(Pendiri dan Pembina INSISTS)
Antara Shalahuddin dan Al-Ghazali (Kisah Peran Ulama
dalam Kebangkitan Umat)
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Pendiri dan Pembina INSISTS)
(Pendiri dan Pembina INSISTS)
Film Kingdom of Heaven arahan
Ridley Scott cukup berhasil menampilkan sosok pahlawan Islam Shalahuddin
al-Ayyubi secara lebih obyektif. Wajar, jika film yang menampilkan sisi-sisi
hitam sejarah Kristen itu memeranjatkan banyak orang di Barat. Sebab, selama
ini sosok Shalahuddin memang dipersepsikan sebagai “momok”, yang dibenci.
Jenderal Geraud, saat berhasil menaklukkan Damaskus, pada abad ke-20,
menginjakkan kakinya di makam Shalahuddin, sambil berteriak: “Saladin, wake
up. We are back!”
Karen Armstrong, dalam bukunya, Holy
War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, menguraikan
dampak Perang Salib dalam membentuk persepsi masyarakat Barat terhadap Muslim.
Film Kingdom of Heaven mengungkap fakta yang sangat kontras antara sikap
pasukan Kristen dan pasukan Islam saat merebut Jerusalem. Tahun 1099, saat
menduduki Jerusalem, pasukan Salib membantai hampir semua kaum Muslim dan
Yahudi. Sekitar 30 ribu orang dibantai di Jerusalem, sehingga di Masjid
al-Aqsha terjadi genangan darah setinggi mata kaki. Tapi, saat Shalahuddin
merebut kembali Jerusalem, ia membebaskan kaum Kristen untuk meninggalkan
Jerusalem dengan aman.
Sosok Shalahuddin, telah
berabad-abad melegenda dalam tradisi masyarakat Barat. Jo Ann Hoeppner Moran
Cruz, dalam tulisanya “Popular Attitudes towards Islam in Medieval Europe” (Lihat,
David R. Blanks and Michael Frassetto (ed), Western Views of Islam in
Medieval and Early Modern Europe, 1999), memaparkan cerita-cerita menarik
seputar legenda-legenda yang hidup di kalangan masyarakat Barat pada Zaman
Pertengahan terhadap Islam.
Misal, legenda tentang Eleanor of
Aquitaine yang diisukan memiliki affair dengan Shalahuddin al-Ayyubi, saat ia
menemani suaminya, Louis VII, dalam Perang Salib II. Ada pula legenda tentang
Shalahuddin yang dikabarkan merupakan keturunan dari anak perempuan Count of
Ponthieu di Utara Perancis. Juga, legenda bahwa Shalahuddin telah dibaptis pada
akhir hayatnya.
Apa pun persepsi Barat tentang
Shalahuddin, bagi kaum Muslim, Shalahuddin al-Ayyubi dipandang sebagai
pahlawan. Hingga kini, banyak orang Muslim bangga memberi nama anaknya
“Shalahuddin”. Kisah-kisah kepahlawanan Shalahuddin, Muhammad al-Fatih, dan
penguasa-penguasa (umara) Muslim lainnya, telah memberikan inspirasi kepada
banyak generasi Muslim, bahwa jalan kebangkitan umat Islam adalah dengan
menunggu dan berusaha menghadirkan seorang pemimpin politik kenegaraan. Bahkan,
terkadang, harapan itu begitu besar, saat Negara dan masyarakat dalam kondisi
terpuruk, banyak yang berharap hadirnya pemimpin baru akan memberikan perubahan
besar dalam kehidupan mereka. Harapan itu sering kali berakhir sia-sia.
Pemimpin baru yang tampil tak mampu berbuat banyak, atau bahkan seringkali
menunjukkan kualitas jauh lebih rendah dari pada citra yang dimunculkan saat
kampanye pemilihan kepemimpinan negara.
Peran Ulama
Kisah kebangkitan umat Islam dalam
Perang Salib – setelah terpuruk dan dibantai Pasukan Salib dari Eropa – bisa
menjadi pelajaran penting bagi umat Islam saat ini. Kebangkitan umat Islam
ketika itu terjadi bukan melalui hadirnya seorang pemimpin hebat seperti
Shalahuddin al-Ayyubi, tetapi justru terjadi melalui kerja keras para ulama –
melalui madrasah-madrasah – yang berhasil melahirkan satu generasi yang hebat,
yaitu “Generasi Shalahuddin” (Jiilu Shalahuddin). Kisah kebangkitan itu
dipotret dan dianalisis dengan baik oleh Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam
bukunya, Hakadza Dhahara Jiilu Shalahuddin wa-Hakadza ‘Aadat al-Quds. Buku
ini memaparkan peran ulama-ulama seperti Imam al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir
al-Jilani, dan sebagainya, dalam mendidik dan melahirkan generasi Shalahuddin
tersebut.
Peran Imam al-Ghazali dalam
kebangkitan umat Islam saat itu juga digambarkan dalam Kitab al-Jihad yang
ditulis ‘Ali b. Thahir al-Sulami an-Nahwi (1039-1106), seorang imam bermazhab
Shafi‘i dari Damaskus. Ia adalah seorang yang aktif menggalang jihad melawan
pasukan Salib melalui pertemuan-pertemuan umum pada 1105 (498 H), enam tahun
setelah penaklukan Jerusalem oleh pasukan Salib. Adalah sangat mungkin
al-Sulami bertemu dengan al-Ghazali di Masjid Ummayad, sebab Ali al-Sulami
adalah imam di Masjid tersebut dan al-Ghazali juga sempat tinggal di tempat
yang sama pada awal-awal periode Perang Salib. 1
Dalam Kitabnya itu, Ali al-Sulami
mencatat, bahwa satu-satunya solusi yang dapat menyelamatkan wilayah-wilayah
Muslim, adalah menyeru kaum Muslim kepada jihad. Ada dua kondisi yang harus
disiapkan sebelumnya. Pertama, “reformasi moral” untuk mengakhiri “degradasi
spiritual” kaum Muslim ketika itu. Invasi pasukan Salib harus dilihat sebagai
hukuman Allah, sebagai peringatan agar kaum Muslim bersatu. Kekalahan Muslim,
menurut al-Sulami, adalah sebagai hukuman Allah atas kealpaan menjalankan
kewajiban agama, dan di atas semua itu, adalah kealpaan menjalankan jihad. Tahap
kedua, penggalangan kekuatan Islam untuk mengakhiri kelemahan kaum Muslim
yang telah memungkinkan pasukan Salib menguasai negeri-negeri Islam. Dalam
kitabnya, al-Sulami menyebutkan dengan jelas tentang situasi saat itu dan
stretagi untuk mengalahkan pasukan Salib. 2
Konsep al-Sulami dalam melawan
pasukan Salib berupa “reformasi moral” dari al-Ghazali’s memainkan peran
penting. Sebab, menurut al-Sulami, melakukan jihad melawan pasukan Salib akan
hampa jika tidak didahului dengan the greater jihad (al-jihad
al-akbar). Ia juga mengimbau agar pemimpin-pemimpin Muslim memimpin jalan
ini. Dengan demikian, perjuangan melawan hawa nafsu, adalah prasyarat mutlak
sebelum melakukan perang melawan pasukan Salib (Franks). 3
Peran al-Ghazali dalam membangun
moral kaum Muslim disebutkan oleh Elisseef. Bahwa, kelemahan spiritual di
kalangan Muslim pada awal Perang Salib ditekankan oleh al-Ghazali, yang ketika
itu mengajar di Damascus. Al-Ghazali menekankan jihad melawan hawa nafsu,
melawan kejahatan, di atas jihad melawan musuh. Tujuannya adalah untuk membantu
kaum Muslim mereformasi jiwa mereka.
(The spiritual laxness existing in
Islam on the eve of the Crusades was underlined by al-Ghazali, in 1096. The
illustrious philosopher who, at the time, was teaching in Damascus, emphasized
the priority of jihad of the soul, the jihad al-akbar (the major jihad) –
struggle against evil – over the jihad al-aÎghar (the minor jihad), i.e. the
struggle against infidel. His aim was to help the Muslim rediscover his soul.
At this time, it was necessary to effect the reform of morals and beliefs and
to create ways of combating the various heterodoxies existing in the very bosom
of Islam). 4
Faktanya, sekitar 50 tahun kemudian,
di masa Nur ad-Din Zengi, kaum Muslim mampu melaksanakan jihad efektif.
Elisseef mencatat: “The person who would realize the ideal of the jihad
which as-Sulami, Ghazali, and the ‘ulama of Damascus had advocated, was Nur
ad-Din.” 5
Titik balik Perang Salib terjadi
dengan kejatuhan Edessa di tangan Muslim pada 539/1144, di bawah komandan Imam
al-Din Zengi, ayah Nur al-Din. Dua tahun sesudah itu, Zengi wafat, tahun 1146.
Ia telah meratakan jalan buat anaknya, Nur al-Din, untuk memimpin perjuangan
melawan Pasukan Salib. Pada 544/1149, Nur al-Din meraih kemenangan melawan
pasukan Salib dan pada 549/1154 ia sukses menyatukan Syria di bawah kekuasaan
Muslim. Nur al-Din digambarkan sebagai sosok yang sangat religius, pahlawan
jihad, dan model penguasa sunni. Setelah meninggalnya Nur al-Din pada 569/1174,
Shalahuddin al-Ayyubi, keponakan Nur al-Din, memegang kendali kepemimpinan
Muslim dalam melawan pasukan Salib. Ia kemudian dikenal sebagai pahlawan Islam
yang berhasil membebaskan Jerusalem pada tahun 1187. 6
Istilah jihad, secara yuridis
Islam, kemudian berkembang menjadi makna khusus, dan telah dipahami oleh para
sarjana Muslim dalam pengertian “perang” (qital). Dalam makna khusus dalam
bidang fiqih inilah, istilah jihad memiliki makna syariat. Semisal, ada
ketentuan-ketentuan hukum dimana orang yang matin dalam jihad – dengan makna
qital – diperlakukan jezanahnya sebagai syahid. Namun, memang terdapat berbagai
hadith Nabi saw yang menunjukkan berbagai jenis jihad dalam makna yang umum,
seperti jihad dengan mengeluarkan kata-kata yang benar di depan penguasa yang
zalim. Begitu juga dengan jihad melawan hawa nafsu, dengan lisan, dan harta.
Secara ringkas dapat dipahami, bahwa
di masa Perang Salib, kaum Muslim berhasil menggabungkan konsep jihad
al-nafs dan jihad melawan musuh dengan baik. Karya-karya al-Ghazali dalam
soal jihad menekankan pentingnya mensimultankan berbagai jenis potensi dalam
perjuangan umat, baik potensi jiwa, harta, dan juga keilmuan. Adalah menarik,
bagaimana dalam situasi perang seperti itu, Imam Ghazali mampu melihat masalah
umat secara komprehensif; secara mendasar. Dan melalui Ihya Ulumuddin,
al-Ghazali juga menakankan pentingnya masalah ilmu. Ia membuka Kitabnya itu
dengan “Kitabul Ilmi”. Aktivitas al-Ghazali yang aktif dalam memberikan
kritik-kritik keras terhadap berbagai pemikiran yang dinilainya menyesatkan
umat, juga menunjukkan kepeduliannya yang tinggi terhadap masalah ilmu dan
ulama. Al-Ghazali seperti berpesan kepada umat, ketika itu, bahwa problema umat
Islam saat itu tidak begitu saja bisa diselesaikan dari faktor-faktor permukaan
saja, seperti masalah politik atau ekonomi. Tetapi, masalah umat perlu
diselesaikan dari masalahnya yang sangat mendasar, yang dikatakan oleh Ali
al-Sulami sebagai tahap “reformasi moral”. Tentu, tahap kebangkitan dan
reformasi jiwa ini tidak dapat dilakukan tanpa melalui pemahaman keilmuan yang
benar. Ilmu adalah asas dari pemahaman dan keimanan. Ilmu yang benar akan
menuntun kepada keimanan yang benar dan juga amal yang benar. Ilmu yang salah
akan menuntun pada pehamaman yang salah. Jika pemahaman sudah salah, bagaimana
mungkin amal akan benar?
Jadi, dalam perjuangan umat,
diperlukan pemahaman secara komprehansif terhadap problematika yang dihadapi
oleh umat Islam. Ketika itu, umat Islam menghadapi berbagai masalah: politik,
keilmuan, moral, sosial, dan sebagainya. Problema itu perlu dianalisis dan
didudukkan secara proporsional dan adil. Yang penting ditempatkan pada
posisinya, begitu juga yang kurang penting. Di situlah, al-Ghazali menulis
kitab Ihya Ulumuddin, dengan makna “Menghidupkan kembali ilmu-ilmu
agama”. Ketika itu, dia seperti melihat, seolah-olah ilmu-ilmu agama sudah
mati, sehingga perlu dihidupkan. Dalam Kitabnya, ia sangat menekankan pada
aspek niat dan pembagian keilmuan serta penempatannya sesuai dengan
proporsinya.
Problema politik umat ketika itu
merupakan masalah yang sangat serius. Tetapi, pronlematika keilmuan dan akhlak
merupakan masalah yang lebih mendasar, sehingga solusi dalam bidang politik,
tidak dapat dicapai jika kerusakan dalam bidang yang lebih mendasar itu tidak
diselesaikan terlebih dahulu. Al-Ghazali dan para ulama ketika itu berusaha
keras membenahi cara berpikir ulama dan umat Islam serta menekankan pada
pentingnya aspek amal dari ilmu, sehingga jangan menjadi ulama-ulama yang
jahat. Sebab, ilmu yang rusak, dan ulama yang jahat, adalah sumber kerusakan
bagi Islam dan umatnya. Nabi Muhammad saw memberi amanah kepada para ulama
untuk menjaga agama ini. Tentu saja, itu harus mereka lakukan dengan cara
menjaga keilmuan Islam dengan baik. Bahkan, Rasulullah saw mengingatkan akan
datangnya satu zaman yang penuh dengan fitnah dan banyaknya orang-orang jahil
yang memberi fatwa. Sabda Rasulullah saw: Bahwasanya Allah SWT tidak akan
mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu
agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang
banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin
yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka
sesat dan menyesatkan. (HR Muslim). Sepanjang sejarah Islam, para ulama
sejati sangat aktif dalam mempertahankan konsep-konsep dasar Islam,
mengembangkan ilmu-ilmu Islam, dan menjaganya dari perusakan yang dilakukan
oleh ulama-ulama su’, atau ulama jahat. Penyimpangan dalam bidang
keilmuan tidak ditolerir sama sekali, dan senantiasa mendapatkan perlawanan
yang kuat, secara ilmiah.
Banyak kaum Muslimin yang berpikir
bahwa jika aspek politik direbut oleh gerakan Islam tertentu, maka akan
selesailah masalah umat. Pendapat ini sebagian benar. Tapi kurang sempurna.
Kekuasaan politik adalah bagian dari masalah penting umat Islam. Sebab,
ad-daulah adalah penyokong penting perkembangan agama. Bukan hanya Islam.
Tetapi, juga agama-agama lain. Agama Kristen berkembang pesat di
Eropa atas jasa besar Kaisar Konstantin yang mengeluarkan Dekrit ‘Edict of
Milan’ (tahun 313) dan Kaisar Theodosius yang menjadikan Kristen sebagai agama
resmi negara Romawi (Edict of Theodosius, tahun 392). Perkembangan agama Budha
juga tidak lepas dari peran Raja Asoka. Begitu juga eksistensi dan perkembangan
agama-agama lain, sulit dipisahkan dari kekuatan politik. Sama halnya, dengan
ideologi-ideologi modern yang berkembang saat ini. Eksistensi dan perkembangan
mereka juga sangat ditopang oleh kekuasaan politik. Komunisme menjadi
kehilangan pamornya setelah Uni Soviet runtuh. Sulit membayangkan Kapitalisme
akan diminati oleh umat manusia jika suatu ketika nanti Amerika Serikat
mengalami kebangkrutan sebagaimana Uni Soviet.
Tetapi, perlu dicatat, bahwa
kekuasaan politik bukanlah segala-galanya. Banyak peristiwa membuktikan, bahwa
pemikiran, keyakinan, dan sikap masyarakat, tidak selalu sejalan dengan
penguasa. Di masa Khalifah al-Makmun, yang Muktazily, umat Islam lebih
mengikuti para ulama Ahlu Sunnah, ketimbang paham Muktazilah. Di masa
penjajahan Belanda, umat Islam tidak mengikuti agama penjajah, dan lebih
mengikuti kepemimpinan ulama. Banyak lagi contoh lain.
Karena itu, ulama dan umara memang
dua tiang penyangga umat yang penting. Kedua aspek itu harus mendapatkan
perhatian yang penting. Para aktivis politik umat harus memiliki pemahaman yang
benar tentang Islam. Jika tidak, para pemimpin politik justru bisa menjadi
perusak Islam yang signifikan. Karena ketidaktahuannya, bisa saja melakukan
tindakan yang keliru. Sebagai contoh, mereka mati-matian merebut kursi
kepemimpinan di daerah atau departemen tertentu, sedangkan kemunkaran di bidang
aqidah Islamiyah dianggap sepele. Ribuan orang dikerahkan untuk berdemonstrasi
karena faktor kursi kekuasaan, tetapi tidak demonstrasi apa-apa ketika ada
penyimpangan dalam aqidah Islam, semisal kasus Ahmadiyah, penyebaran paham
Pluralisme Agama, atau kezaliman yang sangat mencolok, semisal pembangunan
patung yang memakan dana rakyat milyaran rupiah, disaat rakyat sedang dililit
kesulitan hidup dan berbagai penyakit yang mematikan.
Jadi, tidaklah benar jika dalam
perjuangan mengabaikan salah satu aspek kehidupan. Tetapi, semuanya harus
ditempatkan dalam proporsi dan tempatnya. Itulah yang namanya adil. Nabi
Muhammad saw memulai dakwah Islam dengan aspek ilmu, memberikan pemahaman yang
benar kepada masyarakat tentang konsep-konsep dasar dalam Islam, seperti konsep
tentang Tuhan, Nabi, wahyu, adil, agama, dan sebagainya. Pondasi pemikiran (afkar),
pemahaman (mafahim), standar-standar nilai (maqayis), dan
ketundukan (qana’at), yang Islamiy ditanamkan secara kokoh oleh Nabi
Muhammad saw kepada para sahabat ketika itu. Mereka tampil sebagai sosok-sosok
ulama dan cendekiawan serta pejuang yang tangguh dalam berbagai bidang
kehidupan. Bisa dilihat, bagaimana hebatnya argumentasi Ja’far bin Abi Thalib
ketika berdebat dengan Raja Najasyi dan orang-orang kafir Quraisy Mekkah di
Habsyah. Ja’far dan kaum Muslimin yang sedang dalam kondisi terjepit meminta
perlindungan kepadsa Najasyi, mampu memberikan argumen-argumen yang canggih
seputar masalah Isa a.s. yang menjadi titik sentral kontroversi Islam dengan
Kristen.
Ringkasnya, perjuangan Islam dalam
menghadapi problematika yang dihadapi umat ini, perlu memadukan dan
mensinergikan berbagai aspek, yakni aspek keilmuan, kejiwaan, harta benda, dan
sebagainya. Jihad melawan hawa nafsu atau berjuang dalam bidang keilmuan, tidak
perlu dipertentangkan dengan jihad melawan musuh. Semua perlu dipadukan,
sebagaimana telah dilakukan di zaman Rasulullah saw, Perang Salib, dan
sebagainya, sehingga kaum Muslim berhasil mengukir kemenangan yang gemilang
dalam berbagai arena perjuangan.
Rasulullah saw bersabda: “Jahid
al-mushrikina bi amwalikum wa anfusikum wa alsinatikum”. (Berjihadlah
melawan orang-orang musyrik dengan hartamu, jiwamu, dan lisan-lisanmu). Hadits
ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasa’i, Ahmad, al-Darimi, dengan sanad yang
sangat kuat. Ibn Hibban, al-Hakim, and an-Nawawiy menyatakan, bahwa hadits ini
sahih. 7
Melalui hadits tersebut, Rasulullah
saw menekankan pentingnya kaum Muslimin melakukan jihad secara komprehensif,
dengan menggunakan berbagai potensi yang dimiliki, baik harta, jiwa, maupun
lisan. Dalam arena perjuangan, atau arena jihad, sebenarnya tiga aspek: harta,
jiwa, dan lisan, saling terkait satu dengan yang lain. Peperangan fisik adalah
salah satu bagian dari sebuah perjuangan yang luas dan panjang antara al-haq
dan al-bathil.
Bahkan, dalam hadits lainnya,
Rasulullah saw juga menekankan pentingnya jihad melawan hawa nafsu. Rasulullah
saw bersabda: “Al-Mujahid man jahada nafsahu fi-Allah ‘Azza wa-Jalla”. (Mujahid
adalah seseorang yang melakukan jihad melawan hawa nafsunya di jalan Allah).
Al-Iraqiy menyatakan, bahwa hadits ini sahih, dan diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi.
8
Jadi, dalam arena perjuangan atau
arena jihad, kaum Muslim sebenarnya diminta untuk menggabungkan seluruh
kemampuan atau potensi – baik potensi jiwa, harta, maupun lisan (intelektual)
dan menempatkan masing-masing pada proporsi yang sebenarnya. Kapan kekuatan
fisik digunakan, kapan kemampuan intelektual, dan kapan potensi harta benda
diperlukan. Semua itu harus dilandasi dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT.
Semua potensi jihad itu tidak bisa digunakan jika manusia dikuasai oleh hawa
nafsunya. Maka, perang melawan hawa nafsu secara otomatis menjadi faktor
penting dalam bentuk-bentuk perjuangan lainnya. Jika kaum Muslim mampu
menggabungkan semua potensi tersebut, maka dalam sejarahnya, kaum Muslim mampu
tampil sebagai umat yang hebat, gemilang dan terbilang. Jika potensi itu
terpecah belah dan tidak teratur dengan baik, maka kekalahan menimpa kaum
Muslimin.
Peran ilmu dan ulama
Sepeninggal Rasulullah saw, umat
Islam ditinggali dua perkara, yang jika keduanya dipegang teguh, maka umat
Islam tidak akan tersesat selamanya. Keduanya, yakni, al-Quran dan Sunnah
Rasululullah. Tapi, disamping itu, Rasulullah saw juga mewariskan para ulama
kepada umat Islam. Ulama adalah pewaris nabi. Ulama-ulamalah yang diamanahkan
untuk menjabarkan, mengaktualkan, membimbing, menerangi, dan memimpin umat
dalam bidang kehidupan. Banyak ulama yang mensyaratkan ‘kemampuan berijtihad’
bagi kepala negara (khalifah).
Adalah ideal jika ulama dan umara
sama-sama baik. Dalam sejarahnya, Islam akan cepat berkembang jika ulama dan
umaranya baik. Tapi, ada fase-fase dalam sejarah, dimana salah satu dari dua
pilar umat itu bobrok atau rusak. Ketika itu, keberadaan ulama yang baik lebih
diperlukan. Ketika Khalifah al-Makmun memaksakan paham Muktazilah, para ulama
Ahlu Sunnah melakukan perlawanan yang gigih. Umat selamat, dan lebih mengikuti
ulama ketimbang umara. Di zaman penjajahan Belanda, umaranya jelas rusak.
Tetapi, ulama-ulama Islam ketika itu gigih mempertahankan ad-Dinul Islam.
Alhamdulillah, meskipun Belanda berusaha sekuat tenaga menghancurkan Islam,
umat Islam lebih mengikuti ulamanya.
Maka, yang perlu diperhatikan dan
dicermati, — disamping kerusakan umara – adalah kerusakan ulama. Lahirnya
ulama-ulama yang jahil, yang tidak kapabel keilmuannya, yang korupsi ilmu
agama, yang berfatwa tanpa ilmu yang memadai, yang akhlaknya rusak, yang cinta
dunia, dan sebagainya, adalah bencana terbesar yang dihadapi oleh umat Islam.
Jika kondisi seperti ini sudah terjadi, maka umat Islam harus bersiap-siap
mengalami kebangkrutan. Lebih rusak lagi jika para ulama sudah mencintai dunia,
menjual agama dengan harta benda dunia, dan yang merusak ilmu-ilmu agama dengan
dalih menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman.
Adalah musibah dan fitnah besar,
misalnya, jika dari Perguruan Tinggi Islam justru lahir orang-orang yang
berpaham atheis atau yang gila dunia. Jika ilmu agama sudah dirusak, maka akan
lahir ulama yang rusak (ulama as-su’); yakni ulama, yang harusnya
menjadi penjaga agama, justru menjadi penghancur agama. Ketika ilmu-ilmu Islam
dirusak, maka tidak ada jalan kembali bagi peradaban Islam untuk bangkit lagi.
Karena itu sangat diprihatinkan, jika umat Islam membiarkan terjadinya serangan
pemikiran yang akan merusak ilmu-ilmu agama.
Abu Harits al-Hasbi al-Atsari dalam
kata pengantarnya untuk tulisan Ibnul Qayyim al-Jauziyah yang berjudul Al-Ilmu
menjelaskan, bahwa Allah telah menurunkan “Kitab” dan “Besi” sebagai sarana
untuk tegaknya agama Allah. “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul
Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama
mereka Al-Kitab dan neraca (Keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan
berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergukan besi) dan supaya Allah
mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah
tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (QS
al-Hadid: 25).
Penutup
Sekelumit kisah kebangkitan umat
Islam di era Perang Salib tersebut bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita,
betapa pentingnya peran ulama dalam proses kebangkitan umat Islam. Ulama adalah
pewaris Nabi. Maknanya, Nabi mewariskan perjuangannya pada kepemimpinan ulama.
Jatuh bangunnya umat terletak pada baik atau tidaknya kualitas ulamanya. Jika
ulamanya jahat atau jahil maka bencana besar menimpa umat.
Jadi, sepanjang zaman, ulama harus
senantiasa ada dalam jumlah yang memadai. Sebab, perjuangan Nabi tidak boleh
berhenti. Ulama tidak dilahirkan dan tidak turun dari langit. Tapi, ulama lahir
dari proses pendidikan. Ironis, jika di masa penjajahan, lembaga pendidikan
Islam bisa melahirkan ulama-ulama hebat, tapi di masa kemerdekaan, justru tidak
mampu melahirkan ulama-ulama hebat pewaris Nabi. Semoga musibah itu tidak
menimpa lembaga pendidikan kita. Amin.
1 Nikita Elisseef, “The Reaction of the Syrian Muslim after
the Foundation of the First Latin Kingdom of Jerusalem”, dalam Maya Shatzmiller
(ed), “Crusaders&Muslims in Twelfth-Century Syria”, (Leiden: E.J.
Brill, 1993), 163. W. Montgomery Watt, Muslim Intellectual, 144.
4 Nikita Elisseef, The Reaction, 164. Dr. Majid Irsan
al-Kilani mengemukan dalam bukunya, berbagai penyakit moral yang menggerogoti
umat Islam pada waktu itu, yaitu terutama penyakit hubbud dunya (cinta-dunia),
penyakit fanatisme kelompok, dan penyakit kekacauan pemikiran Islam. (Lihat,
buku Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib: Refleksi 50 Tahun
Gerakan Dakwah Para Ulama untuk Membangkitkan Umat dan Merebut Palestina).
8 Muhammad bin Muhammad al-Husayniy al-Zabidiy, Ithaf
al-Sadah al-Muttaqin bi al-Sharh Ihya’ ‘Ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah), 397, 657.
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------