AL `AMAL YATA`ALLAQU BIL-ISTITHA`AH
WAL JAZA’ MIN JINSIL `AMAL
العمل يتعلق بالاستطاعة ، والجزاء من جنس العمل
(Amal itu tergantung dengan kemampuan,
dan balasan itu  sesuai dengan jenis amalnya).
Kajian malam Jum`at, oleh Abu Fahmi, di Jatinangor.


ٍSalah satu ushul (prinsip) Manhaj Salaf adalah “Berpegang teguh dengan Islam secara Kaffah”, sebagaimana diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta`ala dalam surat al Baqarah: 208
ياأيهاالذين آمنوا ادخلوا في السلم كافة ولا تتبعوا خطوات الشيطان....
Wahai orang-orang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah (totalitas), dan jangan kalian mengikuti jejak-jejak langkah syaithan….”. 

Prinsip keduanya adalah “Ad Da`wah ilat tauhid awwalan wal `amal bil `ibadaat tsaniyan ma`at tamassuk bil akhlaqi da’iman” (memulai dakwah kepada tauhid, berlanjut pada amal-amal ibadah yang disertai dengan akhlak mulia terus menerus). (at Tiihu wal Makhraj, as sabil ila manhaj ath thaifah al manshurah, seri 2, Adnan bin Muhammad al  `ur`ur).
Dan prinsip manhaj ketiganya adalah “Din Islam kita ini adalah agama ittiba’, dan bukan agama pemikiran”. (La dien illa bil ittiba’, tidak ada agama kecuali dengan ittiba’ kepada rasulullah shallallahu `alaihiwasallam).

Yang seharusnya dipahami oleh setiap da’i as sunnah adalah bahwa “al manhaj atau al minhaj” itu merupakan sesuatu yang “tauqifi” (ikuti apa adanya sebagaimana Rasulullah menjalaninya, juga para shahabatnya, baik dalam hal penanaman aqidah dalam hati maupun dalam hal menegakkan syari`at Allah di muka bumi. Dalilnya jelas yang menunjukkan bahwa “manhaj” itu merupakan bagian dari agama, maka siapa yang menyelisihinya sama dengan menyelisihi agamanya.
Dalil nashnya adalah QS al Maidah: 48 ; dan dadlil as sunnah dalam hadits Hudzaifah tentang “khilafah `ala manhajin nubuwwah”. HR Ahmad 4/273, dan dishahihkan oleh syaikh al albani (5).
Manhaj adalah “jalan atau meotda atau cara yang ditempuh oleh jama`ah almuslimah dalam mewujudkan aqidah di dalam hati dan dalam mnenegakkan syariat Allah di muka bumi
المنهاج هو: الطريق والسبيل الذي تسير عليه الجماعة المسلمة لتحقيق أمر العقيدة في القلب، وإقامة الشرع الله في الأرض (ص.21)
Amalan hamba itu ada dua, yaitu : amalan hati dan amalan anggota badan. Sedangkan amalan anggota badan itu terlaksana karena adanya dorongan amalan hatinya, dan tidak boleh tidak.
Oleh karenanya, amalan anggota badan yang tidak bangkit dari amalan hati (seperti mahabbah, raja’ dan khauf), maka amalan hamba itu wujud karena nafsu, syahwat dan syubuhat, serta tidak didukung oleh tuntunan. Hal ini jika terjadi, maka hamba sedang “memanjakan hawa nafsunya”. Namun jika amalan anggota badan hamba itu digerakkan oleh amalan hati dan adanya tuntunan, maka ia sedang dalam keadaan “memenjarakan hawa nafsunya”,
Jadi manhaj itu bukan sebuah sikap kondisional waqi`iyyah semata, akan tetapi sikap tauqifi (ikuti saja) sebagaimana Rasulullah bersama shahabatnya menjalaninya.
Allah berfirman dalam QS Yusuf: 108. Juga simak kembali QS at Taubah: 100, an Nisa’: 115.
Berdasarkan ayat 115 surat an Nisa’, jelaslah bahwa “manhaj” atau “sabiil” adalah tauqify sebagaimana halnya aqidah, walau sebagian besar penabdi manhaj-manhaj lain menyebutnya “bukan tauqify”, sehingga mereka menjadi rancu dalam memaknai antara manhaj ini dengan hal-hal baru yang berkaitan dengan dunia seperti : mobil, pesawat, pengeras suara, dan sejenisnya. Lalu mereka anggap dalam dakwah pun boleh seperti hal-hal baru dalam soal dunia tadi, boleh mencapai tujuan dakwah dengan segala cara, juga dalam mencapai kekuasaan, membolehkan menabrak yang dilarang oleh syariat karena alasan adanya maslahat umum ataupun khusus. Karena klaim dakwah maka dapat menggunakan cara apa saja, seperti menyatukan antara Nada (lagu dan music) dan Dakwah, mendahulukan dakwah politik daripada tauhid atau pelurusan ibadah.
Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam “menahan tangan” dari kezhaliman musuh-musuh Islam pada fase Makkah, itu bukan sebagai sikap kondisional waqi’iyyah, akan tetapi inilah Manhaj. Dimana setiap keadaan kaum muslimin lemah (seperti pada fae Makkah awal), maka menahan diri tidak meladeni kekejaman musuh-musuh, adalah sebagai Manhaj. Tidak perlu mengambil jalan “kolaborasi” dengan system yang ada, seperti sekarang “demokrasi” untuk mencapai kekuasaan. Atau jalan “taqiyyah” seperti yang ditempuh syi`ah.  Manhaj salaf dan para `ulamanya tidak mengenal manhaj “Baina-Baina” (campur aduk), seperti ketika shalat mengambil manhaj sunnah, namun  ketika berpolitik atau berekonomi mengambil manhaj sosialis, kapitalis, demokrasi, dsj, …………. Mencampur adukkan antara “sabilillah dan khuthwah syaithan”.
Dakwah memiliki sabiil atau manhaj yang khas dan tauqify sifatnya. Pada saat kaum muslimin kuat, memiliki pendukung yang memadahi, plus adanya perintah syari`at dan timingnya tepat, seperti ketika di Madinah, maka melawan dan meladeni masuh-musuh itu menjadi sikap tauqify, bukan semata waqi`iyyah. Untuk lebih jelasnya dalam memahami manhaj, dipersilahkan   
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan tentang QS 9: 100 dan 4: 115, sebagai berikut: “ayat tersebut jelas menunjukkan wajibnya mengikuti jalan (manhaj) orang-orang mukmin dan mengharamkan mengikuti jalan selain mereka. Dan siapa yang “menyempalnya” atau menyelisihi rasul-Nya dan orang-orang mukmin (ketika ayat turun yang dimaksud orang mukmin disitu adalah para shahabat Muhajirin dan Anshar, QS 9: 100, maka dia telah mengikuti jalan selain mereka. Maka siapa yang mengikuti jalan selain jalan mereka (para shahabat) artinya telah menyempal pula dari jalan Rasulullah Saw, …. Sebab jalan yang para shahabat tempuh adalah jalan yang ditempuh Rasul-Nya, sehingga menyempal dari jalan shahabat artinya menyempal pula dari jalan rasul-Nya. (Majmu` Fatawa, 19: 193).
Termasuk dakwah yang menyimpang adalah “terus merekrut diantara kaum muslimin untuk masuk dan bergabung pada jama`ahnya, walau tanpa ilmu dna tarbiyah yang memadahi, bahkan mendahulukan urusan politik ketimbang tauhid dan ibadah,…… 

MAKNA TAMASSUK BIL ISLAMI JAMI`AH (BERPEGANG TEGUH DENGAN ISLAM SECARA TOTALITAS MENURUT PEMAHAMAN AHLUSSUNNAH BI MANHAJ SALAF:

Ibnu Katsir rahimahullah dalam nenafsirkan ayat 208 dari surat al Baqarah (Masuklah ke dalam Islam secara kaffah), beliau mengatakan, “Allah Ta`ala memerintahkan hamba-hamba Nya yang mukmin untuk masuk Islam secara kaffah, juga kepada mushaddiqun, agar mengambil ikatan-ikatan (simpul-simpul) Islam dan syari`atnya, serta mengamalkan seluruh perintah Nya dan meninggalkan seluruh larangan Nya selama mereka itu berkemampuan (mas tathaa`uu min dzalik).
Mujahid berkata, artinya adalah “kerjakanlah seluruh amalan yang diperintahkan dan seluruh kebaikan”, Ibnu Abbas RA menambahkan, “janganlah kalian meninggalkan / mengabaikan sedikitpun dari perintah tersebut ….
Dari sinilah, kemudian Ibnu Taimiyah menyatakan, “Maksud dari ayat di atas, bahwa Allah memerintahkan untuk masuk Islam secara totalitas, adalah, maka setiap yang merupakan bagian dari Islam maka wajib kalian untuk masuk ke dalamnya. Jika itu sebagai perintah wajib `ain, maka lakukanlah, jika itu sebagai wajib kifayah maka yakini perintahnya dan lakukanlah karena keutamaan nya (dapat pahala dan membebaskan kewajiban dari selainnya). Dan jika termasuk perkara mustahab atau sunnah, maka kerjakanlah karena keyakinan fadlilah dan kebaikannya, serta Allah menyukai pelakunya. (Majmu` Fatawa, 7: 267).
Bahkan Sayyid Quthb sendiri menegaskan tentang ayat di atas, bahwa Islam tidak mengenal manhaj “baina - baina”, sebab di sana tidak ada manhaj ganda atau pluralis, bagi setiap mukmin harus memilih satu manhaj saja jika manusia menyakini adanya banyak manhaj, ……
Yang dimaksud dengan keta`atan adalah “setiap perintah Allah atau rasul-Nya atau yang dianjurkan nya, maka itulah Tha`ah, sama saja, apakah perintah itu kecil atau besar, parsial atau totalitas, cabang atau pokok, sebab semua itu merupakan bagian dari iman.

Maka yang wajib bagi kita dalam memahami dan mensikapi perintah “Islam kaffah”, adalah memngamalkan seluruh perintah syariat Islam, rukun-rukunya, fardlu-fadlunya, sunnah-sunnahnya bagi yang menyukainya… dan tidak boleh seseorang itu meninggalkan satu amalan karena dianggapnya sebagai amalan parsial (karena juz’iyyahnya), dan sementara mengerjakan satu perintah karena dianggap totalitas (karena kuliiyahnya).
Perlu diketahui bahwa amalan itu tidak bergantung pada juz’iyah kuliyyahnya, ushul furu’nya, akan tetapi “mengamalkan syari`at Islam itu bergantung pada kesanggupannya, dan bukan pada kuliiyah juz’iyahnya dan furu’ ushulnya,
إن العمل بشرائع الإسلام منوط (متعلق) بالاستطاعة، وليس منوطا بالكليات والجزئيات، والفروع والأصول – إن سلم بهذا التقسيم- قال تعالى: فاتقوا الله مااستطتعم (التعغبن: 16)
Allah befirman: “Bertaqwalah kepada Allah sesuai dengan kemampuanmu”, QS at Taghabun: 16.
ٍDan silahkan simak pula ayat 85 surat al baqarah. Di ayat ini jelas, menunjukkan bahwa Allah tidak memisah-misahkan agama ini dari segi amal kepada juz’ii dan kuliy, far`un wa ashlun.


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------