Seri Kado Pernikahan - 2


Kado Pernikahan Bagian-2 :
Keterkaitan Antara Pernikahan dan Pendidikan Anak dalam Islam
Diantara tujuan pokok dan esensial diturunkannya Islam dengan seperangkat sistem dan konsepsinya adalah untuk membedakan manhaj Allah dari manhaj manusia, dalam segala aspek yang berkaitan dengannya, baik dari segi manhaj, konsepsi, maupun dari aplikasinya.
Secara substansial pandangan Islam memiliki keistimewaan dibandingkan pandangan Barat terhadap institusi keluarga. Islam memandang bahwa keluarga merupakan unit yang sangat mendasar diantara pembangunan unit-unit di alam semesta. Keluarga juga merupakan infrastruktur bagi masyarakat Islam yang bersaing dengan infrastruktur masyarakat lain (yang jahili) didalam mewujudkan tujuan-tujuan konsep istikhlaf (Isma’il Raji Al Faruqi, Tawhid: its Implication for though and life, Washington, thn 1988, III T, hlm 159: Wanita dan Politik dalam Pandangan Islam, Hibbah Rauf Izzat, Remaja Rosda Karya, Thn 1997; hlm 150).

Dengan bahasa lain, bahwa keluarga dalam konsepsi Islam merupakan “Nawatul Jama’ah” (nuclius dalam institusi jama’ah/ masyarakat khusus), sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Nur Suwaid, didalam bukunya Manhajut Tarbiyyah an Nabawiyyah Lith Thifl.
Apabila ikatan keimanan dapat memadukan antara laki-laki dan wanita pada tataran umat  dalam kerangka istikhlaf, maka keluarga merupakan suatu unit mendasar yang dipadukan pada peringkat kelompok, baik ikatan kekerabatan maupun ikatan perkawinan yang dijalin oleh nilai-nilai kasih sayang dan ketentraman. (Hibbah Rauf Izzat, hlm 150).
Pembangunan fondasi keluarga sangat berkaitan dengan fitrah yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada manusia berupa persaingan antara kedua jenis kelamin, yang sekaligus menjadi satu tradisi sosial.

Dr. Abdullah Nasih ‘Ulwan mengatakan, “Sebelum menjelaskan tentang asas-asas yang telah Islam letakkan dalam pendidikan anak-anak, akan lebih baik jika (secara ringkas) kami bahas perkawinan ini dari tiga aspeknya, yaitu:
Perkawinan sebagai fitrah insani
Perkawinan sebagai kemaslahatan sosial
Perkawinan sebagai hasil seleksi dan pilihan

Perkawinan Sebagai Fitrah Manusia
Syari’at Islam secara tegas memerangi konsep ruhbaniyyah (kependetaan), yaitu menjauhi perkawinan, padahal hal ini menyalahi fitrah kemanusiaannya, kecenderungannya, dan insting-instingnya sebagai manusia yang diberi anugerah nafsu dan syahwat.
Al Baihaqi meriwayatkan dari Sa’id bin Ali Waqqash RA:

“Sesungguhnya Allah telah menggantikan kita dengan ruhbaniyah yang lurus dan toleran”.
Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam dengan tegas menyatakan, “Barang siapa yang dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak menikah, maka ia bukanlah golonganku” (HR Ath Thabarani dan Al Baihaqi).

Bahkan tidak menikah atau menjauhi kecenderungan untuk membangun sebuah keluarga, tidak boleh dijadikan sebagai alasan “mengoptimalkan kuantitas dan kualitas ibadah seseorang”. Misal saja sepanjang hari, siang dan malam, terus melaksanakan shalat (wajib dan nafilah-nafilahnya yang rawatib maupun shalat lail), shaum setiap kesempatan yang ditentukan (yang fardu, yang sunnah shaum senin-kamis, shaum daud, dll). Dan kemudian menjauhi semua wanita.

Perkawinan Membawa Kemaslahatan Sosial
Yang dimaksud dengan kemaslahatan sosial itu antara lain: memilih jenis manusia, memelihara keturunan, keselamatan masyarakat dari dekadensi moral; keselamatan masyarakat dari berbagai penyakit, ketenangan jiwa, saling tolong-menolong antara suami-isteri dalam membina keluarga dan mendidik anak-anak, dan menghaluskan ayah dan ibu.
Sejumlah petunjuk dalil (nash) baik dari Al Qur’an maupun Al Hadits, menunjukkan perkara-perkara diatas.

Allah Ta’ala berfirman:

72. Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?"
 (QS 16: 7).

“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan wanita yang banyak” (QS 4: 1).

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
“Wahai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu sudah mampu kawin, maka kamu kawinlah, sebab perkawinan itu akan dapat lebih memelihara pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barang siapa belum mampu untuk kawin, maka ia hendaklah berpuasa. Karena sesungguhnya berpuasa itu dapat mengalahkan hawa nafsu” (HR Jama’ah).
Sabdanya lagi:

“Tidak ada sesuatu yang (besar) diambil faidahnya oleh seorang muslim setelah taqwa kepada Allah yang lebih baik baginya daripada seseorang isteri shalihah yang apabila suami memerintahkannya, ia mematuhinya, apabila suami memandangnya maka ia menyenanginya, dan apabila suami pergi darinya (tak ada disisinya) maka ia memelihara diri dan harta (suaminya)” (HR Ibnu Majah).

Allah Ta’ala berfirman:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasann-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa cinta kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berpikir” (QS 30: 21).

Mengingat begitu penting dan strategisnya masalah perkawinan ini, maka Islam memberikan perhatian khusus dan luar biasa, sehingga pada awal pelaksanaan manhaj bina’ul usrah dan sosialisasinya pada masa kenabian memakan waktu yang paling panjang, jika kita perhatikan lamanya yang dipergunakan Allah dalam menurunkan ayat-ayat termuat dalam surat An Nisa’. Selain tu manhaj bina’ul usrah, juga banyak dimuat dalam surat-surat lain secara terpisah-pisah sesuai kebutuhannya.

Oleh karena itu, syari’at juga memerintahkan bagi setiap calon ayah untuk  memilihkan calon ibu dari bakal anak-anaknya.
Islam tidak terlalu berpihak kepada pilihan-pilihan zhahir dan badani semata, sekalipun itu penting secara fitrah, namun ada pilihan lain yang jeuh lebih penting, yaitu agama, lalu keturunan.

Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak menilai bentuk dan badan kamu, akan tetapi Dia menilai hati dan perbuatan-perbuatanmu” (HR Muslim).
(Kutipan ringkas dari Tarbiyatul Awlad fil Islam, Dar as Salam, Cet. Ke-3, thn 1994, jilid I, hlm 33 – 48).

Prakondisi
Menuju Keluarga Sakinah: Kado Pernikahan

Terdapat sejumlah persoalan yang harus dipahami dengan baik oleh setiap pasangan muslim yang hendak membangun lembaga keluarga, antara lain:
1.    Islam menempatkan wanita sebagai sumber berkah
2.    Tanggung jawab pendidikan anak
3.    Pentingnya memahami tujuan-tujuan perkawinan dalam Islam
4.    Mengenali sifat-sifat pendidik sukses
5.    Memahami kedudukan nafkah suami bagi keluarga
6.    Pintu surga yang mana saja bisa dimasuki isteri shalihah

Islam Menempatkan Wanita sebagai Sumber Berkah
Islam mengaitkan sosok wanita dengan keridlaan, cinta dan kasih sayang, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk. Setelah selesai, bangkitlah rahim seraya berkata, ‘Inikah tempat orang yang berlindung dari terputusnya hubungan kekeluargaan?’. Allah menjawab, ‘Ya, apakah kamu rela kalau aku menyambung (hubungan) orang yang menyambungmu, dan memutuskan (hubungan) orang yang memutuskanmu?’. Rahim menjawab, ‘Tentu saja aku rela’. Allah berfirman, ‘Itulah milikmu’”  (HR Muslim).

Sebelum wanita lahir ke muka bumi, Islam telah memposisikan bersebelahannya dengan tempat orang yang berlindung kepada Allah di tempat kekuasaan dan keagungan, bersebelahan dengan Sang Pemilik Kekuasaan yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Pernyataan Allah dalam hadits qudsi ini tentu saja membangkitkan semangat generasi sahabat dan kegembiraan serta kebanggaan apabila mereka dikaruniai anak wanita, tidak seperti masa jahiliyah sebelumnya yang menganggapnya aib dan malu besar dengan kehadiran anak wanitanya. Kaum muslimin sebaliknya, menganggapnya sebagai karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sumber berkah.
“Kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang dia kehendaki dan memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis (anak) laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang Dia kehendaki), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia maha mengetahui lagi maha kuasa” (QS 42: 49 – 50).

Sebaliknya sikap jahiliyah ketika menerima kehadiran anak wanita, sebagaimana Allah firmankan: “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar tentang (kelahiran) anak perempuan, hitam (merah padam) lah mukanya, dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu” (QS 16: 58 – 59).

Kesiapan mental seseorang ketika menghadapi kelahiran anak membangkitkan semangat dalam memikul tanggung jawab pendidikan baginya, karena adanya perasaan kasih sayang dan kehendak untuk melindunginya.
Penguatan-penguatan psikologis ini sangat perlu bagi orang tua, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam memposisikan rahim dalam kedudukan yang mulia dan penuh berkah.

“Tidak masuk surga orang yang memutuskan rahim (hubungan kekeluargaan)” (HR Muslim).
“Barang siapa yang merasa senang untuk dilimpahkan rezeki kepadanya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung hubungan kekeluargaan (silaturahmi)…” (HR Muslim).

Islam telah menyiapkan seluruh faktor kejiwaan yang dapat menghilangkan kegoncangan, kebingungan dan rasa hina dari dalam dada orang laki-laki manakala diberitahukan kepadanya tentang kelahiran anak wanita. Tampak pada potret yang digambarkan oleh hadits Nabi SAW, “Rahim itu tergantung pada Arasy, dan berkata, ‘Barang siapa menyambungku, Allah akan menyambungnya, dan barang siapa yang memutuskanku, maka Allah akan memutuskannya’”.
Tidak cukup hanya penegasan posisi rahim, namun Allah dan Rasul-Nya memberikan sejumlah motivasi dan semangat serta janji-janji pahala bagi mereka yang mampu mengurus, memelihara, dan mendidik anak-anak perempuannya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Barang siapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuan (nya), kemudian dia berbuat baik kepada mereka, maka dia mendapatkan pemisah (bagi dirinya) dari api neraka” (HR Muslim)

“Barang siapa yang memiliki tiga anak perempuan, kemudian dia mendidik, menyayangi, dan mencukupi nafkah mereka, dia berhak memperoleh surga. Lalu ditanyakan, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika dua anak? Beliau menjawab, ‘Meskipun hanya dua anak (berhak juga surga)’” (HR Ahmad, Al Bazzar dan Thabrani).

Tanggung Jawab Pendidik adalah hak Anak Terhadap Orang Tua
Diantara hak anak atas orang tua, utamanya ayah (calon ayah) adalah mencarikan calon ibu (isteri calon ayahnya) dari kalangan isteri shalihah, yaitu yang selalu memelihara hubungannya dengan Allah melalui ketaatan dan ibadah kepada-Nya, santun dan lembut, penyayang, dapat memelihara dirinya, harta, dan kehormatan suaminya ketika tak ada disisinya. Tentu saja wanita shalihah hanya pantas bagi suami yang shalih, yang pandai menempatkan hak dan kewajibannya, dapat memimpin, memimbing dan mengarahkan isteri dan anak-anaknya ke jalan yang benar. Lembaga keluarga seperti ini dimungkinkan akan selalu bisa menegakkan tiga hal: meluruskan kesalahan, memperbaiki keadaan agar selalu menuju kebaikan, dan membiasakan keduanya dalam setiap saat.

Hak anak lainnya atas orang tuanya, khususnya ayah, adalah memberinya nama yang baik, sebab pada hari kiamat setiap manusia akan dipanggil menurut namanya dan nama bapaknya, oleh karena itu Rasulullah SAW menegaskan, “baguskanlah namamu”. Tentang kriteria nama yang bagus, biasanya tidak terlepas dari filosofis yang mendasarinya, dimana dengan nama tersebut maka anak setidaknya bisa meneladani sifat menonjol dari nama yang ditirunya itu. keluarga muslim sering memberi nama anak-anaknya dengan Asma dan sifat Allah yang didepannya didahului dengan “Abdun”, misal saja Abdurrahman, Abdul Ghafur, Abdul Qadir, Abdul ‘Azhim, dll. Atau sering juga meniru nama-nama Nabi dan Rasul, atau nama-nama sahabat, tabi’in atau tabi’it tabi’in, atau nama orang-orang shalih dari masa ke masa yang banyak berjasa dalam bidang keagamaan dan menyebarkan Islam. Atau bisa juga dengan merekayasa nama sendiri dari kata-kata yang tersusun, dengan tetap memenuhi kriteria indah dan mengandung makna yang baik. Alhasil bahwa nama yang baik itu haruslah bercirikan sebagai berikut: mudah dihafal, mudah diucapkan lisan, mengandung muatan makna yang baik yang bisa mendorong sipemiliknya sadar akan pemberian nama tersebut baginya. Sebab, nama bagi pemiliknya memberikan beban psikologis yang berat. Jika nama anda Muhammad, tentu kehendak orang tuamu itu tertuju kepada akhlak Muhammad Rasulullah SAW, bukan Muhammad-Muhammad lain.

Hak anak lainnya atas ayahnya adalah mendapatkan bimbingan dan didikan yang memadai, dengan tetap memperhatikan kecenderungan bawaan dari mereka yang kodrati. Pada masa pra sekolah anak-anak, maka mereka sangat membutuhkan lingkungan keluarga yang kondusif bagi pertumbuhan intelegensi dan benih-benih agama (kebenaran) yang fitri. Disinilah mengapa orang tua haruslah menjadi bibit unggul bagi terbentuknya generasi shalih di masa depan.
Imam al Ghazali mengibaratkan pendidikan itu sebagai kegiatan petani yang menginginkan hasil tanamnya itu sempurna, baik kuantitas maupun kualitasnya. Maka langkah-langkah yang harus ditempuh oleh petani tersebut adalah: mencari bibit yang unggul, memastikan terdapatnya unsur-unsur tanah yang baik untuk jenis tanaman yang diinginkan., menyirami, memupuk, dan menyingkirkan setiap tanaman liar dan pengganggu yang tumbuh disekitarnya, kemudian secara berkala dan teratur mengawasi dan mengontrol pertumbuhannya. Begitu pula kita dalam mendidik anak-anak kita, maka yang utama sekali haruslah menjadikan ayah-ibu sebagai uswah dan teladan, sebagai pembimbing dan guru yang bijak bagi mereka, dan menampilkan hubungan harmonis dalam keluarga dan membangun hubungan komunikasi yang seimbang, baik antara orang tua dan anak-anak maupun antara suami dan isteri.

Dan yang penting lagi adalah agar ayah benar-benar menunjukkan seorang pemimpin rumah tangga yang baik, benar dan bijak. Sementara ibu harus menunjukkan seorang pemimpin rumah tangga suami yang pandai menempatkan diri dalam mengurusi ruumah tangga, memenej uang belanja, dan memelihara serta mengasuh anak-anaknya. Kerjasama seimbang inilah yang akan mendorong tumbuhnya bibit-bibit generasi shalih yang tanggap akan tantangan dimasa depan. Diharapkan lembaga keluarga merupakan sebuah institusi tarbiyah (lembaga pendidikan) tingkat pertama, sebelum institusi kedua yaitu di sekolah.
Nabi SAW bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, seorang laki-laki (suami) pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, dan seorang isteri pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, dan pembantu itu pemimpin dalam harta tuannya dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Dan setiap kamu pemimpin dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya” (Muttafaq ‘alaih).

Dan Nabi SAW juga meletakkan sendi dasar, yang menunjukkan bahwa anak menyerupai pada kedua orang tuanya, seperti sabdanya: “Tidaklah seseorang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi yahudi atau nashrani atau majusi ...” (HR Bukhari dan Abu Hurairah RA) kemudian Abu Hurairah RA membacakan ayat 30 dari surat Ar Rum.

Perintah Allah Ta’ala secara tegas kepada kedua orang tua agar mendidik anaknya dengan penuh tanggung jawab, agar mereka terbebeas dari siksa api neraka, dan bukan sekedar memompa otak dengan memandulkan ruhani-hatinya, seperti yahudi, nashrani dan majusi.

“Hai orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ...” (QS At Tahrim: 6).
Maksud dari ayat ini adalah agar suami (ayah) mengajari dirinya dan keluarganya tentang kebajikan (perkataan Ali bin Abi Thalib RA, HR Alhakim di dalam al Mustadraknya, 4/ 494). Sementara Fakhrur Razi mengartikan ayat tersebut dengan maksud agar orang tua (suami khususnya) mencegah dari apa-apa yang dilarang oleh Allah. Dan Muqatil mengatakan, “Agar orang tua (ayah) mendidik dirinya dan keluarganya, sehingga memerintahkan mereka kepada kebajikan dan mencegah mereka dari kejahatan. Dan ia mengatakan jagalah dirimu (wahai suami mukmin) dengan meninggalkan kemaksiatan dan mengerjakan keta’atan-keta’atan” (Manhajut Tarbiyyah an Nabawiyyah Lith Thifl, Muhammad Nur Suwaid, hlm 26 – 27).

Ayah dan ibu tidak saja harus memilihkan sekolah mereka yang bermutu, yang juga harus didukung oleh pengelola dan guru-guru yang shalih, memahami prinsip-prinsip Islam, bagus fikrah dan wawasan keIslamannya serta terpuji akhlak perilakunya. Dalam hal ini keshalihan guru matematika tidak berbeda dengan guru agama, begitu pula guru fusikanya, guru bahasa, aqidah, IPS, IPA, dll. Megapa demikian? Sebab mereka berhimpun membangun sebuah lembaga pendidikan bukan sekedar ada atau hanya untuk mengejar target status disamakan dengan negeri. Sebuah sekolah dibawah naungan Islam hanya mengejar target status disamakan dengan negeri, sangatlah rugi. Sebab kurikulum kita merupakan integrasi dari kurikulum Dikbud dan keislaman (pesantren). Yang dimaksud dengan kurikulum integrasi bukan 100 % Dikbud ditambah 100 % atau X % kurikulum pesantran. Akan tetapi, bisa saja dengan memodifikasi disana sini dari Dikbud, yang dianggap kurang jam ditambah jam, yang dianggap terlalu banyak dikurangi, dan mengintegrasikan nilai-nilai Islam dan ruh Islam ke dalam masing-masing bidang studi, dari mulai matematika hingga biologi, dari IPS hingga kesenian.

Pokoknya dalam setiap bidang studi harus tersentuh nilai dan ruh keislaman. Dan ini hanya mungkin apabila seluruh instrumental inputnya, terutama pengelola dan pengajarnya berada dalam satu platform, berangkat dari visi dan misi yang sama, menuju satu tujuan yang jelas yaitu untuk kejayaan Islam melalui institusi pendidikan dengan menerapkan manhaj khas, dan wasail khas pula, sejalan dengan Manhaj Tarbiyyah Islamiyah.
------------------


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------