Gadai dalam Fikih Islam
(Bagian Pertama dari 3 Seri Tulisan)
Islam adalah agama yang lengkap dan
telah meletakkan kaidah-kaidah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia,
secara sempurna. Setiap orang mesti memerlukan interaksi dengan orang lain
untuk saling menutupi kebutuhan dan tolong-menolong di antara mereka.
Karena itulah, sangat perlu sekali
bagi kita untuk mengetahui aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita
sehari-hari, di antaranya adalah dalam interaksi sosial dengan sesama manusia,
khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ke tangan yang
lain.
Suburnya usaha pegadaian
Utang-piutang, terkadang, tidak
dapat dihindari. Padahal, banyak fenomena ketidakpercayaan yang bermunculan di
tengah manusia, khususnya di zaman ini. Akhirnya, orang terdesak untuk meminta
jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.
Realita yang ada tidak dapat
dipungkiri; suburnya usaha-usaha pegadaian, baik yang dikelola oleh pemerintah
atau yang dikelola oleh pihak swasta, menjadi bukti terjadinya kegiatan
gadai-menggadai ini. Ironisnya, banyak orang muslim yang belum mengenal aturan
indah dan keadilan Islam mengenai hal ini. Padahal, perkara ini bukanlah
perkara baru dalam kehidupan mereka. Sudah sejak lama mereka mengenal jenis
transaksi seperti ini. Sebagai akibatnya, terjadilah kezaliman dan sikap saling
memakan harta saudaranya dengan jalan yang batil.
Kali ini, kita angkat permasalahan
gadai (rahn) dalam tinjauan syariat, yang meliputi beberapa sub-bab yang
akan diuraikan dalam tiga seri tulisan. Selamat membaca!
Definisi ar-rahn
Kata "rahn", dalam
bahasa Arab, memiliki pengertian 'tetap dan kontinyu'.[1] Dikatakan "المَاءُ الرَّاهِنُ",
apabila 'tidak mengalir' dan kata "نِعْمَةٌ
رَاهِنَةٌ" bermakna
'nikmat yang tidak putus'. Ada yang menyatakan bahwa kata "rahn"
bermakna 'tertahan', dengan dasar firman Allah,
كُلُّ
نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
"Tiap-tiap diri bertanggung
jawab (tertahan) atas apa yang telah diperbuatnya." (Q.S.
Al-Muddatstsir:38)
Kata "rahinah"
bermakna 'tertahan'. Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama
karena yang tertahan itu tetap ditempatnya. [2]
Ibnu Faris menyatakan, "Huruf ra',
ha', dan nun adalah asal kata yang menunjukkan tetapnya sesuatu
yang diambil dengan hak atau tidak. Dari kata ini, terbentuklah kata 'ar-rahn'
yaitu 'sesuatu yang digadaikan'." [3]
Adapun definisi "rahn",
dalam istilah syariat, dijelaskan oleh para ulama dengan ungkapan, "Menjadikan
harta benda sebagai jaminan utang, sehingga utang dilunasi dengan menggunakan
jaminan tersebut, ketika orang yang berutang tidak mampu melunasi
utangnya." [4]
Terdapat juga definisi lain,
"Harta benda yang dijadikan jaminan utang agar (utang tersebut) dilunasi
dengan nilai barang jaminan apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi
utangnya." [5]
Ada definisi lain pula,
"Memberikan harta sebagai jaminan utang agar harta atau nilai harta itu
digunakan sebagai pelunasan utang bila pihak yang berutang tidak mampu melunasi
utangnya." [6]
Adapun Syekh Al-Basaam
mendefinisikan "ar-rahn" sebagai 'jaminan utang dengan barang,
yang memungkinkan pelunasan utang dengan barang tersebut atau dari nilai barang
tersebut, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasinya'. [7]
Hukum ar-rahn
Sistem utang-piutang dengan gadai
ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar Alquran, Sunnah, dan ijma’
(kesepakatan) kaum muslimin.
Dalil dari Alquran adalah firman
Allah,
وَإِن
كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ
أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ
اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُواْ الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ
قَلْبُهُ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
"Jika kamu berada dalam
perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh orang yang memberi piutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah pihak yang dipercayai itu menunaikan
amanahnya (utangnya), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Rabb-nya. Dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan siapa saja yang
menyembunyikannya maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan
Allah Maha Mengetahui segala perbuatan yang kamu kerjakan." (Q.S.
Al-Baqarah:283)
Ayat ini--walaupun ada pernyataan
"dalam perjalanan"--namun tetap menunjukkan keumumannya, baik dalam
perjalanan atau dalam keadaan mukim, karena kata "dalam perjalanan"
pada ayat ini hanya menunjukkan keadaan yang biasa memerlukan sistem ini. Hal
ini pun dipertegas dengan amalan Rasulullah yang melakukan pegadaian,
sebagaimana dikisahkan Ummul Mukminin, Aisyah, dalam pernyataan beliau,
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ
إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
"Sesungguhnya, Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang Yahudi dengan cara
berutang, dan beliau menggadaikan baju besi beliau." (H.R. Al-Bukhari, no.
2513; Muslim, no. 1603)
Demikian juga, para ulama bersepakat
menyatakan pensyariatan ar-rahn ini dalam keadaan safar (perjalanan),
namun mereka masih berselisih pendapat tentang kebolehannya dalam keadaan tidak
safar. Imam Al-Qurthubi menyatakan, "Tidak ada seorang pun yang melarang ar-rahn
pada keadaan tidak safar, kecuali Mujahid, Adh-Dhahak, dan Daud
(Azh-Zhahiri)." [8] Demikian juga Ibnu Hazm.
Ibnu Qudamah menyatakan,
"Diperbolehkan untuk melakukan ar-rahn dalam keadaan tidak safar
(menetap), sebagaimana diperbolehkannya ar-rahn dalam keadaan safar
(bepergian). Ibnul Mundzir menyatakan, 'Kami tidak mengetahui seorang pun yang
menyelisihi hal ini kecuali Mujahid; ia menyatakan, 'Ar-rahn tidak berlaku,
kecuali dalam keadaan safar, karena Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
وَإِن
كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
'Jika kamu berada dalam
perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh orang yang memberikan piutang).''
Akan tetapi, yang benar dalam hal
ini adalah pendapat mayoritas ulama, dengan adanya perbuatan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam di atas, dan sabda beliau,
الرَّهْنُ
يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ
بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ
النَّفَقَةُ
'Ar-rahn (barang gadai) itu
ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila dia digadaikan; susu hewan yang
menyusui itu diminum dengan sebab nafkah, apabila hewan tersebut digadaikan.
Nafkah itu wajib diberikan oleh orang yang menunggangi hewan tersebut dan oleh
orang yang meminum susunya.' (H.R. Al-Bukhari, no. 2512). Wallahu a'lam."
[9]
Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu
Qudamah, Al-Hafizh Ibnu Hajar, [10] dan Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi. [11]
Apakah ar-rahn wajib ada
dalam keadaan safar maupun mukim?
Setelah dijelaskan bahwa
pensyariatan ar-rahn berlaku dalam keadaan safar (perjalanan), maka
tersisa pertanyaan: Apakah ar-rahn itu wajib ada pada muamalah dalam keadaan
safar dan mukim, tidak wajib pada seluruhan keadaan tersebut, atau wajib dalam
keadaan safar saja?
Para ulama berselisih dalam dua
pendapat mengenai hal ini:
1. Ar-rahn tidak wajib ada, baik
pada muamalah dalam keadaan safar atau pun dalam keadaan mukim. Inilah pendapat
mazhab empat imam (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanbaliyah).
Ibnu Qudamah berkata, "Ar-rahn
itu tidak wajib ada. Kami tidak mengetahui orang yang menyelisihinya. Ia adalah
jaminan atas utang, sehingga ia tidak wajib ada, sebagaimana tidak wajibnya dhiman
(jaminan pertanggung-jawaban). [12]
Dalil pendapat ini adalah
dalil-dalil yang menunjukkan pensyariatan ar-rahn dalam keadaan mukim di
atas, yang tidak menunjukkan adanya perintah, sehingga menunjukkan bahwa ar-rahn
ini tidak wajib ada.
Demikian juga, karena ar-rahn
adalah jaminan utang, sehingga ia tidak wajib, sebagaimana tidak wajibnya adh-dhiman
(jaminan pertanggung-jawaban) dan al-kitabah (penulisan perjanjian
utang). Selain itu, juga karena ar-rahn ini ada ketika pihak yang
bermuamalah mengalami kesulitan untuk melakukan penulisan perjanjian utang.
Bila al-kitabah tidak wajib dilakukan maka demikian juga penggantinya.
2. Ar-rahn wajib ada pada
muamalah yang dilakukan dalam keadaan safar. Inilah pendapat Ibnu Hazm dan yang
menyepakatinya.
Pendapat ini berdalil dengan firman
Allah,
وَإِن
كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
"Jika kamu berada dalam
perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh orang yang memberikan piutang)."
Mereka menyatakan bahawa kalimat
"maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang memberikan
piutang)" adalah berita yang bermakna perintah.
Mereka juga berdalil dengan sabda
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
كُلُّ
شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
"Semua syarat yang tidak ada
di Kitabullah maka ia batil, walaupun sebanyak seratus syarat." (H.R.
Al-Bukhari).
Mereka menyatakan, "Pensyaratan
ar-rahn dalam keadaan safar ada dalam Alquran, dan itu diperintahkan,
sehingga kita wajib mengamalkannya, dan dia tidak disyaratkan ada (pada
muamalah yang berlangsung) dalam keadaan mukim sehingga ia tertolak (tidak
diamalkan pada keadaan mukim, ed.).
Pendapat ini dapat dibantah dengan
argumentasi:
bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud memberikan bimbingan, bukan
kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah setelahnya,
فَإِنْ
أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
"Akan tetapi, jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain maka hendaklah pihak yang dipercayai itu
menunaikan amanahnya (utangnya)." (Q.S. Al-Baqarah:283)
Demikian juga, hukum asal dalam
transaksi muamalah adalah kebolehan (mubah) yang tetap berlaku, hingga ada
larangannya; dan di sini tidak ada larangan yang berlaku. [13]
Yang rajih adalah pendapat pertama. Wallahu a'lam.
Bersambung, insya Allah ....
Catatan
kaki:
[1] Lihat Taudhih Al-Ahkam min Bulugh Al-Maram, 4:460.
[2] Lisan Al-Arab, kata: rahana; dinukil dari Al-Fiqh Al-Muyassarah,
Qismul Mu'amalah, hlm. 115.
[3] Mu'jam Maqayis Al-Lughah, 2:452; dinukil dari Abhats Hai'at Kibar
Al-Ulama bil Mamlakah Al-Arabiyah As-Su'udiyah, 6:102.
[4] Lihat Al-Majmu' Syarhul Muhadzab, 12:299--300.
[5] Lihat Al-Mughni, 6:443.
[6] Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitab Al-Aziz.
[7] Taudhih Al-Ahkam Syarah Bulugh Al-Maram, 4:460.
[8] Abhats Hai'at Kibar Ulama, 6:107.
[9] Lihat Al-Mughni, 6:444 dan Taudhih Al-Ahkam, 4:460.
[10] Fathul Bari, 5:140.
[11] Adhwa' Al-Bayan, 1:228.
[12] Al-Mughni, 6:444.
[13] Abhats Hai'at Kibar Ulama, 6:112--112.
Artikel
www.PengusahaMuslim.com
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------