! Jika aku durhaka kepada Allah, maka tidak ada ketaatan kepadaku atas kalian.”

Nabi saw bersabda,
Tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam kemaksiatan terhadap khalik.[13]
Barangsiapa yang memerintahkan kamu untuk maksiat kepada Allah, maka janganlah kamu taati dia.[14]

Apabila seorang mu’allim atau ustadz telah memerintahkan untuk mengisolasi seseorang, menjauhkan dirinya, menghalalkan darahnya atau yang sejenisnya, maka haruslah diperhatikan, jika orang tersebut melakukan kesalahan yang sifatnya syar’i hendaklah dihukum sesuai dengan kadar kesalahannya, tanpa ditambah. Dan jika tidak melakukan kesalahan syar’i, dia tidak boleh dihukum dengan suatu hukuman karena tujuan dari seorang mu’allim atau yang lainnya.

HARAM BERKELOMPPOK DAN TA’ASSHUB DENGAN ZHOLIM  DAN BERDASARKAN HAWA NAFSU
Para mu’allim tidak diperkenankan menghimpun manusia dan melakukan hal-hal yang menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara mereka, tetapi hendaklah mereka menjadi seperti saudara yang saling tolong menolong dalam kebaukan dan takwa. Sebagaimana firnan Allah Ta’ala,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, (Al Maidah: 2)

Seorang mua’allim tidak diperkenankan mengambil suatu perjanjian kepada seseorang untuk menyetujuinya dalam segala apa yang dia kehendaki, membela orang yang membelanya dan memusuhi orang-orang yang memusuhinya. Orang yang melakukan ini termasuk Jengis Khan dan yang semisal dengannya, yang menjadikan orang-orang yang setuju dengannya sebagai teman dan yang menentangnya sebagai musuh.
Tetapi hendaklah mereka dan para pengikutnya memenuhi janji Allah dan RasulNya, jika salah seorang ustadz dizhalimi, tolonglah dia, jika dia berbuat zhalim, janganlah membantunya namun mencegahnya. Sebagaimana yang dinyatakan dalam as Shahiha dari Nabi saw bersabda,

Tolonglah saudaramu yang berbuat zhalim dan yang dizhalimi. Dikatakan: Wahai Rasulullah, saya menolongnya dalam keadaan dizhalimi. Bagaimana saya harus menolongnya dalam keadaan berbuat zhalim? Beliau bersabda: kamu mencegahnya dalam berbuat zhalim, yang demikianlah pertolonganmu terhadapnya.[15]

MUWALAH ITU DENGAN KEBENARAN DAN UNTUK KEBENARAN
Apabila diantara sesama mu’allim atau sesama murid, atau diantara mu’allim dan murid terjadi permusuhan, maka seseorang tidak boleh membantu salah satu dari keduanya sampai mengetahui yang hak. Janganlah memberikan pertolongan dengan kejahilan dan hawa nafsu, tapi lihatlah persoalannya. Apabila nampak jelas baginya suatu kebenaran, hendaknya menolong yang benar. Apakah yang benar sahabatnya sendiri maupun sahabat orang lain, atau apakah yang salah itu sahabatnya sendiri maupun bukan. Hendaklah (semua itu) bertujuan karena beribadah kepada Allah semata dan mentaati Rasulnya: mengikuti kebenaran dan menegakkan keadilan. Allah Ta’ala berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar (dalam) menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah sekalipun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapakmu dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) itu kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (an Nisa: 135)

Dikatakan لَوَى لِسَانُهُ artinya mengabarkan dengan dusta, الْاِعْرَاضُ menyembunyikan kebenaran. Karena sesungguhnya orang yang menyembunyikan kebenaran adalah setan yang isu.

Barangsiapa yang condong terhadap sahabatnya – baik dia berada di pihak yang benar maupun pihak yang salah – maka dia telah berhukum dengan hukuim jahiliyyah dan keluar dari hukum Allah dan RasulNya. Dan orang-orang yang diagungkan oleh mereka adalah orang yang diagungkan oleh Allah dan RasulNya, orang yang dicintai di sisi mereka adalah orang yang dicintai oleh Allah dan RasulNya, dan orang yang hina di sisi mereka adalah orang yang diridhoi oleh Allah dan RasulNya, bukan yang sesuai dengan hawa nafsu.

Sesungguhnya orang yang taat kepada Allah dan RasulNya, dia telah memperoleh petunjuk, dan barangsiapa yang maksiat kepada Allah dan RasulNya, dia hanya memadhorotkan diri sendiri.
Inilah prinsip yang harus mereka pegang. Jika sudah begini, maka tidak dibutuhkan lagi berpecahnya mereka ataupun berkelompok mereka. Sesungguhnya Allah berfirman,
Sesungguhnya orang yang memecah-belah agamanya dan mereka terpecah mencari beberapa golongan, ridak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. (Al An’am: 59)

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datangnya keterangan yang jelas kepada mereka. (Ali Imorn: 105)
Apabila seseorang telah diajarkan oleh salah seorang ustadz, dia harus mengetahui kadar kebaikanya kepada dirinya dan berterima kasih kepadanya.
Janganlah ‘mengikat perutnya’, baik kepada ustadznya maupun kepada selainnya. Sebab, “mengikat perut’[16] untuk orang tertentu dan bernisbat kepadanya – sebagaimana yang disebutkan dalam pertanyaan – adalah termasuk bid’ah jahiliyyah dan termasuk persekutuan yang pernah dilakukan oleh kaum musyrikin, juga termasuk perpecahan antara Qais dan Yaman. Dan jika yang dimaksudkan dengan mengikat perut dan penisbatan tersebut adalah tolong menolong dalam kebajikan dan takwa, maka yang demikian adalah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala tnpa pengikatan. Tapi jika yang dimaksudkan adalah tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran, maka hal ini telah diharamkan oleh Allah dan RasulNya. Maka segala kebaikan yang dimaksudkan dalam masalah ini, adalah segala kebaikan yang ada dalam perintah Allah dan RasulNya dengan segala kema’rufan, terlepas dari perintah mua’allim. Sedangkan kejahatan yang dimaksudkan dalam masalah ini, sungguh telah diharamkan oleh Allah dan RasulNya.

Seorang ustadz tidak diperkenankan melakukan persekutuan dengan murid-muridnya atas dasar pemikiran. Demikian juga dengan ustadz yang lain, tidak diperkenankan baginya merekrut salah seorang murid-murid (dari ustadz lain) untuk bernisbat kepadanya dengan cara bid’ah. Dia tidak boleh mengingkari hak ustadz yang pertama terhadap murid tersebut.

Ustadz yang pertama juga tidak diperkenanka melarang muridnya untuk mengambil manfat belajar dari yang lain. Dan ustadz yang kedua tidak diperkenankan berkata, “Ikatlah untuk saya dan bernisbatlah kepada saya tanpa utadzmu yang pertama.” Akan tetapi apabila simurid tersebut belajar kepada ustadz yang kedua, dia harus memperhatikan hak masing-masing dari kedua ustadz tersebut; tidak berta’ashub kepada yang pertama ataupun kepada yang kedua. Apabila ta’lim ustadz yang pertama kepadanya lebih banyak, maka perhatian si murid tersebut kepada ustadz yang pertama itu juga harus lebih bayak.


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------