Hari ke 4-5 : SEKILAS TENTANG KANDUNGAN SURAT AL-FATIHAH (Resume)

1. Pendahuluan
Ibnu Qayyim Rahimahullah mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. menyampaikan Al-Quran kepada para sahabat langsung dengan lafadz dan maknanya. Beliau menyampaikan makna kepada mereka sebagaimana beliau menyampaikan lafadznya. Tidak ada penyampaian lain, kecuali dengan cara tersebut.
Allah Ta’ala berfirman:
 “...dan tiada lain kewajiban Rasul itu, kecuali menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (An-Nuur : 54)
Ayat di atas mengandung maksud bahwa penyampaian makna merupakan tingkat penjelasan tertinggi. Barang siapa mengatakan bahwa beliau tidak menyampaikan makna-makna perkataannya dan perkataan Rabbnya kepada ummat, tapi hanya menyampaikan lafadznya dan menyerahkan pemahaman maknanya kepada mereka berdasarkan apa yang disebutkan orang-orang itu, maka orang tersebut tidak membenarkan penyampaian itu.[1]
Namun yang menjadi persoalan dikalangan ulama adalah menyangkut jumlah ayat yang ditafsirkan Nabi itu, apakah sebagian ataukah seluruhnya? Dalam hal ini DR. Muhammad Husain Adz-Dzahabi mengatakan: “Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah ayat (Al-Quran) yang telah ditafsirkan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tersebut. Ada yang berpendapat bahwa beliau telah menjelaskan makna Al-Quran itu seluruhnya kepada para sahabat, termasuk makna semua katanya. Pendukung paling terkemuka dari pendapat ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (lihat Muqaddimah fi Ushulit Tafsir, halaman 5). Ulama-ulama lainnya berpendapat bahwa Beliau hanya menjelaskan sedikit saja  dari makna Al-Quran itu kepada para sahabat. Pendukung-pendukung pendapat kedua ini adalah Khuwaibi dan As-Suyuthi.”[2]
Mengenai kedua pendapat di atas, DR. Muhammad Husein Adz-Dzahabi cenderung mengikuti pendapat kedua, yang menyatakan bhwa Nabi menjelaskan hanya sedikit saja dari makna Al-Quran itu kepada para sahabat, sebagaimana dapat dilihat pada kitab-kitab hadits shahih.[3]
Rasulullah tidak menjelaskan makna Al-quran secara keseluruhan, karena berdasarkan satu riwayat dari Ibnu Jarir Ath-Thabari dengan sanadnya dari Ibnu Abbas rahimahullah yang berkata:
“Tafsir menyangkut empat tema pokok: Pertama, bagian-bagian yang diketahui oleh orang-orang yang menguasai bahasa Arab. Kedua, tafsir yang tidak bisa dimaafkan dari seorang pun karena kebodohannya, semuanya harus mengerti. Ketiga, tafsir yang hanya diketahui oleh para ulama. Keempat, tafsir yang hanya diketahui Allah Ta’ala.”[4]
Selajutnya, Muhammad husein Adz Dzahabi mengatakan: “Karena itu sudah barang tentu Nabi tidak menafsirkan ayat-ayat yang dengan mudah dapat dipahami oleh orang-orang yang mengerti bahsa Arab, karena Al-quran memang diturunkan dalam bahsa tersebut; dan juga tidak menafsirkan ayat-ayat yang dengan mudah dapat dipahami oleh orang-orang bodoh. Di samping itu, Nabi juga tidak menafsirkan tema-tema Al-quran yang hanya diketahui Allah saja, misalnya tentang terjadinya kiamat, hakikat ruh, dan hal-hal ghaib yang memang dirahasiakan oleh Allah kepada Nabi-Nya itu. Namun demikian, Nabi menjelaskan, sejalan dengan perintah Allah, beberapa hal-hal ghaib sepanjang hal-hal tersebut diperlihatkan Allah kepadanya dan tidak diperlihatkan  kepada para sahabat. Selain itu, Nabi juga tidak menafsirkan tema-tema yang termasuk kategori ketiga, yang diketahui oleh para ulama melalui ijtihad, seperti mengenal lafazh mujmal, takhshishul ‘am (yang mengecualikan makna umum), lafazh taqyidul muthlaq (yang membatasi makna mutlak dari lafazh tertentu), dan lafazh-lafazh lainnya yang maksud dan maknanya sulit diketahui.”[5]
Namun, jika ditanya tentang cara penafsiran yang baik, tentu jawabnya adalah menafsirkan ayat dengan ayat Al-quran. Sebab adakalanya ayat yang disingkat, dirinci atau diperjelas di ayat lain. Tetapi, jika tidak juga mendapatkan pengertian dari ayat, maka kembalilah kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, sebab Sunnah Rasul merupakan pen-syarah Al-quran dan menjelaskannya. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
“Dan tidaklah Kami turunkan kitab kepadamu, melainkan supaya kamu jelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan, juga untuk menjadi petunjuk (hidayah) dan rahmat bagi kaum yang beriman.”  (An-Nahl: 64)
Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Ingatlah, sungguh padaku telah diturunkan Al-quran dan yang serupa dengannya bersama Al-quran (maksudnya As-Sunnah).”[6]
Namun, jika tidak terdapat juga dalam As-Sunnah, maka kembalilah merujuk perkataan sahabat ridlwanillah ajma’in, sebab mereka itu lebih mengetahui yang demikian.[7]
Sahabat yang sering disebut sebagai pendahulu ummat terbaik (salafush shalih) menurut Al-Qaslani adalah generasi pertama yang mendalam ilmunya, mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, dan memelihara As-Sunnah. Mereka telah dipilih Allah untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan din-Nya. Mereka adalah imam-imam ummat yang diridlai Allah dan berjuang gigih di jalan Allah. Mereka berusaha semaksimal mungkin menasihati ummat dan memberikan hal-hal yang bermanfaat. Mereka mencurahkan seluruh kemampuannya untuk mencari keridlaan Allah, sehingga Allah memuji mereka di dalam kitab-Nya. Karena itu, kita wajib mengikuti apa yang mereka sampaikan, mendalami apa yang mereka amalkan, dan memohonkan ampun buat mereka.[8]
Berkaitan dengan pemahaman Ahlussunah dalam hal menafsirkan Al-quran yang terbaik, maka untuk membahas surat Al-Fatihah ini pun memakai cara mereka menafsirkan Al-quran. Dalam hal ini tafsir Ibnu Katsir sebagai rujukan utama, yang ringkasannya telah disusun oleh Muhammad Nasib Ar-Rifa’i--salafi--dengan judul Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Li Ikhtishar Tafsir Ibnu Katsir.
Kemudian secara maksimal diberikan penjelasan yang berkaitan dengan realitas kehidupan kaum Muslimin di negeri kita, dalam menyikapi Al-Fatihah ini.
Semoga Allah memberikan petunjuk bagi kami dalam membahas tafsir Al-Fatihah, serta memberikan pertolongan dan perlindungan-Nya dari segala kekeliruan yang disengaja.
2.  Turunnya Al-Fatihah dan Nama-Nama Lainnya
Ibnu Abbas, Qatadah, dan Abul Aliyah berkata, bahwa surat Al-Fatihah adalah termasuk surat Makkiyah--diturunkan di Makkah. Abu  Hurairah, Mujahid, Atha bin Yasar, dan Az Zuhri menyatakan bahwa Al-Fatiha diturunkan di Madinah. Sementara  ada pula mufassirin yang menyatakan diturunkan dua kali, di Makkah dan di Madinah. Pendapat pertama lebih mendekati kemiripan berdasarkan firman Allah:
‘Dan kami telah mendatangkan kepadamu tujuh ayat pujian...”
Maksudnya yang dipuji dan diulang-ulang oleh setiap Muslim minimal 17 kali  dalam sehari semalam dalam sholat fardlu. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.[9]
Sebagaimana surat-surat atau ayat-ayat yang turun di Makkah selalu mengandung keterangan mengenai aqidah dan ketetapan-ketetapan, hujjah-hujjah dan perumpamaan  untuk menjelaskan serta mengukuhkannya.    Adapun rukun-rukun aqidah yang terbesar adalah tauhidullah dalam ibadah kepada-Nya, penetapan nubuwwah Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, pernyataan (penetapan) prinsip-prinsip tempat kembali semua makhluk, dan darul akhirat.[10]
Nama-nama lain dari Al-Fatihah sebagaimana disebutkan dalam riwayat shahih adalah Ummul Kitab, Ummul Qur’an, As Sab’ul Matsani, dan Al-quranul Azhim. Hal itu dikuatkan juga oleh hadits shahih menurut Tirmidzi dari Abu Hurairah rahimahullah yang mengatakan telah bersabda Rasulullah :
Alhamdulillahirrabbil ‘Alamin: Ummul Qur’an, Ummul Kitab, Sab’ul Matsani  dan Al-quranul ‘Azhim.” 
Serta disebutkan pula nama lain, yaitu Al Hamdu dan Ash Shalat, berdasarkan hadits qudsi yang disampaikan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam:
”Aku membagi shalat (Al-Fatihah) antara-Ku dan antara hamba-Ku menjadi dua bagian, maka jika hamba-Ku membaca Alhamdulillahirrabbil ‘Alamin, Allah menjawab: ‘Hamba-Ku memuji-Ku...’.”[11]
Selain itu juga disebut dengan nama lain seperti diriwayatkan oleh Ad-Darimi dari Abi Sa’id dengan hadits marfu’, yaitu: “Fatihatul Kitab adalah obat dari semua racun” dan dinamakan juga “Ar-Ruqyah”--jampi--sebagaimana diriwayatkannya, ketika dia menjampi seorang tokoh suatu kaum dengan Al-Fatihah. Lalu berkata Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepadanya: “Dari mana dia mengetahui bahwa Al-Fatihah itu sebagai jampi?”  Dalam riwayat disebutkan sakit orang tersebut adalah digigit binatang berbisa.[12]
Sedangkan Asy-Sya’bi meriwayatkan dari Ibnu Abbas rahimahullah bahwa Al-Fatihah itu disebutnya sebagai Asasul Qur’an (Asas Quran). Sebagaimana ia berkata: “Asasnya adalah bismillahirrahmanirrahim”. Selain itu, Sufyan bin ‘Uyainah menyebutnya dengan Al-Waqiyah, artinya ‘tameng’ dan Yahya bin Abi Katsir menamainya dengan Al-Kafiyah, artinya ‘memadai’, karena Al-Fatihah ini mencakup semua ayat-ayat dalam Al-quran dan ayat-ayat lain tidak mencakup isi Al-Fatihah. Berdasarkan sebuah hadits mursal, berkata Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam:
“Ummul Qur’an dapat menjadi pengganti yang lainnya, tetapi yang lain tidak dapat menjadi pengganti Al-Fatihah.” 
Pada bagian lain, Al-Fatihah juga dinamai dengan Ash Shalah dan Al-Kanzu (perbendaharaan), sebagaimana disebutkan Az Zamakhsyari dalam Al-kasysyaf.
Keutamaan Surat Al-Fatihah
·         Pertama, Imam Ahmad Ibnu Hanbal rahimahullah meriwayatkan dari Abu Hurairah rahimahullah, bahwa:
“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam memanggil Ubai bin Ka’ab  ketika ia sedang shalat di masjid. Seusai  shalat Ubai mendatangi Rasulullah, lalu Rasulullah memegang tangan Ubai, kemudian keluar bersama-sama dari masjid dan berkata: ‘Aku ingin engkau tidak keluar dari masjid ini sebelum mengetahui satu surat yang tidak pernah diturunkan di dalam Taurat, tidak pula dalam injil, dan tidak pula dalam Al-Qur'an surat yang menyamainya’. Lalu aku perlambat jalanku, dan aku berkata pada Rasulullah: ‘Surat apakah yang engkau janjikan tadi, ya Rasulullah?’ Lalu Rasulullah membacakan: Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin dan seterusnya, dia berkata: ‘Inilah satu surat yang merupakan tujuh ayat yang berulang-ulang dan (sekaligus) merupakan Al-Qur'an Al-’Azhim yang telah disampaikan kepadaku.’[13]
·         Kedua, diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib rahimahullah , bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang membaca Al-Fatihah (Fatihatul Kitab), maka seakan-akan dia telah membaca Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Furqon (Al-Qur'an).”
·         Ketiga, Imam Ahmad ibnu Hanbal rahimahullah meriwayatkan dari Abi Sa’id bin Al-Mu’alla rahimahullah:
“Aku sedang shalat lalu dipanggil Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ,aku pun tidak dapat memenuhinya. Setelah usai  shalat, aku mendatangi beliau, lalu Rasulullah berkata: ‘Kenapa engkau tidak segera memenuhi panggilanku?’ Aku menjawab: ‘Karena aku dalam shalat, ya Rasulullah. Rasulullah berkata:’Bukankah Allah telah berfirman: ‘Hai orang-orang yang beriman penuhilah panggilan Allah dan Rasulul-Nya apabila menyeru kamu kepada apa yang menghidupkan kamu’.”  Kemudian beliau berkata: ‘Aku akan mengajarkan padamu sebesar surat di dalam Al-Qur'an sebelum engkau pergi (keluar) dari masjid ini’. Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam akan keluar dari masjid, beliau memegang tanganku lalu aku berkata: ‘Ya Rasulullah, Engkau mengatakan hendak mengajarkan kepadaku sebesar-besar surat (a’zham surah) dalam Al-Qur'an’,  berkata Rasulullah  Shallallahu 'Alaihi Wasallam: ‘Ya, surat itu adalah  Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin dan seterusnya, ialah tujuh ayat yang berulang, dan itulah Al-Qur'an Al-’Azhim yang telah disampaikan kepadaku’.”[14]
Demikian pula diriwayatkan Imam Bukhari, Abu Dawud, An-    Nasa’i, dan Ibnu Majah dari berbagai jalan.
·         Keempat, di dalam hadits lain, Imam Muslim dalam kitab shahih dan  An-Nasa’i di dalam kita sunnahnya dari Ibnu Abbas rahimahullah berkata:
“Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tengah duduk-duduk bersama Jibril as., tiba-tiba Rasulullah mendengar suatu bunyi dari atas, lalu Jibril menoleh ke atas, kemudian berkata: ‘Itu sebuah pintu telah terbuka di langit yang mana pintu itu tidak pernah terbuka sebelumnya. Lalu dari pintu itu turun satu Malaikat yang langsung menuju Rasulullah seraya berkata: ‘Bergembiralah Engkau (Muhammad) mendapat dua cahaya yang aku bawakan ini, yang mana kedua cahaya ini tidak pernah diberikan kepada Nabi-Nabi sebelummu. Kedua cahaya itu adalah Farihatul Kitab dan ayat-ayat penghujung surat Al-Baqarah, setiap huruf Engkau baca dari keduanya, pasti Engkau memperolehnya.” Lafazh ini menurut An-Nasa’i.[15]
·         Kelima, Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah rahimahullah, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Barangsiapa shalat tidak membaca di dalamnya Ummul Qur’an maka tiadalah sempurna (shalatnya)”. Lalu dikatakan oleh Abu Hurairah: “Kami bermakmum dalam shalat dan berkatalah Imam itu kepadaku: ‘Bacalah Al-Fatihah dalam hatimu, sebab aku telah mendengar Rasulullah mengatakan: ‘Telah berfirman Allah ‘Azza wa Jalla: ‘ Aku bagi surat (Al-Fatihah) antara-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian, seperduanya untuk-Ku dan seperduanya lagi untuk hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa yang mereka minta. Apabila hamba-Ku berkata Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin, Allah menjawab: ‘Hambaku telah memuji-Ku’, dan apabila hambaku berkata Arrahmaanirrahiim, maka Allah menjawab: ‘Hamba-Ku menyanjung-Ku’, apabila hamba-Ku berkata Maaliki Yaumiddiin, Allah pun berkata: ‘Hamba-Ku memuliakan-Ku’. Apabila hamba-Ku berkata Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’iin, maka Allah pun menjawab: ‘Yang ini seperdua untuk-Ku dan seperdua untuk hamba-Ku, bagi hambaku adalah apa yang ia minta. Apabila hamba-Ku berkata Ihdinash Shiraathal Mustaqiim, Shiraathalladziina an’amta ‘alaihim ghairil maghdluubi ‘alaihim wa ladl dlaalliin, maka Allah menjawab: ‘Ini semuanya untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta’.”  Demikian juga diriwayatkan An-Nasa’i.[16]
·         Keenam, diriwayatkan Imam Bukhari dari Abi Sa’id al Hudri rahimahullah: 
“Pada suatu hari kami bersama-sama dalam perjalanan dan bermalam di suatu kaum. Datang kepada kami seorang wanita (budak) dan berkata: ‘Sesungguhnya seorang kepala kaum ini sakit dan tak seorang pun dari kami yang dapat mengobatinya, adakah di antara tuan-tuan yang dapat mengobatinya?’ Salah seorang dari rombongan kami berdiri dan mengikuti budak tadi. Kami tidak mengira bahwa ia dapat menjampi. Si penderita itu dijampinya dan ternyata sembuh (atas izin-Nya). Kepadanya diberikan hadiyah tiga puluh ekor kambing dan kepada kami disuguhkan air susu. Ketika ia kembali, kami bertanya: ‘Apakah Engkau pandai menjampi si sakit?’ Ia menjawab: ‘Tidak juga. Saya bukan seorang dukun mantera. Sebenarnya saya hanya membaca surat Al-Fatihah.’ Kami katakan: ‘Kejadian ini kami mohon jangan diberitakan kepada siapa pun sebelum mendapat fatwa dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam’. Setelah kami sampai di kota Madinah, kami datangi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan kami ceritakan kejadian tersebut. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkata: ‘Siapa yang mengetahui kalau Al-Fatihah itu sebagai mantera (jampi), bagilah hadiah itu dan berikan sebagian untukku’.”
Kasus tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Dawud dari Hisyam.  Di dalam beberapa riwayat dari Muslim diterangkan bahwa sakit kepala suku (kaum) itu adalah sakit karena sengatan binatang berbisa dan yang memanterai itu adalah Abu Sa’id Al-Hudri sendiri.
Perihal dijadikannya ayat-ayat Al-Qur'an sebagai obat, khususnya Al-Fatihah, terjadi perbedaan pendapat, apakah untuk mengobati rohani saja, jasmani saja, atau keduanya. Dalam hal ini Ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan: “Adapun Al-Fatihah itu mengandung obat buat hati (rohani), maka tidaklah ada perbedaan di kalangan ulama.”
Penyakit yang menimpa kalbu berpokok pada dua perkara, yaitu rusaknya ilmu dan rusaknya tujuan. Karena kerusakan tersebut, maka timbullah dua penyakit hati yang sangat bahaya, yaitu adl dlalal (kesesatan) dan al-ghadlab (keangkara-murkaan). ‘Kesesatan’ karena rusaknya pengetahuan, sedangkan ‘keangkar-murkaan’ karena rusaknya tujuan hidup. Kedua penyakit inilah induknya segala penyakit hati. Maka hidayah yang bernama Shirathal Mustaqim ( Al-Qur'an ) adalah obat dari penyakit pertama, adl-dlalal. Sedangkan pengertian yang terkandung dalam Iyyakana’budu wa iyyakanasta’in adalah obat dari penyakit kedua, al-ghadlab atau rusaknya tujuan hidup.
Adapun Al-Fatihah ini dapat pula menyembuhkan penyakit-penyakit tubuh atau jasmani. Hal ini telah jelas diterangkan dalam hadits Sa’id al-Hudri tadi. Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa penyakitnya telah sembuh hanya dengan bacaan Al-Fatihah, sehingga tidak memerlukan obat lainnya.[17]
Hukum Membaca Al-Fatihah di Dalam Shalat
Perkara hukum membaca Al-Fatihah di dalam shalat berjama’ah terbagi dalam tiga pendapat:
·         Pertama, wajib membacanya bagi Imam maupun makmum dan juga bagi yang shalat munfarid (sendiri). Berdasarkan keumuman hadits yang berbunyi:
“Tidak (shah) shalat seseorang bagi yang tidak membaca Al-Fatihah.”
“Barangsiapa shalat tidak membaca Ummul Qur’an di dalamnya, maka tidaklah sempurna shalatnya.”
Inilah yang diyakini oleh Asy-Syafi’i rahimahullah.
·         Kedua, Tidak wajib atas makmum membaca Al-Fatihah dan juga tidak wajib untuk yang lainnya, baik dalam shalat jahriyah (bacaan keras/nyaring) maupun shalat sirriyyah (bacaan lirih/tak diperdengarkan). Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Ibnu Hanbal di dalam Musnadnya dari Jabir bin Abdillah, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkata:
“Barangsiapa mempunyai Imam (shalat makmum berjamaah), maka bacaan Imam adalah bacaan baginya juga.”
Akan tetapi hadits ini sanadnya dlaif dan diriwayatkan Malik dari Wahab Ibnu Kaisan dari Jabir melalui perkataannya. Hadits ini diriwayatkan dari berbagai jalan yang tidak sah sedikitpun sumbernya.
·         Ketiga, Wajib membaca Al-Fatihah bagi makmum dalam shalat sirriyah dan tidak wajib dalam shalat jahriyah. Seperti dikuatkan dalam hadits shahih Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Imam itu dijadikan untuk diikuti (oleh makmum), maka jika ia bertakbir, makmum pun ikut bertakbir dan jika ia membaca (Al-Fatihah dan surat), maka makmum hendaklah berdiam (tidak membacanya).”
Pendapat ini juga merupakan qaul qadim Imam Syafi’i rahimahullah[18] dan inilah yang haq (benar) sesuai dengan firman Allah Ta’ala:
“Jika dibacakan Al-Qur'an, maka hendaklah kalian mendengarkan-nya dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.”
Mendengar dan diam adalah perintah Allah Ta’ala, sehingga kita dirahmati. Jika kita mendengar dan diam, maka hati menjadi kosong dan siap untuk memahami. Apabila kita paham maknanya dan mengamalkannya, maka Allah akan memberikan rahmat kepada kita sebagai balasan amalan dan pemahaman kita. Adapun jika Imam membaca secara jahr dan kita juga membaca bersamanya, maka kita tidak dapat sekaligus memahami apa yang kita baca dan dengarkan. Jika kita tidak berhasil memahami dan juga tidak berhasil mengamalkannya, tentu kita tidak memperoleh rahmat-Nya.[19]
Pokok-Pokok Kandungan Al-Fatihah
Telah disebutkan di atas, bahwa surat Al-Fatihah adalah induk dari Al-Qur'an keseluruhannya, karena di dalam surat Al-Fatihah ini terdapat intisari dari isi Al-Qur'an.
Al-Qur'an diturunkan diwaktu ummat manusia di seluruh penjuru alam ini sangat membutuhkan tuntunan dan hidayah yang akan membawa mereka kepada ketentraman jiwa dalam segala segi hidup dan kehidupan.
Jiwa manusia tidak puas dan tidak menginginkan keadaan yang berlaku dalam masyarakat. Di mana saja waktu itu dunia telah dipenuhi dengan keadaan-keadaan yang tidak wajar. Itikad dan kepercayaan yang bukan kepada Allah dan Rasul-Nya. Pemuka agama, raja-raja, pemimpin, dan syaikh-syaikh kabilah yang memiliki kekuasaan tidak terikat sedikitpun. Akhlak dan budi pekerti serta tindakan-tindakan yang sangat bertentangan dengan perikemanusiaan. Seakan-akan orang telah lupa pada ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul sebelum Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Maka, kedatangan Al-Qur'an adalah untuk memenuhi tuntutan jiwa yang hendak lepas  dari belenggu kepercayaan-kepercayaan, hukum dan peraturan-peraturan, adat istiadat atau tradisi-tradisi, serta dongeng-dongeng yang tidak selaras lagi dengan akal dan pikiran yang selalu berkembang dan menuju pada kesempurnaan.
Untuk memenuhi tuntutan jiwa ini, Al-Qur'anul Karim datang dengan membawa aqaid (keimanan), hukum-hukum dan peraturan, janji-janji dan ancaman (peringatan), serta kisah-kisah tentang ummat-ummat terdahulu yang dapat dijadikan pelajaran dan i’tibar agar manusia hidup aman dan tenteram, berbahagia dunia dan akhirat.
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa isi Al-Qur'an itu sebagai berikut:
1.  Keimanan (aqa’id)
2.  Ibadat
3.  Hukum-hukum dan peraturan-peraturan
4.  Janji dan ancaman
5.  Kisah-kisah atau cerita-cerita.

3.  Mabda dan Ghayah
Bismillahirrahmanirrahim sebagai Asas dan Mabda’
Seperti telah disebutkan, bahwa Al-Fatihah juga memiliki nama Al-Asas, artinya sendi atau dasar. Sebagaimana disebutkan Sufyan bin Uyainah, hal itu karena dianggap sebagai dasar dar Al-Qur'an, sedangkan ayat Bismillahirrahmanirrahim dinyatakan sebagai dasar dari Al-Fatihah.
Dikatakan sebagai Mabda’, karena kita disunnahkan untuk memulai setiap pekerjaan yang baik dengan membaca Basmalah dan pada hakikatnya setiap amalan itu mempunyai titik memulai sebagai pembangkit dan juga mempunyai titik yang dituju atau Ghayah.
Mabda’ pada hakikatnya adalah apabila seorang mukmin hendak melakukan suatu pekerjaan baik didasarkan pada iman atas perintah Allah dan Rasul-Nya, serta bertujuan memperoleh ridla-Nya.
Ibnu Hibban meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Setiap perbuatan (urusan) yang penting yang tidak dimulai dengan menyebut Bismillahirrahmanirrahim, maka pekerjaan (urusan) itu tidak mendatangkan keberkahan (terputus dari rahmat-Nya).”           
Termasuk dalam perkara makan dan minum pun disunnahkan memulainya dengan membaca Basmalah.  Sebagaimana Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah berkata kepada Umar bin Abu Salamah (anak tirinya) :
“Sebutlah Bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa yang ada di dekatmu.”
Melakukan perbuatan yang dimulai dengan iman dan bertujuan memperoleh ridla Allah merupakan suatu perbuatan takwa. Sebagaimana ketika Thalaq bin Hubaib ditanya seseorang: “Jika terjadi fitnah, maka padamkanlah dengan takwa. Kalau begitu apakah takwa itu?” Ia menjawab: “Anda melakukan ketaatan kepada Allah atas dasar nurun minallah dan mengharap tsawab (pahala) Allah dan meninggalkan kemaksiatan kepada Allah atas dasar nurun minallah dan takut hukuman Allah.”
Setiap amalan harus mempunyai mabda’ dan ghayah, titik mulai dan tujuan. Suatu amalan tidak dikatakan ketaatan dan pendekatan sehingga menjadikan iman sebagai sandarannya, karena iman itulah yang menjadi pembangkit amalannya, bukan kebiasaan atau pun hawa nafsu. Oleh karena itu, iman sebagai mabda’ dan pahala, serta ridla Allah sebagai tujuan (ghayah).[20]
Menyebut Bismillahirrahmanirrahim di setiap permulaan perbuatan sama dengan menyebut asma Allah dan mengingat akan kebesaran-Nya. Menyadari kebesaran Allah di setiap perbuatan akan berdampak besar secara kejiwaan bagi pelakunya dan pekerjaan yang dilakukannya. Kesadaran ini tumbuh sebagai panggilan iman yang membangkitkan seorang hamba terhadap perbuatannya atas panggilan dan perintah Allah sebagai pembuat syari’at. Mabda’ itulah yang akan mengantarkan seorang hamba mampu melakukan amalan secara itqan (tekun dan baik) dan iklas dalam memperoleh ridla dan tsawab dari Zat Yang Maha Agung. Dalam hal ini, perkataan Thalaq bin Hubaib “Di atas cahaya Allah” menunjukkan kepada sandaran amal dan sebab pembangkitnya.
Adapun perkataannya tentang Tarju Tsawaballab (mengharap pahala Allah) adalah menunjukkan kepada pokok yang kedua--yaitu Ihtisab--yang merupakan ghayah (tujuan), sehingga untuk kepentingan inilah terjadinya amalan.
Keutamaan Bacaan Basmalah
Muhammad Nasib ar-Rifa’i mengatakan bahwa berdasarkan penelitian Ibnu Katsir rahimahullah, sebagaimana dinyatakan dalam kitab tafsirnya, maka menyangkut ayat Basmalah, kedudukannya di dalam Al-Qur'an, baik dalam surat Al-Fatihah maupun dalam surat-surat lain, dan juga menyangkut fadlilah (keutamaan)-nya, adalah sebagai berikut:
Abu Dawud meriwayatkan dengan isnad shahih dari Ibnu Abbas rahimahullah, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak mengenal batas pemilahan surat, sehingga diturunkan kepadanya (Bismillahirrahmanirrahim). Dan para ulama sepakat bahwa Basmalah ini merupakan bagian dari ayat dari surat An-Naml, namun mereka berbeda pendapat tentangnya: apakah ia termasuk ayat terpisah bebas di dalam permulaan setiap surat, apakah ia hanya ada pada Al-Fatihah dan tidak terdapat pada surat lainnya, atau bahwa ia sebagai pemisah antara surat yang satu dengan surat lainnya?  Yang palin rajih (kuat periwayatannya) adalah bahwa Basmalah merupakan pemisah antara surat-surat. Hal ini didasarkan pada pernyataan Ibnu Abbas rahimahullah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Bagi mereka yang berpendapat bahwa Basmalah ini merupakan bagian ayat dari surat Al-Fatihah , maka di antara mereka ada yang men-jahar-kan Basmalah ketika shalat dan bagi yang tidak menganggap bagian dari Al-Fatihah, maka mereka men-sirr-kannya. Bagi yang memiliki pendapat tersebut, sama-sama memiliki pendukung dari jamaah sahabat, telah kuat dan tsabat menunjukkan bahwa keempat Khalifah Rasyidah, mereka men-sirr-kan Basmalah. Demikian pula thaifah (kelompok) dari salaf tabi’in dan khalaf dari mereka, serta madzhab Abu Hanifah, Ats-Tsauri, dan Ibnu Hanbal. Bagi Imam Malik, ia bahkan tidak membaca Basmalah secara jahar maupun sirr.
Ringkasnya, telah diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan para Imam Ahlus Sunnah, bahwa mereka bersepakat atas shahihnya riwayat yang menyatakan perlunya men-jahar Basmalah dan juga bagi yang men-sirr-kan Basmalah. Wallahu A’lam.[21]
Dalam tafsir yang sama, Ibnu Katsir--yang dinukil kembali oleh Muhammad Nasin ar-Rifa’i--meriwayatkan beberapa hadits yang menunjukkan keutamaan Basmalah, antara lain:
1.     Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi hatim rahimahullah meriwayatkan di dalam tafsirnya dengan sanadnya dari Utsman Ibnu ‘Affan:
      “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ditanya tentang Bismillahirrahmanirrahim . Lalu ia menjawab: ‘Ia adalah nama dari nama-nama Allah, begitu dekatnya kalimat Basmalah ini dengan nama Allah yang Teragung seperti dekatnya biji mata yang hitam dengan putihnya’.”
2.     Waki’ meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud rahimahullah :
“Barangsiapa yang ingin diselamatkan dari (siksa) Malaikat Zabaniyah yang sembilan belas itu, maka bacalah Bismillahirrahmanirrahim, maka Allah menjadikan setiap hurufnya sebagai tameng dari masing-masing mereka”
3.     Dari hadits Bisyr bin ‘Ammarah dari Adl-Dlahhak, Ibnu Abbas rahimahullah  berkata:
“Sesungguhnya yang pertama diturunkan Jibril kepada Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, ketika Jibril berkata: ‘Hai, Muhammad, bacalah Asta’idzu bis Sami’il ‘Alimi Minasy Syaithanir-rajim, lalu bacalah Bismillahirrahmanirrahim’.”
4.      Juga diriwayatkan oleh An-nasa’i di dalam Al-Yaum wal Lailah (sehari semalam) dan dari Ibnu Mardawaih di dalam tafsirnya dari hadits Khalid al-Hidza’ dari Al-Hajimi dari Abi Malih bin Usamah bin ‘Umair dari ayahnya berkata:
“Ketika saya mengawal Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, lalu beliau tersandung, maka aku berkata: ‘Celaka syaithan itu!’ Lalu Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkata: ‘Jangan Anda berkata demikian, sebab ia (syaithan) menjadi merasa besar (busung dada) sehingga seolah-olah ia seperti rumah, namun katakanlah Bismillahi, sehingga ia menjadi kecil bagaikan seekor lalat’. Dan inilah yang termasuk barakah Bismillah.”[22]
Bahkan banyak terdapat riwayat lain dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang menyatakan bahwa Basmalah menjadi kalimat yang mengawali doa, seperti doa masuk kamar mandi (MCK), ketika berwudlu’, hendak makan, dan ketika hendak menyembelih hewan--bahkan sebagian ulama mewajibkannya. Demikian juga ketika hendak melakukan hubungan badan dengan istri ataupun suami. Sebagaimana hadits dari Bukhari-Muslim dari Ibnu Abbas:
“Sekiranya seseorang dari kamu, bila ingin mendekati istrinya (melakukan jima’), lalu menyebut Bismillahi jannibnasy syaithan wa jannibisy syaithana ma razaqtana, maka syaithan tidak dapat menggangu anak (yang dilahirkannya) selama-lamanya.”

* * *




[1]  Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Ma’alimul Inthilaqatul Kubra, Muhammad Abdul Hadi Al Mishri, Daar Thayyibah, 1988 hal. 32.
[2]  Lihat pendapat Khuwaibi yang dikutip As-Suyuthi dalam Al-Itqan, II, hal. 179 dan 279.
[3]  Lihat Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Penafsiran Al-Quran, PT. Raja Grafindo Persada,    Jakarta, penerjemah Drs. Machnun Husein, catatan ketiga, Oktober
[4]  Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Ikhtisar Tafsir Ibnu Katsir. I/ hal.3, Muhammad Nasib ar-Rifa’i, dan lihat juga Tafsir Ath-Thabari, I/25. 
[5] Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Ikhtisar Tafsir Ibnu Katsir. I/ hal.4 - 5
[6]  HR. Abu Dawud dari Al-Miqdam bin Ma’di Karib rahimahullah.
[7] Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Ikhtisar Tafsir Ibnu Katsir. I/ hal.2
[8]  Al- Mufassirun Bainat Ta’wil wal Itsbat, I/18 dan lihat juga  Ahlussunnah wal Jama’ah Ma’alim Inthilaqatul Kubra, Muhammad Abdul Hadi Al-Mishri, hal. 51.
[9]  Tafsir Ibnu Katsir, I/9, Darul Fikr, 1986
[10]  Aisarut Tafasir li Kalamil ‘Aliyyil Kabir, Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi. Cet.III,
     hal. 10, Jilid I, 1990.
[11] Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Ikhtisar Tafsir Ibnu Katsir. I/ hal.6
[12] Idem. Hal. 9
[13]  Diriwayatkan juga oleh Tirmidzi
[14]  Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Ikhtisar Tafsir Ibnu Katsir, Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, I/7.
[15] Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Ikhtisar Tafsir Ibnu Katsir, Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, I/8
[16]  Idem.
[17]  Ringkasan dari Madarijus Salikin, juz I hal. 52-57
[18] Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Ikhtisar Tafsir Ibnu Katsir, Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, I/8-9
[19] Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Ikhtisar Tafsir Ibnu Katsir, Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, I/19

[20]  At Taqwa, Al-Ghayatul Mansyudah wad Duratul Mafqudah. Ahmad Farid. Hal. 11
[21]  Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Li Ikhtishar Tafsir Ibnu Katsir. Jilid I hal. 10-11
[22]  Taisirul ‘Aliyyul Qadir. Jilid I, hal. 11


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------