Berjihad Melalui Pendidikan & Pengajaran
Tafsir QS An Nisa’ : 77 Tafsir Tematik Mengikuti Manhaj Ahlus
Sunnah
(Oleh Abu Fahmi)
بسم الله الرحمن الرحيم
Allah SWT berfirman:
"Tidakkah kamu perhatikan
orang-orang yang dikatakan kepada mereka[a]: "Tahanlah tanganmu (dari
berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" setelah diwajibkan
kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik)
takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih
sangat dari itu takutnya. mereka berkata: "Ya Tuhan Kami, mengapa Engkau
wajibkan berperang kepada kami? mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban
berperang) kepada Kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah:
"Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk
orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun[b].
QS 4: 77.
[a] Orang-orang yang Menampakkan
dirinya beriman dan minta izin berperang sebelum ada perintah berperang.
[b] Artinya pahala turut berperang
tidak akan dikurangi sedikitpun.
Ibnu Katsir rahimahullah di dalam Kitab Tafsirnya mengatakan: “Orang-orang mukmin
pada awal Islam, ketika itu di Makkah, mereka diperintahkan untuk
shalat dan zakat, walau
tanpa batasan tertentu. Mereka diperintahkan
untuk melindungi orang-orang fakir, diperintahkan untuk toleransi dan memaafkan
kaum musyrikin, dan sabar hingga batas waktu yang ditentukan. Padahal mereka
amat membara dan amat senang seandainya mereka diperintahkan berperang melawan
musuh-musuh mereka. Akan tetapi, kondisi saat itu tidak memungkinkan
dikarenakan banyak sebab. (Jilid I: 538).
Selanjutnya beliau
mengatakan, alasan utama mengapa Allah belum memerintahkan jihad (qital)
melawan musuh-kaum musyrikin-kafirun ketika kaum mukmin masih berada di Makkah
(fase-fase awal dakwah Nabi Saw), dan baru perintah itu Allah sampaikan ketika
mereka telah berhijrah ke Madinah, antara lain adalah:
1.
Sedikitnya
jumlah kaum mukmin dibandingkan jumlah & kekuatan musuh
2.
Mereka
masih berada di wilayah tanah haram, di kota sendiri, tempat yang paling
mulia..
3.
Belum
memiliki kekuatan, benteng dan pendukung yang memadahi.
Oleh karenanya,
mereka tidak diperintahkan jihad kecuali setelah di Madinah, ketika mereka
telah memiliki negeri, benteng dan dukungan.
Ayat di atas juga
menjelaskan, ternyata ketika di Madinah, dimana Allah memerintahkan jihad,
justru sebagian mereka berbalik fikiran menjadi
“enggan”(dan bahkan menolak dengan berbagai alas an yang tidak logis,
pent) menerima perintah jihad, bahkan minta ditunda. (Pent. Padahal
ketika awal Islam di Makkah, dimana mereka
(masih) dalam kondisi lemah, mereka itu yang paling ngotot meminta
disyaria`atkan Jihad berperang melawan musuh dengan segera) Mereka
beralasan khawatir terjadinya pertumpahan darah, anak-anak menjadi yatim dan
isteri-isteri menjadi janda. (Hal. 538-539). Bagaimana dengan model kaum muslimin seperti
kita ini ? Yang telah terjangkit parah
penyakit “al wahn” ? Cinta dunia dan takut mati ?.Dan mayoritas umat ini
tak terdidik dengan didikan Islam yang baik. Mesin uang mengatur perjalanan
para da`i, dan bahkan mesin manajemen dakwah di atur oleh kemauan pemilik
modal, walau dengan alasan bahwa ekonomi itu teramat penting dalam dakwah dan
pendidikan …. Bagaimana mungkin menjadi
seorang “muharrik” padahal mereka belum merasakan lezatnya ujian iman,
pengorbanan dan Itsar ?
Syaikh Abu Bakar Al Jazairi rahimahullah mengatakan : “mereka itu menginginkan penundaan perintah
perang, (bila perlu) sampai mereka menemui kematian tanpa menghadapi musuh dan
bertempur melawannya. Sehingga kemudian Allah memerintahkan Rasul-Nya agar
berkata kepada mereka, “Kesenangan dunia ini hanyalah sementara, dan akhirat
bagi orang bertaqwa jauh lebih baik daripada kehidupan dunia”
(Aisarut Tafasir li Kalaamil `Aliyyil Kabiir, Jilid I : 511).
Menurut
Syaikh Abdurrahman As Sa`di rahimahullah dalam mengomentari ayat ini,
dia berkata: “Ada beberapa faedah adanya perintah di atas ketika kaum
mukmin masih di Makkah (kondisi lemah dan sedikit):
1.
Ini
merupakan hikmah dari Allah ta`ala yang mensyariatkan untuk hamba-hamba
Nya dengan tidak memberatkan, dan memulainya dari yang paling penting diantara
yang penting penting, dari yang paling mudah di antara yang mudah-mudah.
2.
Andaikan
Allah perintahkan (wajibkan) mereka, tatkala masih lemah dan sedikit jumlah
mereka, di tengah musuh yang jauh lebih kuat dan lebih banyak, akan membawa
mafsadat bagi mereka dan perkembangan Islam itu sendiri. (Taisirul Kariimir
Rahman fi Tafsir Kalamil Mannaan, hal. 187-188)
Ibnul
Qayyim al jauziyah rahimahullah
mengomentari ayat 4 : 77 ini sbb:
“Alasan
Allah ta`ala melarang kaum mukmin di Makkah (fase Makkah), dari penggunaan
tangan (kekuatan) dalam membela Islam, dan bahkan memerintahkan mereka untuk
memaafkan kaum musyrik dan berlapang dada atas prilaku tak bersahabat dari
mereka, tidak lain agar bisa menutupi celah-celah ke arah timbulnya mafsadat
yang lebih besar, untuk dapat membuka kemaslahatan dalam memelihara
jiwa mereka, dien mereka, keturunan mereka. Dan ini jauh
lebih penting” (I`lamul Muwaqqi`iin, II: 150).
Faedah
Dari Tafsir Ayat ini:
1.
Bahwa
perintah jihad dikaitkan dengan kondisi kesiapan kaum muslimin itu
sendiri, bukan karena keinginan atau
tuntutan sesaat sebelum waktunya.
2.
Ketika
kaum muslimin masih lemah, mereka diperintahkan untuk menegakkan
shalat, zakat, menyantuni fuqoro’-masakin, memaafkan dan lapang dada menghadapi
perlakuan musuh.
3.
Bagaimana
mungkin kita berjihad sementara kita rapuh dalam tauhid dan akhlak
4.
Bagaimana
mungkin kita berjihad padahal kita belum merasakan lezatnya santapan
kesabaran dan ukhuwwah.
5.
Bagaimana
mungkin kita berjihad, sementara kita belum mengenal apa itu pengorbanan dan
sikap lebih mengutamakan orang lain.
6.
Bagaimana
kita berjihad, sementara kita belum merasakan lezat dan nikmatnya taat
kepada Allah dan kepatuhan kepada-Nya.
Perhatikan QS Muhammad: 31).
7.
Dalam
fase seperti ini, maka berdakwah kepada tauhid adalah prioritas
yang harus didahuklukan, lalu disusul dengan pembinaan ibadah yang disertai
dengan pembinaan akhlak, adalah sebuah keniscayaan dan Manhajiyah,
dan bukan sebagai strategi atau tuntutan
sesaat.
8.
Yang
harus kita lakukan dalam kondisi kaum muslimin seperti ini, adalah: Tarbiyatul
Fardi wa Wihdatush shaff (mendidik pribadi/umat dan menyatukan shaff); dan
jangan banyak bicara tentang musuh dan apalagi penegakan syariat Islam (tanpa
thariqah yang jelas dan manhajiyah).
Artinya:
Tuntutan menegakkan nizham (system perundangan) Islam dan bertahkim dengan
syari`at Islam BUKANLAH merupakan “Langkah Pertama”, akan tetapi yang
menjadi “Langkah Pertama” (dalam Dakwah dan Tarbiyah, pent.) adalah :
(Upaya) mentranformasi masyarakat (muslim) itu sendiri – baik darikalangan
pengambil kebijakan (para pemimpin) maupun yang dipimpin (rakyat-kaum
muslimin), dari jalan lama yang mereka tempuh (yang tak sesuai manhaj,
pent.) kepada pemahaman-pemahaman Islam yang shahih. (Perkataan Sayyid Quthb,
dalam bukunya “Limadza A`dumuuni ?, hal. 44, dan Tafsir Fi Zhilal al
Qur’an, Jilid 2 hal. 712)
31.
Dan Sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui
orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan
(baik buruknya) hal ihwalmu. QS Muhammad: 31
أن التربية لا تتحقق بالخطب . ولا بحضور
دروس العلم , ولا بحفظ متون الكتب. وإنما التربية : ممارسة عملية , وترجمة حقيقية
, لكل ما نتلقّى ونتعلّم على ساحة الواقع. وبِـعبارة أُ خْرى: هي العمل الصادق بالعلم الصحيح , أو
تزكية النفس على ما يحبه الله ورسوله صلى الله عليه وسلم.
Pendidikan
itu tidak terwujud dengan retorika
(lewat khotbah-khotbah), juga bukan sekedar menghadirkan sejumlah pelajaran,
dan bukan pula dengan menghafal sejumlah kitab (walau itu semua penting). Akan
tetapi Tarbiyah itu adalah sebuah kesungguhan amal dan eksistensi dari sebuah
hakikat, terhadap setiap yang kita terima dan kita pelajari di lapangan
kehidupan nyata. Dengan kata lain, bahwa tarbiyah adalah: suatu amal perbuatan
yang benar-benar ujud yang disertai dengan ilmu yang shahih, atau ia merupakan
penyucian jiwa terhadap apa-apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya
ماهي التربية ؟
Jika
demikian, lalu apa itu Tarbiyah ?
164.
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika
Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum
(kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang
nyata. QS Ali Imran: 164. Ayat senada juga terdapat pada QS Al Jum`ah:
2, dan Al Baqarah: 129.
Oleh
karena itu Aisyah RA secara singkat dan tegas, ketika ia ditanya tentang
seperti apa sih akhlaq Nabi Saw ? Jawabnya: Akhlaq beliau adalah Al Qur’an. (HR
Muslim dan Ahmad dll)
كان خلقه القرآن (أخرجه مسلم وأحمد
وغبرهما).
Dengan demikian, maka menjadi
jelaslah bahwa “Tarbiyah” itu bukan sekedar menampakkan wajah berseri-seri dan
ber-akhlak baik, bahkan jauh lebih dari itu, yaitu: sebuah sikap komitmen
(iltizam) terhadap Ad Dien (Islam) ini secara kaffah, oleh hati dan fisik,
lahir dan batin, secara ilmu dan amal, dakwah dan ibadah, dan haruslah dimulai dari memahami kalimat
Tauhid (secara benar dengan manhaj yang benar pula) dan beramal dengan dasar
Tauhid, dan berujung pada menyingkirkan gangguan dari tengah jalan. (Assabiil
ilaa Manhaj ath Thaifah al Manshurah, seri 5, hal. 75-77, Syaikh Adnan Ali `Ar
`Ur)
إذن
: التربية ليس حسن الخلق وبشاشة الوجه فحسب , بل تعني : الـتزام هذا الدين كافة ,
قلبا وقالبا , ظاهرا وباطنا , علما وعملا , دعوة وعبادة , بدءًا من فهم كلمة
التوحيد والعمل بها, وانتهاء بإماطة الأذى عن الطريق . (السبيل إلى منهج الطائفة المنصورة, سلسلة 5, ص:
75-77)
- Apabila telah diketahui bahwa Tarbiyah itu adalah
beramal dengan ilmu .. maka usaha keras menekuni bidang ini memiliki
dampak yang besar dalam ketaqwaan seseorang kepada Allah, dalam
memperbaiki manusia (akal, hati dan ruhnya), dan dalam membangun dan
menegakkan masyarakat
- Di dalam Tarbiyah ada upaya mewujudkan mengokohkan
barisan dan menyempurnakan “satu kalimah”, dan dapat mengubur habis
sebagian besar pertikaian ummat ini.
- Dengan Tarbiyah akhlak terpuji menjadi hidup, lapang
dada dan jiwa toleran, dapat menanamkan kemashalahatan individu … sehingga
tegak dan baik masyarakat tersebut, dan jadilah kaum muslimin seperti
sebuah bangunan yang tersusun kokoh, sebagiannya menopang sebagian lainnya
… maka akan turunlah kemenangan (pertolongan) Allah dan menjadi
sempurnalah kekokohannya. (hal. 79).
Tahapan menuntut ilmu:
1.
Taujih dan tashfiyah, Bina’ dan tarbiyah, Ta’shil
dan Tahliyah, Ta`lim dan Taqwiyah: membangun akal dan
fikrahnya, mendidik jiwanya dan akhlaknya, mengarahkan motivasi dan
cita-citanya, membersihkan pemikirannya dan aqidahnya, menghunjamkan aqidahnya
dan petunjuk-petunjuk diennya, menguatkan imannya, memuliakannya dengan
Islamnya, mengikuti salaf-nya dan mempelajari hukum-hukum ibadahnya,
sendi-sendi mengenali kebenaran, melatihnya agar dapat melaksanakan
kaidah-kaidah yang adil, adab ikhltilaf, husnul khulq.
2.
Syarah
dan Tafshil, menindak lanjuti apa-apa yang
telah dicapai pada tahap pertama.
3.
Ta`ammuq (pendalaman), pemahaman yang shahih terhadap
kaidah-kaidah Dien ini dan pokok-pokoknya. Dan dari sini maka seorang pelajar
kelak diharapkan untuk menjadi seorang du`at ilallah Dengan : Bashiroh, ilmu
dan hikmah. (hal. 93-94).
Perhatikan Perkataan Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah:
Ilmu adalah merupakan seutama-utamanya
amal shalih seseorang, dan ia merupakan seutama-utamanya dan
seagung-agungnya jenis ibadah , ibadah tathawwu`; karena itu ia
merupakan jenis jihad fi sabilillah. Ketahuilah bahwa Penegakan Dienullah itu
dilakukan dengan dua hal:
(1) Al-`Ilmu dan al-Burhan.
(2) Al Qitaal wa ‘l-Sinan
Yang pertama harus selalu
didahulukan daripada yang kedua, dan dien ini tidak akan pernah mungkin ditegakkan dan dizhahirkan kecuali dengan
menghimpun keduanya. (Kitabul `Ilmi, Syaikh Utsaimin, hal.15, Daar Ats
Tsurayya, Riyadl, cet. I, Thn 1999 /1420 H).
Wahai Para Murabbi-Murabbiyah, Jika
Anda telah meletakkan “Dunia Pendidikan Islam” sebagai “sarana jihad fi
sabilillah Anda”, maka CINTAI lah apa yang menjadi harapan Anda, TAKUT lah pada
hal-hal yang dapat membuyarkan harapan atau yang menjadi kendala, dan
berikanlah POTENSI, USAHA dan ENERGI Anda untuk menggapai harapan dan cita-cita
mulia ini. Insya Allah Anda sudah benar melangkah, mendahulukan pembinaan umat
melalui ilmu dan pendidikan daripada menyibukkan diri mengurusi berbagai makar musuh, apalagi
dengan thariqah yang menyimpang, dengan
menghalalkan segala cara , atau yang dikenal dengan istilah:
“Tubarrirul Wasilah” untuk mencapai tujuan.
10 Prinsip Meraih Ilmu
(Abu
Umar)
Sumber:
www.dammajhabibah.wordpress.com
-----------------------------------------------------------------
Oleh:
Asy Syaikh ‘Abdullah bin Shalfiq Azh-Zhafiri
بسم الله الرحمن الرحيم
Muqaddimah oleh Asy-Syaikh Ahmad bin
Yahya An-Najmi
الحمد لله
والصلاة والسلام على رسول الله ، وعلى آله وصحبه وبعد :
Saudaraku fillah ‘Abdullah bin
Shalfiq Azh-Zhafiri telah menunjukkan kepadaku buah penanya tentang
prinsip-prinsip yang selayaknya dijalani oleh para penuntut ilmu. Sungguh aku
melihat tulisan tersebut sebagai karya yang istimewa. Dia telah mendapatkan
taufiq untuk mengumpulkan prinsip-prinsip yang dibutuhkan oleh penuntut ilmu,
diiringi dengan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah.
Kesimpulannya, penulis telah
melakukan suatu yang bagus dan memberikan faidah. Semoga Allah membalasnya
dengan kebaikan, dan semoga Allah membanyakkan yang semisal ini.
Aku memberikan semangat kepada para
penuntut ilmu untuk menghafal dan memperhatikan prinsip-prinsip ini. Wabillahit
Taufiq.
Ahmad bin Yahya An-Najmi , 27-4-1421
H
* * *
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب
العالمين والصلاة والسلام على رسول الله، أما بعد :
Tulisan ini merupakan penjelasan
ringkas tentang prinsip-prinsip penting
yang diperlukan oleh seorang yang menempuh jalan thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu
syar’i). Saya wasiatkan dan saya ingatkan diriku dan saudara-saudaraku sekalian
dengannya, karena sesungguhnya seorang yang menempuh jalan thalabul ‘ilmi dan
ingin menuai hasilnya, maka harus ada 10 prinsip :
Pertama: Meminta Tolong Kepada Allah
Manusia itu lemah. Tidak ada daya
dan kekuatan baginya kecuali dari Allah. Apabila dia diserahkan pada dirinya
sendiri, maka sungguh dia akan hancur dan binasa. Namun kalau dia menyerahkan
segala urusannya kepada Allah Ta’ala dan meminta tolong kepada-Nya dalam
menuntut ilmu, maka Allah pasti akan menolongnya. Allah ‘Azza wa Jalla telah
memberikan dorongan untuk berbuat demikian dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah
befirman إياك نعبد وإياك نستعين
Hanya kepada-Mu kami beribadah dan
hanya kepada-Mu kami minta pertolongan. [Al-Fatihah] Allah juga berfirman :
(ومن يتوكل على الله فهو حسبة ) {
الطلاق : 3}
“Dan barangsiapa yang bertawakkal
kepada Allah, maka Dia yang akan menjadi sebagai pencukupnya.” [Ath-Thalaq: 3]
Allah juga berfirman :
( وعلي الله فتوكلوا إن كنتم مؤمنين ) ]المائدة : 23[
"dan hanya kepada Allah sajalah
hendaknya kalian bertawakkal, jika kalian memang kaum mukminin."
Nabi Shallahu 'alaihi wa Sallam
bersabda :
لو أنكم توكلون على الله حق توكله لرزقكم كما يرزق الطير ، تغدو
خماصاً ، وتروح بطاناً
"Kalau seandainya kalian
bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan
rizki kepada kalian, sebagaimana Dia memberi rizki pada burung, yakni burung
tersebut berangkat pagi dalam keadaan lapar, pulang sore hari dalam keadaan
kenyang." *1
Sebesar-besar rizki adalah: ilmu.
Nabi kita Muhammad Shallahu 'alaihi
wa Sallam senantiasa bertawakkal dan meminta pertolongan kepada Rabbnya dalam
segala urusan beliau. Dalam doa keluar rumah yang sah dari Nabi Shallahu
'alaihi wa Sallam terdapat dalil yang menunjukkan hal tersebut. Beliau berdo'a
:
بسم الله توكلت على الله ولا حول ولا قوة إلا بالله
"Dengan nama Allah, aku
bertawakkal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah." *2
Kedua: Niat yang baik
Seseorang niatnya harus karena Allah
'Azza wa Jalla dalam menuntut ilmu. Bukan menginginkan didengar (orang lain)
atau pun ingin terkenal, tidak pula karena kepentingan-kepentingan duniawi.
Barangsiapa yang menjadikan niatkan hanya karena Allah, maka Allah akan
memberikan taufiq padanya serta memberikan pahala atas amalannya tersebut.
karena (menuntut) ilmu adalah ibadah, bahkan termasuk ibadah yang terbesar.
Suatu amalan, seorang hamba tidak
akan diberi pahala atas amalan tersebut, kecuali apabila dia mengikhlashkan
karena Allah, dan mengikuti Rasulullah Shallahu 'alaihi wa Sallam. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
( إن الله مع الذين اتقوا والذين هم
محسنون ) [ النحل :
128[
"Sesungguhnya Allah bersama orang-orang
yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat ihsan." [An-Nahl: 128]
Ketaqwaan yang terbesar adalah
mengikhlashkan niat karena Allah. Adapun orang yang riya’ dalam menuntut ilmu,
disamping dia rugi di dunia, dia juga akan diadzab di Hari Akhir. Sebagaimana
dalam hadits yang menjelaskan tentang 3 orang yang diseret di atas wajah-wajah
mereka. Salah satu dari tiga orang tersebut adalah seorang penuntut ilmu, yang
mencari ilmu agar dirinya dikatakan sebagai orang ‘alim (berilmu), dan dia
telah dikatakan demikian. *3
Ketiga: Merendah Kepada Allah dan
Memohon Kepada-Nya Taufiq
dan Ketepatan Serta meminta kepada
Rabbnya tambahan dalam menuntut ilmu.
Seorang hamba itu faqir, sangat
butuh kepada Allah. Dan Allah Ta’ala telah memberikan motivasi hamba-hamba-Nya
untuk meminta dan merendah kepada-Nya. Allah berfirman :
( ادعوني أستجب لكم ) [ غافر : 60[
"Berdo'alah kalian kepada-Ku
niscaya Aku kabulkan untuk kalian." [Ghafir: 60]
Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda :
{ينزل ربنا كل ليلة إلي سماء الدنيا حين يبقى
ثلث الليل الآخر ، فيقول : من يدعوني فأستجب له ، من يسألني
فأعطية ، ومن يستغفرني فأغفر له}
“Rabb kita tiap malam turun ke
langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir, seraya berkata:
‘Barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku pasti akan Aku kabulkan, barangsiapa yang
meminta kepada-Ku niscaya Aku beri dia, dan barangsiapa yang meminta ampun
kepada-Ku niscaya Aku ampuni dia.” *4
Allah ‘Azza wa Jalla juga telah
memerintahkan Nabi-Nya untuk memohon kepada-Nya tambahan ilmu. Allah berfirman
:
( وقل رب زدني علما ) [ طه: 114]
Dan katakanlah (dalam doamu) Wahai
Rabbku, tambahkan untukku ilmu. [Thaha: 114]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga
berfirman mengisahkan tentang Nabi Ibrahim ‘alahis salam :
( رب هب لي حكما وألحقني بالصالحين ) [
الشعراء: 83]
(Ibrahim berdoa): “Ya Rabbi,
berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang
yang shalihin.” [Asy-Syu'ara: 83]
Hikmah di sini yang dimaksud adalah
ilmu. Sebagaimana sabda Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam :
إذا اجتهد الحاكم … الحديث
Apabila seorang hakim (berilmu)
telah berijtihad … *5
Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam
pernah mendo’kan shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu agar diberi kekuatan
hafalan. *6
Beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam
juga mendo’akan shahabat Ibnu ‘Abbas agar diberi karunia ilmu. beliau berdo’a :
اللهم فقهه في الدين ، وعلمه التأويل
Ya Allah, jadikan ia faqih (berilmu)
tentang agama, dan ajarkanlah padanya ilmu tafsir.” *7
Allah pun mengabulkan doa beliau
Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu
tidaklah beliau mendengar satu hadits/ilmu kecuali beliau menghafalnya. Dan
jadilah Ibnu ‘Abbas Radhiyallah ‘anhuma sebagai hibrul ummah dan turjumanul
qur`an (gelar bagi shahabat Ibnu ‘Abbas karena keilmuannya yang sangat luas dan
pemahamannya yang sangat mendalam terhadap tafsir Al-Qur’an).
Para ‘ulama pun senantiasa berjalan
di atas prinsip ini. Inilah Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, beliau
menuju ke masjid, kemudian sujud kepada Allah dan meminta kepada-Nya dengan
mengatakan: “Wahai Dzat yang telah mengajari Nabi Ibrahim, ajarilah aku. Wahai
Dzat yang telah memberikan pemahaman kepada Nabi Sulaiman, pahamkanlah aku.”
Maka Allah pun mengabulkan doa
beliau. Sampai-sampai Ibnu Daqiqil ‘Id rahimahullah mengatakan: “Sungguh Allah
telah mengumpulkan ilmu untuknya, sampai seakan-akan ilmu tersebut berada di
antara kedua matanya, yang bisa beliau ambil sekehendak beliau.”
Keempat: Kebaikan Hati
Hati merupakan wadah bagi ilmu.
apabila wadah tersebut bagus, maka bisa melindung dan menjaga sesuatu yang ada
di dalamnya. Namun apabila wadanya rusak, maka sesuatu yang ada di dalamnya
bisa hilang.
Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa
Sallam menjadikan hati sebagai dasar bagi segala sesuatu. Beliau bersabda :
ألا وإن في الجسد مضغه ، إذا صلحت صلح الجسد كله ، وإذا فسدت فسد
الجسد كله ، ألا وهي القلب
“Ketahuilah bahwa dalam jasad itu
terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging tersebut baik, maka baiklah
seluruh jasad. Namun jika jelek, maka jasad seluruhnya pun jelek. Ketahulah
bahwa segumpal daging tersebut adalah hati.” *8
Kebaikan hati akan terwujud dengan
ma’rifatullah (mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala) dengan nama-nama,
sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya, serta merenungkan makhluk-makhluk dan
ayat-ayat-Nya.
Kebaikan hati juga akan terwujud
dengan merenungkan Al-Qur`anul ‘Azhim. Demikian juga kebiakan hati akan
terwujud dengan banyak sujud dan shalat malam.
Hendaknya seseorang
menjauh/menghindarkan dari perusak-perusak dan penyakit-penyakit hati. Perusak
dan penyakit tersebut apabila ada dalam hati, maka hati tersebut tidak akan
mampu membawa ilmu, kalau pun bisa membawanya namun ia tidak akan memahaminya.
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang orang-orang munafik
yang sakit hatinya,
Mereka punya hati namun mereka tidak
bisa memahaminya. [Al-A'raf: 179]
Penyakit-penyakit hati, terbagi dua:
syahwat dan syubhat.
Syahwat, seperti cinta dunia dan
berbagai kelezatannya, serta menyibukkan diri denganya, senang kepada
gambar-gambar yang haram, suka mendengarkan sesuatu yang diharamkan berupa suara
musik atau lagu, dan juga melihat sesuatu yang haram.
Syubhat, seperti keyakinan-keyakinan
yang rusak, amal-amal yang bid’ah, menisbahkan diri pada berbagai paham
pemikiran bid’ah yang menyimpang dan menyelisihi manhaj salaf.
Termasuk penyakit hati yang bisa
menghalangi dari ilmu adalah, hasad ,khianat, dan sombong.
Termasuk perusak hati juga adalah
kebanyakan tidur, banyak bicara, dan banyak makan.
Maka hendaknya dihindarkan
penyakit-penyakit dan perusak-perusak kebaikan hati di atas.
Kelima: Kecerdasan
Kecerdasan itu ada yang alami, ada
pula yang muktasab (bisa diupayakan). Apabila seseorang memang cerdas, maka dia
harus semakin menguatkannya. Kalau tidak, maka dia harus menampa diri agar bisa
meraih kecerdasan tersebut.
Kecerdasan merupakan di antara sebab
kuat yang menunjang dalam pengumpulan ilmu, memahami, dan menghafalnya, serta
membedakan antara berbagai masalah, memadukan dalil-dalil, dan sebagainya.
>> Keenam: Antusias
Mengumpulkan Ilmu merupakan sebab untuk bisa memperolehnya dan mendapatkan
pertolongan Allah Ta’ala terhadapnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
:
( إن الله مع الذين اتقوا والذين هو
محسنون ) [ النحل: 128]
“Sesungguhnya Allah bersama
orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat ihsan.” [An-Nahl: 128]
Seseorang apabila dia tahu tentang
nilai penting sesuatu, maka ia akan antusias untuk meraihnya. Sedangkan ilmu
merupakan suatu terbesar yang semestinya diraih oleh seseorang.
Maka wajib atas penuntut ilmu:
Antusias yang kuat untuk menghafal dan memahami ilmu, duduk bersama para ‘ulama
dan talaqqi ilmu langsung dari mereka, semangat untuk banyak membaca,
menyibukkan umur dan waktunya (untuk ilmu), dan sangat perhitungan terhadap
waktunya.
Ketujuh: Keseriusan, Kesungguhan,
dan Kontiunitas dalam Meraih Ilmu
Menjauh dari kemalasan dan
kelemahan.
Mujahadatun Nafs (memerangi diri
sendiri) dan memerangi syaithan. Jiwa dan Syaithan merupakan dua penghalang
amalan menuntut ilmu.
Di antara sebab yang membantu
membangkitkan kesungguhan dalam menuntut ilmu adalah: Membaca biografi-biografi
para ‘ulama, tentang kesabaran, kekokohan menanggung beban/resiko, dan
perjalanan mereka dalam meraih ilmu dan hadits.
Kedelapan: Konsentrasi
Yaitu seorang penuntut ilmu
mencurahkan segala kesungguhannya hingga ia berhasil sampai kepada tujuannya
dalam ilmu dan kekokohan padanya, baik kekuatan hafalan, pemahaman, dan pondasi
yang kokoh.
>> Kesembilan: Terus Berada di
Sisi Guru dan Pengajar
Ilmu itu diambil dari mulut para
‘ulama. Maka seorang penuntut ilmu, agar kokoh dalam ilmu di atas pondisi yang
benar, maka hendaknya ia bermulazamah kepada ‘ulama, talaqqi (mengambil) ilmu
langsung dari mereka. Sehingga pencarian ilmunya tegak di atas kaidah-kaidah
yang benar. mampu melafazhkan nash-nash qur’ani dan hadits dengan pelafazhan
yang benar, tidak ada kesalahan maupun kekeliruan. Memahami ilmu dengan
pemahaman yang tepat sesuai maksudnya. Dan lebih dari itu, dia bisa mengambil
faidah dari ‘ulama: adab, akhlaq, dan sifat wara’. Hendaknya dia menghindar
agar jangan sampai yang menjadi gurunya adalah kitab. Karena sesungguhnya
barangsiapa yang gurunya adalah kitabnya maka ia akan banyak salahnya sedikit
benarnya.
Demikianlah, inilah yang terjadi
pada umat ini. Tidak seorang tampil menonjol dalam ilmu kecuali ia sebelumnya
telah tertarbiyyah dan terdidik di hadapan ‘ulama.
Kesepuluh: Menempuh Waktu yang Lama
Janganlah seorang penuntut ilmu
mengira bahwa menuntut ilmu akan selesai sehari atau dua hari, setahun atau dua
tahun. Bahkan menuntut ilmu itu butuh kesabaran bertahun-tahun.
Al-Qadhi ‘Iyadh ditanya, “Sampai
kapan seseorang itu menuntut ilmu?”
Beliau menjawab, “Sampai mati,
sehingga tintanya menemaninya sampai ke kuburnya.”
Al-Imam Ahmad berkata:
“Aku duduk mempelajari Kitabul Haidh selama sembilan tahun hingga aku
memahaminya.”
Demikianlah, para penuntut ilmu yang
cerdas senantiasa duduk bermulazamah kepada ‘ulama selama sepuluh tahun atau
dua puluh tahun. Bahkan sebagian mereka terus bermulazamah hingga Allah
mewafatkannya.
Inilah beberapa prinsip yang perlu
untuk diperhatikan oleh penuntut ilmu guna meraih ilmu.
Saya memohon kepada Allah agar
memberikan taufiq terhadap kita dan antum kepada ilmu yang bermanfaat dan amal
yang shalih.
وصلي الله
على نبينا محمد ، وعلي آله وصحبه ومن تبعهم واقتفي أثرهم بإحسان إلي يوم الدين .
تم ولله
الحمد .
------------------------------------------------------------
Catatan Kaki :
* 1: HR. Ahmad (I/30), At-Tirmidzi
(2344), Ibnu Majah (4164), dari shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallah
‘anhu. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 310.
* 2: HR. Abu Dawud (5095).
At-Tirmidzi (3426), dari shahabat Anas bin Malik Radhiyallah ‘anhu. Dishahihkan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Kalimuth Thayyib no. 59.
* 3: Yaitu hadits dari shahabat Abu
Hurairah Radhiyallah ‘anhu bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam
menceritakan tentang tiga orang yang pertama kali diadili para hari Kiamat
nanti, salah satu di antara mereka adalah orang yang diberi karunia ilmu :
… وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ
وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا
قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ
وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ. قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ
لِيُقَالَ عَالِمٌ. وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ. فَقَدْ قِيلَ
ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ. …
“… dan seorang yang mempelajari ilmu
dan mengajarkannya, serta rajin membaca Al-Qur’an. Maka ia pun didatangkan,
kemudian diperlihatkan kenikmatan-kenikmatan yang telah diberikan kepadanya, maka
ia pun mengakuinya. Allah berkata: ‘Apa yang kamu amalkan dengan nikmat-nikmat
tersebut?’ Dia menjawab: ‘Saya mempelajari ilmu dan mempelajarinya, serta aku
rajin membaca Al-Qur’an karena Engkau.’ Allah menjawab: ‘kamu telah berdusta!!
Engkau mempelajari ilmu karena ingin dikatakan sebagai seorang yang ‘alim
(berilmu), dan engkau rajin membaca Al-Qur’an supaya dikatakan dia adalah
qari’, dan kamu telah dikatakan demikian.’ Maka dia diperintahkan diseret di
atas wajah, kemudian dicampakkan ke dalam Neraka. …” [HR. Muslim 1905]
* 4: HR. Al-Bukhari 1145, Muslim
758, dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu
* 5: HR. Al-Bukhari 7352, Muslim
1716 dari shahabat ‘Amr bin Al-’Ash dan shahabat Abu Hurairah Radhiyallah
‘anhuma.
* 6: Lihat HR. Al-Bukhari 119
* 7: Penggal pertama do’a ini: (اللهم فقهه
في الدين
) diriwayatkan
oleh Al-Bukhari 143. Adapun penggal kedua diriwayatkan oleh Ath-Thabarani.
Lihat Ash-Shahihah no. 2589.
* 8: HR. Al-Bukhari no. 52, Muslim
1599, dari shahabat An-Nu’man bin Basyir Radhiyallah ‘anhu.
Sumber:
www.dammajhabibah.wordpress.com
Pesan Kami Untuk
Keluarga Muslim:
Berdasarkan QS At Tahrim: 6, Allah
mengingatkan sekaligus memerintahkan, agar kita semua dapat menyelamatkan
keluarga kita dari “Api Neraka”. Dan hal itu tidaklah mungkin bisa capai
kecuali dengan “Tarbiyah” (Pendidikan) Islam yang Shahih. Ayat ini secara tegas
menunjukkan bahwa “Pendidikan” itu dimulai dari keluarga, dan di pundak
ayah-bunda pendidikan anak itu dipikulkan. Tugas kita sebagai orangtua adalah
mengarahkankan (taujih) perkembangan mereka dalam rangka menjaga dari Murka
Allah dan adzab-Nya yang pedih, dan dalam rangka mewujudkan “kemanusian” mereka
dan kemaslahatan masyarakat mereka.
Sejarah mencatat, bahwa beban
orangtrua dalam pendidikan anak itu sempat diringankan oleh peran dan fungsi
Masjid, dan ini sangat membantu keluarga dalam melakukan amal-amal tarbiyah,
kemudian kini peran pendidikan beralih kepada “Madrasah & Ma`had”
(Sekolah-sekolah dan Pesantren).
NAMUN ternyata tidak semua lembaga
pendidikan (sekolah dll) itu selalu membantu dan meringankan beban pendidikan
dari keluarga. Justru bisa jadi beban pendidikan keluarga akan menjadi
semakin berat dan penuh problem
manakala di lembaga-lembaga pendidikan tersebut terdapat berbagai penyimpangan
dari pengajaran Islam dan dari tujuan pendidikan Islam.
Sangatlah Tidak Memadahi jika Kita
hanya puas dapat memasukkan sekolah anak-anak kita pada lembaga-lembaga pendidikan
Islam yang mengajarkan aqidah Islam yang lurus, Ibadah yang benar, dan
menanamkan Tsaqafah Islami, yang selalu memperbaiki ilmu dan amal anak-anak,
meluruskan kesalahan mereka dan melatih serta membiasakan hidup di atas jalan
Islam yang benar – selama 6 tahun di SDIT Imam Bukhari dan atau di SD Islam
sejenisnya – kemudian Bapak & Ibu SECARA SADAR memilihkan sekolah lanjutan
untuk anak-anak di sekolah lanjutan yang tidak lagi melakukan fungsi “Ishlah”
(perbaikan pribadi), “Tashihul Khatha’ (meluruskan kesalahan anak: ilmu dan
amal), dan “Ta`wiid” (Melatih serta membiasakan) hidup anak berjalan di atas
jalan Islam yang shahih. Ditambah lagi dengan buruknya lingkungan pergaulan
sekolah (baik antar guru, ataupun antar murid dan guru, dan antara sesama murid).
Maka sungguh ini sangat disanyangkan, karena ini merupakan sebuah pilihan
“Gambling” sangat beresiko tinggi, baik bagi perkembangan anak itu sendiri
maupun bagi masa depan orang tua.
Ingat, bahwa usia anak-anak SMP
adalah usia awal memasuki “Murahaqoh”, pubertas awal, masa yang paling labil
dan paling bahaya bagi sebuah kehidupan, disana “Tidak ada jaminnan” bagi anak
yang telah 6 tahun di tempa di SDIT sekalipun, belum tentu dapat bertahan
melawan derasnya arus pergaulan bebas dan invasi pemikiran dan pemahaman-juga
terhadap lingkungan yang merusak dan menyimpang. Ini artinya salah memilih
sekolah bagi anak usia SMP ini bisa jadi berbuah “malapetaka” buat anak dan
orangtua. Bisa jadi kebiasaan baik yang
tertanam 6 tahun, tiba-tiba begitu cepat berubah ke arah tidak baik, hanya
dalam satu semester atau dua semester …. Takutlah kita kepada Allah
Ta`ala.
Mari kita simak nasihat dari
mahaguru kaum muslimin, Ibnul Qayyim al Jauziyah rahimahullah :
“Barang siapa (dari
Orangtua) yang meremehkan pengajaran anak-nya pada hal-hal yang memberinya
manfaat dan membiarkan begitu saja (sehingga tanpa mengenal Islam sebagai jalan
hidup), maka sungguh ia telah melakukan suatu kesalahan besar –bahkan puncak
dari kesalahan - .
Ketahuilah, bahwa sebagian besar
lahirnya anak-anak dengan prilaku buruk (fasad) adalah bersumber dari orangtua
(Bapak-Bapak) dan karena sikap meremehkan tadi, dan membiarkan mereka tidak
mendapatkan pengajaran agama (kewajiban dan sunnah-sunnahnya), maka hilanglah
usia dini (usia emas) mereka, sehingga mereka tidak dapat memberi manfaat untuk
diri mereka sendiri, dan tidak pula memberi manfaat bagi orangrtua mereka di
masa dewasanya. Mungkin saja dengan sikap orangtua yang acuh terhadap
pendidikan agama ini, akan melahirkan anak-anak cerdas, namun menjadi penentang
Islam, menjalani hidup tanpa arah yang jelas, mereka “yatiihuun”
(berjalan tanpa arah yang jelas, sehingga tersesat jalan).
Bahkan ada sebagian anak yang
durhaka ketika dewasanya menyalahkan orangtuanya, sambil berkata dengan keras:
“Wahai Ayahku, engkau
telah mendurhakaiku ketika kecil-ku, maka kini akupun mendurhakaimu saat aku
dewasa, dan engkau telah campakkan aku ketika kecil-ku, sehingga kini aku
mencapakkanmu pada masa tuamu”.
(Manhaj at Tarbiyah an nabawiyah
Lith Thifli, Cet. Ke-3, Maktabah al Mannar-Kuwait, hal. 27, Syaikh Dr. Muhammad
Nur Suwaid).
Wassalam, Jatinangor
25 September 2007. Updated, 14 Juni 2013, 5 Sya`ban 1434 H
Al Faqir ilallah, Abu
Fahmi Ahmad.
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------