Perbedaan pendapat yang seperti ini banyak jumlahnya.[3]

Adapun perselisihan mereka dalam masalah-msalah hukum (fiqh), maka sangat banyak.

Sekiranya untuk setiap permasalahan yang diperselisihkan oleh dua muslim lalu keduanya saling hajr, maka tidak akan tersisa bagi kaum muslimin persatuan dan persaudaraan.

Abu Bakr dan 'Umar –yang keduanya adalah pemimpin kaum muslimin- pernah berselisih dalam beberapa masalah, namun mereka tidak menghendaki kecuali kebaikan.

Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada para sahabatnya pada peristiwa Bani Quraizhah, "Janganlah salah seorang dari kalian shalat ‘Ashar kecuali di tempatnya Bani Quraizhah." Ketika masuk waktu ashar, mereka masih berada di tengah perjalanan. Sebagian mereka lalu berkata, “Kami tidak akan shalat kecuali di tempat Bani Quraizhah.” Akhirnya mereka shalat ashar di luar waktunya. Sebagian lain berkata, “Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam tidak bermaksud agar kita mengakhirkan shalat ashar.” Mereka pun shalat ashar di tengah perjalanan. Dan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak mencela seorang pun dari kedua kelompok tersebut. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari hadits Ibnu 'Umar.

Perselisihan ini, meskipun terjadi dalam permasalahan hukum (fiqh), namun seluruh perkara yang bukan termasuk perkara ushul (pokok) yang urgen, maka juga diikutkan (disamakan) dengan permasalahan-permasalahan hukum. Majmuu' Fataawa (XXIV/172-176).

Setelah menjelaskan pentingnya persatuan, Ibnu Taimiyyah melanjutkan pembicaraannya dengan menjelaskan keutamaan mendamaikan kaum muslimin yang saling berselisih. Beliau berkata, "Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّيَامِ وَالصَّلاَةِ وَالصَّدَقَةِ وَالأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْىِ عَنِ الْمُنْكَرِ؟ قَالُوْا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: صَلاَحُ ذَاتِ الْبَيْنِ، فَإِنَّ فَسَادَ ذَاتِ الْبَيْنِ هِىَ الْحَالِقَةُ لاَ أَقُوْلُ تَحْلِقُ الشَّعْرَ وَلَكِنْ تَحْلِقُ الدِّيْنَ

"Maukah kukabarkan kepada kalian suatu perkara yang lebih mulia daripada derajat puasa, shalat, sedekah, dan amar ma’ruf nahi mungkar? Para Sahabat menjawab, “Tentu ya Rasulullah.” Beliau shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Mendamaikan hubungan antara orang-orang yang bertikai, karena sesungguhnya rusaknya hubungan adalah pencukur, aku tidak mengatakan pencukur rambut, tetapi pencukur agama."

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud,[4] dari az-Zubair bin al-‘Awwam.

Dalam hadits yang shahih, beliau juga bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ يَلْتَقِيَانِ فَيَصُدُّ هَذَا وَيَصُدُّ هَذَا وَخَيْرُهُمَا الَّذِىْ يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ

"Tidak halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr saudaranya lebih dari tiga hari. Keduanya bertemu, tetapi yang satu berpaling, begitu juga yang lainnya. Dan yang terbaik dari keduanya adalah yang mulai mengucapkan salam." HR Al-Bukhari (V/2302) (5879) dan Muslim (IV/1984) (2560).

Memang benar bahwa Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam pernah meng-hajr Ka’ab bin Malik dan kedua sahabatnya y, ketika tidak ikut serta dalam perang Tabuk. Kemaksiatan mereka tampak dan dikhawatirkan mereka terkena sifat kemunafikan, maka Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam pun meng-hajr mereka dan memerintahkan kaum muslimin untuk meng-hajr mereka. Bahkan memerintahkan ketiganya untuk menjauhi istri-istri mereka tanpa cerai.[5] Mereka di-hajr selama lima puluh hari, sehingga turun ayat dari langit yang menjelaskan bahwa Allah menerima taubat mereka.

Begitu juga 'Umar, ia memerintahkan kaum muslimin untuk meng-hajr Shabigh bin ‘Asl at-Tamimi selama setahun, karena 'Umar memandang bahwa ia termasuk orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat (samar). Setelah jelas kesungguhan taubatnya, 'Umar pun memerintahkan kaum muslimin untuk menghentikan hajr mereka.

Dengan kisah-kisah ini dan yang semisalnya, maka kaum muslimin berpendapat adanya praktek hajr terhadap orang-orang yang nampak padanya tanda-tanda penyelewengan (kesesatan) dari kalangan orang-orang yang menampakkan dan menyerukan bid’ah, dan orang-orang yang menampakkan dosa-dosa besar.

Adapun orang yang menyembunyikan kemaksiatannya, atau melakukan bid’ah yang tidak sampai derajat kekufuran secara sembunyi-sembunyi, maka orang-orang seperti ini tidaklah di-hajr. Yang di-hajr adalah orang-orang yang menyeru kepada bid’ah. Karena hajr adalah salah satu bentuk hukuman, sementara orang yang dihukum adalah orang yang menampakan kemaksiatan baik secara perkataan maupun perbuataan.

Adapun orang yang menampakkan kebaikan kepada kita, maka kita terima apa yang tampak darinya, dan kita serahkan hakikat batinnya kepada Allah, karena sejelek-jeleknya ia adalah berada pada posisi orang-orang munafik yang Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam menerima zhahir mereka dan menyerahkan batin mereka kepada Allah, tatkala orang-orang munafik tersebut datang kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam sewaktu perang Tabuk sambil bersumpah dan mengajukan alasan mereka. Karena itu, Imam Ahmad dan mayoritas ulama sebelum maupun sesudah beliau, seperti Imam Malik dan selainnya, tidak menerima riwayat orang yang menyeru kepada bid’ah dan tidak bermajelis dengannya, berbeda dengan orang yang diam.


Para penulis buku-buku hadits yang hanya memuat hadits shahih pun telah meriwayatkan hadits melalui jalur sejumlah orang yang tertuduh dengan kebid’ahan yang diam (tidak menyeru kepada bid’ah), dan mereka tidak meriwayatkan hadits dari jalan para perawi yang menyeru kepada bid’ah.

Yang menyebabkan aku mengutarakan pembicaraan ini, karena utusan kalian mengabarkan beberapa perkara kepada kami, berupa perpecahan dan perselsisihan di antara kalian. Utusan kalian menyebutkan bahwa perkaranya terus berkembang sampai-sampai hampir terjadi peperangan. La Haula wa la Quwwata illa billah. Kepada Allah-lah tempat meminta untuk menyatukan hati-hati kami dan hati-hati kalian, mendamaikan orang-orang yang berselisih di antara kita, memberi petunjuk kepada kita kepada jalan keselamatan, mengeluarkan kita dari kegelapan kepada cahaya, menjauhkan kita dari perbuatan-perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, memberikan berkah pada pendengaran kita, penglihatan kita, istri-istri kita, anak keturunan kita selama Ia masih menghidupkan kita, menjadikan kita orang-orang yang bersyukur atas nikmat-nikmat yang diberikan-Nya, memuji-Nya dengan kenikmatan-kenikmatan tersebut, menerima kenikmatan-kenikmatan tadi, serta Ia sempurnakan nikmat-nikmat-Nya kepada kita.

Utusan kalian menyebutkan bahwa sebab perselisihan yang timbul di antara kalian adalah karena permasalahan apakah orang-orang kafir melihat Rabb mereka. Kami tidak pernah menyangka kalau karena permasalahan ini perkaranya sampai memuncak seperti ini, (karena sebenarnya) permasalahan ini adalah permasalahan yang ringan." Majmuu' Fataawa (XXIV/172-176). Barang siapa yang ingin mengetahui pembahasan masalah ini secara tuntas maka bacalah Majmuu’ Fataawa (VI/485-506)

Beliau juga berkata, "Pasal: Tentang Pertanyaan-Pertanyaan Ishaq bin Manshur (kepada Imam Ahmad). Al-Khallal menyebutkan pertanyaan tersebut dalam as-Sunnah, bab Mujaanabah Man Qaala al-Qur-an Makhluuq (menjauhi orang yang menyatakan bahwa al-Qur-an adalah makhluk).

Dari Ishaq, ia bertanya kepada Abu 'Abdillah (Imam Ahmad), “Bagaimana dengan orang yang mengatakan bahwa al-Qur-an itu makhluk?”

Imam Ahmad menjawab, “Berikanlah kepadanya seluruh bala!”

Aku (Ishaq bin Manshur) bertanya lagi, “Apakah ia (seorang Ahlus Sunnah) menampakkan permusuhan kepada mereka (orang-orang yang mengatakan bahwa al-Qur-an itu makhluk, pen) ataukah ia berbuat mudarah?”[6]

Beliau menjawab, "Penduduk (Ahlus Sunnah yang berada di) negeri Khurasan tidak kuat untuk berhadapan dengan mereka (Jahmiyyah)."

Jawaban ini, juga merupakan perkataan Imam Ahmad tentang Qadariyyah (sekte yang menolak adanya taqdir). Beliau berkata, “Sekiranya kita meninggalkan riwayat dari orang-orang Qadariyyah, maka kita akan meninggalkan riwayat dari mayoritas penduduk Bashrah.”

Demikian pula dengan sikap beliau tatkala bermu’amalah dengan mereka ketika beliau disiksa (disebabkan fitnah al-Qur-an itu makhluq, pen), dimana beliau menjawab mereka dengan cara yang baik dan berbicara dengan mereka dengan hujjah. Ini menafsirkan apa yang terdapat dalam perkataan beliau dan sikap beliau tentang praktek hajr terhadap ahli bid'ah, larangan beliau untuk bermajelis dengan mereka, atau untuk berbicara dengan mereka. Namun beliau pernah pada suatu waktu meng-hajr beberapa orang yang termasuk para pembesar dan beliau juga memerintahkan (kaum muslimin) untuk meng-hajr mereka dikarenakan mereka memiliki sedikit bid’ah jahmiyyah…." Majmu’ Fatawa (XXVIII/210)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga berkata, "Untuk memberi hukuman kepada orang yang zhalim dan men-ta’zir-nya disyaratkan adanya kemampuan. Karena itu, hukum syari’at bervariasi pada dua jenis hajr (di atas), antara orang yang mampu dan orang yang tidak mampu, antara sedikit banyaknya pelaku kezhaliman yang mubtadi’, begitu juga kuat lemahnya mubtadi’ tersebut, sebagaimana halnya hukum syaria’t itu bervariasi pada seluruh jenis kezhaliman berupa kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan, dimana setiap yang Allah haramkan merupakan kezhaliman…." Majmu’ Fatawa (XXVIII/211)

Beliau juga berkata, "Jika dalam penerapan hajr terhadapnya (pelaku kezhaliman atau mubtadi’) tidak menjadikan seorang pun takut dan berhenti, bahkan yang terjadi adalah tersia-siakannya banyak kebaikan yang diperintahkan untuk dilaksanakan, maka hajr tersebut tidak diperintahkan. Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ahmad tentang Ahlus Sunnah yang tinggal di negeri Khurasan pada waktu itu, dimana mereka tidak mampu berhadapan dengan Jahmiyyah. Jika mereka tidak mampu untuk menampakkan permusuhan terhadap Jahmiyah maka gugurlah perintah untuk melakukan kebaikan ini (yaitu meng-hajr mereka), dan sikap mudarah kepada Jahmiyyah membuahkan tertolaknya mudharat dari seorang mukmin yang lemah, dan mungkin saja sikap mudarah ini menarik hati orang fajir yang kuat.

Demikian pula tatkala bid’ah Qadariyyah banyak menimpa penduduk kota Bashrah, apabila pengambilan riwayat hadits dari orang-orang Qadariyyah ditinggalkan, niscaya ilmu, hadits, dan atsar yang ada pada mereka akan punah.

Jika kewajiban-kewajiban berupa ilmu, jihad, dan selainnya tidak bisa ditegakkan kecuali dengan orang yang memiliki bid’ah yang mudharatnya lebih ringan dibandingkan jika kewajiban tersebut ditinggalkan, maka mencapai kemaslahatan dengan melaksanakan kewajiban, meskipun ada mudharat yang sedikit itu lebih baik dibandingkan tidak melaksanakannya. Karena itu, pembicaraan dalam masalah-masalah ini ada rinciannya.

Banyak dari jawaban Imam Ahmad dan para Imam lainnya keluar sesuai dengan soal yang diajukan oleh penanya, dimana para Imam tersebut telah mengetahui kondisi orang yang sedang ditanyakan, atau (jawaban tersebut) keluar secara khusus untuk (menyikapi) orang tertentu, dimana Imam yang memberi jawaban telah mengetahui kondisi yang sedang ditanyakan. Maka yang seperti ini kedudukannya seperti qadhaayal a’yaan (kasus kasus khusus tertentu) yang datang dari Rasululah r. Hukumnya hanyalah bisa ditetapkan kepada yang semisal kasus-kasus tersebut.

Sebagian orang menjadikan jawaban (para Imam tersebut) sebagai sesuatu yang umum. Mereka akhirnya menggunakan hajr dan pengingkaran yang tidak diperintahkan, padahal praktek hajr tersebut tidak wajib dan tidak pula disunnahkan. Bahkan bisa jadi mereka (karena menerapkan hajr bukan pada tempatnya) akhirnya meninggalkan kewajiban-kewajiban atau perkara-perkara yang mustahab, dan dengan penerapan hajr tersebut mereka justru melakukan perkara-perkara yang diharamkan.

Golongan yang lain, mereka berpaling secara total dari jawaban para Imam tersebut, sehingga mereka tidak meng-hajr perkara-perkara yang diperintahkan (disyari’atkan) untuk di-hajr, berupa kejelekan yang berbentuk bid’ah.[7] Bahkan mereka meninggalkan bid’ah-bid’ah tersebut begitu saja -seperti orang yang tidak peduli-, bukan seperti orang yang meninggalkan bid’ah tersebut karena berhenti dan benci kepadanya. Atau bahkan mereka terjatuh dalam bid’ah tersebut. Dan terkadang mereka meninggalkan bid’ah karena berhenti dan benci kepadanya, namun mereka tidak melarang orang lain darinya.

Mereka tidak memberi hukuman dengan hajr dan semisalnya kepada orang-orang yang berhak untuk diberi hukuman, sehingga mereka menyia-nyiakan nahi munkar yang mereka diperintahkan untuk melakukannya, baik berupa perintah wajib maupun mustahab. Kondisi mereka berada di antara melakukan kemungkaran atau meninggalkan sikap mencegah kemungkaran tersebut. Hal ini merupakan perbuatan yang dilarang dan meninggalkan apa yang diperintahkan untuk dilakukan. Ini sama dengan itu. Dan agama Allah adalah tengah di antara sikap yang berlebih-lebihan dan sebaliknya. Wallaahu a'lam."
Majmuu' Fataawa (XXVIII/210-213).
[1] Demikianlah yang tercantum dalam buku yang dicetak. Namun mungkin yang dimaksud adalah bid'ah tajahhum (bid’ahnya sekte Jahmiyyah). Wallaahu a'lam.

[2] Majmuu' Fataawa (XXIV/170-172).

[3] Maksudnya perbedaan pendapat dalam masalah 'aqidah yang bukan inti.

[4] HR Abu Dawud (4919), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani.

[5] Ketiganya menjauhi istri-istri mereka selama 10 hari

[6] Sebagian orang menyangka bahwa bersikap lembut terhadap pelaku kemaksiatan atau ahli bid'ah adalah bentuk mudahanah (bermuka dua) yang tercela, padahal perkaranya tidak mutlak demikian. Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam pernah ber-mudarah, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (V/2271) (5780), bab al-Mudaarah ma'an Naas, dan Muslim (IV/2002) (2591).

عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهُ اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ r رَجُلٌ فَقَالَ ((ائْذَنُوْا لَهُ فَبِئْسَ بْنُ الْعَشِيْرَةِ أَوْ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيْرَةِ)) فَلَمَّا دَخَلَ أَلاَنَ لَهُ الْكَلاَمَ فَقُلْتُ لَهُ يَا رَسُوْلَ اللهِ قُلْتَ مَا قُلْتَ ثُمَّ أَلَنْتَ لَهُ فِي الْقَوْلِ فَقَالَ أَيْ عَائِشَةُ إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللهِ مَنْ تَرَكَهُ أَوْ وَدَعَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ فُحْشِهِ

Dari 'Urwah bin az-Zubair, ‘Aisyah mengabarkan kepadanya bahwa ada seorang pria minta izin untuk menemui Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam , maka Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam  berkata, "Izinkanlah ia, sesungguhnya ia adalah sejelek-jelek anak di kaum (kabilah)nya," atau beliau shallahu ‘alaihi wa sallam berkata, "Ia adalah sejelek-jelek orang di kaum (kabilah)nya." Kemudian tatkala orang itu masuk (menemui Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam ), maka Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam pun berbicara kepadanya dengan lemah lembut. Aku ('Aisyah) pun berkata kepada beliau r, “Ya Rasulullah, engkau telah mengatakan apa yang tadi kau katakan, kemudian engkau berbicara dengannya dengan lemah lembut?”. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Wahai 'Aisyah, sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah adalah orang yang ditinggalkan atau dijauhi masyarakat untuk menghindari kejelekannya."

Perbedaan antara mudahanah dan mudarah diantaranya:

1.Imam al-Qurthubi berkata, “Mudarah adalah mengorbankan dunia untuk kemaslahatan yang berkaitan dengan dunia, agama, atau keduanya. Hal ini hukumnya adalah mubah dan bisa jadi mustahab. Adapun mudahanah adalah mengorbankan agama demi kemaslahatan dunia. Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits di atas, pen) hanyalah mengorbankan perkara dunianya, yaitu menggauli orang tersebut dengan baik dan lemah lembut tatkala berbicara dengannya. Meskipun demikian beliau r tidak memuji pria tersebut dengan satu perkataan pun. Maka sikap beliau r (yang lemah lembut) tidaklah membatalkan celaan beliau terhadap orang itu”. Fat-hul Bari (X/454)

2.Ibnu Baththal berkata, “Mudarah merupakan akhlak orang-orang mukmin, yaitu bersikap rendah diri di hadapan manusia, berbicara dengan lemah lembut, dan meninggalkan sikap keras terhadap manusia. Ini termasuk sebab terkuat untuk mencapai persatuan.” Fat-hul Bari (X/528)

3.Beliau juga berkata, “Kata mudahanah diambil dari minyak (cat), yaitu menampakkan sesuatu dan menyembunyikan batinnya. Para ulama menafsirkan mudahanah yaitu bergaul dengan orang fasik dengan menampakkan keridhaan terhadap apa yang ada pada orang fasik tersebut tanpa adanya pengingkaran. Adapun mudarah adalah sikap lembut terhadap orang jahil (bodoh) dalam mengajarinya, dan sikap lembut terhadap orang fasik dalam rangka mencegahnya dari perbuatan (kemungkarannya) serta tidak bersikap keras kepadanya, dengan tidak menampakkan keridhaan terhadap apa yang ada pada orang fasik tersebut dan tetap mengingkarinya, dengan perkataan dan perbuatan yang lembut. Terlebih lagi jika dibutuhkan untuk menarik hatinya dan yang semisalnya.” Fat-hul Bari (X/529)

Syaikh Al-Albani berkata, “Para pensyarah hadits ini menyatakan bahwa orang yang datang meminta idzin kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini adalah seorang munafik dan dia pemimpin sebuah kabilah. Dan banyak kaum mukminin yang lemah yang berada di bawah kekuasaannya. Kalau seandainya Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam menolaknya dan tidak bersikap lemah lembut terhadapnya maka bisa jadi ia akan bersikap keras terhadap kaum mukminin yang lemah yang berada di bawah kekuasaannya. Maka sikap lembut Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam terhadapnya merupakan siasat yang dilakukan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dan merupakan sikap mudaaroot dan bukan sikap mudahanah karena Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengucapakan sebuah kalimat yang menyelisihi syari’at. (Silsilah Al-Huda wan Nuur no 313)

Berkata Al-Munawi, “Sikap mudaaroot ini…sebagaimana perkataan Ali
إِنَّا لَنَبُشُّ فِي وُجُوْهِ أَقْوَامٍ وَقُلُوْبُنَا تَلْعَنُهُمْ ((Sungguh kita tersenyum di hadapan wajah orang-orang padahal hati kami melaknat mereka)) (Faidul Qodiir III/568)

[7] Seperti yang banyak terjadi di kalangan sejumlah jama'ah yang menyimpang dari jalan Ahlus Sunnah dewasa ini.



0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------