PETAKA UMMAT KARENA BERTAHKIM KEPADA AKAL
(MENUHANKAN AKAL MENGESAMPINGKAN AL QUR`AN DAN AS
SUNNAH), Bagian
ke-5 (penerj: Abu Fahmi Ahmad)
Dalam
bantahannya, Ibnu Taimiyyah telah memaparkan dengan baik “Qoonuun al Kulliy” Ar Rozi, yaitu diantara yang mesti di cermati
oleh setiap orang yang memiliki akal, manakala dikatakan mendahulukan akal atas
syari’at, pastilah manusia berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang tak ada
jalan lain lagi kecuali menetapkannya dan mengetahuinya., dan setiap orang yang
berakal pastilah ia mengetahui adanya perbedaan pendapat dan jangkauannya.
Maka, akal bukanlah sebagai satu-satunya, secara lahiriyah dalam menyerahkan
setiap orang yang merujuk kepadanya, namun kenyataan menunjukan bahwa elah
terjadi ikhtilaf, saling konteradiksi dan saling berlawanan antar akal yang
satu dengan akal yang lainnya, antara
pemikiran yang satu dengan pemikiran yang lainnya.
Jadi
apa-apa yang telah disepakati oleh satu akal, belum tentu disepakati oleh akal
yang lain dan pendapat yang sebelumnya bisa jadi dibantah oleh pendapat yang
terakhir. Maka jelaslah di sini tidak ada ittifaq
(kesepakatan) yang bewnar diantara manusia dalam hal ini.
Ini
berbeda dengan syari’at, yang memang memiliki sifat itsabit (tetap) dan sidq
(benar secara hakiki), sifat yang harus dimiliki olehnya, tidak berubah oleh
karena perbedaan-perbedaan yang terjadi pada diri manusia. Sebagaimana bahwa
mengetahuinya itu adalah suatu hal yang mungkin, diperintahkannya manusia untuk
kembali kepadanya dan bertakhim kepada nash-nashnya juga suatu perkara yang mungkin.
Inilah
yang seharusnya diperbuat, manakala Alloh memerintahkan hamba-hambaNya untuk
kembali kepada Kitab dan Sunnah ketika mereka saling berbeda pendapat. Alloh
Ta’ala berfirman,
Kemudian jika kamu belain
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Alloh (Al Qur’an) dan Rosul
(Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya (An
Nissa : 59)
Ayat ini menunjukan dengantegas
keharusan untuk mendahulukan naql dan wahyu yang di dengar. Perintah ini
menunjukan wajib. Maka wajib hukumnya bagi kaum muslimin untuk bertahkim kepada
Kitabullah dan Sunnah RosulNya ketika ejadi beda pendapat dan ikhtilaf.
Andaikan perintah kembali diarahkan
kepada yang lain, seperti akal seseorang
atau pendapat-pendapat mereka, maka tidak akan menghasilkan kesepakatan, taslim
dan ketenangan. Bahkan natijah yang terjadi adalah natijah yang sebaliknya,
yaitu kacau dan meragukan, membuat kebimbangan dan kebingungan, iftiroq dan
ikhtilaf (lihat Dar’u Ta’arudl ‘I Aql
wan Naql, I :146-147)
Inilah yang terjadi
dikalangan ummat Islam. Ketika manusia bertahkim kepada akal mereka atau
mengembalikan kasusnya kepada akal-akal selain mereka, dalam menerima hal yang
asasi, atau dalam bertahkim ketika terjadi ikhtilaf atau tanazu’ dan dalam
mengkaji kitab-kitab ahli firkoh, milal dan nihal –aliran-aliran sesat dan
bid’ah- untuk meluruskan setiap orang yang memiliki bashirah di seputer
perselisihan dan ikhtilaf yang terjadi pada firqoh-firqoh yang menisbatkan
dirinya pada Islam, sebagian besarnya –jika tak mau dikatakan seluruhnya-
adalah menyangkut masalah aqidah.
Ibnu Qoyyim rohimalloh mengumpamakan orang yang disifati manakala mereka
bberthkim kepada akal mereka dan mendahulukannya dari pada syari’at, ia
berkata, “Pemisalan mereka itu ibarat satu kaum yang tinggal bersama dipadang
pasir yang terbuka dari bagian bumi ini. Pada suatu malam mereka diserang
musuh, sehingga bangkitlah mereka dalam kegelapan untuk menyerbu dan melawan
musuh disetiap sudut. (lihat Ash
Showa’iqul Mursalat, Dr. Ali Muhammad Ad Dkhililillah, II :840)
Lain lagi dengan
perumpamaan menururt Ibnu Taimiyyah rohimahulloh, yang menggambarkan suatu
keadaan yang sebenarnya, yang dinginkan oleh orang yang mendahulukan akalnya
dari naql. Ia berkata, “Akal yang menunjukan kepada kebenaran Rosul adalah
dalil umum yang mutlak. Ini seperti halnya orang awam yan g mengetahui sumber
pemberi fatwa, dan ia pun menunjukan kepada yang lainnya dan menerangkan bahwa
orang itu adalah seorang yang ‘alim dan pemberi fatwa, lalu orang awam itu
berbeda pendapat, sementara simufti mewajibkan atas orang yang meminta fatwa
untuk mendahulukan perkataan si mufti.” (lihat
Dar’u Ta’rudl ‘I Aql wan Naql, I : 138-139)
Maka wajib bagi seorang
muslim untuk mematuhi secara sempurna nash-nash kitab dan sunnah serta taslim
kepadanya. Dan supaya tidak mendahulukan perkataan siapapun dari padanya, apa
pun kedudukan orang itu, dan tidak menentangnya berdasarkan dan qiyas, tidak
pula dengan perasaan maupun ungkapan hati.
Oleh
karena itu, kita dapati Imam Thohawiy rohimahulloh berkata, “Dan tidaklah kaki
Islam itu berdiri kokoh, kecuali diatas punggung taslim wal istislam (penyerahan totalterhadap aturan-aturannya). (Syarah Thohawiyyah, hal. 201)
Berkata
Syarih (pensyarah Aqidah Thohawiyyah),
“maksudnya tidaklah kokoh Islam seseorang kecuali bagi orang yang berserah diri
pada nash-nash yang diwahyukan, mematuhinya serta tidak menentang atau
berpaling darinya dan juga tidak mempertentangkannya dengan pendapatnya,
akalnya ataum qiyasnya.” (Syarah
Thohawiyyah, Hal.201)
Kemudian
Tohawiy berkata, “Maka siapa yang menghendaki ilmu, namun tak memperoleh
(manfaat) dari ilmunya dan tidak rela memasrahkan pemahamannya, maka ilmu yang
di inginkannya menghalangi dirinya dari kemurnian tauhid, kejernihan ma’rifat
dan lurusnya Iman.” (Syarah Thohawiyyah,
hal. 203)
Ini
jelas sekali bagi orang-orang yang membandingkan antara keadaan Ahlus Sunnah
wal Jama’ah dengan keadaan ahlul bid’ah dan ahlu frqoh. Ahlus Sunnah adalah
mereka yang mengikuti (sunnah) dan tidak mengada-ada hal yang baru (di luar
sunnah), berpegang teguh dengan wahyu yang diturunkan, mereka tidak mencapur
adukannya dengan hal-hal yang cela dan keruh seperti hasil yang diperoleh ahli
kalam dan manthiq. Dan natijah yang diperoleh Ahlus Sunnah adalah ; tauhid
mereka muurni, ilmu mereka manfaat, dan iman mereka lurus. Sedangkan ahlu
bid’ah, maka seluruh yang dicarinya jauh dari kebaikan. Natijah yang diperoleh
jauh dari kepasrahan terhadap nash-nash, banyak terjadi bid’ah pada diri
mereka. Bahkan banyak diantara mereka terperosok pada kemusyrikan –semoga Alloh
menjauhkan kita dari masalah-masalah ini. Ilmu dan ma’rifat yang mereka
dapatkan adalah berupa campuran antara yang haq dan yang batil. Banyak juga
dikalangan mereka yang mengalami kegoncangan iman, dan pengaruhnya dalam
perjalaqnan hidup mereka.
Diantarra
hujjah-hujjah yang kuat yang dijadikan dalil oleh ibnu Taimiyyah dalam
membatalkan “Qoonuun Kulliy” produk
Ar Rozi, adalah dengan peneguhan kebenaran yang memang berlawanan sama sekali
dengan apa yang mereka dakwakan. Yaitu yang berkenaan dengan asumsi mereka yang
mengatakan adanya pertentangan antara akal dan naql, maka yang sebenarnya yang
diinginkan adalah untuk mendhulukan naql dan menolak mendahulukan akal, sebab
dengan demikian telah menunjukan benarnya dalil naql. Kalaupun kita
mendahulukannya pastilah dengan menbatalkan dalil-dalilnya, dan jika telah
batal dalil-dalilnya, maka tidak bisa dijadikan sebagai pembenaran adanya
pertentangan terhadap naql.
Syaikhu
Islam Ibnu Taimiyyah berkata didalam kitabnya, “Aspek kesepuluh, untuk
menentang dalil mereka dengan pengamatan yang mereka katakan, untuk itu maka
katakanlah : Jika ada pertentangan antara akal dan naql, maka wajiblah
mendahulukan naql. Sebab menghimpun dua sumber dalil berarti menyatukan dua hal
yang saling membatalkan, dan membuang keduanya, berarti karena pertentangan
keduanya saling membatalkan. Dan mendahulukan akal adalah terlarang, karena
akal telah menunjukan benarnya dalil naql dan wajib menerima apa-apa yang
diberitakan oleh Rosulullah saw. Seandainya kita membatalkan naql, pasti kita
juga telah membatalka dalil akal. Dan jika kita membatalkan dalil akal, maka
itu tidak boleh dijadikan bukti adanya pertentangan dengan naql. Sebab tidak
ada dalil yang membenarkan bagi pertentangan sesuatu dari sesuatu yang lain.
Maka mendahulukan akal sebagai alasan untuk meniadakan bagi mendahulukannya
(maksudnya naql), maka itu tidak bolehh.”
(Dar’u Ta’arudl ‘I Aql wan Naql, I : 170)
Demikianlah
telah dijelaskan kepada kita dengan hujjah-hujjah yang akurat dan
keterangan-keterangan yang jelas, untuk membatalakan “Qoonuun ‘I Kulliy” yang dipancangkan oleh pengikut faham Asy’ari,
karena undang-undang itulah yang banyak membantah dalil-dalil nash dari kitab
dan sunnah dalam masalah aqidah pada umumnya, khususnya yang menyangkut sifat
dan asma Alloh Ta’ala.
Dan
orang-orang yang menyalahi Rosulullah saw pasti akan terjerumus kedalam
kekeliruan, sekalipun menyalahi sedikit. Sebab kesalahan itu terjadi sesuai
dengan penyimpangan yang dilakukannya.
Dan
seluruh dalil yang datang dari semua Nabi baik yang menyangkut dalil Akliyyah maupu sami’iyyah adalah sejalan dengan apa yang dibawa oleh Rosulullah
saw dan bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh ahli bid’ah yang menyalhi
kitab dan sunnah. (Majmu’ul Fatawa, XVI
: 463)
Dan
orang-orang yang mengatakan perlunya mendahulukan akal dari naql, maka seperti
apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah, sebenarnya mereka itu telah menyalahi
lima prinsip ;
1)
Bahwa
akal yang sehat tidaklah bertentangan dengan naql.
2)
Bahwa
akal yang sehat akan sejalan dengan naql.
3)
Dakwaan
tentang adanya pertentangan antara akal dan naql adalah tidak benar.
4)
Yang
mereka sebutkan dengan pikiran yang bertentangan adalah menentang akal yang
benar-benar sehat.
5)
Apa
yang mereka tetapkan tentang prisip-prinsip seperti ma’rifatulloh dan
sifat-sifatNya, tidaklah kuat, bahkan membatalkan penetapannya. (lihat Majmu’ul Fatawa, XVI : 463)
Diatara
kalimat Syaikhul Islam yang masyhur tentang kedudukan ini dan yang ia sebutkan
berulang-ulang kali dalam tulisan sesudahnya adalah :
Akal
sehat (benar) akan selalu sesuai dengan perkataan Rosulullah saw dan sama
sekali menyalahinya. Sebab mizan itu haruslah dengan kitab, sedangkan Alloh
menurunkan Kitab dengan haq dan mizan. Namun akal manusia kuasa menajngkau
ma’rifah secara rinci apa-apa yang terkandung didalamnya. Maka didatangkanlah
seorang Rosul kepada mereka untuk mengatasi kelemahan mereka dalam ma’rifat
itu, bukannya untuk mengikuti apa-apa yang diketahui oleh akal mereka yang bisa
membatalkannya. Maka para Rosul Alloh diutus membawa berita untuk menjawab
kebingungan mereka dan bukan membawa berita yang tak dapat dijangkau oleh akal
mereka. (Majmu’ul Fatawa, XVII : 444)
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------