Seri Kado Pernikahan - 3


Seri Kado Pernikahan-3:
Pentingnya Memahami Tujuan-tujuan Perkawinann Menurut Islam
Perkawinan Islami bukan sekedar tujuan memenuhi kebutuhan biologis (seksual) antara pasangan suami isteri, akan tetapi terdapat tujuan-tujuan yang lebih utama yaitu:
Memperbanyak jumlah bilangan kaum muslimin dan memasukkan kegembiraan pada hati Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Diriwayatkan dari Ma’qal bin Yasar berkata, “Datang seorang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, lalu berkata, ‘Saya jatuh cinta pada seorang wanita cantik dan molek, sayangnya ia tak bisa melahirkan (mandul), maka apakah aku harus menikahinya?’  Lalu Nabi menjawab, ‘Jangan!’. Kemudian datang lagi dia yang kedua kalinya, dan Nabi tetap melarangnya, kemudian datang lagi yang ketiga. Kemudiann Nabi SAW bersabda: ’Kawinilah kalian wanita yang subur (yang dapat melahirkan) sebab aku menginginkan umat yang banyak dari kalian’” (HR Abu Dawud dan An Nasa’i).

Memelihara diri dari perbuatan dosa dan cela serta untuk taqqarub kepada Allah
Nabi Shallallahuu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Dan pada setiap sendi dari kalian terdapat shadaqoh bagimu, mereka bertanya, ‘Hai Rasulullah, apakah jika diantara kami melampiaskan syahwatnya (kepada siapa saja) maka baginya itu pahala? Nabi berkata, ‘bagaimana menurutmu jika ia meletakannya dalam sesuatu yang haram apakah baginya patut dihukum?’ Mereka menjawab, ‘Ya tentu’. Nabi berkata, ‘Maka demikian pula apabila seseorang menempatkannya pada yang halal maka pasti baginya pahala’” (HR Muslim, An Nasa’I dan Ahmad).

Melahirkan generasi muslim
Perlu diniatkan ketika hendak melakukan hubungan dengann isteri dan berdo’a untuk mendapatkan anak-anak shalih. Terdapat riwayat dari Imam Bukhari didalam shahihnya, bab meminta anak agar siap berjihad; dari Abu Hurairah RA dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Berkata Sulaimanbin Dawud ‘alaihi Wasallam, “Sesungguhnya akan aku kunjungi (pergilir) mala mini seratus isteri atau Sembilan puluh Sembilan, masing-masing dari mereka mendatangkan (melahirkan) penunggang kuda untuk berjihad fi sabilillah. Lalu berkata sahabatnya kepadanya: katakanlah olehmu “Insya Allah”, namun mengatakannya, maka tak seorang pun dari mereka mengandung (hamil) kecuali hanya seorang saja yang melahirkan anak laki-laki. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tengah-Nya andaikan ia berkata insya’Allah, maka pasti mereka semua (melahirkan anak-anak) yang sanggup berjuang fi sabbilillah sebagai penunggang-penunggang kuda yang professional”.

Ibnu Hajar didalam Fathul Bari nya mengatakan barang siapa yang berminat ketika hendak menggauli isterinya untuk memperoleh keturunan (anak) sebagai mujahid fi sabilillah maka ia mendapat pahala, sekalipun tidak terwujud kehendaknya. (Fathul Bari, 7/272).

Melestarikan Keturunan Manusia
Dalam sebuah riwayat Thabrani dari Abi Hafshah RA bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Janganlah seorang diantara kamu tidak menginginkan anak, sebab apabila seseorang mati dan tidak memiliki anak maka teputuslah namanya”.
Pada masa sekarang ini terdapat orang-orang kafir di Barat maupun Timur secara serius mengharapkan dan mempropagandakan fikrah pembatasan kelahiran (tahdidun nasl) dikalangan kaum muslimin, dalam waktu bersamaan mereka memotivasi kalangan kafir untuk terus meningkatkan kelahiran, sehingga dengan demikian jumlah kaum muslimin mengecil dan jumlah kaum kafir bertambah.

Sifat-sifat Murabbi Najih (pendidik yang sukses)
Setiap pasangan (muda) dari kaum muslimin hendaknya mengetahui beberapa sifat yang seharusnya disandang bagi setiap pendidik, mengingat bahwa orang tua dan khususnya ibu adalah sebagai pendidik (langsung dan tidak langsung) bagi anak-anaknya.

Diantara sifat-sifat Murabbi Najih tersebut antara lain:
·         Al Hilm dan Al Anat
Al hilm sering diartikan orang dengan tabah, maksudnya adalah tidak cepat marah dan tidak pula masa bodoh. Sedangkan al Anat lebih tepat diartikan dengan tidak tergesa-gesa dalam bersikap dan tidak pula membiarkan setiap masalah menjadi berlarut-larut. Atau bertindak dan bersikap hati-hati terhadap setiap permasalahan yang dihadapi. Al hilm dan al anat merupakan dua sikap yang mencerminkan al hikmah, baik dalam bertutur kata maupun bertindak.
Santun dan rahmah (ar Rifq)

Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah itu sangat ramah dan suka kepada sifat ramah. Dia memberi atas dasar keramahan dan tidak memberi atas dasar kebengisan”. Sabdanya lagi: “Jika Allah menghendaki kebaikan terhadap penghuni rumah maka dia masukkan kepada mereka sifat ramah. (HR Ahmad dari Aisyah RA).

·         Hati yang penuh kasih sayang (al Qalbur rahim)
Al Bazzar meriwayatkan dari Ibnu Umar RA dari Nabi SAW bersabda: ”Sesungguhnya bagi setiap pemohon itu memiliki buah, dan buah itu adalah anak. Sesungguhnya Allah tidak menyayangi orang yang tidak menyayangi anaknya. Dan yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah masuk surga kecuali yang memiliki sifat kasih sayang, dan kasih sayangnya itu bukan sekedar ditandai dengan kasih sayangnya terhadap seorang sahabatnya, akan tetapi karena ia menyayangi sesama manusia”.

·         Mampu memahami orang lain sehingga lapang dada dan toleran, bukan karena lemah, rendah dan menghinakan diri.
·         Sikap menengah dan adil.
·         Layak untuk dijadikan teladan.

Kedudukan dan Pahala Nafkah Kepada Isteri dan Anak-anak:
Nafkah bagi suami memiliki pengaruh yang baik didalam aktifitas pendidikan, khususnya lagi jika didasari atas dasar keyakinan akan wajibnya bagi suami sebagai diatur oleh syari’at.
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah RA berkata, bersabda Rasulullah SAW: “Dinar (rupiah, dsj) yang kamu belanjakan dijalan Allah, dinar yang kamu belanjakan untuk membebaskan budak, dinar yang kamu sedekahkan untuk orang miskin, dan dinar yang kamu belanjakan untuk keperluan keluargamu, maka yang paling besar (pahalanya) adalah yang kamu belanjakan kepada keluargamu”.

Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallah bersabda pula: “Apa yang kamu berikan makan untuk dirimu maka itu sedekah bagimu, apa yang kamu berikan makan kepada anakmu maka itu sedekah bagimu, apa yang kamu berikan makan kepada isterimu maka itu sedekah bagimu, dan apa yang kamu berikan makan kepada pembantumu maka itu adalah sedekah bagimu” (HR Ahmad, dangan sanad jayyid dari Miqdam bin Ma’di Kurab RA).
Imam Thabrani meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud RA berkata: “Mencari penghasilan yang halal itu faridlah”.

Ibnu Abbas dan Abu Nu’aim RA berkata: “Mencari penghasilan yang halal itu jihad”.
Imam ad Dailami dari Anas RA berkata: “Mencari penghasilan yang halal itu wajib atas setiap muslim”.

Ibnu Umar RA berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Cukuplah terkena dosa bagi seseorang yang mengabaikan (hak-hak) orang yang ditanggungnya” (HR All Hakim di dalam Al Mustadraknya. 1/415, dia menshahihkannya sekalipun ia tidak mengeluarkannya dan Adz dzahabi menguatkannya).

Isteri Shalihah, Silahkan Masuk Surga Melalui Pintu Mana Saja
Termasuk bagian tanggung jawab seorang ayah dalam membentuk keluarga, yaitu agar ia memilih calon isteri yang tepat. Hal ini menjadi keharusan jika dilihat dari tanggung jawabnya terhadap pendidikan anak dan keluarganya.

Adnan Hasan Shalih Baharats dalam kitabnya “Mas’uliyyatul Abil Muslim Fi Tarbiyatil Walad fi Marhalatit Thufalah, (hlm 35 40). Menyebutkan secara singkat bahwa dalam memilih isteri setidaknya ada lima perkara yang harus ditimbang-timbang, yaitu (1) agamanya, (2) nasabnya, (3) umurnya, (4) kecantikannya, (5) waktu kosong yang tersedia (untuk mengurus rumah tangganya).

Diantara hak-hak anak yang paling besar atas ayahnya adalah memilihkan (calon) ibu yang baik menurut kriteria diatas, karena posisinya sebagai orang yang akan mengandungnya, melahirkannya, menyusuinya, dan mendidiknya. Yang demikian itu disebabkan karena hereditas (al waratsah) sangat berperan  dalam menentukan kualitas anak yang akan dilahirkannya, terutama dalam hal kecerdasan dan ciri-ciri keistimewaan.

Pakar psikologi menyebutkan bahwa ada dua faktor yang sangat berpengaruh dalam membentuk akhlak dan perilaku seorang anak, yaitu hereditas dan environment (al waratsah dan al bi’ah: faktor bawaan/ keturunan dan lingkungan). (Muhammad Abdul Salam Nashar, al waratsah wal bi’ah wa tsaruhuma fi takwinil akhlaq; mas’uliyyatul Abdul Muslim, hal 35).
Tentang agama calon isteri adalah menyangkut pemahaman, fiikrah, dan wawasan serta amaliyah kesehariannya baik dalam ibadah, maupun akhlak, dan suluknya. Ini semua mencerminkan sosok sholihat qanitat hafizhat lil ghaibi bima hafizhallahu” (QS 4: 34).
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan alqanitat sebagai isteri-isteri yang menaati suami, dan al hafizhat lil ghaibi artinya memelihara suami ketika tak ada disisinya dan dalam hartanya serta memelihara diri mereka sendiri. Itulah sosok Mar’ah shalihah.

Imam al Ghazali rahimahullah dalam memilih calon isteri yang shalih tersebut, menyarankan agar menanyakan tentang agamanya, pemeliharaannya dalam menegakkan shalatnya, puasanya, sifat malunya,  dan kebersihannya, juga kebagusan dan keburukan tutur katanya, komitmennya terhadap urusan rumahnya, baktinya kepada kedua orang tuanya, dan bila perlu menanyakan soal kedua orang tuanya, dan agama mereka serta amaliyah keagamaannya … (Al Adab fid Din, hlm 49).

Apabila sang ayah mengalami persoalan pilihan diantara calon isterinya, terutama dalam hal kecantikan fisik dan akhlak agamanya, maka harus memilih mendahulukan pilihan pada faktor akhlak dan agama yang lebih menonjol diantara pilihan yang ada, apalagi jika diperkuat dengan istikhoroh.

Dalam hal ini Ibnu Jauzi rahimahullah mengatakan, “Dan sepatutnya melayangkan pandangan pada aspek agamanya sebelum melihat aspek kecantikan fisik lahiriyahnya, sebab apabila seseorang (calon isteri) itu sedikit agamanya (minim pemahamannya -ilmu dan amaliyahnya- terhadap agama), maka kecantikan lahiriyahnya tidak akan memberikan manfaat sedikitpun baginya. (Shaidul Khatihir, Ibnul Jauzi, hlm 361; Mas’uliyyatul Abul Muslim, hlm 36).
Sebab pada kenyataannya bahwa setiap kecantikan itu akan hilang sirna dan pergi, cepat atau lambat, dirawat intensif atau tidak, kecuali kecantikan agama dan akhlak, yang satu ini selalu kekal melekat pada naluri seorang wanita (isteri) shalihah, komitmen dalam agamanya, dan tampil dengan adab-adab syari’at. Tentu saja apabila sosok wanita shalihah ini terdapat dalam sebuah keluarga muslim, akan menyinari seluruh kehidupan seisi rumahnya dan mendorong semangat untuk maju serta menumbuhkan bibit-bibit generasi shalihah pula.

Tentang nasab, keturunan jelas menjadi penting, sebab setiap manusia pada hari kiamat akan dipanggil dengan namanya dan nama ayahnya. Kemudian sebagai orang yang akan menjadi kerabat karena ikatan perkawinan, maka harus secara jelas diketahui nasabnya. Dan dalam Islam, nasab ini tidak terbatas pada siapa ayah ibunya saja, akan tetapi dia juga sebagai pewaris kakek-neneknya sampai moyang-moyangnya. (Fakhor Aqil, ‘Ilmun Nafs at Tarbawi, hlm 36 – 37)

Nabi shallallahu ‘alaiihi wasallam bersabda: “Pilihlah olehmu dalam menumpahkan nuthfahmu -air manimu- oleh karena itu nikahilah (wanita) yang sekufu” (HR al Hakim, didalam Al Mustardak, Kitab Nikah)
Wanita Quraisy dikenal seutama-utamanya dalam hal sekufu’, karena pandai menunggang kuda/ unta, shalih karena kasih sayangnya yang amat terhadap anak-anaknya dan perhatiannya yang sangat baik terhadap suaminya, yang dengannya ia merasa terlindungi (HR Bukhari, Kitab Nikah).

Adapun menyangkut usia calon isteri:
Berdasarkan pengamatan pakar-pakar ilmu jiwa dan didukung kenyataan (jika kita mau jujur dan terbebas dari interes-interes yang menyesatkan), maka sesungguhnya anak-anak yang lahir dari pasangan usia muda mampu hidup lebih panjang daripada yang lahir dari pasangan usia mendekati tua (terutama mendekati habis masa kesuburan keduanya, penta) … (Fu’ad al Bashi as Sayyid, Al assun Nafsiyyah Lin Namu minath Thufullah ila Syaikhukhah, hlm 65 – 66; Mas’uliyyatul Abul Muslim, hlm 37).

Oleh karenanya wajar jika Nabi SAW menasihatkan kepada umatnya agar menikahi wanita muda (gadis belia). Tentu hal ini berkaitan dengan kelebihannya dalam hal perasaan cinta dan kepuasan bathiniyyah, “senyummu dan senyumnya lebih mesra, permainanmu dan permainannya lebih memuaskan” (Inti dari HR Muslim, kitab ar Radla’, Bab Istihbab Nikahul Bikr).
Apabila dahulu wanita 17 tahun sudah matang untuk nikah, itu karena dipersiapkan oleh kedua orang tunya dengan didikan dan perhatian yang memadai soal kerumah tanggaan, namun pada zaman kini terlalu banyak muslimah di atas usia 25 tahun merasa belum pantas dan belum berani berumah tangga. Hal ini karena produk sistem pendidikan sekuler, yang menyamaratakan jenjang dan kurikulum antara laki-laki dan wanita dalam segala hal.
Menyangkut soal kecantikan lahiriyah seorang calon isteri, tidak bisa kita pungkiri sebagai faktor penting juga, sebab secara alami (naluriyah) bahwa manusia cenderung pada bentuk/ gambar yang bagus, suara yang bagus, dan juga pemandangan serba indah. Oleh karena ketika seorang laki-laki hendak meminang seorng wanita, ia diperintahkan untuk melihat padanya, sebab pada mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu. (HR Muslim, Kitab Nikah, Bab anjuran melihat wajah wanita dan kedua telapak tangannya bagi yang ingin menikahinya).

Hal ini untuk menghindari penyesalan dikemudian hari, apabila terdapat hal-hal yang belum meyakinkan dan memuaskan dirinya. Untuk mengetahui kearah sana, bisa dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Langsung artinya, melihat langsung wajah dan kedua telapak tangannya, minimal sekali. Tidak langsung bisa melalui informasi teman-temannya atau saudara wanitanya yang sering melihatnya, tidak saja wajah dan telapak tangannya, akan tetapi jauh lebih luas dari itu.

Perihal penting lagi yang perlu diperhatikan serius adalah “waktu luang” yang disanggupi wanita (calon isteri). Yang dimaksud dengan “ath tafarruqh”/ waktu luang disini adalah mengingat bahwa aktifitas utama (yang wajib didahulukan dan dipentingkan) bagi seorang isteri adalah mengurusi rumah dan memelihara anak-anaknya (Thadribul Bait Wa Ri’ayatul awlad). Amaliyah utama ini tidak boleh bergeser oleh aktifitas lainnya sepenting apapun, sebab seorang anak utamanya tahun-tahun pertama kelahirannya membutuhkan ibu spesialis yang tidak menyibukkan diri selain daripada memelihara anaknya dan membentuk generasi... (Muhammad Quthb, Manhajut Tarbiyyah Islamiyah, jilid II hlm 108).

Berdasarkan hadits yang berkaitan dengan nizhamul usrah (organisasi keluarga), maka bagi wanita yang lebih mementingkan sibuk mengerjakan yang selain mengurusi rumah dan pemeliharaan anak-anaknya, maka ia bisa dihukumi telah maksiat kepada Allah dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wanita itu pemimpin rumah tangga suaminya dan anak-anaknya...” (Adnan Hasan Shalih Bahrak, hlm 39).

Sebuah lembaga muslim tidak boleh melahirkan anak-anak yatim struktural karena terabaikan hak-haknya oleh kesibukan ayah dan ibunya memburu kebahagiaan semu gemerlapnya dunia, melalaikan kebahagiaan hakiki. Dan juga tidak boleh melahirkan anak-anak kunci seperti di negara-negara sekuler. Anak-anak harus pegang kunci masing-masing agar bisa keluar masuk rumah kapan saja ia kehendaki, karena kesibukan kedua orang tuanya.
WHO sendiri telah mengeluarkan maklumat kepada wanita-wanita karir, yang bunyi pasalnya sebagai berikut: “agar ibu-ibu (wanita karir) minimal menyediakan waktunya penuh selama tiga tahun setiap kelahiran anak-anaknya yang baru” (Ali Qadli, Al Islam wa Tarbiyatul Thifli, Majalah Pendidikan, nomor 38, hlm 67).


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------