ADA APA DENGAN TEUKU WISNU SOAL AL FATIHAH ?
Antara Teuku Wisnu, al Imam Ibnu Katsir, Imam Syafii dan Ibnu Taimiyah. Soal Pahala Bacaan al Fatihah
Kepada Orang yang sudah meninggal:
Sebelum kita
membicarakan soal Teuku Wisnu, sebaiknya kita simak terlebih dahulu perkataan
Imam Ibnu Katsir rahimahullah, ketika menafsirkan ayat 53 dari surat amn Najm
berikut ini:
Renungan
bagi Pengikut Imam Syafi`ii rahimahullah (Syafi`iyyah):
Salah
seorang ulama Syafi’i, Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata
mengenai firman Allah Ta’ala,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا
سَعَى
“Dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”,
ومن هذه الآية استنبط الشافعي ومن
تبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى ؛ لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم ،
ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه، ولا أرشدهم
إليه بنص ولا إيماء ، ولم ينقل عن أحد من الصحابة رضي الله عنهم ، ولو كان خيراً
لسبقونا إليه وباب القربات يقتصر فيه على النصوص ، ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة
والآراء ، فأما الدعاء والصدقة ، فذاك مجمع على وصولها ومنصوصٌ من الشارع عليها
Dari ayat
ini Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa bacaan Qur’an tidak
sampai pahalanya pada mayit karena bacaan tersebut bukan amalan si mayit dan
bukan usahanya. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menganjurkan umatnya dan tidak memotivasi mereka untuk melakukan hal tersebut.
Tidak ada nash (dalil) dan tidak ada bukti otentik yang memuat anjuran
tersebut. Begitu pula tidak ada seorang sahabat Nabi -radhiyallahu ‘anhum-
pun yang menukilkan ajaran tersebut pada kita. Law kaana khoiron la-sabaquna
ilaih (Jika amalan tersebut baik, tentu para sahabat lebih dahulu
melakukannya). Dalam masalah ibadah (qurobat) hanya terbatas pada dalil,
tidak bisa dipakai analogi dan qiyas. Adapun amalan do’a dan sedekah, maka para
ulama sepakat akan sampainya (bermanfaatnya) amalan tersebut dan didukung pula
dengan dalil (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 13:
279).
Pernyataan
ini dari perkataan Syaikhu Islam Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa
doa pada mayit atau orang yang mati itu sampai dan bermanfaat. Siapa yang
mengingkarinya maka ia adalah ahli bid’ah. Nukilannya sebagai berikut.
Ada pertanyaan dalam Majmu’ Al-Fatawa,
bagaimana dengan ayat,
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إلَّا مَا سَعَى
“Dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”
(QS. An-Najm: 39).
Simak pula sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ
إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ
صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika
seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara
(yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang shalih”
(HR. Muslim no. 1631)
Ini
Bukan Berarti semua amalan kebaikan apa pun tidak sampai pada mayat :
Ibnu
Taimiyah menjelaskan,
لَيْسَ فِي الْآيَةِ وَلَا فِي الْحَدِيثِ أَنَّ
الْمَيِّتَ لَا يَنْتَفِعُ بِدُعَاءِ الْخَلْقِ لَهُ وَبِمَا يُعْمَلُ عَنْهُ مِنْ
الْبِرِّ بَلْ أَئِمَّةُ الْإِسْلَامِ مُتَّفِقُونَ عَلَى انْتِفَاعِ الْمَيِّتِ
بِذَلِكَ وَهَذَا مِمَّا يُعْلَمُ بِالِاضْطِرَارِ مِنْ دِينِ الْإِسْلَامِ وَقَدْ
دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ فَمَنْ خَالَفَ ذَلِكَ
كَانَ مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ
“Tidak ada
dalam ayat atau hadits yang dimaksud yang menunjukkan bahwa mayit tidak
mendapatkan manfaat dengan doa yang lain untuknya, begitu pula dengan amalan
kebaikan yang lain untuknya. Bahkan kaum muslimin sepakat akan manfaatnya doa
dan amalan kebaikan untuk mayit. Hal ini sudah diketahui secara pasti. Dalil
Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ (kesepakatan para ulama) telah mendukung
hal ini. Siapa yang menyelisihi pendapat tersebut, maka ia adalah AHLUL
BID’AH.” (Majmu’ Al-Fatawa, 24: 306)
Bagaimana
dengan bacaan Al-Qur’an, apakah sampai pada mayit ataukah bermanfaat bagi yang
sudah mati?
Ibnu
Taimiyah menyatakan bahwa untuk bacaan Al-Qur’an apakah sampai atau tidak, para
ulama berselisih pendapat. Ibnu Taimiyah berkata,
وَالْأَئِمَّةُ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ
الصَّدَقَةَ تَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ وَكَذَلِكَ الْعِبَادَاتُ الْمَالِيَّةُ :
كَالْعِتْقِ . وَإِنَّمَا تَنَازَعُوا فِي الْعِبَادَاتِ الْبَدَنِيَّةِ :
كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالْقِرَاءَةِ
“Para ulama
sepakat bahwa sedekah pada mayit itu sampai, begitu pula ibadah maliyah
(yang terkait dengan harta) seperti memerdekakan budak. Para ulama berselisih
pendapat dalam amalan badaniyah (yang terkait dengan amalan badan)
seperti shalat, puasa dan bacaan Al-Qur’an apakah sampai atau tidak pada
mayit.” (Majmu’ Al-Fatawa, 24: 308)
Oleh
karena itulah :
(1) Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- tidak mengajak umatnya kepada
amalan itu,
(2) Beliau juga tidak menganjurkan umatnya untuk melakukannya.
(3) Bahkan beliau tidak mengarahkan umatnya kepada amalan itu, baik secara
tegas, maupun secara isyarat.
(4) Hal itu juga tidak pernah dinukil dari satupun sahabat Nabi
-rodhiallohu anhum-, seandainya amalan itu suatu kebaikan, tentunya mereka
telah mendahului kita dalam melakukannya.
(5) Dan di dalam ranah ibadah taqarrub, itu hanya boleh diambil dari sumber
nash-nash saja, dia tidak boleh diambil dari sumber qiyas (analogi) dan
pendapat-pendapat manusia". [Tafsir Ibnu Katsir: 7/465].
--------------------------
Ust. Firanda, MA, dari kota Nabi-Madinah- KSA, mengatakan: Lantas apa bedanya pernyataan Teuku Wisnu
bahwa pengiriman al-Fatihah kepada mayat "Tidak ada dalilnya"
dengan pernyataan Ibnu Katsir rahimahullah di atas?
Kita tidak
sedang membahas manakah pendapat yang lebih kuat tentang sampai atau tidaknya
pengiriman pahala bacaan al-Qur'an, akan tetapi yang anehnya kita menemukan
sebagian orang yang membully Teuku Wisnu, padahal Teuku Wisnu pun hanya
menyampaikan persis seperti apa yang diutarakan oleh Imam Al-Hafiz Ibnu Katsir
rahimahullah. Kalau anda tidak setuju dengan pendapat Imam As-Syafi'i dan Ibnu
Katsir, itu adalah hak anda, akan tetapi membully dan menjatuhkan –hanya karena
permasalahan khilafiyah yang furu'- maka itu belum mencerminkan akhlak yang
baik .
Yang aneh….ternyata pendapat yang dipilih oleh Teuku Wisnu adalah pendapat Imam
Asy-Syafi'i rahimahullah ??!! lantas akhirnya TW terus dibully ??!
Yang
aneh…ternyata ada orang yang karena berat menerima tidak sampainya kiriman
al-fatihah kepada mayat akhirnya mau mencoba meragukan bahwa ini adalah
pendapat Imam Syafi'i, dengan alasan para ulama syafi'iyah yang lebih tahu
pendapat Imam Syafi'i?.
Berikut pernyataan langsung Imam Syafi'i rahimahullh dalam kitabnya Al-Umm:
يَلْحَقُ الْمَيِّتَ من فِعْلِ غَيْرِهِ وَعَمَلِهِ ثَلَاثٌ حَجٌّ يُؤَدَّى
عنه وَمَالٌ يُتَصَدَّقُ بِهِ عنه أو يُقْضَى وَدُعَاءٌ فَأَمَّا ما سِوَى ذلك من
صَلَاةٍ أو صِيَامٍ فَهُوَ لِفَاعِلِهِ دُونَ الْمَيِّتِ
"Perbuatan
dan amalan orang lain akan sampai kepada mayat berupa tiga perkara, (1) haji
yang dikerjakan atas nama sang mayat (2) harta yang disedekahkan atas namanya
atau yang dibayarkan atasnya dan (3) doa. Adapun selain hal ini seperti
sholat atau puasa maka untuk pelakunya bukan untuk mayat. (Al-Umm 4?120)
Dari pernyataan Al-Imam Asy-Syafi'i diatas sangatlah jelas jika beliau
berpendapat bahwa tidak sampainya kiriman pahala bacaan al-Qur'an kepada mayat.
Kalau alasannya para ulama syafi'iyah lebih tahu tentang pendapat Imam Syafi'i,
maka apakah Ibnu Katsir bukan mufassir bermadzhab Syafi'i??
Demikian juga apakah Al-Imam An-Nawawi bukan ulama besar madzhab Syafi'i?, Imam
An-Nawawi lebih tahu tentang madzhab Imam Asy-Syafi'i daripada kita.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
وأما قراءة القرآن وجعل ثوابها للميت والصلاة عنه ونحوهما فمذهب الشافعي
والجمهور أنها لا تلحق الميت
"Adapun
membaca Al-Qur'an dan menjadikan pahalanya untuk mayat, sholat atas mayat dan
juga yang semisal keduanya maka madzhab Asy-Syafi'i dan mayoritas ulama
berpendapat bahwasanya hal-hal tersebut tidak akan sampai kepada mayat"
(Al-Minhaaj syarh Shahih Muslim 11/58).
Beliau menyatakan bahwa ini adalah pendapat Imam Syafi'i dan mayoritas ulama
!!!
Beliau juga berkata :
وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت
وقال بعض أصحابه يصل ثوابها إلى الميت ... ودليل الشافعي وموافقيه قول الله تعالى
وأن ليس للإنسان إلا ما سعى وقول النبي صلى الله عليه وسلم إذا مات بن آدم انقطع
عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
"Adapun
bacaan al-Qur'an, maka yang masyhur dari madzhab Syafi'i adalah pahala
bacaannya tidak sampai kepada mayat. Dan sebagian ulama kita berpendapat bahwa
pahala bacaannya sampai kepada mayat….
Dan dalil
Imam Asy-Safi'i dan para ulama yang sepakat dengannya adalah firman Allah ("Tidaklah
manusia itu memperoleh, kecuali apa yg diusahakannya saja") dan sabda
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : (Jika telah meninggal anak Adam, maka
terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara, sedekah jariyah, atau ilmu
yang bermanfaat, atau anak sholeh yang mendoakannya)(Syarh shahih Muslim 1/90)
Maka sungguh setelah penukilan di atas apakah masih ada sebagian orang yang
meragukan bahwa ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah?. Apakah
Imam Nawawi dan Ibnu Katsir tidak tahu pendapat Imam Syai'ii?, bahkan Imam
An-Nawawi dan Ibnu Katsir bukan hanya menjelaskan pendapat Imam Syafi'i, bahkan
juga menjelaskan pendalilan Imam Syafi'i??
Alhamdulillah Teuku Wisnu telah menunjukkan akhlaknya yang mulia dengan
meminta maaf atas kesalahan beliau karena menjadikan permasalahan khilafiyah
sebagai bahan perdebatan –sebagaimana beliau sebutkan dalam akun twitter
beliau-.
Semestinya kita bangga ada seseorang seperti Teuku Wisnu yang berusaha
menjalankan sunnah Nabi, seorang yang meninggalkan glamournya dunia demi mengenal lebih dekat tentang Islam. Dan kita berharap
akan ada TW TW yang lainnya. Jika ada kesalahan maka wajarlah…apalagi TW siap
meminta maaf atas kesalahannya.
Dan kita
juga menghaturkan "terima kasih" kepada sebagian pengkritik yang
mengkritik dengan sopan dan memberi masukan yang membangun kepada TW, adapun
membully dan menjatuhkan hanya karena memilih pendapat Imam Syafi'i maka
tentunya merupakan sikap yang kurang bijak. Wallahul Musta'aan.
Berikut nukilan dari sebagian tulisan pembelaan terhadap TW yang beredar
di medsos :
1) KISAH SEEKOR ANJING YANG MEMBELA NABI
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
"Suatu hari diadakan pesta besar-besaran untuk merayakan seorang pemuka
mongol yang masuk kristen. Dalam acara itu seorang pendeta kristen
menjelek-jelekan Nabi Muhammad, tiba-tiba seekor anjing pemburu meloncat,
menyerang dan menggigit pendeta. Beberapa orang berusaha melepaskan gigitan
itu, setelah berhasil sebagian hadirin berkata: "Ini terjadi karena kamu
menghina Nabi Muhammad"
Pendeta menjawab: "Tidak, ini karena anjing tadi marah dan salah paham
ketika aku mengangkat tangan dikira akan memukulnya"
Pendeta itupun melanjutkan khutbahnya dan kembali menghina Nabi Muhammad. Pada
saat yang bersamaan anjing itu berhasil memutus tali yang mengikatnya, secepat
kilat dia melompat dan menggigit leher sang pendeta hingga meninggal.
Sekitar 40 ribu orang mongol yang hadir di acara itu ramai-ramai masuk
Islam....
Subhanallah...seekor anjing cemburu ketika Nabi dijelekkan, tidak bisa diam dan
berusaha sekuat tenaga untuk membela beliau...
Apa yang sudah kita lakukan untuk membela Beliau dan sunnah-sunnahnya?
(Lihat: Ad-Durorul Kaaminah, 1/202. Mu'jamus Syuyukh, 387 dengan sanad Shohih)
Seorang saksi mata pada saat itu yang bernama Jamaluddin berkata: "Saya
menyaksikan dengan mata sendiri, anjing itu menyerang leher sang pendeta dengan
ganas, mengunyah dan menelannya lalu matilah orang yang terlaknat itu. Kisah
inipun tersebar luas)
Admin berkata : " tapi lihatlah hamba malang ini....mengatakan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam tidak berhak masuk SORGA dan
mengatakan bahwa KERUDUNG tidak wajib....maka apalah yang pantas buat
dia.?"
Mana suara orang yang heboh dengan pernyataan Teuku Wisnu bahwa mengirimkan al
Fatihah tidak ada dalilnya ? (Admin suara madinah)
2) Aku bukan sedang membela Teuku Wisnu...
Aku bukan sedang membela Teuku Wisnu... Yang hanya karena masalah menghadiahkan
fatehah saja, sebagian kaum muslimin berhasil digiring utk geger, seakan itu
masalah terbesar Indonesia saat ini...
Padahal sudah sangat masyhur bahwa ini hanyalah masalah fikih yg
diperselisihkan oleh para imam madzhab, bahkan antara NU dan Muhammadiyah pun
berselisih pendapat dlm masalah ini.
Malahan mereka yg jelas-jelas menyuarakan bahwa semua agama itu sama dan benar,
bolehnya muslimah menikah dg non muslim, bahkan bolehnya menikah sesama jenis,
malah dibiarkan saja, tidak ada sanksi apapun dr pihak terkait... padahal
pemahaman itu ditentang oleh seluruh imam kaum muslimin.
Aku bukan sedang membela Teuku Wisnu... hanya saja sangat ironis sekali, bila
saudara kita dibully karena memilih pendapatnya IMAM SYAFII yg diagungkan oleh
mayoritas penduduk Indonesia. (Ust Ad-Dariny hafizohullah)
Kota Nabi
-shallallahu 'alaihi wa sallam-, 23-11-1436 H / 07-09-2015 M
Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
-------------------------
Amalan
yang Sampai pada Mayit (Dari artikel Ust Muhammad Abduh
Tuasikal, dari Tanah haram KSA)
Berikut
rincian beberapa amalan yang ada dalil menunjukkan manfaatnya amalan tersebut:
1-
Haji dan Umrah
Yang
membicarakan tentang sampainya pahala haji dan umrah, dari Ibnu ‘Abbas, ia
berkata,
أَمَرَتِ امْرَأَةُ سِنَانَ بْنِ
سَلَمَةَ الْجُهَنِىِّ أَنْ يَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ
أُمَّهَا مَاتَتْ وَلَمْ تَحُجَّ أَفَيُجْزِئُ عَنْ أُمِّهَا أَنْ تَحُجَّ عَنْهَا
قَالَ « نَعَمْ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّهَا دَيْنٌ فَقَضَتْهُ عَنْهَا أَلَمْ
يَكُنْ يُجْزِئُ عَنْهَا فَلْتَحُجَّ عَنْ أُمِّهَا ».
Istri Sinan
bin Salamah Al Juhaniy meminta bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam tentang ibunya yang meninggal dunia dan belum sempat menunaikan
haji. Ia tanyakan apakah boleh ia menghajikan ibunya. “Iya, boleh. Seandainya
ibunya punya utang, lalu ia lunasi utang tersebut, bukankah itu bermanfaat bagi
ibunya?! Maka silakan ia hajikan ibunya”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam (HR. An Nasai no. 2634, Ahmad 1: 217 dari hadits Abu At Tiyah, Ibnu
Khuzaimah 3034, Sunan An Nasai Al Kubro 3613. Sanad hadits ini shahih
kata Al Hafizh Abu Thohir).
Dalam
riwayat lain,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ
امْرَأَةً سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَبِيهَا مَاتَ وَلَمْ
يَحُجَّ قَالَ « حُجِّى عَنْ أَبِيكِ ».
Dari Ibnu
‘Abbas, bahwasanya seorang wanita pernah bertanya pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengenai ayahnya yang meninggal dunia dan belum berhaji,
maka beliau bersabda, “Hajikanlah ayahmu.” (HR. Bukhari 1513 dan Muslim
1334, lafazhnya adalah dari An Nasai dalam sunannya no. 2635).
Begitu pula
boleh mengumrohkan orang yang tidak mampu,
عَنْ أَبِى رَزِينٍ الْعُقَيْلِىِّ
أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ لاَ يَسْتَطِيعُ
الْحَجَّ وَلاَ الْعُمْرَةَ وَالظَّعْنَ. قَالَ « حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ
».
Dari Abu
Rozin Al ‘Uqoili, ia berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku sudah tua renta dan
tidak mampu berhaji dan berumrah, serta tidak mampu melakukan perjalanan jauh.”
Beliau bersabda, “Hajikan ayahmu dan berumrahlah untuknya pula.” (HR. An
Nasai no. 2638, sanadnya shahih kata Al Hafizh Abu Thohir).
Yang
membadalkan haji atau umrah diharuskan telah melakukan ibadah tersebut terlebih
dahulu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ
“Mulailah
dari dirimu sendiri.” (HR. Muslim no. 997).
Juga
didukung oleh hadits,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ
شُبْرُمَةَ.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ شُبْرُمَةُ ».
قَالَ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « هَلْ حَجَجْتَ قَطُّ ». قَالَ لاَ. قَالَ « فَاجْعَلْ
هَذِهِ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ احْجُجْ عَنْ شُبْرُمَةَ ».
Dari Ibnu
‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar
seseorang yang berucap ‘labbaik ‘an Syubrumah’ (aku memenuhi
panggilan-Mu -Ya Allah- atas nama Syubrumah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam pun bertanya, “Siapa Syubrumah?” “Ia adalah kerabat
dekatku”, jawab orang tersebut. “Apakah engkau sudah pernah berhaji
sekali sebelumnya?”, tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia
jawab, “Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatinya,
“Jadikan hajimu ini untuk dirimu, nanti engkau berhaji lagi untuk Syubrumah.”
(HR. Ibnu Majah no. 2903, Abu Daud 1811, Ibnu Khuzaimah 3039, Ibnu Hibban 962.
Sanad hadits ini dho’if, Ibnu Abi ‘Urubah adalah perowi ‘an-‘anah.
Sedangkan Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).
2- Qodho’ puasa
wajib
Dalam hadits
‘Aisyah disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ
صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barangsiapa
yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang
nanti akan mempuasakannya.” (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147) Yang
dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris (Lihat Tawdhihul Ahkam, 3: 525).
3- Utang (qodho’)
nadzar
Sa’ad bin
‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah meminta nasehat pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, dia mengatakan,
إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا
نَذْرٌ
“Sesungguhnya
ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar (yang belum
ditunaikan).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,
اقْضِهِ عَنْهَا
“Tunaikanlah
nadzar ibumu.” (HR. Bukhari no. 2761 dan Muslim no. 1638)
4- Sedekah atas
nama mayit
Dari
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى
الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ
إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ
أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya
Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, sedangkan Sa’ad
pada saat itu tidak berada di sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai
Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu
tidak berada di sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu
untuknya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’
Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau
begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan
untuknya’.” (HR. Bukhari no. 2756).
Sedekah
untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum
muslimin. Lihat Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 24: 314.
5-
Amalan sholih dari anak yang sholih
Segala
amalan sholih yang dilakukan oleh anak yang sholih akan bermanfaat bagi orang
tuanya yang sudah meninggal dunia.
Allah Ta’ala
berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا
مَا سَعَى
“Dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”
(QS. An Najm: 39). Di antara yang diusahakan oleh manusia adalah anak yang
sholih.
Dari
‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ
الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sesungguhnya
yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri.
Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.” (HR. Abu Daud no. 3528 dan
An Nasa-i no. 4451. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ini berarti
amalan dari anaknya yang sholih masih tetap bermanfaat bagi orang tuanya walaupun
sudah berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang
pantas mereka nikmati.
6- Do’a untuk mayit
Setiap do’a
kaum muslimin bagi setiap muslim akan bermanfaat bagi si mayit, baik dari
anaknya, orang yang melakukan shalat jenazah untuknya, dan kaum muslimin secara
umum. Dalilnya adalah keumuman firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ
بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ
سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا
رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa:
“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman
lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati
kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang”.” (QS. Al Hasyr: 10). Ayat ini menunjukkan
bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup
kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah do’a karena ayat ini mencakup
umum, yaitu orang yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia.
Begitu pula
sebagai dalil dalam hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ
لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ
كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ
وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Do’a
seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah
do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya
ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan
saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan
mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi”.” (HR. Muslim no. 2733, dari
Ummu Ad Darda’). Do’a kepada saudara kita yang sudah meninggal dunia adalah di
antara do’a kepada orang yang di kala ia tidak mengetahuinya.
7- Do’a anak yang
sholih, sedekah jariyah dan ilmu yang diambil manfaatnya
Dalam
hadits disebutkan,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ
انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ
يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika
seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara
(yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh”
(HR. Muslim no. 1631).
Kirim
Pahala Al Fatihah
Kita biasa
saksikan di tengah-tengah masyarakat kita mengenai tradisi kirim pahala. Dalam
do’a mereka katakan, “Ilaa hadroti ‘fulan’, al fatihaah”. Bagaimanakah
pandangan Islam tentang hal ini? Apakah amalan semacam itu diajarkan dalam
Islam?
Syaikh
Muhammad Nashiruddin dalam Ahkamul Janaiz menyebutkan,
أن قول الناس اليوم في بعض البلاد:
” الفاتحة على روح فلان ” مخالف للسنة المذكورة، فهو بدعة بلا شك، لا سيما والقراءة
لا تصل إلى الموتى على القول الصحيح
“Perkataan
yang masyhur di tengah-tengah masyarakat di berbagai negeri, “(Kirim pahala) Al
Fatihah pada ruh ‘fulan’ ” adalah menyelisihi ajaran Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam-, itu termasuk amalan yang tiada tuntunan tanpa diragukan
lagi. Lebih-lebih pahala bacaan Qur’an tidak sampai pada orang yang telah mati
menurut pendapat yang lebih tepat.
Dalam
Ahkamul Janaiz disebutkan pula,
وأما قراءة القرآن عند زيارتها،
فمما لا أصل له في السنة، بل الاحاديث المذكورة في المسألة السابقة تشعر بعدم
مشروعيتها، إذ لو كانت مشروعة، لفعلها رسول الله وعلمها أصحابه، لا سيما وقد سألته
عائشة رضي الله عنها – وهي من أحب الناس إليه – عما تقول إذا زارت القبور؟ فعلمها
السلام والدعاء.
ولم يعلمها أن تقرأ الفاتحة أو
غيرها من القرآن، فلو أن القراءة كانت مشروعة لما كتم ذلك عنها، كيف وتأخير البيان
عن وقت الحاجة لا يجوز كما تقرر في علم الاصول، فكيف بالكتمان، ولو أنه علمهم شيئا
من ذلك لنقل إلينا، فإذ لم ينقل بالسند الثابت دل على أنه لم يقع.
“Adapun membaca Al Qur’an ketika
ziarah kubur, maka tidak ada landasan dalil sama sekali. Bahkan hadits yang
membicarakan hal tersebut yang telah disebutkan sebelumnya menunjukkan amalan
tersebut tidak disyari’atkan. Dan seandainya hal tersebut disyari’atkan, tentu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melakukannya, begitu pula
para sahabat. Ketika ‘Aisyah -istri yang paling dicintai Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam – bertanya pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengenai apa yang dibaca ketika ziarah kubur, maka yang dianjarkan pada ‘Aisyah
adalah ucapan salam dan do’a. Dan tidak dianjarkan membaca Al Fatihah atau
bacaan Qur’an lainnya. Seandainya membaca Al Qur’an tatkala ziarah kubur
itu disyari’atkan, maka tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
diam. Bagaimana beliau bisa mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan?
Tentu tidak boleh, sebagaimana telah diketahui dalam ilmu ‘ushul. Mana mungkin
bisa diam dalam kondisi semacam itu? Seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengajarkan pada para sahabat akan hal itu, tentu akan sampai pada
kita. Jika tidak ada riwayat sanad dalam perkara ini, maka itu menunjukkan
amalan tersebut tidak ada.”
Hanya Allah
yang memberi petunjuk kepada kebenaran.
-----------------------
Antara
Kirim Pahala dan Acara Selamatan Kematian
Muhammad Abduh
Tuasikal, di KSU Riyadl, Kerajaan Saudi Arabia
Masalah
sampainya pahala pada si mayit masih dalam ranah perselisihan oleh para ulama,
bukan hal yang mereka sepakati bersama karena barangkali pemahaman akan
dalil-dalil yang berbeda. Sebagian mereka menyatakan bahwa mengirimkan pahala
itu sampai pada si mayit, yang lainnya tidak menyetujui hal ini. Namun
demikianlah kadang pengikut hawa nafsu seenaknya sendiri mencomot fatwa. Ketika
ia mendapati ulama yang menyatakan bolehnya kirim pahala pada si mayit dan itu
sampai, ia pun seolah-olah menyatakan legalnya acara yang ia maksud yaitu
tahlilan dan yasinan –yang sudah sangat ma’ruf di masyarakat kita ketika ada
orang terdekatnya meninggal dunia lalu diselamati dengan 3, 7, 40 atau 100
hari-. Padahal ulama madzhab yang selama ini ia ikuti tidak menyatakan sampainya
dan juga mereka tidak menyetujui kumpul-kumpul setelah kematian.
Di antara
ulama yang diambil fatwanya dan disebarluaskan adalah Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah. Imam yang sudah sangat masyhur, namun dibenci di
sebagian kalangan. Seolah-olah Ibnu Taimiyah menjadi salah seorang yang pro
dengan acara selamatan kematian, tahlilan dan yasinan. Padahal tidak demikian.
Di antara fatwa beliau adalah sebagai berikut.
وَسُئِلَ : عَمَّنْ ” هَلَّلَ سَبْعِينَ أَلْفَ
مَرَّةٍ وَأَهْدَاهُ لِلْمَيِّتِ يَكُونُ بَرَاءَةً لِلْمَيِّتِ مِنْ النَّارِ ”
حَدِيثٌ صَحِيحٌ ؟ أَمْ لَا ؟ وَإِذَا هَلَّلَ الْإِنْسَانُ وَأَهْدَاهُ إلَى
الْمَيِّتِ يَصِلُ إلَيْهِ ثَوَابُهُ أَمْ لَا ؟ .
Ibnu
Taimiyah ditanya mengenai hadits “ada yang bertahlil (membaca ‘laa ilaha
illallah’) sebanyak 70.000 kali lalu ia menyedekahkannya kepada si mayit, maka
itu bisa menyelamatkan si mayit dari siksa neraka”, apakah ini termasuk hadits
shahih ataukah tidak? Jika seseorang bertahlil (mengucapkan ‘laa ilaha
illallah’) lalu menghadiahkannya kepada mayit, apakah itu sampai kepada mayit?
فَأَجَابَ : إذَا هَلَّلَ الْإِنْسَانُ هَكَذَا
: سَبْعُونَ أَلْفًا أَوْ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ . وَأُهْدِيَتْ إلَيْهِ نَفَعَهُ
اللَّهُ بِذَلِكَ وَلَيْسَ هَذَا حَدِيثًا صَحِيحًا وَلَا ضَعِيفًا . وَاَللَّهُ
أَعْلَمُ .
Ibnu
Taimiyah menjawab, “Jika seseorang bertahlil seperti itu sebanyak 70.000 kali
atau kurang atau bahkan lebih dari itu, lalu ia hadiahkan kepada mayit, maka
Allah akan menjadikan amalan tersebut bermanfaat (bagi si mayit). Yang
membicarakan hal ini bukan hadits shahih, bukan pula dho’if. Wallahu a’lam.”
(Majmu’ Al Fatawa, 24: 323).
Kita akan
semakin jelas jika membandingkan fatwa beliau dengan perkataan beliau yang
lainnya.
Di tempat
yang lain, Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa dalam masalah
sampainya kirim pahala pada mayit itu ada khilaf (beda pendapat) di kalangan
para ulama dan yang shahih (tepat), pahala tersebut sampai. Beliau rahimahullah
berkata,
وَالْعُلَمَاءُ لَهُمْ فِي وُصُولِ
الْعِبَادَاتِ الْبَدَنِيَّةِ : كَالْقِرَاءَةِ ؛ وَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ إلَى
الْمَيِّتِ قَوْلَانِ : أَصَحُّهُمَا أَنَّهُ يَصِلُ
“Mengenai
sampainya pahala ibadah badaniyah kepada si mayit seperti amalan bacaan Al
Qur’an, shalat, puasa, ada dua pendapat di kalangan para ulama. Yang tepat
dalam masalah ini, pahala tersebut sampai” (Majmu’ Al Fatawa, 31: 41).
Dalam
bahasan yang lain, Ibnu Taimiyah menjelaskan,
وَأَمَّا اشْتِرَاطُ إهْدَاءِ ثَوَابِ
التِّلَاوَةِ فَهَذَا يَنْبَنِي عَلَى إهْدَاءِ ثَوَابِ الْعِبَادَاتِ
الْبَدَنِيَّةِ : كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ ؛ وَالْقِرَاءَةِ فَإِنَّ
الْعِبَادَاتِ الْمَالِيَّةَ يَجُوزُ إهْدَاءُ ثَوَابِهَا بِلَا نِزَاعٍ وَأَمَّا
الْبَدَنِيَّةُ فَفِيهَا قَوْلَانِ مَشْهُورَانِ . فَمَنْ كَانَ مِنْ مَذْهَبِهِ
أَنَّهُ لَا يَجُوزُ إهْدَاءُ ثَوَابِهَا : كَأَكْثَرِ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ
كَانَ هَذَا الشَّرْطُ عِنْدَهُمْ بَاطِلًا …. وَمَنْ كَانَ مَنْ مَذْهَبُهُ
أَنَّهُ يَجُوزُ إهْدَاءُ ثَوَابِ الْعِبَادَاتِ الْبَدَنِيَّةِ : كَأَحْمَدَ
وَأَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ وَطَائِفَةٍ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ .
“Adapun
disyaratkan (dalam masalah nadzar, pen) menghadiahkan pahala bacaan Qur’an,
maka hal ini kembali pada permasalahan menghadiahkan pahala ibadah badaniyah
seperti shalat, puasa, bacaan Al Qur’an. Untuk ibadah maliyah (berkaitan dengan
harta), maka boleh menghadiahkan pahala kepada si mayit dan hal ini tidak
diperselisihkan oleh para ulama. Untuk ibadah badaniyah, hal ini diperselihkan
oleh mereka dan ada dua pendapat yang masyhur dalam masalah ini. Bagi mereka
dalam madzhabnya menyatakan tidak boleh menghadiahkan pahala kepada si mayit
–seperti menjadi madzhab kebanyakan pengikut Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i,
maka jika disyaratkan demikian, maka itu syarat yang batil. … Dan siapa yang
madzhabnya membolehkan mengirimkan pahala ibadah badaniyah kepada si mayit
–seperti dalam madzhab Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah dan sebagian pengikut Imam
Malik- ….” (Majmu’ Al Fatawa, 31: 50).
Ibnu
Taimiyah pernah ditanya,
وَسُئِلَ : هَلْ الْقِرَاءَةُ تَصِلُ إلَى
الْمَيِّتِ مِنْ الْوَلَدِ أَوْ لَا ؟ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ .
“Apakah
pahala membaca Al Qur’an dari anak sampai pada si mayit menurut madzhab
Syafi’i?”
Beliau rahimahullah
menjawab,
أَمَّا وُصُولُ ثَوَابِ الْعِبَادَاتِ
الْبَدَنِيَّةِ : كَالْقِرَاءَةِ وَالصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ فَمَذْهَبُ أَحْمَد
وَأَبِي حَنِيفَةَ وَطَائِفَةٍ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ إلَى
أَنَّهَا تَصِلُ وَذَهَبَ أَكْثَرُ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ إلَى
أَنَّهَا لَا تَصِلُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ .
“Adapun
mengirim pahala ibadah badaniyah seperti membaca Al Qur’an, shalat dan puasa
menurut madzhab Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah dan sebagian pengikut Imam Malik,
pahala tersebut sampai. Namun kebanyakan pengikut Imam Malik dan Imam Asy
Syaf’i menyatakan tidak sampai. Wallahu a’lam.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 324)
Meskipun
beliau menyetujui sampainya pahala bacaan Al Qur’an atau amalan badaniyah
lainnya pada si mayit namun beliau nyatakan bahwa pahala yang ditujukan untuk
diri sendiri itu lebih afdhol.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan, “Bagaimana dengan orang yang membaca Al
Qur’an Al ‘Azhim atau sebagian Al Qur’an, apakah lebih utama dia menghadiahkan
pahala bacaan kepada kedua orang tuanya dan kaum muslimin yang sudah mati,
ataukah lebih baik pahala tersebut untuk dirinya sendiri?”
Beliau rahimahullah
menjawab:
Sebaik-baik
ibadah adalah ibadah yang mencocoki petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah menyampaikan dalam khutbahnya,
خَيْرُ الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ
وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sebaik-baik
perkataan adalah kalamullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
–shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang
diada-adakan. Setiap bid’ah adalah sesat.”
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda,
خَيْرُ الْقُرُونِ قَرْنِي ثُمَّ
الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik
generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka.”
Ibnu Mas’ud
mengatakan,
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا
فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ ؛ فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ
الْفِتْنَةُ أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ
“Siapa saja
di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah petunjuk dari
orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih hidup tidaklah aman dari
fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah para sahabat Muhammad –shallallahu
‘alaihi wa sallam-.”
Jika kita
sudah mengenal beberapa landasan di atas, maka perkara yang telah ma’ruf di
tengah-tengah kaum muslimin generasi utama umat ini (yaitu di masa para sahabat
dan tabi’in, pen) bahwasanya mereka beribadah kepada Allah hanya dengan ibadah
yang disyari’atkan, baik dalam ibadah yang wajib maupun sunnah; baik amalan
shalat, puasa, atau membaca Al Qur’an, berdzikir dan amalan lainnya. Mereka pun
selalu mendoakan mukminin dan mukminat yang masih hidup atau yang telah mati
dalam shalat jenazah, ziarah kubur dan yang lainnya sebagaimana hal ini
diperintahkan oleh Allah. Telah diriwayatkan pula dari sekelompok ulama
salaf mengenai setiap penutup sesuatu ada do’a yang mustajab. Apabila
seseorang di setiap ujung penutup mendoakan dirinya, kedua orang tuanya,
guru-gurunya, dan kaum mukminin-mukminat yang lainnya, ini adalah ajaran yang
disyari’atkan. Begitu pula doa mereka ketika shalat malam dan tempat-tempat
mustajab lainnya.
Terdapat
hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan sedekah pada mayit dan memerintahkan pula untuk
menunaikan utang puasa si mayit. Jadi, sedekah untuk mayit merupakan amal sholeh.
Begitu pula terdapat ajaran dalam agama ini untuk menunaikan utang puasa si
mayit. Oleh karena itu, sebagian ulama membolehkan mengirimkan pahala ibadah
maliyah (yang terdapat pengorbanan harta, semacam sedekah) dan ibadah badaniyah
kepada kaum muslimin yang sudah mati. Sebagaimana hal ini adalah pendapat Imam
Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah. Jika mereka
menghadiahkan pahala puasa, shalat atau pahala bacaan Qur’an maka ini
diperbolehkan menurut mereka. Namun, mayoritas ulama Malikiyah dan Syafi’iyah
mengatakan bahwa yang disyari’atkan dalam masalah ini hanyalah untuk ibadah
maliyah saja.
Tidak
kita temui pada kebiasaan para ulama salaf, jika mereka melakukan shalat,
puasa, haji, atau membaca Al Qur’an; mereka menghadiahkan pahala amalan mereka
kepada kaum muslimin yang sudah mati atau kepada orang-orang yang istimewa dari
kaum muslimin. Bahkan kebiasaan dari salaf adalah melakukan amalan yang
disyari’atkan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, setiap orang tidak boleh melampaui
jalan hidup para salaf karena mereka tentu lebih utama dan lebih sempurna dalam
beramal. Wallahu a’lam.” –Demikian penjelasan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah- (Majmu’ Al Fatawa, 24: 321-323).
Terakhir, kami dapat simpulkan beberapa
point bahasan sebagai berikut:
Pertama: Mengirimkan pahala ibadah
maliyah seperti sedekah disepakati oleh para ulama akan sampainya.
Kedua: Mengirimkan pahala ibadah
badaniyah seperti shalat, puasa dan bacaan Al Qur’an mengenai sampainya
diperselisihkan oleh para ulama. Imam Asy Syafi’i dan kebanyakan ulama
Malikiyah berpendapat tidak sampainya menghadiahkan pahala kepada si mayit.
Adapun Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat
sampainya pahala pada si mayit.
Namun
anehnya orang-orang yang menukil pendapat sampainya pahala pada si mayit,
kebanyakan menukil pendapat di luar madzhab Syafi’i, mereka mengambil pendapat
Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah karena hal itu yang dapat mendukung ritual amalan
mereka dalam merayakan kematian si mayit dengan tahlilan dan yasinan.
Ketiga: Tidak kita temui pada kebiasaan
para ulama salaf, jika mereka melakukan shalat, puasa, haji, atau membaca Al
Qur’an; mereka menghadiahkan pahala amalan mereka kepada kaum muslimin yang
sudah mati atau kepada orang-orang yang istimewa dari kaum muslimin. Bahkan
kebiasaan dari salaf adalah melakukan amalan untuk diri mereka sendiri.
Keempat: Jika ada pendapat yang
menyetujui sampainya pahala yang dihadiahkan untuk si mayit seperti lewat
bacaan Qur’an dan tahlil, itu bukan berarti mereka menyetujui acara tahlilan
atau selamatan kematian. Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah tidak pernah menyetujui
acara tersebut. Yang menukil pendapat mereka tidak pernah membuktikan perkataan
tegas bahwa Ibnu Taimiyah melegalkan dan melakukan yasinan, tahlilan atau
selamatan kematian pada hari ke-3, 7, 40 atau 100. Yang menukil cuma bisa
berhenti sampai pernyataan Ibnu Taimiyah yang menyatakan sampainya pahala pada
si mayit. Padahal Ibnu Taimiyah sudah menyatakan bahwa amalan untuk diri sendiri
itu lebih utama daripada menghadiahkan pahala untuk yang lain.
Juga sebagai
renungan, bagaimana mungkin pahala bisa sampai kepada si mayit, sedangkan yang
biasa diundang yasinan atau tahlilan ada yang menyatakan ingin cari duit atau
cari makanan saja. Ini jelas tidak ikhlas. Kalau sudah tidak ikhlas ketika
membaca Al Qur’an, bagaimana mungkin bisa dihadiahkan pada si mayit?! Amalan
yang tidak ikhlas jelas-jelas tertolak.
Ya Allah,
berilah kami petunjuk untuk berada di atas kebenaran dan terhindar dari jalan
keliru yang jauh dari tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wa billahit
taufiq, hanya Allah yang memberi taufik.
(Al Faqir ilallah
Muhammad Abduh Tuasikal.di KSU, Riyadl, KSA.)
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------