PETAKA UMMAT KARENA BERTAHKIM KEPADA AKAL
(MENUHANKAN AKAL MENGESAMPINGKAN AL QUR`AN DAN AS SUNNAH), Bagian ke-3, (penerj: Abu Fahmi Ahmad)

Diantara dampak buruk dan mengerikan dalam penerapan manhaj tersebut dalam nash-nash kitab dan sunnah, adalah kaidah yang dipancangkannya dan didukung oleh pemuja-pemuja “Qoonuun Al Kulliy” tersebut dan oleh manhaj Taufiqi, yaitu pengakuan mereka bahwa dalil-dalil sam’iyyah (yang bisa didengar- maksudnya ayat dan hadits) “Zhoniyyah Dalalah” dan tidak memberikan keyakian (lihat Dar’u Ta’arudl’I Aql wan Naql, I : 4-5)

Untuk ini, kami akan bersandar –setelah kepada Alloh- pada bagian pertama (juz 1) dari kitab Dar’u Ta’arudl’I Aql wan Naql, yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan meneliti topik-topik penting yangdapat memenuhi tujuan, insya Alloh Ta’ala.

Kami memperhatikan bahwa Ibnu Taimiyyah memulainya dengan mengupas Qoonuun’I Kulliy yang dipancangkan oleh Ar Razi, barulah dia membantahnya dan membatalkannya, baik secara garis besarnya maupun rinci sampai kepada hal-hal yang berkaitan dengan pembatalan secara menyeluruh terhadap Qoonuun tersebut, atau hasil konklusi penerapannya dalam masalah I’tiqodi, tentu disertai dengan penjelasan tentang rusaknya manhaj pengambilan dalil yang dilakukan oleh para penentang Ahlis Sunnah wal Jama’ah.

Dia (Ar Razi) menegakan Qoonuun’I Kulliy diatas pemikiran adanya pertentangan antara dalil-dalil naqliyyah dan Aqliyyah, kemudian terhadap premisnya ini Ar Razi membangun tuntutan yang bathil yaitu :

1)   Bahwa, menyatukan antara dalil-dalil itu merupakan sesuatu yang mustahil, sebab (tak mungkin) menyatukan dua hal yang saling berlawanan (saling membatalkan), demikian juga membuang (kedua) nya mustahil. Kalau demikian yang diperlukan adalah mendahulukan salah satu dari yang lainnya. Yang sebenarnya, bahwa akal adalah pangkal (dalam memahami) naql (Kitab dan Assunnah), sehingga ia (Ar Rozi) pun mendahulukan akal dari naql.

2)   Karena harus mendahulukan akal, maka naql itu,  kalau tidak ditakwilkan ya atau  mereka kompromikan (dengan akalnya).

3)   Adapun jika antara dalil aqliyyah dan naqliyyah saling bertentangan karena saling berlawanan dan bukan karena saling membatalkan, maka tidak boleh disatukan, tetapi boleh saja apabila membuang keduanya. (Perbedaan antara dliddain,-saling berlawanan- dengan naqidlain –saling membatalkan- adalah : kalau saling berlawanan tidak boleh disatukan, akan tetapi bisa dibuang keduanya, sedangkan saling membatalkan artinya tidak boleh disatukan dan tidak boleh dibuang. Contoh pertama adalah seperti hitam dan putih, dan contoh yang kedua seperti ada dan tidak adanya).

Dan yang harus diketahui bahwa, menurut mereka fikroh tentang adanya pertentangan antara dalil-dalil aqal dan naql, yang dibangun berdasarkan pada anggapan bahwa nas-nas Kitab dan Assunnah, merupakan “Zhaniyyah Dalalah” yang tentunya tidak memberi keyakinan.

Inilah keputusan batil mereka, yang berdasarkan pada sepuluh perkara yang memalingkan dalil-dalil naqliyyah dari zhohirnya, dan mereka menganggap perkara tersebut sebagai pertentangan yang bersipat akal. ( lihat Mahashol Afkar Al Mutaqoddimin wal Muta’akhirin, oleh Ar Rozi, hal. 31 ; lihat Muqoddimah Dar’u Ta’arudl’I Aql wan Naql, hal. 13)

Berikutnya adalah menyangkut pemusatan pendukung-pendukung Qoonun’I Kulliy  atas orang yang mempertentangkan berdasarkan akal, Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa pertentangan seperti itu merusak, secara global maupun terinci.

Secara global, sebenarnya setiap orang yang beriman kepada Alloh sepenuhnya, dan kepada Rosulullah saw. Merupakan orang yang paling fasih (jujur dan benar) lisannya, paling sempurna keterangannyadan paling hebat nasihatnya kepada ummatnya, tentu ia akan mengetahui (maksud) dari apa-apa yang dikehendaki oleh Rosulullah saw dengan ilmu yang pasti. Dan baginya akan dapat memperoleh keyakinan atas setiap berita yangg datang dari sisinya, dan ia mengetahui bahwa setiap pendapat (perkara) yang menentang beritanya, itu adalah batil dan keliru. (lihat dar’u Ta’arudl’I Aql wan Naql. I : 21)

Secara terincinya, dengan mengetahui rusaknya apa yang mereka dakwakan, berupa hujjah yang bertentangan, sebab “Qoonuun al Kulliy” (karya Ar Rozi) dibangun diatas perkara-perkara yang bathil, yaitu asumsi adanya pertentangan antara dalil akal dan naql, dan terbantahnya pembagian sebagaimana yang ia sebutkan menjadi empat, dan batalnya pembagian yang tiga. (lihat Dar’u Ta’arudl’I Aql wan Naql, I : 17)

Golongan-golongan itu telah keliru dalam pokok permasalahan, yang menjadikan akal meereka sebagai ‘pangkal’ bagi sama’, lalu mereka menjadikan hal itu sebagai keharusan, dan ini ciri-ciri ahklul bid’ah. Mereka meletakan pokok yang batil, lalu menghasilkan perkara-perkara lainnyayang berdasarkan pokok-pokok itu, sehingga terjadilah konklusi-konklusi yang keliru seperti halnya premisme-premisme yang keliru. (Dar’u Ta’arudl’I Aql wan Naql, I : 80-81)




0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------