Akad Shighot
dan Saling Ridlo Dalam Jual Beli
Akad Dinilai
Sah dengan Cara Apapun yang Menunjukkan Keridhaan
Kaidah
menyatakan,
تنعقد المعاملة بما يدل
عليها من قولٍ أو فعلٍ
“Muamalah
dinilai sah, dengan ucapan maupun perbuatan apapun yang menunjukkan adanya
transaksi”
Ungkapan
lain untuk kaidah masalah akad,
العبرة في العقود
بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني
“Inti akad
berdasarkan maksud dan makna akad, bukan berdasarkan lafadz dan kalimat”
(al-Wajib fi Idhah al-Qawaid al-Kulliyah, hlm. 147).
Penjelasan:
Salah satu
diantara rukun jual beli adalah adanya shighat akad, yaitu ucapan
atau tindakan atau isyarat dari penjual dan pembeli yang menunjukkan keinginan
mereka untuk melakukan transaksi tanpa paksaan.
Jika Shighat
ini disampaikan secara lisan, para ulama menyebutnya dengan istilah: ijab
qabul. Sementara shighat dalam jual beli disampaikan dalam bentuk
perbuatan atau isyarat, disebut Bai’ Mu’athah.
Shighat
(bentuk) Pernyataan Saling Ridha
Saling ridha
antara penjual dan pembeli menjadi syarat penting dalam transaksi jual beli.
Karena ini yang memastikan bahwa dalam akad tersebut tidak ada unsur
kedzaliman.
Allah
berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ
تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. (an-Nisa: 29)
Dari Abu
Said al-Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ
تَرَاضٍ
Jual beli
harus dilakukan saling ridha. (HR. Ibn Majah 2269, Ibn Hibban 4967 dan dishahihkan
Syuaib al-Arnauth).
Haruskah
Diucapkan?
Ulama
berbeda pendapat dalam masalah shighat dalam jual beli,
Pertama, dalam madzhab syafiiyah harus
dinyatakan secara lisan, artinya harus ada ijab qabul.
Mereka
beralasan, bahwa saling ridha merupakan syarat mutlak dalam jual beli.
Sementara keridhaan termasuk amal hati. Tidak ada yang tahu kecuali Allah dan
si pemilik hati. Orang lain baru tahu, jika dia mengungkapkanya. Karena itulah,
harus diucapkan secara lisan. Harus ada ijab qabul. Tanpa ucapan lisan, berarti
meraba isi hati orang lain. Dan itu tidak bisa diterima.
Kedua, madzhab mayoritas ulama, di
kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Hambali da sebagian ulama Syafiiyah menyatakan
bahwa dalam transaksi jual beli tidak harus diucapkan. Artinya akad sah
dilakukan dengan cara apapun, yang penting masing-masing saling paham yang
menunjukkan keridhaan.
Ibnu Qudamah
mengatakan,
مذهب الشافعي رحمه الله
أن البيع لا يصح إلا بالإيجاب والقبول وذهب بعض أصحابه إلى مثل قولنا
Pendapat
Imam Syafi’I – rahimahullah – bahwa jual beli tidak sah kecuali jika
masing-masing mengucapkan ijab qabul. Sementara sebagian syafiiyah mengikuti
pendapat kami.
Kemudian
beliau melanjutkan,
ولنا أن الله أحل البيع
ولم يبين كيفيته فوجب الرجوع فيه إلى العرف…. ولم ينقل عن النبي صلى الله عليه و
سلم ولا عن أصحابه مع كثرة وقوع البيع بينهم استعمال الإيجاب والقبول ولو استعملوا
ذلك في بياعاتهم لنقل نقلا شائعا ولو كان ذلك شرطا لوجب نقله
Kami
berpendapat bahwa Allah menghalalkan jual beli, dan Dia tidak menjelaskan tata
caranya. Sehingga mengenai tata caranya wajib kita kembalikan kepada standar
masyarakat….. dan tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tidak pula dari para sahabat tentang penggunaan ijab qabul, padahal jual beli
sangat sering terjadi di antara mereka. Andai mereka selalu menggunakan ijab
dan qabul tertentu dalam jual beli, tentu akan banyak dinukil sampai kita. Dan
itu jika itu syarat jual beli, seharusnya dinukil ke kita. (al-Mughni, 4/4)
Ad-Dasuqi –
ulama Malikiyah – mengatakan,
ينعقد البيع بما يدل على
الرضا عرفا ، سواء دل لغة أو لا ، من قول أو كتابة أو إشارة منهما أو من أحدهما
Transaksi
jual beli terhitung sah dengan pernyataan akad apapun yang menunjukkan saling
ridha secara urf. Baik sesuai makna bahasa ataupun tidak. Baik berupa ucapan,
tulisan, isyarat ucapan atau tulisan atau salah satunya. (al-Mausu’ah
al-Fiqhiyah, 9/12)
Rukun ridha
Kapan
seseorang disebut telah ridha? Sebagai acuan untuk mengetahui batasan
ridha.
Para ulama
menyebutkan, rukun saling ridha ada 2:
[1] Ilmu
(mengetahui dan menyadari) dan
[2]
al-ikhtiyar (tidak ada paksaan).
Sebagaimana
dinyatakan dalam kaidah,
الإكراه يسقط الرضا
Unsur
paksaan, menggugurkan ridha. (Mudzakarah Qawaid fi al-Buyu’, Dr. Sulaiman
ar-Ruhaili, hlm 117).
Contoh
penerapan kaidah,
Seseorang
membeli makanan, dia mengatakan kepada penjual: ’Pak, saya minta dibungkus
dua..’ statusnya beli, sekalipun kalimatnya minta.
Kantin
kejujuran. Sekalipun tidak ada ucapan akad apapun, tetap sah sebagai jual beli.
Termasuk
jual beli mu’athah.
Pembeli
mengatakan ke penjual: Tolong bawa dulu hp saya, ini amanah. Tunggu sampai saya
ambil uangnya. Status barang ini adl rahn, meskipun dia bilangnya amanah.
Karena amanah bisa diambil pemiliknya kapanpun. Sementara hp ini tidak.
Allahu a’lam
Ditulis oleh
Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------