Beginilah Cara Mempelajari Kitab Para Ulama (Ke-01)
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Artikel Muslim.Or.Id
7
February 2015
Bagian Ke-1:
Renungan
Sebagian orang ada yang berusaha
menjatuhkan kehormatan ulama
dengan mencela dan merendahkan mereka, bahkan ada pula golongan yang
menyamalkan diri mereka dengan ulama, sehingga dengan ringan hati mengeluarkan
pernyataan-pernyataan yang “megah” dalam urusan agama untuk membantah
fatwa-fatwa ulama Ahlus Sunnah dan merendahkannya, padahal
pernyataan-pernyataan tersebut lebih rapuh dari sarang laba-laba. Sampaikan
kepada mereka “ulama itu kedudukan ilmiyah yang sangat tinggi, tidak mudah
menjadi ulama. Sungguh jauh berbeda antara Anda dengan mereka, bercerminlah”.
Di sisi lain, sebagian dari penuntut
Ilmu yang telah mendapatkan hidayah sunnah dan memiliki semangat mempelajari
berbagai kitab ulama pun ada yang merasakan hal seperti ini,
“Tahunan sudah saya mengikuti
kajian dari daurah ke daurah dan banyak sudah kitab-kitab ulama yang telah saya
baca, namun saya merasa seolah-olah ‘tidak punya apa-apa’, tidak menguasai
kaidah-kaidah dasar yang kokoh, tidak bisa menganalisa sebuah masalah ilmiyah
dengan baik, dan tidak mampu memahami apalagi membahas masalah-masalah yang pelik!”.
Suatu pertanyaan yang layak dijadikan renungan: “Sudah benarkah cara
belajarnya?
Menuntut ilmu syar’i
Adalah Jalan yang Panjang
Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh hafizhahullah
mengatakan, “Menuntut Ilmu syar’i adalah jalan yang panjang, tidaklah terwujud
dengan baik kecuali dengan meninggalkan perkara yang sia-sia lagi melalaikan,
serta meninggalkan mengikuti kesenangan syahwat belaka. Di samping itu, juga
harus melakukannya dengan bersungguh-sunguh ”. Mengapa demikian?Karena Allah
Yang Maha Mengetahui tentang wahyu-Nya telah mensifati wahyu yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Ucapan yang
berat,
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan
kapadamu perkataan yang berat” (QAl-Muzzammil:
5).
Hal yang dimaksud dengan Ucapan
yang berat di sini adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Oleh sebab itu, ketika Imam Malik rahimahullah
ditanya tentang suatu masalah, beliau tidak menjawabnya, lalu ada yang
berkata, “Ini masalah yang enteng atau masalah yang sepele”, sang Imam pun
menjawab, “Jangan Anda katakan seperti itu! Karena (sesungguhnya) tidak
ada satupun dari ilmu syar’i ini, -baik permasalahan kecil maupun yang besar-
layak dikatakan sepele atau enteng, karena Allah Jalla wa ‘alaa
mensifatinya dengan (perkataan yang) berat {إِنَّا سَنُلْقِي
عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا }”.
Ucapan Imam Malik rahimahullah
adalah ucapan yang mendalam dan sarat makna.
Hal ini adalah tingkatan pertama
dari tangga menuntut ilmu bahwa seorang penuntut ilmu tidak boleh menyepelekan
dan menggampangkan ilmu, walaupun seandainya masalah yang dibahas benar-benar
perkara yang mudah dipahami. Bukan berarti tidak ada sebagian dari ilmu syar’i yang
lebih mudah dipahami daripada sebagian yang lainnya.Namun maksudnya, walaupun
suatu materi ilmu itu mudah, tetap tidak layak untuk disepelekan.Mengapa?
Seorang penutut ilmu syar’i,
tidaklah dikatakan menguasai ilmu syar’i dengan baik dan tidaklah dikatakan
memiliki ilmu yang mapan kecuali dengan memberikan perhatian yang besar
terhadap semua masalah ilmiyah, baik yang kecil maupun yang besar, baik terkait
dengan aktifitas memahami dan memperolehnya, menghafal maupun
mengulang-ulangnya, mendalamkan dan mengokohkannya dalam hati serta
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu adalah perkara yang
berat.Ada sebuah kata Mutiara yang terbukti dalam kenyataan dan menarik untuk
kita simak
العلم إنْ أعطيته كلّك أعطاك بعضه، وإنْ أعطيته
بعضك لم تدرك منه شيئا
Ciri khas ilmu syar’i itu,
seandainya Anda telah memberikan pengorbanan semua yang Anda miliki, maka ilmu
tersebut hanyalah akan memberikan kepadamu sebagiannya saja, namun jika
Anda memberikan pengorbanan sebagian saja untuk memperolehnya, maka Anda tidak
akan mendapatkan apa-apa darinya” .
Seorang Penuntut Ilmu
Haruslah Memiliki Metodologi dalam Belajar
Ya, metodologi (manhaj) yang
benar dalam menuntut ilmu syar’i dan membaca kitab-kitab ulama haruslah
dimiliki oleh setiap penuntut ilmu syar’i karena jika ia sampai tidak
memilikinya, maka bisa luntur semangatnya, bosan dan bahkan ia bisa berhenti di
tengah jalan.
Telah berlalu sekian tahun lamanya
ia belajar ilmu-ilmu syari’at ini, namun ia dapati dirinya seolah-olah masih
seperti yang dulu, awam atau berstatus ”banyak baca kitab” saja,
walaupun hanya pendahuluan, daftar isi, dan beberapa bab secara sekilas.
Akhirnya, pengetahuannya
setengah-setengah, tidak menguasai kaidah-kaidah dasarnya, tidak paham inti
masalahnya, lebih tidak paham lagi masalah perinciannya dan perkara-perkara
yang sulit karena yang ia dapatkan selama ini tidak lebih dari sekedar wawasan
dan bukan ilmu yang kokoh dan mapan.
Tiga Kunci Mendasar Sukses
Menuntut Ilmu Syar’i
Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dari
dulu sampai sekarang memiliki tiga kiat sukses mendasar dalam menguasai ilmu
syar’i, sehingga mereka berhasil menjadi para ulama, Aimmatul Huda (para
Imam yang mengajarkan petunjuk Allah), dengan taufik dari Allah Ta’ala.
Ketiga prinsip ini termasuk penyebab
terbesar didapatkannya taufik dan pertolongan Allah, sehingga mereka
mendapatkan anugerah menjadi para ulama rabbaniyin.
1. Ikhlas
Seorang penuntut ilmu syar’i
haruslah ikhlas dalam menuntut ilmu, mencari keridhaan dan kecintaan
Allah, sehingga Dia berkenan memasukkannya ke dalam surga-Nya.Menuntut ilmu
syar’iadalah ibadah yang agung, tidaklah akan diterima dan diberkahi oleh Allah
kecuali dengan keikhlasan, bukan bertujuan untuk mendapatkan perhiasan dunia
berupa harta, tahta, wanita, pujian maupun yang lainnya.
Seorang penuntut ilmu syar’i
tidaklah belajar dengan niat mengincar profesi guru, penceramah, maupun ustadz
terkenal, namun ia belajar agama Islam ini semata-mata dalam rangka beribadah
kepada Rabbnya semata, agar bisa beribadah dan beragama dengan benar (baca:
berilmu dan beramal), dan ingin agar orang lain bisa beribadah dan beragama
dengan benar pula (baca: berdakwah). Bukan profesi, gaji, dan popularitas yang
menjadi tujuannya, namun ilmu, amal dan dakwah yang ia inginkan, inilah profil
penuntut ilmu yang ikhlas, mencari keridhaan dan kecintaan Allah, serta mencari
surga-Nya.
Hal inilah yang dimaksud oleh Imam
Ahmad rahimahullah dalam perkataannya,
العـلم لا يـعـدله شـيء لمن صحّـت نيـتـه ،قيل:
وكيف تصح نيته؟ قال: ينـوي أن يرفع الجهل عن نفسه وعن غيره
“Ilmu (syari’at) itu tidak ada
sesuatu yang bisa menyaingi keutamaannya, bagi orang yang benar niatnya. Ada
yang bertanya, “Bagaimana niatnya bisa benar?” Beliau menjawab, “Hendaklah ia
berniat menghilangkan kebodohan (tentang agama Islam ini) dari dirinya dan dari
orang lain”.
Maksud beliau niat yang benar dalam
menuntut ilmu syar’i adalah berilmu agar bisa beramal dan beribadah dengan
benar serta untuk berdakwah kepada orang lain agar mereka pun bisa beribadah
dengan benar. Intinya adalah berilmu, beramal, dan berdakwah.
2. Cara menuntut Ilmu Syar’i yang
Sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa sallam
Niat yang benar (baca : Ikhlas)
semata tidaklah cukup, haruslah ditambah dengan cara yang benar dalam beribadah
kepada Allah Ta’ala, barulah ketika terkumpul kedua perkara ini, maka
aktifitas ibadah diterima oleh Allah. Di antara cara yang paling penting dalam
menuntut ilmu syar’i adalah Ar-Rifqu (lembut, tidak terburu-buru, tapi
bertahap).
Mengapa demikian? Karena Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam menerangkan kepada kita kabar yang umum,
إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه، ولا ينزع من
شيء إلا شانه
“Sesungguhnya tidaklah kelembutan
ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut (hilang) dari
sesuatu kecuali akan membuatnya jelek” (HR.
Muslim no. 2594).
Maksud dari “sesuatu” disini
umum, termasuk juga didalamnya adalah aktifitas menuntut ilmu syar’i.
Demikian pula dengan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,
إن الله رفيق يحب الرفق في الأمر كله
“Sesungguhnya Allah Maha Lembut,
mencintai kelembutan dalam seluruh perkara” (HR.
Bukhari dan Muslim). sabda beliau (في الأمر كله) mencakup seluruh perkara, termasuk
didalamnya menuntut ilmu syar’i.
3. Ar-Rifqu dalam menuntut Ilmu Syar’i
Bagaimana bentuknya? Ulama
menjelaskan tentang Ar-Rifqu, maknanya adalah berhati-hati, teliti,
tidak terburu-buru, dan bertahap dalam setiap urusan, lawannya adalah mengambil
sesuatu (langkah/keputusan/aktifitas) dengan kasar dan terburu-buru.
Dalam menuntut ilmu syar’i, bentuk Ar-Rifqu
adalah menuntut ilmu syar’i secara bertahap, tidak sekaligus dan tidak
langsung belajar secara luas, mendetail, dan mendalam, namun ia mempelajari
dasar-dasar berbagai disiplin ilmu yang ringkas terlebih dahulu lalu meningkat
ke ilmu lanjutan yang menengah, dan selanjutnya meningkat ke tingkatan yang
lebih tinggi, demikian seterusnya sesuai dengan apa yang dimudahkan oleh Allah
baginya.Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh seorang imam Tabi’in yang
terkenal, Syihab Az-Zuhri,
من رام العلم جملة ذهب عنه جملة وإنّما العلم يطلب
على مرّ الأيام واللّيالي
“Barangsiapa yang mencari ilmu
sekaligus (semuanya atau mayoritasnya), maka akan lenyaplah ilmu tersebut
sekaligus pula. Sesungguhnya ilmu syar’i hanya bisa dipelajari dengan baik jika
menghabiskan waktu siang dan malam (dalam waktu yang panjang) ” .
Menguasai ilmu syar’i dengan baik,
mendalam, luas, detail, dan kokoh itu membutuhkan waktu yang panjang, harus
bertahap selama bertahun-tahun, tidak bisa hanya dalam waktu yang singkat.
Barangsiapa yang coba-coba mempelajarinya langsung mendalam, luas, dan detail
dalam waktu singkat, biasanya ia tidak akan bisa menguasainya dengan baik
sehingga seolah-olah ia seperti tidak pernah belajar sama sekali atau bahkan
benar-benar tidak tahu apa-apa tentang ilmu tersebut.
Adapun tentang bagaimana
contoh-contoh Ar-Rifqu dalam menuntut ilmu syar’i, insya allah akan
berlanjut pada artikel Cara Mempelajari Kitab-Kitab Ulama (bag.2).
—
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Artikel Muslim.Or.Id
Beginilah
Cara Mempelajari Kitab Para Ulama
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Artikel Muslim.Or.Id
9 February 2015
Bagian
ke-2
Pada bagian pertama telah dijelaskan bahwa ada tiga kunci mendasar untuk
sukses menuntut ilmu syar’i yang diterapkan para ulama rahimahumullah,
yaitu Ikhlas, sesuai dengan sunnah, yaitu ar-rifqu. Para ulama
menjelaskan tentang ar-rifqu, maknanya adalah berhati-hati, teliti,
tidak terburu-buru dan bertahap dalam setiap urusan, lawannya adalah mengambil
sesuatu (langkah/keputusan/aktifitas) dengan kasar dan terburu-buru.
Dalam menuntut ilmu syar’i, bentuk ar-rifqu
adalah menuntut ilmu syar’i secara bertahap, tidak sekaligus dan tidak
langsung belajar secara luas, mendetail dan mendalam, namun mempelajari dasar
berbagai disiplin ilmu yang ringkas terlebih dahulu lalu meningkat ke ilmu
lanjutan yang menengah, dan selanjutnya ke tingkatan yang lebih tinggi,
demikian seterusnya sesuai dengan yang dimudahkan oleh Allah baginya.
Contohnya:
Seorang penuntut ilmu syar’i pemula
yang memiliki semangat mempelajari ilmu tafsir -di awal tangga menuntut ilmu-
menginginkan langsung menguasai pembahasan tafsir yang luas, yang disebutkan di
dalamnya banyak perbedaan pendapat para ahli tafsir, detail, dan lengkap dengan
sanadnya serta alasan-alasan ilmiyahnya, padahal ia tidak pernah mempelajari
tafsir yang ringkas sebelumnya, yang mengajarkan dasar-dasar ilmu tafsir dan
tidak pernah pula mempelajari kaidah-kaidah usul tafsir, kaidah tafsir, kaidah tarjih
(menguatkan pendapat), tata bahasa Arab maupun ilmu lainnya yang dibutuhkan
untuk memahami pembahasan tafsir yang detail dan mendalam.
Misalnya saja, penuntut ilmu pemula
tersebut langsung mempelajari kitab tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari yang
tergolong memuat mayoritas ilmu tafsir, sebuah kitab yang terdiri dari belasan
jilid yang tebal. Jika Anda bertanya kepadanya tentang tafsir Ayat tertentu,
maka biasanya ia tidak bisa menjelaskannya dengan baik, hanya ingat saja bahwa
dirinya pernah baca tafsir Ayat tersebut, tidak lebih dari itu.
Begitu juga ketika ia ingin
mempelajari ilmu hadits, ia langsung belajar kitab Syarah Shahihul
Bukhari dan Fathul Baari. Orang seperti ini tidak akan bisa
menguasai ilmu tersebut sebagaimana yang dimiliki ulama atau penuntut ilmu
syar’i yang mapan ilmunya. Ia hanyalah berstatus orang yang “berwawasan luas”
(berwawasan luas dalam tanda petik) alias “pernah banyak tahu atau dengar”
saja, namun banyak lupa dan banyak tidak memahami masalah-masalah atau bab-bab
dalam disiplin ilmu syar’i tersebut.
Di antara penuntut ilmu syar’i
pemula, terkadang ada yang suka menghadiri majelis-majelis atau membaca
kitab-kitab yang mengajarkan ilmu-ilmu tafshiilaat (perincian secara
detail) tentang suatu masalah atau bab tertentu, selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun. Ia menyangka dengan itu dirinya akan mendapatkan ilmu yang
mendalam sebagaimana ulama, padahal ia belum pernah mempelajari ilmu-ilmu
pengantar, ilmu-ilmu dasar dan kaidah-kaidah umum yang dibutuhkan untuk
menguasai masalah tersebut dengan kokoh.
Orang yang seperti ini biasanya akan
banyak lupa perincian ilmu yang telah ia pelajari selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun itu karena ia tidak menguasai ilmu pengantar dan kaidah-kaidah
dasar atau alat yang mengikat perincian yang sangat detail itu, sehingga ia
mudah lupa atau sulit memahaminya. Ketahuilah, bukan demikian metode menuntut
ilmu syar’i yang benar. Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya menjadi rabbaniyyin,
وَلَٰكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ
تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“Akan tetapi (dia berkata),
“Hendaklah kalian menjadi orang-orang rabbani, karena kalian selalu mengajarkan
Al-Kitab dan disebabkan kalian tetap mempelajarinya” (Ali ‘Imran:79).
Imam Al-Bukhari rahimahullah menafsirkan
rabbaniyin dalam kitab shahihnya,
الرباني هو الذي يربي الناس بصغار العلم قبل كباره
“Rabbani adalah orang yang mendidik
manusia dengan ilmu yang dasar dan ringkas sebelum ilmu yang tinggi dan panjang
lebar pembahasannya.” Inilah metode yang benar dalam
belajar maupun mengajarkan ilmu syar’i. Seorang guru yang rabbani
tidaklah menyampaikan semua yang ia ketahui kepada muridnya, ia menyampaikan
apa yang dibutuhkan muridnya sesuai dengan tingkatan ilmunya dan pemahamannya.
Demikian pula seorang murid yang ingin menjadi seorang da’i, syaikh, ulama rabbaniyyin
atau sebatas menjadi pendidik bagi diri dan keluarganya dengan benar, maka
ia mendidik dirinya dengan ar-rifqu (kelembutan) dalam menuntut ilmu
syar’i, tidak membebani dirinya dengan beban-beban menuntut ilmu yang berat
sebelum yang dasar, ringkas, dan mudah.
Hendaklah Penuntut Ilmu
Syar’i Memberikan Waktu Paling Baik dan Mahal untuk Meraihnya
Seorang penuntut ilmu syar’i yang
ingin menjadi generasi penerus ulama ahlus sunnah wal jama’ah janganlah
memberikan “waktu-waktu sisa” dalam ibadah thalabul ‘ilmi. Janganlah ia
berikan waktu sisa-sisa bekerja setelah tenaga banyak terkuras untuk kerja.
Janganlah ia berikan waktu sisa-sisa sibuk (waktu senggang), ketika pikiran
sudah penat. Begitu pula, waktu sisa-sisa umur, ketika sudah hilang umur-umur
emas mampu menghafal dengan kuat (sudah tua).
Bukan berarti ada kata terlambat
untuk jadi ulama bagi yang sudah berusia tua. Namun maksudnya kita bicara sesuatu
yang ideal untuk menjadi ulama. Untuk menguasai ilmu syar’i dengan baik,
berikanlah waktu paling mahal Anda, ketika pikiran masih segar, hafalan masih
kuat, usia masih muda, tidak sedang disibukkan dengan urusan lain, itupun,
sebagaimana kata mutiara mengatakan,
العلم إنْ أعطيته كلّك أعطاك بعضه، وإنْ أعطيته
بعضك لم تدرك منه شيئا
“Ciri khas ilmu syar’i itu,
seandainya Anda telah memberikan pengorbanan semua yang Anda miliki, maka Ilmu
tersebut hanyalah akan memberikan kepadamu sebagiannya saja”
Ketahuilah, memberikan waktu yang
paling baik dan paling mahal untuk meraih ilmu syar’i dan menguasainya bisa
terwujud dengan dua perkara berikut ini:
Pembagian Waktu yang Tepat
Bagilah waktu sesuai dengan ilmu
yang Anda pelajari. Waktu-waktu yang “emas” pakailah untuk mempelajari
ilmu-ilmu yang membutuhkan kosentrasi dan pemikiran yang berat, semisal fikih,
ushul fikih, dan yang semisalnya. Waktu-waktu “perak” gunakanlah untuk
mempelajari ilmu-ilmu yang kurang membutuhkan kosentrasi dan pemikiran yang
berat, semisal tafsir, hadits dan mushthalahnya. Waktu-waktu “perunggu”,
yaitu waktu disaat Anda sudah penat, capek dan lelah berpikir, namun masih
mampu untuk terus belajar, maka manfa’atkan waktu-waktu tersebut untuk membaca
kitab-kitab tentang Adab, biografi ulama, dan yang semisalnya.
Hiduplah Bersama dengan Ilmu dan
Amal, dimanapun Anda Berada
Jadikanlah hatimu senantiasa tertuju kepada ilmu dan amal serta jadilah sosok
insan yang haus ilmu dan pengamalannya, kapanpun dan dimanapun Anda berada.
Pagi, siang, dan malam bersama dengan ilmu dan amal, bangun tidur sibuk dengan
membuka lembaran-lembaran kitab ulama, hendak tidurpun menyanding kitab-kitab
ulama agar suatu saat Anda membutuhkan pembahasan masalah ilmiyyah tertentu,
Anda pun membacanya lalu segera menulisnya agar tidak hilang dari ingatannya.
Jadi intinya, jika Anda ingin
menjadi ulama, maka tempuhlah jalan yang telah mereka tempuh, sebagaimana
sebuah sya’ir,
ترجو النجاة ولم تسلك مسالكها … إن السفينة لا
تجري على اليبس
“Anda mengharapkan kesuksesan, namun
Anda tidak menempuh jalan-jalan yang semestinya # Sesungguhnya kapal laut
itu tidaklah berjalan di atas daratan”
Maka bagaimana mungkin kapal laut
lewat darat akan sampai tujuannya? Begitu pula, mungkinkah seorang penuntut
ilmu syar’i menjadi ulama, jika menempuh suatu cara yang bukan caranya ulama?
Oleh sebab itu, jadilah sosok orang
yang senantiasa bersama ilmu sebagaimana ulama. Bagi ulama, tidak ada satu
saatpun paling indah dan manis dalam hidupnya kecuali bersama dengan ilmu yang
diamalkan.
Baginya, tidak ada satupun piknik,
tamasya, dan jalan-jalan yang sanggup menggantikan kelezatan menuntut
ilmu syar’i, mengamalkan, dan mendakwahkannya. Oleh karena itu, aib bagi
seorang yang mengaku sebagai penuntut ilmu syar’i, namun ia terbiasa
menghabiskan waktunya berjam-jam untuk aktifitas yang tidak ada hubungannya
dengan ilmu, hanya sekedar majelis qila wa qala (obrolan gak jelas), baik
dalam bentuk ngobrol ngalor-ngidul, pesbuk-an, ngetweet, atau cuci
mata dan nongkrong. Orang yang seperti ini tidaklah pantas disebut
sebagai thalibul ‘ilmi, apalagi disebut sebagai pakar ilmu syari’at. Ia
lebih pas dikatakan “pakar/tukang ini atau itu” sesuai dengan majelis qila
wa qala yang ditekuninya. Wallahu a’lam.
Insyaallah akan berlanjut penjelasan tentang “Empat kaidah umum
dalam mempelajari kitab ulama”. Silahkan baca Cara Mempelajari
Kitab-Kitab Ulama (bag. 3).
(Diolah dari transkrip muhadharah
Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah di web resmi beliau
Manhajiyyah fi Thalabil ‘Ilmi, dari http://saleh.af.org.sa/node/31 & Al-Manhajiyyah fi qiraa`ati kutubi Ahlil ‘Ilmi,
dari http://saleh.af.org.sa/node/28).
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------