Seri Kado Pernikahan -1

Serial Kado Pernikahan
Menuju Keluarga Sakinah
Oleh : Abu Fahmi Ahmad

Bagian-1 : Pendahuluan
Umat manusia sebagai masyarakat besar merupakan himpunan dari dzurriyah (keturunan) dan hafadah (cucu-cucu), laki-laki dan perempuan berindukkan pada pasangan Adam dan Hawa.
Allah SWT berfirman:

 “Allah menjadikan dari kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapa mereka mengimani kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (QS 16: 72).


“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak …”  (QS 4: 1).
 “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa diantara kamu …”  (QS 49: 13).

Mereka kini tersebar diberbagai penjuru dunia dengan berlainan suku, bangsa, bahasa, dan adat istiadat serta keyakinan dalam agama. Mereka itu disebut sebagai keluarga besar karena tercipta dari pencipta yang Satu, yaitu Allah SWT dan berasal dari jiwa yang satu yaitu Adam ‘alaihissalam. Namun yang pasti dari aspek aqidah keyakinan mereka terhadap Allah SWT cukup digolongkan menjadi dua kelompok besar, yang masing-masing kelompok terdapat puluhan tingkatannya. Kedua kelompok tersebut adalah mukmin dan kafir, sebagaimana Allah SWT berfirman:
Dialah yang menciptakan kamu diantara kamu ada yang kafir dan ada yang mukmin. Dan Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan” (QS 64: 2).

Kemungkinan diantara mereka suatu saat akan dipertemukan Allah melalui ikatan perkawinan. Oleh karenanya perbedaan-perbedaan suku dan bangsa diatas diciptakan bukan untuk saling menumpahkan darah, akan tetapi agar diantara mereka itu saling kenal mengenal; adat istiadat, budaya lokal, dan juga keyakinan masing-masing.
Sebab kelak Allah Ta’ala akan menurunkan seperangkat aturan mengenai bagaimana mereka harus mengikatkan satu sama lainnya dalam ikatan perkawinan dan bagaimana mereka harus membangun sebuah lembaga keluarga yang memungkinkan mereka dapat hidup tenang dan bahagia secara hakiki. Dari sanalah kemudian diturunkan aturan – perintah dan larangan – seperti perempuan mana yang halal dinikahi dan mana yang haram dinikahi, larangan muslimah menikah dengan laki-laki kafir, dan kedudukan ahli kitab dalam hukum perkawinan dengan kaum muslimin, dst.

Satu bukti adanya perencanaan Allah yang matang dan terstruktur, antara lain tampak pada kandungan ayat-ayat yang terhimpun dalam surat An Nisa’. Disana kita dapat mengetahui betapa ketika ayat-ayat itu turun memang benar tengah terjadi satu tatanan masyarakat yang tidak mengenal tauhid uluhiyah dan tidak pula mengenal suluk dan akhlak yang terstandar oleh suluk Rabbani. Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mungkin membiarkan suatu masyarakat tumbuh secara tidak sehat, yang kuat menindas yang lemah, pelanggaran besar-besaran terhadap HAM, khususnya hak-hak kaum lemah dari kaum wanita. Itulah masyarakat jahiliayah, dimana mereka jahil bukan karena kebodohannya dalam ilmu-ilmu keduniaan ini, bukan pula karena rendah peradabannya. Ada satu bukti nyata sebagaimana tersebut dalam Surat Quraisy, dimana mereka sebagai pedagang-pedagang yang ahli dalam memanfaatkan peluang musim panas dan dingin untuk melanglang ke negeri-negeri tetangga. Hal ini tak mungkin terjadi tanpa adanya wawasan dan penguasaan komunikasi yang baik untuk ukuran masa itu. Dan begitu pula dalam hal assimilasi budaya, memungkinkan mereka dapat maju dalam dunia perniagaan.

Jahil disana tidak lain lebih berkaitan dengan jahil terhadap hakikat uluhiyah dan jahil terhadap suluk Rabbani. Lebih cepat apabila kejahiliyahan mereka berkaitan kelalaiannya terhadap urusan-urusan akhirat, sekalipun mereka maju dalam ilmu dan peradaban. Hal ini setidaknya ditegaskan sendiri oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikut:

 “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” (QS 30: 7).

 “Dan apakah kamu tidak mengadakan perjalanan dimuka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelah mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiria) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka Rasul-Rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zhalim kepada mereka, akan tetapi mereka lah yang berlaku zhalim kepada diri sendiri” (QS 30: 9).

Perhatikan pula QS 40: 82 – 83; QS Fushshilat: 15

Secara global bahwa mereka tergolong jahiliyah oleh sebab:
1.    Syirik dalam ibadah
2.    Syirik dalam Ittiba’ (mengikuti apa-apa yang Allah turunkan melalui Jibril Alaihissalam kepada Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wassalam)

Dengan demikian, Al Qur’an ketika menggunakan istilah jahiliyah itu tidak memasukkan unsur utamanya karena kebodohan tentang ilmu-ilmu zhahir kehidupan dunia ini, akan tetapi lebih terkait dengan kedua faktor diatas tadi. Dari sinilah maka jahiliyah lama maupun jahiliyah modern pada hakikatnya adalah sama, mereka itu syirik dalam ibadah dan syirik dalam mengikuti apa-apa yang Allah turunkan.

DR Muhammad Quthb mengatakan “dari penjelasan ayat diatas, jelaslah bagi kita bahwa memang didalam masyarakat jahiliyah terdapat pribadi-pribadi yang baik yang melakukan aktifitas bermanfaat bagi kemanusiaan, akan tetapi semuanya itu musnah dan sirna tak berarti dikarenakan kejelekan-kejelekan mereka jauh mengungguli kebaikan-kebaikan yang mereka perbuat, yaitu dalam hal syirik ibadah dan syirik Ittiba’ (mengikuti apa-apa yang Allah turunkan pada manusia, berupa kalam-kalam-Nya).”

Bersabda Rasulullah SAW, “Keunggulan kamu pada masa jahiliyah, keunggulan kamu pula pada masa Islam apabila kalian tafaqquh (memahami agama secara baik)” (HR Muslim). (Ru’yah Islamiyah li Ahwalil ‘Alamil Mu’ashir,  hlm 19 – 20).

Jahiliyah, Pelanggar HAM Terberat Dari Masa ke Masa

Telah menjadi taqdir Allah Subhanahu Wa Ta’ala bahwa pada masyarakat manusia terdapat yang lemah dan yang kuat, yang kaya dan yang miskin.
Yang termasuk kaum lemah adalah; anak-anak yatim, kaum wanita pada umumnya, dan kaum wanita secara khusus seperti janda-janda, baik karena cerai maupun karena kematian suaminya, juga kalangan manula (laki-laki dan perempuan) dan umumnya anak-anak. Mereka itulah yang mendapat sorotan tajam dalam Surat  An Nisa’.
Jahiliyah menzhalimi hak-hak anak yatim, mereka diperlakukan secara diskriminatif oleh tuannya, antara yang memiliki harta dan berwajah cantik diperlakukan tidak sama  dengan yang tidak bernasib baik seperti teman-teman yang lainnya. Tuan (sebagai pelindung) dengan nafsunya bisa mengawini anak-anak yatim yang diasuhnya dengan sekehendaknya tanpa membayar mahar pada mereka, dan itu pun hanya bagi yang memiliki uang dan berwajah cantik. Sementara bagi mereka yang miskin dan tak berwajah cantik, lebih buruk lagi nasib mereka.

Mereka (kaum jahiliyah) merasa malu dan aib besar, ditampakkan merah padamnya wajah mereka ketika melahirkan anak perempuan. Untuk membuang malu dan aibnya tersebut, maka ada dua cara untuk menghabisi nyawa anak-anak perempuan mereka itu. Yang pertama, adalah dengan membiarkan anak yang mungil dan cantik yang lahir ditengah-tengah keluarga mereka itu dipelihara dengan baik dan dibiarkan bertahan hidup menghirup udara kehidupan  lebih kurang 6 tahun. Dalam sosoknya yang mungil, lucu dan ceria itu, dibawanya ke liang lahat yang telah dipersiapkan, lalu disana ia dimasukkan ke lubang pembantaian hidup-hidup disertai dengan ritual-ritual tertentu. Cara kedua, adalah dimana mereka membawa isterinya yang sedang hamil tua mendekati saat-saat melahirkan anaknya itu ia dibawa ke sebuah lubang kematian dengan sedikit upacara ritual jahili yang dihadiri oleh keluarga dekatnya. Dan apabila ternyata yang lahir itu bocah mungil wanita, maka langsung saja dimasukkan ke lubang tersebut dan dikubur hidup-hidup.

Perlakuan mereka yang sangat zhalim tersebut diabadikan dalam salah satu ayat-Nya yang berbunyi:
وإذا الموءودة سئلت ، بأي ذنب قتلت
 “Apabila bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh ...”  (QS 81: 8 – 9).

Kezhaliman jahiliyah lainnya adalah kaum wanita tidak berhak mendapatkan warisan. Mereka tidak mengenal istilah Dzawil furudl, Dzawil arham, ataupun ‘Ashobah dalam soal waris mewaris. Allah turunkan ayat khusus untuk memastikan adanya hak waris untuk wanita dalam QS 4: 7 – 12.
Kezhaliman lainnya adalah, apabila seorang isteri ditinggal mati oleh suaminya, maka ia menjadi barang warisan, dan biasanya setiap laki-laki memperoleh kesempatan yang sama untuk memperebutkan janda tersebut, yaitu dengan melemparkan selembar kain kepadanya, bak menjaring ikan. Dan jika tertangkap maka orang tersebut berhak memilikinya. Atau apabila keluarganya termasuk orang kuat, maka anggota keluarganya yang lebih dahulu melemparkan kain tersebut agar si janda tetap berada dilingkungan keluarganya. Perhatikan QS 4: 19 – 20.

Dari sanalah kemudian Islam melalui wahyu yang diturunkan pada Surat  An Nisa’, berkepentingan untuk melindungi kaum yang lemah tersebut, wanita dan anak-anak yatim. Dan didalamnya mengandung berbagai ketentuan hukum dalam rangka melindungi hak-hak kaum lemah dalam segala aspeknya, terutama dalam upaya pembangunan lembaga keluarga yang suci, bersih, dan mampu tumbuh dengan baik di bawah manhaj Rabbani.

Islam Datang untuk Memerangi Jahiliyah

Dalam Surat An Nisa’, dapat kita jumpai keharusan membayar mahar (mas kawin) kepada setiap isteri yang akan dinikahi oleh seorang laki-laki. Disana pula setiap wali harus melindungi anak-anaknya, laki-laki dan wanita sama saja dalam hal memperoleh pahala dan siksa, memiliki kewajiban dalam keluarganya. Disana pula, Allah melarang masing-masing kita untuk saling iri terhadap kelebihan karunia yang Allah berikan kepada yang lain, baik dalam hal harta, kedudukan, kecantikan, dan status lainnya. Allah juga menegaskan dalam surat An Nisa’, bahwa laki-laki itu pemimpin bagi wanita (isterinya).

Pada masyarakat jahiliyah ketika itu, terdapat empat pola perkawinan atau cara laki-laki menyunting seorangg wanita:

1.    Cara yang mirip dengan perkawinan sekarang, dimana laki-laki datang ke wali wanita meminta (meminang) lalu mengawininya.

2.    Suami-isteri yang menghendaki anak dengan tipe khusus, apakah ingin pintar, ingin kedudukan, dan memperoleh status sosial yang baik, maka sang suami mengizinkan/ memerintahkan isterinya untuk berhubungan sebadan dengan laki-laki lain yang dikehendaki suaminya, yaitu setelah isterinya habis suci dari haidl dan belum ia gauli. Kemudian apabila telah pasti dari hubungan isteri dengan laki-laki lain itu telah membuahkan janin, maka sang suami kembali menggauli isterinya sebagaimana biasanya suami isteri.

3.    Seorang wanita digauli oleh sejumlah laki-laki. Apabila wanita itu hamil dan melahirkan bayinya, maka dikumpulkanlah semua laki-laki yang ikut andil menggaulinya. Kemudian disana si wanita itu menentukan satu pilihan diantara laki-laki tersebut untuk menjadi bapaknya yang sah (formal).

4.    Seorang wanita digauli oleh sejumlah laki-laki. Namun ketika bayi yang dikandungnya lahir, maka dikumpulkan semuanya, lalu si wanita itu mencocokkan kemiripan anaknya dengan salah seorang laki-laki hidung belang tersebut. Yang bernasib mirip wajahnya, maka ia harus mau menjadi bapak si jabang bayi tersebut (HR Bukhari dari Aisyah RA).
Setelah Islam datang, Islam menentukan satu bentuk perkawinan saja yang dibenarkan secara syara’, yaitu seperti cara pertama diatas, tentu saja setelah disempurnakan menjadi lazimnya pernikahan dalam Islam hingga sekarang ini.

Islamlah yang membebaskan wanita dalam pasungan kaum laki-laki jahiliyah, dan tindak tiran lagi melampaui batas dan arogansi. Islam mengingatkan bahwa laki-laki sebagai pemimpin lembaga keluarga bukanlah sebagai penguasa, namun ia adalah pemimpin mereka, pelindung mereka, pelinndung isteri dan anak-anak, meluruskan isteri manakala bengkok dan menyimpang, namun tetap bijak dan penuh kasih sayang. Begitu pula isteri di lembaga keluarga merupakan pemimpin yang memenej dan mengurusi rumah tangga suaminya, terutama dalam mengatur urusan rumah dan pemeliharaan terhadap anak-anaknya teristimewa lagi ketika mereka pada awal-awal tahun kelahiran, masa menyusui hingga balita akhir. Ibu adalah sipemilik rahim, dialah pelindung umat manusia dari keterpuutusan hubungan sesamanya dan dari kepunahan, dia pula sebagai dambaan kasih sayang bagi anak-anaknya.
Sementara ayah sumber dambaan anak-anak dan isterinya dalam setiap ancaman dan mara bahaya yang mengancam tegaknya lembaga keluarga. Mereka diposisikan Allah dalam sebuah lembaga kelurga dengan membawa bakat bawaan dan potensi masing-masing untuk saling memberi dan menguatkan, dan bukan untuk berkompetisi satu dengan yang lainnya. Sebab kompetisi artinya merebutkan suatu posisi tertentu dalam lembaga keluarga dan tentu sosial, ataupun lainnya antara isteri dan suami, mungkin juga antar anak-anaknya, sama sekali bukan untuk berkompetisi yang menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Allah dengan tegas mengingatkan “Dan hendaklah kalian jangan iri terhadap kelebihan karunia yang Allah berikan pada sebagaian yang lain” (QS An Nisa’).


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------