Kalaupun ia nekat langsung mempelajarinya dan meninggalkan menguasai kitab-kitab mukhtashoroh, maka ia terancam tidak bisa menguasai isi kitab-kitab muthowwalah dengan baik.
Beginilah
Cara Mempelajari Kitab Para Ulama (Ke-02)
Empat Kaidah Umum dalam Mempelajari
Kitab Ulama
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Artikel Muslim.Or.Id
Ilmu syari’at ditinjau dari sisi
kedudukannya terbagi menjadi dua, yaitu ilmu maqsudun li dzatihi (ilmu
tujuan) dan ilmu maqsudun li ghairihi (ilmu sarana) (Lebih lanjut,
silahkan baca artikel Tahukah Anda Ilmu Fardhu ‘Ain, sedangkan
masing-masing disiplin ilmu tersebut ditulis dalam kitab-kitab yang berjumlah
banyak dan beranekaragam oleh para Ulama rahimahumullah.
Tentu, sebagai penuntut ilmu syar’i
perlu mengetahui bagaimana cara istifadah (mengambil manfaat) dari kitab
Ulama tersebut agar mendapatkan hasil sebagaimana para Ulama rahimahumullah mendapatkannya.
Sebagaimana sebuah sya’ir mengatakan,
ترجو النجاة ولم تسلك مسالكها … إن السفينة لا
تجري على اليبس
“Anda mengharapkan kesuksesan, namun
Anda tidak menempuh jalan-jalan yang semestinya # Sesungguhnya kapal laut
itu tidaklah berjalan di atas daratan!”
Bagaimana mungkin kapal laut lewat
darat akan sampai tujuannya?
Berikut ini empat kaidah umum cara
mempelajari kitab-kitab Ulama. Kaidah ini dikatakan “Kaedah Umum” karena memang
bisa diterapkan pada seluruh macam kitab Ulama dari berbagai disiplin ilmu
syar’i.
Kaidah Pertama: Kitab-kitab
Ulama ditinjau dari ringkas tidaknya, terbagi menjadi tiga mukhtashoroh (ringkas),
mutawassithoh (sedang) dan muthowwalah (panjang lebar), maka
untuk ta`siis dan ta`shiil (pendasaran yang kokoh), mulailah
dari mukhtashoroh lalu mutawassithoh kemudian muthowwalah agar
keilmuan Anda sebagai penuntut ilmu terkurikulum secara sistematis, rapi dan
kokoh.
Penjelasan
Kitab-kitab yang mukhtashoroh (ringkas)
adalah kitab-kitab matan yang uraiannya singkat dan memberikan pelajaran dasar
dalam suatu disiplin ilmu syari’at. Di masa sekarang, kitab-kitab mukhtashoroh
ini kedudukannya seperti kurikulum untuk SD.
Faedah mempelajari kitab-kitab mukhtashoroh
adalah mengokohkan materi dan kaidah dasar dalam suatu disiplin ilmu syari’at
agar mantap naik ke tingkatan ilmu yang sesudahnya.
Kitab-kitab yang mutawassithoh (sedang)
adalah kitab-kitab lanjutan dari kitab-kitab mukhtashoroh, namun tidak
sampai kitab-kitab yang muthowwalah (panjang), berisikan uraian
pendasaran lebih lanjut tentang pelajaran yang belum atau sudah dijelaskan
dalam kitab-kitab yang mukhtashoroh (ringkas), namun lebih detail. Di
masa sekarang, kitab-kitab mutawassithoh ini kedudukannya seperti
kurikulum untuk sekolah lanjutan, baik di tingkat pertama (SLTP) maupun atas
(SLTA).
Faidah mempelajari kitab-kitab mutawassithoh
adalah kelanjutan materi dasar di kitab- kitab mukhtashoroh sekaligus
pengantar untuk naik ke tingkatan materi tinggi di Kitab-kitab yang muthowwalah
(panjang lebar).
Kitab-kitab yang muthowwalah
(panjang lebar) adalah kitab-kitab syarah (penjelasan) yang luas tentang
perkara yang samar atau yang kurang detail perinciannya di dalam matan yang mukhtashoroh
maupun kitab-kitab yang mutawassithoh . Serta menjelaskan masalah-masalah
cabang yang rinci sebagai penjabaran dari materi sebelumnya yang sudah
disebutkan di dalam kitab-kitab matan yang mukhtashoroh dan kitab-kitab mutawassithoh.
Di masa sekarang, kitab-kitab muthowwalah
ini kedudukannya seperti kurikulum untuk tingkat perguruan tinggi.
Faidah mempelajari kitab-kitab muthowwalah:
Pendalaman dan perluasan materi atau
kaidah dasar,
Penguasaan masalah-masalah cabangnya,
Penjelasan perkara-perkara yang
samar atau sulit dipahami di kitab-kitab tingkatan sebelumnya.
Kesimpulan:
Tidak patut bagi penuntut ilmu
syar’i pemula meninggalkan menguasai kitab-kitab mukhtashoroh dan
langsung mempelajari kitab-kitab muthowwalah, seperti Fathul
Baari, Al-Mughni, Al-Majmu’ syarhul Muhadzdzab dan Al Muhalla, ia akan
kehilangan materi dan kaidah dasar sebagai pondasi terbangunnya materi-materi
tingkatan selanjutnya. Ibaratnya ia belum menguasai materi SD dengan baik,
sudah mencoba mempelajari materi perguruan tinggi bahkan tingkat pasca sarjana.
Kalaupun ia nekat langsung mempelajarinya dan meninggalkan menguasai kitab-kitab mukhtashoroh, maka ia terancam tidak bisa menguasai isi kitab-kitab muthowwalah dengan baik.
Kalaupun ia nekat langsung mempelajarinya dan meninggalkan menguasai kitab-kitab mukhtashoroh, maka ia terancam tidak bisa menguasai isi kitab-kitab muthowwalah dengan baik.
Mungkin saja di dalam hatinya
terdapat banyak maklumat, wawasan, dan masalah-masalah ilmiyyah yang pernah
dibacanya dari kitab-kitab yang muthowwalah, namun semua
pengetahuan-pengetahuan tersebut biasanya semrawut, tidak sistematis dan
tidak bisa ia pahami dengan baik, karena ia tidak memiliki ilmu dan kaidah
dasar untuk mengikat, menata, mengelompokkan dengan rapi serta memahami
hakikatnya dengan baik. Jika ia dituntut untuk menjelaskan
pengetahuan-pengetahuan yang pernah dibacanya di kitab-kitab muthowwalah
tersebut, maka ia tidak mampu menjelaskannya dengan baik dan jelas.
Perlu dibedakan antara ta`siis/
ta`shiil (pendasaran yang kokoh) dengan iththilaa’ (sekedar membaca
untuk perluasan wawasan ketika dibutuhkan saja). Untuk masalah ta`siis/
ta`shiil (pendasaran yang kokoh), maka haruslah seorang penuntut ilmu
mengambil terlebih dahulu mukhtashoroh, kemudian mutawassithoh dan
terakhir muthowwalah, agar keilmuan seorang penuntut ilmu terkurikulum
secara sistematis, rapi, dan kokoh.
Namun jika iththilaa’ (membaca/memperluas
wawasan) saat ada keperluan, misalnya ketika ia muroja’ah sebuah
permasalahan ilmiyyah tertentu, maka ia bisa memilih merujuk kepada kitab-kitab
Ulama bacaan sesuai dengan kemampuannya dan kebutuhannya untuk memperluas
wawasannya. Namun aktifitas ini dilakukan seperlunya dan jangan sampai
mengganggu aktifitas belajar yang ta`shili/ta`sisi tersebut.
Contoh Penerapan Kaidah Ini
Ibnu Qudamah rahimahullah telah
memberikan contoh dalam menerapkan kaidah ini, beliau yang merupakan salah satu
Ulama besar dalam madzhab Hanbaliyyah telah menyusun kitab Fikih dalam
madzhabnya menjadi beberapa tahap,
Al-‘Umdah fil Fiqh, ini matan dasar
yang ringkas.
Al-Muqni`, ini isinya lebih panjang.
Al-Kaafi, ini lebih panjang dari
Al-Muqni’ dan sebagai persiapan untuk naik ke tingkat muthowwalah.
Syaikh Sholeh Alusy-Syaikh hafizhahullah
mengatakan, bahwa beliau mendengar Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi
rahimahullah ta’ala berkata, “Sesungguhnya Al-Muwaffaq Ibnu
Qudamah rahimahullah telah mendahului lembaga pendidikan modern zaman ini,
beliau menjadikan Al-‘Umdah fil Fiqh untuk kurikulum SD, Al-Muqni`
untuk SLTP, Al-Kaafi untuk SLTA, dan Al-Mughni untuk Perguruan
tinggi”.
Kaidah Kedua: Memperhatikan
madzhab dan latar belakang ilmiyyah seorang Imam, Ulama atau penulis
kitab-kitab yang ia pelajari.
Hendaknya seorang penuntut ilmu
syar’i memperhatikan dengan baik madzhab (metodologi ilmiyah) Imam, Ulama, atau
penulis kitab-kitab yang ia pelajari, karena Ulama menulis kitab itu sesuai
dengan madzhab yang mereka pegangi, walaupun tujuan Ulama Ahlus Sunnah wal
Jama’ah secara umum dalam menulis kitab adalah menjelaskan kebenaran
berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan manhaj Salaf,
namun tidak bisa terlepas dengan metodologi ilmiyyah mereka dalam menganalisa
permasalahan ilmiyyah.
Contoh Madzhab dan Latar Belakang
Ilmiyyah Ulama
Di antara Ulama ada yang bermadzhab
Hanabilah (madzhab ini dinisbatkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah),
ada yang bermadzhab Syafi’iyyah (madzhab ini dinisbatkan kepada Imam Syafi’i rahimahullah),
ada juga yang bermadzhab Hanafiyyah (madzhab ini dinisbatkan kepada Imam Hanafi
rahimahullah) dan diantara mereka ada yang bermadzhab Malikiyyah
(madzhab ini dinisbatkan kepada Imam Malik rahimahullah). (Catatan:
bermadzhab yang benar adalah ketika sebuah pendapat madzhab bertentangan dengan
dalil, maka pendapat itu tertolak dan dalil lah yang menjadi pegangan, karena
kegunaan madzhab adalah untuk memahami dalil dan bukan untuk menandinginya)
Di antara Ulama ada yang perbekalan
sunnah mereka sangat banyak, sehingga sedikit kesalahan mereka dalam masalah
sunnah. Namun ada juga di antara Ulama -disebabkan ilmu tentang sunnahnya yang
sedikit- memasukkan bid’ah di sebagian kitab-kitab mereka. Ini hal yang mungkin
saja terjadi, karena mereka adalah manusia biasa, yang tidak ma’shum (terjaga)
dari kesalahan.
Kaidah kedua ini sangat penting
untuk diperhatikan sebelum seorang penuntut ilmu syar’i menekuni kitab-kitab
Ulama, karena terkadang ia terpengaruh banyak oleh kitab-kitab yang ia baca,
sedangkan ia tidak mengetahui apa madzhab dan latar belakang ilmiyyah penulis.
Misalnya, seorang Tholibul ‘Ilmi
selalu lebih menguatkan pendapat-pendapat Ulama penulis kitab-kitab syarah
hadits dibandingkan dengan kitab-kitab fikih yang muthowwalah, karena ia
memandang bahwa para ulama pensyarah Hadits (Muhadditsin) lebih terbebas
dari taqlid madzhab dan lebih mumpuni dalam berijtihad daripada Ulama yang
menulis kitab-kitab Fikih (Fuqoha`),
sehingga ia menyimpulkan bahwa
metode tarjiih (menguatkan pendapat) Muhadditsin lebih bisa
dipercaya daripada metode tarjih Fuqoha`.
Kesimpulan ini tidak selalu benar,
bahkan sebenarnya para Ulama pensyarah Hadits tersebut mendasari tarjiihat
Fikihnya dengan madzhab mereka, contohnya Imam Nawawi rahimahullah
dalam kitab Syarah Muslim, ketika melakukan tarjih, maka beliau
menguatkan pendapat yang dikuatkan oleh Ulama Syafi’iyyah, karena memang beliau
adalah salah satu Ulama besar dalam madzhab Syafi’iyyah, maka jika beliau sudah
mulai berdalil dan menerapkan kaedah Ushul Fikih, maka beliau menggunakan Ushul
Fikih Syafi’iyyah. Jadi, dalam mempelajari kitab-kitab syarah Hadits,
permasalahannya bukanlah sekedar asal derajat haditsnya sahih, ini suatu hal
yang bagus, namun bukan segalanya, kesahihan hadits tidak cukup dalam
menghasilkan sebuah kesimpulan fikih. Yang tidak kalah penting adalah wajhu
istidlal (alasan pendalilan) atau Istinbath (mengeluarkan suatu
hukum syar’i dari dalilnya). Nah, wajhu istidlal atau Istinbath
ini kembalinya kepada ilmu ushul fikih, sedangkan ilmu ushul fikih
bermadzhab-madzhab pula.
Jangankan ilmu ushul fikih, dalam
urusan meshahihkan atau mendha’ifkan hadits -yang kembalinya ke ilmu mustholahul
hadits dan ilmu rijal (keadaan perawi hadits)- itupun mengenal
madzhab-madzhab. Misalnya, dalam masalah menghukumi sanad ‘Amr bin
Syu’aib ketika meriwayatkan Hadits dari bapaknya dari kakeknya, atau sanad yang
semisalnya, terkadang ada perselisihan pendapat diantara Ulama Ahli Hadits.
Jadi tidak jarang ditemui perbedaan
pendapat diantara Ulama Ahli Hadits rahimahumullah dalam menghukumi
perawi hadits, terkait apakah perowi tersebut tsiqoh (dipercaya) atau
tidak, shoduq atau tidak, diterima riwayatnya dalam masalah ini atau
tidak, dan diterima riwayatnya jika meriwayatkan dari fulan tertentu atau
tidak?.
Jadi tidak cukup bagi seorang
penuntut ilmu syar’i mengatakan, “Masalah ini dalilnya adalah hadits itu,
yang dishahihkan Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullahi dalam Fathul Baari atau
dalam Buluughul Maraam!”, ini tidak cukup! Jika ia ingin memilih pendapat
ulama yang rojih (terkuat), maka ia perlu memahami bagaimana wajhu
istidlal atau Istinbath Ulama tersebut.
Karena bukan hal yang aneh jika
seorang Ulama ahli hadits ataupun Ulama ahli fikih yang sudah membawakan dalil
berupa hadits yang shahih, ternyata ketika menyimpulkan suatu hukum dari hadits
itu, ternyata kesimpulan hukum tersebut marjuh (lemah), karena memang wajhu
istidlal atau Istinbath Ulama tersebut lemah.
Sangkaan yang salah
Anggapan bahwa inti permasalahan
perselisihan pendapat diantara Ulama adalah hanya terbatas pada “Ulama
fulan tidak memiliki dalil sama sekali dalam masalah ini!” atau “Ulama fulan
dalam masalah ini pendapatnya salah mutlak atau lemah mutlak, tidak ada satu
sisi tinjauan ilmiyyah pun yang menguatkan pendapatnya”.
“Pendapat kami benar dan kuat secara
mutlak dalam masalah ini! atau “Selain kami tidak memiliki dalil sedikitpun
dalam masalah ini!”.
Anggapan di atas salah. Kasus
perselisihan Ulama bukanlah sebatas itu saja. Bahkan, dalam masalah ikhtilaf
(perselisihan Ulama), kasus seperti di atas, sebenarnya sedikit. Kasus
terbanyak adalah masing-masing kelompok Ulama yang berselisih memiliki dalil
masing-masing pula, bahkan tidak jarang dalilnya sama-sama sahih untuk
digunakan berhujjah, namun yang menjadikan mereka berselisih adalah wajhu
istidlal (alasan pendalilan) atau Istinbathnya (cara mengeluarkan
hukum dari dalilnya).
Demikian pula kasus “Pendapat
Ulama fulan marjuh mutlak! Lemah ditinjau dari sisi manapun!” kasus
ini sebenarnya sedikit, kejadian yang terbanyak adalah pendapat kelompok Ulama
ini lebih sedikit bantahan/kritikannya dibandingkan dengan pendapat kelompok
Ulama yang lainnya, sehingga pendapat yang lebih sedikit bantahannya itulah,
yang dikatakan sebagai pendapat yang lebih kuat (rajih)! Wallahu a’lam.
Adapun kaedah ketiga dan keempat, insyaallah
akan kami lanjutkan pada artikel Cara Mempelajari Kitab-Kitab Ulama (bag.4,
selesai)
Referensi:
Diolah dari transkrip Muhadharah
Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah, berjudul :
Beginilah
Cara Mempelajari Kitab Para Ulama
Bagian ke-4 :
18 February 2015
Pada artikel bagian ketiga, telah dijelaskan dua kaidah dari empat kaidah umum
dalam mempelajari kitab ulama.
Nah, pada artikel ini kami tuliskan dua kaidah selanjutnya, yaitu:
Kaidah Ketiga: Menguasai bahasa
ilmiyyah ulama rahimahumullah yang digunakan dalam kitab-kitab mereka
dan melatih diri menggunakannya dalam mengungkapkan permasalahan ilmiyyah.
Setiap disiplin ilmu memiliki
bahasa, lafadz, kosakata, dan istilah ilmiyyah tersendiri. Para ulama rahimahumullah
menggunakan bahasa ilmiyyah tersebut dalam menulis kitab-kitab mereka. Jadi,
maksud “bahasa ilmiyyah” disini meliputi seluruh lafadz-lafadz ilmiyyah yang
digunakan para ulama untuk menjelaskan suatu disiplin ilmu syar’i tertentu,
yang mana disiplin ilmu tersebut tidak bisa dipahami dengan baik kecuali
dengannya.
Kitab-kitab Ulama dalam berbagai
disiplin ilmu syar’i memiliki bahasa ilmiyyah masing-masing. Seperti disiplin
ilmu tauhid,
memiliki istilah-istilah dan lafadz-lafadz khusus yang tidak didapatkan di
kitab-kitab dalam disiplin ilmu syar’i lainnya, demikian pula disiplin ilmu
fikih, nahwu, dan yang lainnya, masing-masing memiliki istilah-istilah dan
lafadz-lafadz khusus yang dipakai Ulama dalam menjelaskan ilmu-ilmu tersebut.
Sebagai Contoh:
Bahasa Ulama dalam disiplin ilmu
tauhid, seperti istilah-istilah kamalut tauhid, kufur, nifaq, ‘Ubudiyyah,
dan perbedaan muwalah dan tawalli serta antara nafyul ashlul iman
dengan kamalul iman. Bahasa ulama dalam disiplin ilmu fikih dan
ushul fikih, seperti istilah-istilah perbedaan antara karahah littanzih dengan
littahriim, antara syuruth dengan arkaan, fasaad, shihhah, dan
tahqiiqul manaath.
Bahkan tidak jarang seorang imam
tertentu memiliki bahasa ilmiyyah khas tersendiri, misalnya Imam Ahmad rahimahullah
memiliki lafadz-lafadz khusus seperti laa yashluhu atau Astaqbihuhu,
maksudnya adalah mengharamkan. Jika beliau mengucapkan laa yanbaghi, maka
maksudnya adalah terkadang mengharamkan, namun terkadang memakruhkan saja. Jika
beliau mengucapkan laa yu’jibuni atau laa uhibbuhu, maka
maksudnya adalah memakruhkan. Jika beliau menjawab pertanyaan seorang penanya
dengan kalimat yuf’alu kadza ihthiyaathan, maka maksudnya adalah
mewajibkan.
Akibat Tidak Menguasai Bahasa
Ilmiyyah Tersebut
Barangsiapa yang memahami
kitab-kitab Ulama tidak dengan menggunakan bahasa mereka, namun misalnya, dengan
menggunakan bahasa budaya modern, bahasa media masa, dan bahasa serapan asing,
maka ia akan menemui kesalahpahaman yang banyak dalam menyimpulkan isi dari
kitab-kitab tersebut. Bahkan perkara yang haram, bisa dipahami sebagai suatu
yang mubah, atau yang haram jadi makruh saja. Atau perkara bid’ah menjadi
sunnah, bahkan syirik
bisa menjadi tauhid.
Kaidah Keempat: Mencatat dan
membukukan faidah-faidah yang sangat penting, baik dari kitab-kitab muthowwalah,
mutawassithoh, maupun mukhtashoroh.
Dalam aktifitas mempelajari
kitab-kitab Ulama, jika hanya sebatas membaca saja, tanpa mencatat dan
membukukan catatan tersebut dalam buku catatan tersendiri, tidaklah cukup. Hal
itu tidak banyak manfa’atnya. Berapa banyak kita dapatkan para Ulama menulis
kitab-kitab ringkasan kitab ini dan itu, talkhish ini, serta taqrib itu?
Mengapa demikian? Apakah tujuan mereka menulis kitab ringkasan dari kitab Ulama
sebelumnya hanya sebatas ingin tulisan yang ringkas saja, sehingga lebih mudah
dipahami dan dihafal? Tidaklah demikian.
Di dalam aktifitas meringkas
terdapat faidah lain selain faidah di atas, yaitu ringkasan mencerminkan
pemahaman peringkas. Jika Ulama saja merasa perlu menuangkan pemahaman mereka
terhadap kitab-kitab Ulama sebelum mereka, dengan cara menulis ringkasannya,
bagaimana lagi dengan tholibul ‘ilmi (para penuntut ilmu syar’i)? Tentu
ia lebih butuh untuk melatih dan menguji pemahamannya terhadap kitab-kitab
Ulama dengan cara mencatat, meringkas dan membukukannya.
Maksudnya seorang tholibul ‘ilmi jika
ingin sukses dalam mempelajari kitab-
kitab Ulama, maka ia perlu mencatat
faidah-faidah ilmiyyah yang didapatkan dari kitab-kitab tersebut, ia tulis
faidah-faidah ilmiyyah itu dalam buku catatan tersendiri, baik faidah-faidah
ilmiyyah itu diambil dari kitab-kitab mukhtashoroh, mutawassithoh, maupun
muthowwalah.
Bentuk catatan faidah
Seorang tholibul ‘ilmi bisa
mencatat faidah-faidah itu dalam bentuk :
Terkadang, karena tuntutan keadaan,
cukup ia tulis dalam bentuk kata-kata singkatan yang bisa dipahami terlebih
dahulu, jika ada waktu senggang nantinya, maka ia tulisnya kembali dengan
rinci.
Terkadang, langsung ia tulis dengan
rinci faidah-faidah tersebut.
Terkadang pula ia meringkas
penjelasan Ulama dalam suatu bab ilmiyyah tertentu, sehingga menjadi ringkasan
kitab ini dan itu.
Terkadang pula ia tulis
faidah-faidah ilmiyyah tersebut dalam bentuk daftar isi di sebuah buku catatan
tersendiri, dan ia kelompokkan daftar isi tersebut dalam sebuah nama bab
tersendiri, sesuai kelompok faidah, misalnya daftar isi bab kelompok faidah
tentang lugoh, bab kelompok faidah tentang perbedaan, bab kelompok
faidah tentang pembagian, kelompok faidah tentang definisi, dan lainnya.
Faidah Menerapkan Kaidah Umum Ini
Faidah yang banyak akan dapat diraih
dengan menerapkan kaidah umum ini, diantaranya:
Tholibul ‘Ilmi memungkinkan sewaktu-waktu memuroja’ah (mengulang
kembali mempelajari) ilmu-ilmu yang telah ia baca dari kitab-kitab Ulama.
Jika ia menerapkan kaidah ini dengan
baik, maka ilmu-ilmu sesudahnya -in sya Allah- akan lebih mudah ia
pahami.
Kemampuan mengungkapkan permasalahan
ilmiyyah dengan bahasa ilmiyyah yang singkat padat dan tidak berbelit-belit
lewat tulisan, semakin meningkat. Karena semakin hari catatan-catatan ilmiyyahnya
semakin meningkat kualitasnya. Dari mulai ia mampu menuliskan faidah-faidah
yang sederhana sampai akhirnya mampu menulis faidah-faidah yang sulit dan
tinggi, sehingga kemampuan ilmiyyahnya meningkat!
Ketika ia mengetahui bahwa sebagian
pemahaman dirinya di masa silam adalah salah, maka ia pun dengan mudah bisa
membenarkannya, karena ditemukan catatannya tentang hal itu.
Mengenal dengan akrab bahasa
ilmiyyah para ulama dalam berbagai disiplin ilmu Syar’i.
Wa shallallahu wa sallama
‘ala Nabiyyina Muhammad, wal hamdulillahir Rabbil’alamin.
***
Referensi:
Diolah dari transkrip Muhadharah
Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah, berjudul :“Al-Manhajiyyah
fi qira`ati kutubi Ahlil ‘Ilmi”, dari http://saleh.af.org.sa/node/28).
Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil
Mustaqni’, Syaikh Muhammad Shaleh Al-‘Utsaimin.
Transkrip muhadhoroh syarah
Tsalaatsatil Ushul, Syaikh Sholeh Alusy Syaikh.
—
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Artikel Muslim.Or.Id
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------