IMAN DAN KUFUR, ADA POKOK DAN CABANG, 02
CABANG-CABANG KEKUFURAN
157.Tanya:
Apa yang menjadi lawan keimanan?

Jawab:
Lawan iman adalah kufur. Sebagaimana halnya iman, kufur pun memiliki cabang-cabang. Jika pokok keimanan adalah tashdiq (membenarkan), berlaku patuh, atau komitmen melalui ketaatan, maka pokok kekufuran adalah ingkar, menentang, sombong, maksiat, dan menantang. Dengan begitu, seluruh ketaatan adalah cabang keimanan, dan seluruh kemaksiatan adalah cabang kekufuran.
Berdasarkan hal-hal diatas, kufur terbagi atas dua tingkatan. Pertama, kufur akbar (besar) yang secara menyeluruh dapat mengeluarkan pelakunya dari iman. Kufur seperti itu dikenal dengan istilah murtad, disebut juga dengan kufur i’tiqadi yang dapat menafikan ucapan hati dan amalan atau salah satunya. Kedua, kufur kecil yang tidak secara mutlak menafikan keseluruhan iman seseorang. Yang dinafikan hanyalah masalah kesempurnaan imannya dan berkaitan dengan kufur amali yang tidak membatalkan ucapan hati maupun amalannya.

158.Tanya:
Apa yang menguatkan bahwa kufur i’tiqadi dapat secar totalitas menafikan keimanan seseorang dan bagaimana cara kita menghilangkan kufur tersebut?

Jawab:
Keberadaan iman dapat dilihat dari ucapan, baik lisan maupun hati, serta amalan, baik lisan, hati, maupun anggota badan. Yang dimaksud dengan ucapan hati adalah membenarkan, dan ucapan lisan itu adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Sedangkan amalan hati tercermin dalam niat yang ikhlas dan amalan anggota badan tercermin dalam bentuk kepatuhan dan ketaatan atas seluruh tuntutan-tuntutan Allah. Jika ternyata ucapan lisan dan hati serta amalan lisan, hati, dan anggota badan hilang, hilang pulalah keimanan kita secara keseluruhan. Jika pembenaran dengan hati telah hilang, tak ada manfaat lain yang tersisa karena membenarkan dengan hati merupakan syarat keimanan yang keberadaannya membawa manfaat. Kedudukannya sama denga orang-orang yang mendustakan asma dan sifat Allah atau sebagian apa yang Allah utus (para rasul) serta kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka. Jika unsur amalan hati hilang walaupun itikad pembenaran masih ada, kalangan Ahlussunnah sepakat untuk menyatakan bahwa keimanan telah hilang karena keyakinan sudah tidak ada lagi. Pembenaran yang tidak disertai amalan hati tidak akan membawa manfaat karena kecintaan dan kepatuhan kepada Allah subhanahu wata’ala telah hilang sebagaimana tidak bermanfaatnya pengakuan samar-samar maupun terang-terangan kaum Yahudi, musyrikin, iblis, Fir’aun yang mengatakan, “Kami tidak mendustakannya, akan tetapi kami tidak ittiba’ (mengikuti seurannya) dan tidak beriman kepadanya.”

159.Tanya:
Ada berapa bagiankah kufur besar yang menyebabkan murtad itu

Jawab:
Kufur penyebab murtad ada empat bagian, yaitu kufur juhud (akibat keingkaran), kufur takdzib (akibat mendustakan), kufur jahil (akibat kebodohan), kufur ‘inad (akibat menentang). Yang lainnya adalah kufur istikbar (akibat berlaku sombong) dan kufur nifaq (akibat kemunafikan).

160.Tanya:
Apa yang dimaksud denga kufur jahil dan kufur takdzib?

Jawab:
Makna yang terkandung dalam kufur tersebut adalah sikap jahil dan mendustakan, baik secara lahir maupun batin sebagaimana dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy dan umat-umat terdahulu. Hal itu dijelaskan Allah melalui firmanNya ini:
“(Yaitu) orang-orang yang mendustakan Al kitab (Al Quran) dan wahyu yang dibawa oleh Rasul-rasul Kami yang telah Kami utus. kelak mereka akan mengetahui,”(Ghaafir/Al Mu’min: 70).
“... Serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”(Al A’raaf: 199).
“Dan (ingatlah) hari (ketika) Kami kumpulkan dari tiap-tiap umat segolongan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, lalu mereka dibagi-bagi (dalam kelompok-kelompok). Hingga apabila mereka datang, Allah berfirman: ‘Apakah kamu telah mendustakan ayat-ayat-Ku, Padahal ilmu kamu tidak meliputinya, atau Apakah yang telah kamu kerjakan?’.” (An Naml: 83-84).
“Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna Padahal belum datang kepada mereka penjelasannya ...”(Yuunus: 39).

161.Tanya:
Apa yang dimaksud dengan kufur juhud?

Jawab:
Kufur juhud adalah kufur yang dilakukan seorang hamba ketika dia menyembunyikan kebenaran dan secara lahirlah tidak mematuhinya, tetapi ilmu dan ma’rifah batiniyyah msih ada. Contoh kongkritnya adalah kufurnya Fir’aun dan kaumnya terhadap Musa ‘alaihissalam serta kufurnya kaum Yahudi terhadap Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tentang kufurnya Fir’aun dan kaumnya, Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) Padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya ...” (An Naml: 14).
Dan firmanNya tentang Yahudi:
“... Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.”(Al Baqarah: 89).
“... dan Sesungguhnya sebahagian diantara mereka Menyembunyikan kebenaran, Padahal mereka mengetahui.”(Al Baqarah: 146).

162.Tanya:
Apa yang dimaksud dengan kufur ‘inad (menentang) dan istikbar (sombong) itu?

Jawab:
Kufur tersebut terjadi jika seorang hamba menolak patuh atas kebenaran yang disertai pengakuan sebagaimana kufurnya iblis tatkala Allah berfirman:
“... kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Al Baqarah: 34).
Iblis tidak ingkar atau mengingkari perintah Allah untuk sujud. Tang iblis tolak adalah kebijaksanaan dan keadilan Allah subhanahu wata’ala, bahkan iblis sampai berkata:
“... ‘Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah’.”(Al A’raaf: 12).
Fir’aun pun memiliki watak seperti iblis sebagaimana diterangkan oleh Allah lewat firmanNya ini:
“Dan mereka berkata: ‘Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), Padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?’.”(Al Mu’minuun: 47).
Fir’aun adalah salah seorang contoh musuh para rasul dari masa ke masa yang diikuti juga oleh orang fir’aun-fir’aun berikutnya yang tak kalah membangkang dan congkaknya.
Contoh yang melakukan kufur ‘istikbar adalah Abu Thalib. Sekalipun dia membenarkan kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan sedikit pun tidak ada keraguan tentangnya, dia lebih memilih berada dalam kesombongan ala jahiliyyahnya dengan mengagung-agungkan nenek moyang dan lebih mencintai millah mereka. Tentang kesombonga iblis, Allah berfirman:
“Berkata Iblis: ‘Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk’.”(Al Hijr: 33).
“... ‘Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah’.”(Al A’raaf: 12).

163.Tanya:
Apa yang dimaksud dengan kufur nifaq?

Jawab:
Kufur nifaq muncul jika seorang hamba menolak pembenaran dengan hati dan amalannya, tetapi secara lahiriyah tidak ditampakkan dengan tujuan untuk mendapatkan pujian dari orang lain (riya), sebagaimana kufurnya Abdullah bin Salul dan golongannya. Maha Besar Allah yang berfirman:
“Di antara manusia ada yang mengatakan: ‘Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian’, pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, Padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Al Baqarah: 8-10).
Hal itu lebih jelasnya lagi jika kita telusuri hingga ayat ke-20 dari surat Al Baqarah diatas, hingga berakhir dengan: “... Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.”(Al Baqarah: 20).

164.Tanya:
Bagaimana halnya dengan kufur ‘amali sehingga pelakunya tidak dikatakan keluar dari Islam?

Jawab:
Kufur ‘amali lebih cenderung pada kemasiatan yang oleh ahli syar’i dikatakan masih mengandung keimanan. Artinya, pelakunya kufur tetapi masuk menyandang keislaman sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Janganlah kalian kembali (menjadi kufur) sepeninggalku, karena sebagian kamu memenggal leher sebagian lainnya.” (Muttafaq ‘alaih).
“Mencaci seorang muslim adalah perbuatan fasiq dan membunuhnya adalah kufur.”(Muttafaq ‘alaih).
Maka jelaslah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengistilahkan seorang mu’min yang membunuh kaum muslimin dengan kufur sesuai dengan firman Allah berikut:
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil. Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Al Hujuraat: 9-10).
Dengan demikian, Allah subhanahu wata’ala telah menetapkan keimanan dan persaudaraan dalam iman. Dia tidak menafikan dua golongan mu’min yang bertentangan tersebut. Artinya, dua golongan mu’min tersebut masih menyandang keimanan dan ikhwatul iman. Masalah ‘membunuh’ berhubungan dengan masalah qishash. Untuk itu, Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“... Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula) ...”(Al Baqarah: 178).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda:
“Tidaklah beriman seorang pezina ketika dia berzina dan tidaklah beriman seorang pencuri ketika dia mencuri, dan tidak juga beriman seorang peminum ketika dia meminum khamr, sedangkan pintu taubat senantiasa terbuka setelah itu.” (HR. Muslim).
“Tidaklah seorang hamba yang berkata laa ilaaha illallah kemudian dia meninggal dunia, kecuali masuk surga.” Ketika Abu Dzar bertanya, ‘Sekalipun dia itu berzina dan mencuri?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ya, sekalipun dia berzina dan mencuri” sebanyak tiga kali. Kemudian keempat kalinya, beliau bersabda: “Tidak dapat tidak, hai Abu Dzar!” Sesudah itu, Abu Dzar keluar sambil mengulang-ulang perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidak dapat tidak, hai Abu Dzar!”(HR. Muslim).
Dengan demikian jelaslah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menafikan keimanan seorang pezina, pencuri, pemabuk, maupun pembunuh, selama pada diri orang tersebut masih terdapat unsur tauhid. Hal itu dipertegas dengan pernyataan beliau bahwa siapapun yang mati dan pada dirinya masih terdapat kalimat laa ilaaha illallah, orang itu akan masuk surga sekalipun ada kemaksiatan yang dia lakukan. Seorang hamba tidak akan masuk surga jika berada diluar keimanan. Dalam hal ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa iman pelaku maksiat itu tengah berkurang atau tidak sempurna. Dengan demikian, pernyataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diatas tadi bukan menghalalkan perbuatan maksiat. Kemaksiatan yang disertai penghalalan atas sesuatu yang haram dengan sendirinya, termasuk perbuatan mendustakan kitab dan rasulNya, bahkan secara tak langsung dapat juga dikatakan kafir i’tiqadi.

165.Tanya:
Apakah sujud kepada berhala, menghina Al Qur’an, mencaci maki rasul, memperolok-olok agama, dan yang sejenisnya itu merupakan kufur ‘amali yang tampak? Mengapa hal seperti itu tidak digolongkan sebagai keluar dari agama?

Jawab:
Pada dasarnya, hal-hal diatas tidak digolongka kedalam kufur ‘amali, kecuali jika disertai perbuatan fisik yang terlihat oleh manusia dan tidak disertai perbuatan fisik yang terlihat oleh manusia dan tidak disertai juga oleh hilangnya amalan hati (keikhlasan niat), mahabbah, dan kepatuhan. Jika hal itu betul-betul terjadi, kemaksiatan  itu patut dikategorikan sebagai kufur i’tiqadi sekalipun amaliyahnya tampak, sebagaimana terjadi pada orang-orang munafiq atau penentang yang murtad ketika perang Tabuk. Sehubungan dengan itu, Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Mereka (orang-orang munafiq itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan Perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya ...”(At Taubah: 74).
“... ‘Sesungguhnya Kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja’ ...”(At Taubah: 65).
Begitulah jawaban orang-orang munafiq ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempertanyakan perbuatan mereka. Sehingga Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“... ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman ...” (At Taubah: 65-66).
Dengan demikian, kufur kecil itu dapat kita telusuri dari penyelewengan lewat amalan-amalan biasa yang tidak menyangkut i’tiqad serta tidak membatalkan perkataan hati maupun amalannya.



0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------