PETAKA UMMAT KARENA BERTAHKIM KEPADA AKAL
(MENUHANKAN AKAL MENGESAMPINGKAN AL QUR`AN DAN AS SUNNAH), Bagian ke-4, (penerj: Abu Fahmi Ahmad)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memaparkan bantahannya secara rinci dari beberapa sudut pandang :

Pertama : benturan tidaklah mungkin terjadi antara dua dalil qoth’I dan sama sekali tak akan terjadi. Adapun jika keduanya sama-sama dalil zhonni, maka tentukanlah mana yang mestinya didahulukan yang rojih secara mutlak. Adapun jika terjadi (dua dalil) zhonni dan qoth’I, maka dahulukan yang qath’I secara mutlak. Dengan demikian, maka jelaslah bahwa dalil akal mutlak tidak bisa di dahulukan, sebab jika ia didahulukan berarti ia sendiri bukanlah dalil akal, namun merupakan dalil qoth’i. Dengan demikian, menjadikan sisi tarjih bukanlah yang dijadikan sandaran oleh golongan tersebut.

Kedua : pembagian empat kelas yang disebutkan Ar Rozi dalam “qonuun” nya tidak bisa dibenarkan. Dan yang seharusnya dikatakan sebenarnya adalah ; Jika dua dalil akal dan naql disatukan, maka mana saja yang termasuk qoth’I wajiblah didahulukan. Jika keduanya dalil zhonni, maka haruslah didahulukan yang paling rojih. Kalau kedua-duanya sama qoth’I, maka itu terlarang dipertentangkan tak mungkin ada benturan sesamanya.

Ketiga : dakwaan mereka tentang mendahulukan naql dari akal membuat cacatnya “ashal”yaitu akal. Dengan demikian ia telah membuat cacat terhadap akal sekaligus naql, dan itu tidak bisa diterima. Katakanlah pada mereka, “apakah yang kalian inginkan dari pernyataan kalian yang menyatakan bahwa, sebenarnya akal itu adalah pangkal dari naql ?” . Maka jika mereka inginkan adanya akal yang menjadi pangkal dalam membenarkan (menetapkan) naql dalam satu perkara, maka hal ini tidaklah dikatakan oleh orang yang berakal, sebab syari;at telah tetap dalam perkara tersebut, baik yang diketahui akal kita maupun yang tidak diketahui, karena tiadanya ilmu bukanlah berarrti mengetahui yang tidak ada.

Ilmu semua berlaku untuk setiap perkara yang tsabit dengan sendirinya, seperti tentang wujud Robb jalla wa ‘Ala, dan hal-hal yang hak bagiNya dari sifat-sifat dan nama-namaNya. Dan juga seperti diutusnya Rosulullah saw, maka dia itu adalah utusan Alloh, sekalipun manusia jahil tentang masalah itu. Dan apa-apa yang diberitakan olehnya maka hal itu benar, sekalipun tak seorangpun yang membenarkannya. Dan apa-apa yang diperintahkan olehnya dari Alloh SWT, maka hal itu adalah hak, sekalipun tak seorangpun yang mentaatinya. Dengan demikian, jelaslah bahwa dari segi ini dakwaan mereka itu rusak.

Jika demikian, tetaplah syari’at itu sendiri tidak butuh ilmu dan akal kita. Namun kitalah yang seharusnya berhajat untuk mengetahui berdasarkan akal kita. Sebab tidak ada kebahagiaan dan keberuntungan lain bagi kita di dunia ini dan juga di akhirat, kecuali kita dapat mngetahui syari’at ini dan mengamalkannya.

Adapun yang mereka inginkan diterimanya perkataan mereka, bahwa akal adalah pokok pangkal dalam pengetahuan kita terhadap sama’ dan dalil bagi kita untuk membenarkannya, maka katakanlah kepada mereka ,”Apakah yang kalian maksukan dengan akal itu ?”.

Apakah yang mereka maksudkan itu adalah insting yang kita miliki ?, padahal insting ini bukanlah suatu ilmu dan bisa saja berlawana dengan naql, bahka ia merupakan syarat dalam memperoleh suatu ilmu baik berdasarkan akal maupun sama’(naql).

Adapun jika mereka menginginkan akal itu diartikan sebagai limu pengetahuan dan ma’rifat, yang dapat kita ambil manfaatnya dengan insting tersebut, maka katakanlah pada mereka,”sesungguhnya ma’rifat aqliyah itu banyak sekali dan tak mungkin bisa dibatasi. Dan setiap yang diketahui oleh akal berupa ma’rifat-ma’rifat dan ilmu tidak bisa dijadikan sebagai pangkal bagi sama’ (dalil naql) dan sebagai dalil atas pembenarannya.

Mengetahui kebenaran sama’ (naql) tidak melampaui batas sesuatu yang digunakan untuk mengetahui kebenaran Rosulullah saw. Dan Alloh SWT telah mengutusnya seperti menetapkan Ash shooni’(Alloh SWT), beriman kepada mu’jizat-mu’jizatnya serta ayat-ayat yang menunjukan kepada kebenaran Rosulullah saw.

Dengan demikian, cela dalam hal penentangan yang bersifat akal yang mengetahui kebenaran sama’ tidak tergantung kepadanya, tidaklah menjadi cela pada pokok sama’ (naql). Dan cela di dalam sebagian dalil akal tidaklah menjadi cela dalam keseluruhannya. Begitu juga kebenaran sebagian akal tidaklah mengharuskan kebenaran pada semuanya.

Dengan demikian dari benarnya hal-hal yang masuk akal yang diatasnya dibangun pengetahuan kita terhadap sama’ (naql) tidaklah mengharuskan benarnya hal-hal yang masuk akal lainnya. Demikian pula rusaknya hal-hal yang masuk akal tidaklah mengahruskan rusaknya hal-hal yang masuk akal lainnya. Terlebih lagi tentang benarnya dalil-dalil akal yang bertentangan dengan dalil-dalil naql (sama’). (lihat Ta’arudlu ‘Aql wan Naql, I : 90)

Terjadilah kekeliruan bagi Ar Razi dan orang yang semisal dengannya tentang konklusi (natijah) yang mana mereka menjadikan dalil-dalil akal semuanya (tanpa kecuali) merupakan jenis yang satu (sama saja) dalam hal penerapannya, baik dalam hal yang benar maupun yang rusak dan telah kita maklumi bahwa dalil-dalil naql hanyalah mengharuskan pembenaran terhadap sebagian yang patut baginya, tidak membenarkan sebagian yang menolak baginya. (lihat Ta’arudl ‘Aql wan Naql, I : 90)

Dengan tinjauan ketiga perkara ini sebagaimana telah dipaparkan oleh Ibnu Taimiyyah-rohimallah- jelaslah bagi kita tentang rusaknya ketiga premisme (mendahulukan dalil akal), yang diatasnya dibangun “undang-undang” mereka (ahli firqoh). Maka jika premisme tersebut telah batal, maka batal pula natjah-natjah yang berdiri diatasnya.

Lalu sampailah Syaikh Ibnu Taimiyyah kepada natjah yang membuat mereka bungkam. Itu sebagai bantahan terhadap penyimpangan praduga (hipotesa) mereka, dimana mereka berkata,”Kami hanyalah mandahulukan dalil naql yang masuk akal yang kami ketahui berdasarkan otak yang sehat.”

Syakhul Islam membantah pernyataan, bahwa dalam hal itu tidak dijumpai suatu yang masuk akal dimana kebenaran haq’ tergantung padanya, sesuatu yang beraturan dengan “sama”, sehingga munculah pernyataan berikutnya bahwa cela dalam sesuatumasuk akal tidaklah cela pada pokok “sama”, lalu ia pun menegakan dalil ntuk kepentingan itu. (Dar’u Ta’arudl’I Aql wan naql, I : 91)




0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------