PETAKA BESAR
MENIMPA UMMAT :
KARENA TAKLID BUTA DAN
FANATISME SEMPIT
Bagian-01, oleh Abu Fahmi Ahmad
Pengertian Tentang Taqlid dan Ta’ashshub
1.
Menurut
Bahasa, Taqlid berarti mengenakan
kalung di leher. Sedangkan Ta’ashshub berarrti
mengikat kuat-kuat, berasal dari kata al
‘ashobiyyah (lihat Ash Shohah, oleh Al Jauhari, II : 527; I : 182)
2.
Menurut
istilah, Taqlid artinya merujuk
kepada perkataan seseorang yang tidak ada hujjah atasnya (lihat Jami’ Bayanul ‘Ilmi wa Fadlluhu, Ibnu ‘Abdil Barr, II : 117.
Daar ‘I Baaz, Makkah ‘I Mukarromah. 1398). Sedangkan Ta’ashshub berarti menjadikan sesuatu pendapat atau ijtihad
seseorang sebagai hujjah atas semua hamba. (lihat
Adabuth Tholab wa Muntaha ‘I Arab, oleh Asy Syaukani, hal. 7; Daar ‘I Kutubul
‘Ilmiyyah, Beirut. 1402)
‘Ulama-ulama
Ahlussunnah memaknai dan mensikapi Taqlid dan Ta’ashshub sebagai berikut:
v Suatu
bentuk kelemahan dan kejahilan, yang mana ketika manusia diuji dengannya, maka
butalah pandangannya, tertipulah akal pikirannya, sehingga dia tidak bisa lagi
melihat kebaikan kecuali apa yang menurutnya baik, dan tidak bisa lagi menerima
kebenaran kecuali yang sesuai menurut pandangannya atau menurut orang yang dia
fanatikinya. (lihat Moqoddimah sebab-sebab terjadinya ikhhtilaf dikalangan kaum
muslimin dan perpecahan mereka, hal.83)
v Taqlid
dan Ta’ashshub, merupakan penyebab terbesar dari timbulnya firqoh dan
penyimpangan ummat dari jalan lurus. Dan memiliki andil besar dalam penyebaran
bid’ah dan hawa nafsu.
v Ahli
bid’ah berlaku taqlid kepada guru-guru dan imam-imam mereka secara membabibuta,
baik dalam hal yang ushul (prinsip) maupun yang furu’ (cabang), baik dalam
perkara Aqidah maupun amal perbuatan (ibadah dan mu`amalah). Mereka juga
mendahulukan pekataan mereka (guru dan imam mereka) sekalipun bertentangan
dengan perkataan Alloh dan Rosul-Nya saw.
v Apa
yang mereka lihat tentang hal ikhwal mereka (guru dan imam), maka merekapun
pasrah begitu saja dan menjadikan satu-satunya jalan untuk mendekatkan mereka
kepada Alloh, sampai dalam hal yang menyalahi petunjuk Kitab danSunnah
sekalipun.
v Mereka
berlebihan dalam bertaqlid dan berta’ashshub terhadap guru, imam-imam dan
jalan-jalan yang mereka tempuh, bahkan sebagian besar dari mereka meyakini
kema’shuman syekh-syekh (guru-guru, ulama, dan imam-imam) mereka dan
(menganggap) mereka tiak melakukan sesuatu kecuali yang benar, tidak berkata
kecuali yang sidq, karena syekh terlindung dari kesalahan (ma’shum). Sehingga
merekapun mengikuti setiap perkataan dan perbuatan yang diperoleh dari
syekh-syekh mereka itu.
v Karena
taqlid dan ta’ashshub inilah bid’ah terbesar dan merajalela di kalangan ummat,
sehingga menghalangi sampainya petunjuk dan kebenaran kepada mereka. Karena
sebab itulah mereka meninggalkan manhaj Robbani yang Agung dan petunjuk nabawi
yang lurus. (lihat Tanbih ulil Abshor,
Dr. Sholih bin Sa’ad As Sahimy, hal. 142-143)
Alloh
Ta’ala telah mencela orang-orang yang bepaling dari mengikuti kebenaran dan
patuh padanya, yang taqlid dengan hujjah nenek moyang mereka. Alloh berfirman ;
Dan apabila dikatakan kepada mereka
,”ikutilah apa yang tela diturunkan Alloh. Mereka menjawab (tidak), tetapi kami
hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami.
(apakah mereka akan mengikuti juga), walau nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui apapun dan tidak mendapat petunjuk? (Al
Baqoroh : 170)
Tentang ayat di atas, para `ulama
Tafsir berpendapat:
Imam
Al Qurtuby berkata, “Telah berkata ulama-ulama ahlu sunnah, bahwa kekuatan
lafadz-lapdz yang terkandung dalam ayat ini menandakan batalnya (berlaku)
taqlid.” (lihat Al Jami’ul Ahkam ‘I
Quran, II : 221)
Berkata
Asy Syaukani, “dalam ayat tersebut terdapat celaan terhadap orang-orang
muqollid, dan menyerukan kejahilan dan aqidah meerka yang rusak, yang tidak
lagi mempunyai nilai.” (lihat Fathul
Qodir, I : 167)
Berkata
juga As Sa’ady, “Ini adalah syubhat untuk menolak kebenaran. Ayat ini juga
menunjukan berpalingnya dan bencinya mereka kepada kebenaran, sekaligus
menunjukan keengganan meereka untuk menerima kebenaran. Seandainya mereka
mengikuti petunjuk yang membimbing mereka dan bermaksud baik, niscaya mereka
akan menuju kepada kebenaran. Dan siapa saja yang menjadikan kebenaran itu
sebagai tujuannya dan menjadikannya sebagai bahan pertimbangan antara dia dan
orang lain, maka baginya kebenaran itu merupakan hal yang qoth’I (tak bisa
ditawar-tawar lagi), lalu iapun mengikutinya jika memang ia orang yang adil.” (Tafsir Al Karimur Rohman, II : 202)
Perkara Taqlid yang tengah kita bahas ini merupakan Taqlid
yang dicela, yaitu taqlid dalam kebatilan.
Adapun taqlid yang menyangkut al haq, pada hakekatnya
bukanlah suatu taqlid, namun lebih tepat disebut suatu ittiba’.
Karena itulah kita dapati dalam prinsip Ahlus Sunnah
wal Jama’ah yang mengatakan, “Kita mengikuti apa-apa yang telah menjadi
komitmen Salafush Sholih.” Kalimat ini menunjukan ungkapan “ittiba” bukannya taqlid.
Dalam pernyataan lain juga dikatakan, “Kami mengikuti
(ittiba’) dan bukan melakukan bid’ah.”
Maka jelaslah, bahwa salafush Sholih, mereka itu tidak
lain hanyalah mengikuti Al Kitab dan As Sunnah, dan orang-orang yahg mengikuti
mereka dan manhajnya tidak lain hanyalah sebagai orang yang mengikuti petunjuk
Al Kitab dan As Sunnah.
Ibnu Dirbas berkata sebagaimana yang dikatakan oleh Al Qurthuby,
“Banyak kalangan orang-orang yang menyimpang mengatakan kepada orang-orang yang
memegang Al Kitab dan As Sunnah, bahwa mereka itu adala muqollid. Ini kesalahan
mereka bahkan perkataan ini lebih tepat ditujukan kepada mereka dan manhaj
mereka, dimana mereka menerima perkataan tuan-tuan dan pembesar-pembesar
(tokoh-tokoh) mereka dalam hal yang bertentangan dengan Kitab dan Sunnah
RosulNya serta ijma’ para sahabat ra.”
(Al Jami’ Li Ahkam ‘l Quran Karim, Al Qurtuby, II : 213)
Imam Al
Qurtuby berkata, “Tidaklah sama perkataan Ahlul Aatsar dengan pekataan mereka
tentang keyakinannya, dimana merka mendapatkan dari Imam-Imam dan nenek Moyang
mereka dalam mengambil Kitab, Sunnah dan Ijma’ Salafush Sholih. Sedangkan
perkataan mereka adalah ; ‘Sungguh kami dapati nenek moyang kami dan kami
mentaati para pemimpin dan pembesar (tokoh) kami dalam menempuh jalan. Sebab
mereka (Ahlul Atsar) menisbatkan (apa yang dilakukan mereka) itu kepada Kitab
dan mengikuti Rosulullah saw, dan mereka (ahlut Taqlid) menisbatkan kebohongan
mereka kepada ahlul batil (orang-orang yang batil), sehingga makin sesatlah
mereka dengan sikap itu.” (Al Jami’ Li
Ahkamil Quran, II : 213).
Diantara
ayat-ayat yang diturunkan dalam rangka mencela taqlid dan pelakunya, adalah
Firman Alloh Ta’ala berikut ini ;
Apabila dikatakan kepada mereka; marilah mengikuti apa
yang diturunkan Alloh dan mengikuti Rosul. Mereka menjawab, “Cukuplah bagi kami
apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka akan
mengiuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka tidak mengetahui
apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? (Al Maidah : 104)
Ibnu katsir
rohimahullah berkata tentang ayat tersebut didalam tafsirnya, “Maksudnya adalah
manakala mereka diseru kepada Dienullah dan syari’atNya dan apa-apa yang
diwajibkan serta meninggalkan apa-apa yang dilarangNya, mereka
berkata,’Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati dari nenek moyang kami,
tentang jalan maupun jejak yang mereka tempuh’.
Maka dari
itu, taqlid buta dan ta’ashshub keduanya akan menyeret kita kedalam lembah
kenistaan. Dan menuntun pelakunya kepada jalan-jalan yang keliru dan sesat,
serta menghalangi kita dalam mengikuti cahaya dan petunjuk. Maka jadilah kita
berjalan tanpa petunjuk dan berbalik (membelakangi kebenaran), akhirnya binasa
danmerugi diakhirat.
Adapun
pengingkaran dalam ayat tersebut (dan
apakan mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang
mereka tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula)mendapat petunjuk.
Hal tersebut
untuk menunjukan fakta mereka, orang-orang yang menentang dan menyimpang.
Begitu pula dengan nenek moyang mereka sebelumnya, mereka mengikuti apa-apa
yang disyari’atkan oleh nenek moyang mereka juga,atau apa-apa yang mereka
syaria’atkan untuk mereka sendiri.
Makna istinkar itu bukanlah berarti; andaikan
mereka dan nenek moyang mereka mengetahui sesuatu, tentu mereka boleh
mengikutinya dan meninggalkan apa-apa yang diturunkan Allah dan apa-apa yang
diterangkan oleh RosulNya.
Sesungguhnya
seseorang tidak boleh mengikuti apa yang disyari’atkannya sendiri dan nenek
moyangnya, sementara dihadapannya ada syari’at Alloh dan Sunnah RosulNya saw,
jika tidak demikian dia tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak juga
ditunjuki. (Al Jaami’ li Ahkamil Quran,
Al Qurtuby, II : 213)
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------