Kritik Terhadap Gagasan Titik-Temu Antar Agama
Adnin Armas, M.A.
Sumber : INSISTS
Latar-Belakang
Pada awal abad ke
20, Ananda Kentish Coomaraswamy (m. 1947) dan Rene
Guenon (1886-1951)
menghidupkan kembali nilai-nilai, hikmah, kebenaran abadi yang
ada pada Tradisi dan
agama-agama. Coomaraswamy menyebutnya dengan Philosophia
Perennis (Filsafat
Abadi)1 sedangkan Guenon menyebutnya dengan Primordial Tradition
(Tradisi
Primordial). Gagasan mengenai Filsafat Abadi atau Tradisi Primordial
tenggelam dalam
peradaban Barat. Ini disebabkan filsafat yang dominan adalah filsafat
keduniawian.2 Filsafat
tersebut dibangun berdasarkan pandangan hidup sekular-liberalyang
meminggirkan
nilai-nilai yang ada pada Tradisi dan agama-agama.
Rene Descartes, bapak
filsafat modern, dengan prinsip aku berfikir maka aku ada
(cogito ergo sum),
misalnya, telah menjadikan rasio satu-satunya kriteria untuk mengukur
Kebenaran. Wahyu dan
Intelek dalam struktur epistemologi terpinggirkan. Wahyu dan
Intelek semakin
terpinggirkan dengan filsafat Immanuel Kant. Bagi Kant, manusia hanya
mengetahui yang
phenomena bukan yang noumena. Intelek tidak mendapat tempat dalam
struktur
epistemologi Kant. Sekularisasi epistemologi semakin bergulir dengan
munculnya filsafat
Hegel dan Marx yang menganggap realitas sebagai perubahan yang
dialektis.3
Guenon, yang memeluk
Islam pada tahun 19124 (nama Islamnya Abdul Wahid
Yahya) berpendapat
sebenarnya ilmu yang utama adalah ilmu tentang spiritual. Ilmu
yang lain harus
dicapai juga, namun ilmu tersebut hanya akan bermakna dan bermanfaat
jika dikaitkan
dengan ilmu spiritual. Menurut Guenon, substansi dari ilmu spiritual
bersumber dari
supranatural dan transendent. Ilmu tersebut adalah universal. Oleh sebab
itu, ilmu tersebut
tidak dibatasi oleh suatu kelompok agama tertentu. Ia adalah milik
bersama semua
Tradisi Primordial (Primordial Tradition). Perbedaan teknis yang terjadi
merupakan jalan dan
cara yang berbeda untuk merealisasikan Kebenaran. Perbedaan
tersebut sah-sah
saja karena setiap agama memiliki kontribusinya yang unik untuk
memahami Realitas
Akhir.5
Pemikiran Guenon
tentang Tradisi Primordial (semua agama memiliki kebenaran
dan bersatu pada
pada level Kebenaran) tidak terlepas dari pengalaman spiritualnya
dalam gerakan
Freemason. Selain itu, Gerard Encausse, seorang ahli mistis, pendiri
Masyarakat Teosofi
(Thesophical Society) di Perancis sekaligus tokoh terkemuka
Freemason banyak
mewarnai pemikiran Guenon. Di sekolah yang didirikan oleh
Encausse, Guenon
mengkaji tentang mistis (occult studies) dan berkenalan dengan
sejumlah tokoh
Freemason, teosofi dan berbagai gerakan spiritual yang lain. Guenon
juga aktif menggelar
berbagai kongres, seminar, diskusi dan aktifitas tentang mistis dan
Freemason di
Perancis. Ringkasnya, Freemason merupakan ketertarikan Guenon yang
paling besar
sepanjang hidupnya (it remained of Guenon’s great interests throughout his
life).6 Bagi Guenon,
Freemason adalah wadah dari luasnya hikmah tradisional,
khususnya kaya dalam
simbolisme dan ritual. Guenon juga yakin bahwa Freemason
adalah cara untuk
menjaga banyak aspek dari Kristen yang telah hilang dan terabaikan.7
Gagasan Coomaraswamy
dan Guenon untuk menghidupkan kembali kebenaran
abadi yang ada pada
Tradisi dan agama-agama dikembangkan lebih lanjut oleh Frithjof
Schuon (1907-1998).
Pemikiran Schuon banyak terwarnai khususnya oleh Guenon.
Schuon mulai
mengirim surat kepada Guenon sejak berusia kurang lebih 12 tahun.
Korespondensi ini
berlangsung selama 20 tahun. Keduanya baru saling bertemu pada
tahun 1938 di Kairo.
Schuon, yang dikenal
juga sebagai Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili al-Darquwi
al-Alawi al-Maryami,
adalah seorang tokoh terkemuka dalam filsafat abadi dan
metafisika
tradisional. Pemikirannya dipuji dan diikuti oleh para intelektual bertaraf
internasional dan
lintas agama. Dalam karya-karyanya, Schuon menegaskan kembali
prinsip-prinsip
metafisika tradisional, mengeksplorasi dimensi-dimensi esoteris agama,
menembus
bentuk-bentuk mitologis dan agama serta mengkritik modernitas. Schuon
mengangkat perbedaan
antara dimensi-dimensi tradisi agama eksoteris dan esoteris
sekaligus menyingkap
titik temu metafisik antar semua agama-agama ortodoks. Ia
mengungkap Satu-satunya
Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha
Sempurna. Ia menyeru
supaya manusia dekat kepada-Nya.
Schuon menggunakan
istilah religio perennis (Agama Abadi). Ia yang pertama
kali menggunakan
istilah tersebut dan menggunakannya dalam karyanya Regards sur les
mondes anciens
(Cahaya tentang Dunia-Dunia Kuno).8 Istilah Religio Perennis sinonim
dengan beberapa
istilah lain yang seperti Philosophia Perennis, Hikmah Abadi (Sophia
Perennis, al-Hikmah
al-Khalidah, Sanatana Dharma), Agama Hikmah (Religio Cordis,
al-Din al-Hanif),
Agama Hati (Religion of the Heart), Primordial Tradition dan Sains
Sakral (Scientia
Sacra). Semua istilah ini bermaksud sama, yaitu menegaskan titik-temu
agama-agama dan
menolak pandangan hidup filsafat modern yang relatifistik, positivistik
dan rasionalistik.9
Epistemologi
Schuon
Gagasan Schuon
tentang Intelek (Intellect) merupakan gagasan utama dalam
epistemologinya. Ini
disebabkan dimensi esoteris dan eksoteris yang inheren dalam
agama berasal dari
dan diketahui melalui lntelek. Menurut Schuon, secara psikologis, ego
manusia terkait
dengan badan (body), otak (brain) dan hati (heart). Jika badan
diasosiasikan dengan
eksistensi fisik, otak dengan fikiran (mind), maka hati (heart)
dengan Intelek. Jika
dikaitkan dengan realitas, maka Intelek dapat diasosiasikan dengan
Esensi Tuhan (Yang
Satu) dan langit (alam yang menjadi model dasar) sedangkan fikiran
dan badan meliputi
dunia fisik, terrestrial. Intelek sangat penting karena otak dan badan
di bawah kendali,
dan berasal dari Intelek.10
Intelek adalah pusat
manusia (the centre of human being), yang bersemayam di
dalam hati.
Kualifikasi intelektual harus didampingi dengan kualifikasi moral. Jika tidak,
maka secara
spiritual, Intelek tidak akan berfungsi. Hubungan antara ‘intelektualitas’ dan
‘spiritualitas’
adalah bagaikan hubungan antara pusat dan pinggiran. Intelektualitas
menjadi
spiritualitas ketika manusia sepenuhnya, bukan Intelektualitasnya saja, hidup
di
dalam kebenaran.11
Intelek lebih tinggi
dari rasio karena jika rasio itu menyimpulkan sesuatu
berdasarkan kepada
data, maka mental berfungsi karena eksistensi intelek. Rasio
hanyalah media untuk
menunjukkan jalan kepada orang buta, bukan untuk melihat.
Sedangkan Intelek,
dengan bantuan rasio, terungkap dengan sendirinya secara pasti.
Selain itu, Intelek
dapat menggunakan rasio untuk mendukung aktualisasinya.12
Di dunia fisik,
Intelek terbagi menjadi fikiran (mind) dan badan (body). Namun,
hanya di dunia fisik
Intelek terbagi. Di alam langit yang menjadi model dasar, atau di
dalam Ide Plato,
fikiran dan badan merupakan makna yang tidak dibedakan: Fikiran
adalah eksistensi
dan eksistensi adalah fikiran.13
Disebabkan berasal
dari alam langit yang menjadi model dasar (Archetype), maka
Intelek menjadi
transenden dalam hubungannya dengan eksistensi duniawi. Dalam
tingkatan wujud
(being), Intelek terpresentasikan di dalam 3 aspek fundamental; Intelek
ketuhanan (divine
intellect), Intelek kosmos (cosmic intellect) dan Intelek manusia
(human intellect).
Intelek ketuhanan adalah cahaya murni (pure light). Artinya ia adalah
ilmu Tuhan (divine
knowledge) sebagaimana adanya. Intelek kosmos berhubungan
dengan Tuhan.
Refleksi dari ilmu Tuhan berada dalam Intelek kosmos. Manusia
menyerap “cahaya”
melalui Intelek kosmos. Intelek manusia adalah sebuah cermin yang
memantulkan tingkatan-tingkatan
cahaya ketuhanan dan kosmos di dalam kaitannya
dengan jiwa individu
manusia yang berada di dunia terrestrial. Ketika menjadi Intelek
kosmos dan Intelek
manusia, ia menjadi terbatas karena dunia kosmos dan manusia
adalah diciptakan.
Pada masa yang sama, “cahaya” atau ilmu Tuhan muncul pada semua
level.
Konsekwensinya, Intelek manusia pun ikut serta dalam sesuatu yang tidak
diciptakan dan tidak
terbatas. Bagaimanapun, aspek dari Intelek yang diciptakan
hanyalah aksidental,
sementara aspeknya yang substansial tidak terbatas. Pada tingkatan
kosmos dan manusia,
Intelek memiliki identitas yang inheren dengan Intelek Ketuhanan.
Aspek ketuhanan
inilah yang mendefinisikan Intelek, bukan aspek yang terbatas. Di
dalam aspek yang
tidak diciptakan, Intelek adalah Intelek Tuhan14
Menurut Schuon,
Intelek manusia adalah ambigu. Pada satu sisi ia bersifat
ketuhanan. Pada sisi
yang lain ia bersifat manusiawi. Intelek manusia inheren dalam
Intelek ketuhanan.
Dalam kehidupan duniawi (mundane existence), secara ontologis, hati
merupakan pusat
kehidupan. Ini menunjukkan secara potensi manusia adalah inkarnasi
dari ilmu Tuhan
karena manusia dapat melangkah keluar dari eksistensi yang diciptakan
ini melalui intelek
yang tidak diciptakan (uncreated intellect). Intelek manusia
menggabungkan
eksistensi fikiran dan badan yang terpisah, kepada sebuah kesatuan
wujud murni (pure
being) yaitu Tuhan.15
Manusia memahami
kebenaran melalui intuisi. Sebagai sebuah daya, Intelek
adalah dasar bagi
intuisi. Intuisi intelek membedakan antara yang ril dan ilusi, antara
wujud yang wajib dan
wujud yang mungkin. Implikasinya, ada realitas transenden diluar
dunia bentuk.16
Jadi, dengan
Intelek, manusia mengetahui bahwa Realitas dapat dibagi menjadi
dua, Absolut dan
relatif, Ril dan ilusi, Yang Harus dan mungkin, yang esoteris dan
eksoteris. Menurut
Schuon, agama-agama bertemu pada level yang esoteris dan bukan
pada level
eksoteris.
Perlu kiranya
dikemukakan bahwa gagasan Schuon tentang Intelek terlalu
berlebihan. Dalam
pemikiran Schuon, Intelek, pada akhirnya bisa independent dari
wahyu. Artinya,
Intelek lebih tinggi dari wahyu.17 Pendapat seperti ini tidaklah tepat.
Sekalipun Intelek
mungkin bisa mengetahui bahwa Tuhan itu ada, namun itu saja tidak
cukup. Mengakui
eksistensi-Nya tidak cukup tanpa diikuti dengan menuruti Perintah-
Nya. Iblispun
mengakui eksistensi-Nya, namun tidak mengakui perintah-Nya. Perintah-
Nya diketahui bukan
melalui Intelek, namun melalui wahyu yang diturunkan-Nya.
Eksoterisme18
Dalam pandangan
Schuon, eksoteris adalah aspek eksternal, formal, hukum,
dogmatis, ritual,
etika dan moral sebuah agama. Eksoteris berada sepenuhnya di dalam
Maya, kosmos yang
tercipta. Dalam pandangan eksoteris, Tuhan dipersepsikan sebagai
Pencipta dan Pembuat
Hukum bukan Tuhan sebagai Esensi karena eksoterisme berada di
dalam Maya, yang
relatif dalam hubungannya dengan Atma. Pandangan eksoteris
bermakna pandangan
yang eksklusif, absolut dan total, sekalipun dari sudut pandang
Intelek adalah
relatif.
Menurut Schuon,
pandangan eksoteris, bukan saja benar dan sah bahkan juga
keharusan mutlak
bagi keselamatan (salvation) individu. Bagaimanapun, kebenaran
eksoteris adalah
relatif.19 Inti dari eksoteris adalah ‘kepercayaan’ kepada “huruf”,--
sebuah dogma
esklusifistik (formalistik)--dan kepatuhan terhadap hukum ritual dan
moral. Selain itu,
eksoterisme tidak pernah akan melampaui individu. Eksoterisme bukan
muncul dari
esoterisme, namun muncul dari Tuhan.20
Schuon menyadari
jika masing-masing “form” agama meyakini bahwa sesuatu
“form” itu lebih
hebat dibanding dengan “form” yang lain. Pemikiran seperti itu, lanjut
Schuon, sangat
wajar. Perpindahan agama terjadi justru karena adanya superioritas
sebuah “form”
terhadap yang lain. Bagaimanapun, superioritas tersebut sebenarnya
relatif. Menurut
Schuon, Islam misalnya, lebih baik dari Hindu karena memuat bentuk
terakhir dari
Sanatana Dharma. Schuon mengatakan.: “…Sama halnya, bahwa Agama
Hindu adalah form
yang paling tua yang masih hidup mengimplikasikan bahwa agama tersebut memiliki
superioritas tertentu atau sentralitas dibanding dengan bentuk yang
terakhir (Islam)”.21
Pendapat Schuon
mengenai eksoterisme mengindikasikan tidak boleh ada truthclaim
karena banyak jalan
menuju keselamatan --masing-masing agama adalah benar
karena setiap “form”
adalah relatif dan terbatas--. Pendapat Schuon berdampak kepada
agama apapun tidak
akan ada yang sempurna disebabkan relatitas dan keterbatasan
“form”. Jadi, agama
yang satu tidak akan dapat eksis dan berjalan dengan baik, jika tidak
ada agama lain. Ini
jelas pendapat yang salah, karena risalah Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad saw
mampu eksis dan menjalankan fungsinya tanpa agama lain. Justru
kehadiran Islam
adalah untuk meluruskan dan menyempurnakan agama-agama para nabi
sebelumnya yang
telah berubah. Islam adalah sempurna (al-Maidah: 3). Rasulullah saw
adalah nabi yang
diutus Allah untuk seluruh manusia (al-Araf: 158). Jadi, Islam adalah
agama yang
universal, untuk seluruh ummat manusia.
Al-Qur’an telah
menyatakan secara tegas bahwa selain Islam, agama lain tidak
akan diterima di
sisi Allah. Ajaran agama lain dalam perjalanan sejarah telah
menyimpang dari
ajaran yang sebenarnya. Eksoteris agama lain bukan lagi bersumber
dari Tuhan, namun
telah termanusiawikan. Jadi, eksoteris agama lain tidak otentik lagi.
Esoterisme22
Esoteris adalah
aspek metafisis dan dimensi internal agama. Tanpa esoterisme,
agama akan teredusir
menjadi sekedar aspek-aspek eksternal dan dogmatis-formalistik.
Esoterisme dan
eksoterisme saling melengkapi. Esoteris bagaikan “hati” dan eksoteris
bagaikan ‘badan’agama.
Menurut Schuon, titik-temu agama bukan berada pada level
eksoteris. Sekalipun
agama hidup di dalam dunia bentuk (a world of forms), namun ia
bersumber dari
Esensi yang Tak Berbentuk (the formless Essence). Agama memiliki
dimensi esoteris
yang berada di atas dimensi eksoteris. Titik temu antar agama hanya ada
pada level esoteris.23
Melalui esoterisme,
manusia akan menemukan dirinya yang benar. Pandangan
esoteris akan
menolak ego manusia dan mengganti ego tersebut menjadi ego yang
diwarnai dengan
nilai-nilai ketuhanan.24 Esoterisme menembus simbol-simbol
eksoterisme.
Sekalipun terkait secara inheren kepada eksoterisme, esoterisme independen
dari aspek
eksternal, bentuk, formal agama.25 Independensi tersebut karena esensi dari
esoterisme adalah
kebenaran total. Kebenaran yang tidak terbatas dan tidak teredusir
kepada eksoterisme,
yang memiliki keterbatasan.26
Dalam pandangan
Schuon, esoterisme dalam Islam adalah tasauf karena esensi
dan hakikat tasauf
adalah wahdatul wujud.27 Bagaimanapun, esensi dan hakikat sufi
tersebut jarang
sekali dipahami secara mendalam oleh kaum Muslimin.28Menurut
Schuon, para sufi
mengekspresikan pandangan metafisika yang benar, indah dan baik.29
Pemikiran Schuon
mengenai esoteris dan eksoteris meingimplikasikan terjadi
pertentangan antara
kedua level tersebut. Padahal seharusnya, level esoteris itu seiring
dan sejalan dengan
level eksoteris. Ma’rifat dan hakikat harus sejalan dengan tarekat dan
syariat. Makrifat
dan hakikat tidak boleh bertentangan dengan tarikat dan syariat. Dan
inilah sufi yang
benar. Mengerjakan syariat dalam tingkatan ihsan.
Bagaimanapun,
pemikiran Schuon tentang Kesatuan Transendent Agama-Agama
mendapat pujian dari
berbagai Intelektual lintas agama. Seyyed Hossein Nasr (S.H.
Nasr), misalnya,
menganggap Schuon sebagai guru spiritualnya. Dalam pandangan S. H.
Nasr, karya-karya
Schuon bagaikan hadiah dari langit30… (The works of Schuon are like
a gift from Heaven…).
S. H. Nasr menganggap bahwa tidak ada dimanapun kombinasi
dari kualitas-kualitas
tersebut yang lebih dapat diamati secara jelas dari apa yang ada di
dalam karya-karya
Schuon, pastinya seorang figur yang paling hebat dari aliran ini di
dalam bidang agama.
(Nowhere is the combination of those qualities more clearly
observable than in
the works of Schuon, who is certainly the greatest figure of this school
in the field of
religion).31 Schuon adalah otoritas yang paling tinggi, lanjut S. H. Nasr,
dalam metafisika
tradisional dan filsafat abadi saat ini. (The foremost authority on
traditional
metaphysics and the perennial philosophy today).32
Pujian seperti S. H.
Nasr kepada Schuon, juga diungkapkan oleh T. S. Eliot,
seorang sastrawan
terkemuka. Eliot menulis: “Saya tidak menemukan lagi karya yang
lebih mengesankan
tentang kajian perbandingan agama Timur dan Barat.33 Huston Smith,
seorang professor
dalam bidang perbandingan agama menyatakan: “Dia memberi makan
jiwa saya, yang tidak
bisa dilakukan oleh penulis lain yang masih hidup. Dia legenda
hidup. Suri teladan
zaman. Setahu saya, tidak ada pemikir lain yang masih hidup mampu
menandinginya”.
Kesimpulan
Gagasan titik-temu
antar agama ingin membenarkan semua agama. Padahal, tidak
semua agama benar
karena selain Islam, agama lain tidak lagi otentik. Kesalahan yang
ada pada agama
selain Islam, bukan hanya diketahui dari ajaran Islam, namun dapat
diketahui juga dari
historisitas berbagai agama tersebut. Eksoterisme dan Esoterisme
agama Yahudi-Kristen
misalnya, telah dikritik oleh para sarjana Yahudi-Kristen sendiri.34
Jadi, kitab “suci”
agama Yahudi-Kristen sebenarnya memuat sejumlah permasalahan
yang sangat
mendasar. Ini sesuai dengan firman Allah SWT: “Mereka merubah
perkataan (Allah)
dari tempat-tempatnya, dan mereka melupakan sebagian dari apa
yang mereka telah
diperingatkan dengannya”.35
Selain itu,
titik-temu antar agama juga tidak terjadi pada level esoteris karena
masing-masing agama
memiliki konsep Tuhan yang ekslusif atau berbeda satu sama lain.
Allah S.W.T.
menegaskan siapa yang menganggap bahwa Nabi Isa as adalah Tuhan
termasuk orang-orang
kafir. Allah SWT berfirman yang artinya: “Sesungguhnya telah
kafirlah orang-orang
yang berkata sesungguhnya Allah ialah al-Masih putera Maryam.”36
Selain itu, Allah
SWT juga berfirman yang artinya: “Sesungguhnya kafirlah orang-orang
yang mengatakan
bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga, padahal sekali-kali tidak
ada Tuhan selain
Tuhan Yang Esa.”37 Jadi, gagasan titik-temu agama-agama pada level
esoteris pun
terdapat perbedaan mendasar antara Islam dengan agama-agama lain.
Dalam level esoteris
seperti itu, agama-agama lain memahami Tuhan --dalam
istilah Schuon
Esensi-- bukan ilah. Iblis juga memahami Tuhan sebagai Esensi, bukan
sebagai ilah. Jadi,
mengetahui Tuhan sebagai Esensi tidak berarti mengetahui-Nya
sebagai ilah.
Memahami-Nya sebagai Esensi akan salah, jika tidak diikuti dengan
memahami-Nya sebagai
ilah, yakni tidak menyekutukan-Nya dan tunduk kepada-Nya
dengan cara, metode,
jalan dan bentuk yang dipersetujui oleh-Nya seperti yang
ditunjukkan oleh
para rasul yg telah di utus-Nya. Jika hanya mengakui-Nya namun
mengingkari cara, metode,
jalan dan bentuk yang dipersetujui-Nya, maka seseorang itu
akan disebut kafir
karena ia tidak benar-benar berserah diri kepada-Nya. Iblis yang
mempercayai Tuhan
yang satu, mengakui-Nya sebagai pencipta alam semesta, masih
juga di sebut kafir
disebabkan pengingkaran kepada perintah-Nya.38 Jadi, memahami dan
mengakui Tuhan harus
dengan mengikuti perintah, bentuk cara, jalan-Nya. Selain itu,
hanya dengan melalui
perintah, bentuk cara, jalan-Nya maka Kebenaran akan diketahui.
Pemikiran Schuon
mengenai titik-temu agama-agama adalah pengalamannya
tentang agama-agama.
Namun, pengalaman itu bukanlah agama itu sendiri karena
pengalaman seperti
itu tidak dapat diturunkan kepada masyarakat dan seluruh manusia,
namun hanya diraih
oleh elit tertentu. Jadi, kesatuan transendent (transcendent unity)
seperti itu tidak
dapat disebut sebagai ‘agama’, namun hanya merupakan pengalaman
keagamaan (religious
experience).39
Oleh sebab itu,
gagasan Schuon tentang titik temu agama-agama pada level
esoteris ‘melampaui’
tingkatan pengalaman keagamaan masyarakat umum. Ini jelas
bukan maksud agama
yang diturunkan untuk ummat. Agama Islam adalah bukan untuk
elit tertentu, namun
untuk ummat. Bahkan bukan saja untuk ummat Islam, namun untuk
seluruh umat
manusia.
-------------------------------------------------------------------
1 Seyyed Hossein Nasr, The
Need for a Sacred Science (New York: State University of New York, 1993),
hlm. 53-54, selanjutnya
diringkas Sacred Science.
2 Frithjof Schuon, Islam and
the Perennial Philosophy (World of Islam Festival Publishing Company, Ltd,
1976), hlm. vii.
3 Adnan Aslan, Religious
Pluralism in Christian and Islamic Philosophy: The Thought of John Hick and
Seyyed Hossein Nasr (Richmond
Surrey: Curzon Press, 1998), hlm. 120-21, selanjutnya diringkas
Religious Pluralism.
4 Pietro Nutrizio di dalam
Rene Guenon, The Lord of the World, Terj. dari Le Roi du Monde (North
Yorkshire:
Coombe Springs Press, 1983), hlm. 69
5 Robin Waterfield, Rene
Guenon, hlm. 126.
6 Robin Waterfield, Rene Guenon
and the Future of the West: The life and writings of a 20th-century
metaphysician (Crucible,
1987), hlm. 36, selanjutnya diringkas Rene Guenon.
7 Ibid., hlm. 130-131.
8 Karya Firthjof Schuon dalam
bahasa Perancis tersebut diterbitkan oleh Editions Traditionnelles, Paris
(1965). Diterjemahkan ke
bahasa Inggris dan diterbitkan oleh Perennial Books, London (1965). Diterbitkan
kembali tahun 1984 oleh World
Wisdom Books, Bloomington, Indianapolis. Schuon menulis juga sebuah
buku berjudul Mengenai
Jejak-Jejak Agama Abadi (Sur les traces de la Religion perenne) yang
diterbitkan
pada tahun 1982.
9 Frithjof Schuon banyak
mengkritik pandangan hidup filsafat modern. Lihat berbagai kritikannya di
dalam,
The Essential Writings of
Frithjof Schuon, Editor Seyyed Hossein Nasr (New York: Amity House Inc.,
1986) , hlm. 483-522,
selanjutnya diringkas The Essential Writings.
10 Frithjof Schuon, Gnosis:
Divine Wisdom, Pen. G. E. H. Palmer (Middlesex: Perennial Books Ltd, 1990),
hlm. 78-79, selanjutnya
diringkas Gnosis.
11 Frithjof Schuon, Spiritual
Perspectives & Human Facts, Pen. P. N. Townsend (Middlesex: Perennial
Books Limited, 1987), hlm.
80, selanjutnya diringkas Spiritual Perspectives.
12 Frithjof Schuon, Sufism:
Veil and Quintessence, Pen. William Stoddart (Bloomington: World Wisdom
Books, 1981), hlm. 26,
selanjutnya disingkat Sufism.
13 Frithjof Schuon, Gnosis,
hlm.78-79.
14 Ibid., hlm. 66.
15 Ibid., hlm. 82.
16 Frithjof Schuon, To Have a
Center (Bloomington: World Wisdom Books, 1990), hlm. 55.
17 Mengomentari gagasan
Schuon tentang Intelek, Huston Smith menempatkan Intelek lebih tinggi dari
wahyu. Lihat Skema yang
dibuat oleh Huston Smith di dalam Religion of the Heart: Esssays Presented to
Frithjof Schuon on His
Eightieth Birthday, Editor Seyyed Hossein Nasr dan William Stoddart (Washington
DC: Foundation for
Traditional Studies, 1991), hlm. 290.
18 Secara etimologis, kata
eksoterisme berasal dari bahasa Yunani kuno (έκ:ek dan τηρικος–terikos).
Artinya sesuatu yang di luar,
bentuk eksternal dan dapat dimengerti oleh publik, bukan oleh segelintir
kelompok.
19 Frithjof Schuon, The
Transcendent, hlm. 15.
20 Frithjof Schuon, Spiritual
Perspectives, hlm. 79-80.
21 Schuon mengatakan: “ …
similarly, the fact that Hinduism is the most ancient of the living religious
forms implies that it
possesses a certain superiority or centrality with respect to later forms.
There is not, of
course, any contradiction
here , since the standpoint is different in the two cases. Lihat Frithjof
Schuon,
The Transcendent, hlm. 36.
22 Secara etimologis,
esoteris berasal dari bahasa Yunani Kuno; εις: eis dan ηρικος-terikos. Artinya,
merujuk kepada sesuatu yang
internal, hanya dapat dimengerti oleh orang-orang tertentu. Lawan kata dari
eksoteris.
23 Seyyed Hossein Nasr, The
Essential Writings, hlm. 15.
24Frithjof Schuon, Gnosis,
hlm. 70-71.
25 Frithjof Schuon, Sufism,
hlm. 32.
26 Seyyed Hossein Nasr, The
Essential Writings, hlm. 90-91.
27 Frithjof Schuon, Spiritual
Perspectives, hlm. 87.
28 Ibid., hlm. 81-82.
29 Frithjof Schuon, Sufism,
hlm. 42.
30 Seyyed Hossein Nasr, The
Essential Writings, hlm. 16.
31 Seyyed Hossein Nasr,
Sacred Science, hlm. 63.
32 Seyyed Hossein Nasr dan
Katherine O’Brien (Editor), In Quest of the Sacred: The Modern World in the
Light of Tradition
(Washington: The Foundation for Traditional Studies, 1994), hlm. 5. Lihat juga
pujian
Nasr kepada Schuon,
sebagaimana yang ditulis oleh Adnan Aslan, Religious Pluralism, hlm. 16-17.
33 T. S. Eliot menulis: “I
have met with no more impressive work in the comparative study of Oriental and
Occidental religions.” Lihat
Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions (Wheaton: Theosophical
Publishing House, 1984), hlm.
ix, selanjutnya disingkat The Transcendent.
34 Lihat Robert R. Wilson,
Sociological Approaches to the Old Testament (Philadelphia: Fortress Press,
1984). Lihat pembahasan
Muhammad Mustafa al-Azami mengenai pendapat para sarjana Yahudi-Kristen
mengenai Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru dalam The History
of the Quranic Text from Revelation to
Compilation: A
Comparative Study with the Old and New Testaments (Leicester: UK Islamic
Academy,
2003), hlm. 211-99. Untuk melihat masalah lebih detil dan mendalam mengenai sejumlah
permasalahan
mendasar dalam Perjanjian
Baru, lihat karya Bruce M. Metzger, seorang pakar New Testament dalam The
Text of the New Testament;
Its Transmission, Corruption and Restoration (Oxford: Oxford University
Press, 1968, edisi kedua).
Begitu juga karyanya yang lain seperti A Textual Commentary on the Greek New
Testament (Stuttgart: United
Bible Societies, 1971) dan The Canon of the New Testament: Its Origin,
Development and Significance
(Oxford: Oxford University Press, 1987). Selain karya-karya tersebut, masih
banyak karya lain yang
mengkiritisi otentisitas Bibel sebagaimana ditunjukkan oleh pendekatan
kritishistoris.
Lihat juga misalnya karya
Edgard Krentz, The Historical-Critical Method (Philadelphia: Fortress
Press, 1975).
35 Al-Qur’an surah Al-Maidah (5:
13). Lihat juga surah yang lain seperti: Al-Baqarah (2: 75); Al-Nisa (4:
46); dan al-Maidah (5: 41).
36 Al-Maidah (5: 72).
37 Al-Maidah (5: 73).
38 Syed Muhammad Naquib
al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the
Fundamental Elements of the
Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), hlm. 8, selanjutnya
diringkas Prolegomena.
39
Syed Muhammad Naquib al-al-Attas, Prolegomena, hlm. 8.
-------------------------------------------------------------------------------
KEYAKINAN SEORANG MUSLIM :
HANYA ISLAM YANG DIRIDLOI ALLAH SEBAGAI AGAMA
SELURUH UMAT MANUSIA DAN TERAKHIR
Penjelasan
Kitab 3 Landasan Utama | Landasan Ketiga | Rasulullah Diutus Untuk Seluruh
Umat Manusia
بعثه الله إلى الناس كافة وافترض الله طاعته على جميع الثقلين الجن
والإنس، والدليل قوله تعالى : قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللّهِ
إِلَيْكُمْ جَمِيعاً
Allah mengutus Rasulullah kepada
seluruh manusia. Dan wajib atas seluruh manusia dan jin untuk mentaati beliau.
Dalilnya adalah firman Allah: Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku
adalah utusan Allah kepadamu semua. (Al-A’raf : 158)
وأكمل الله به الدين . والدليل قوله تعالى : الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً
Allah telah menyempurnakan agama ini
dengan risalah beliau. Dalilnya adalah firman Allah: “Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu.” (QS. Al-Maaidah : 3)
Perkataan penulis:
Allah mengutus Rasulullah kepada
seluruh umat manusia dan mewajibkan kepada manusia dan jin untuk mentaati
beliau. dalilnya adalah Firman Allah : Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya
aku adalah utusan Allah kepadamu semua” (Al-A’raf : 158)
Secara eksplisit ayat di atas
menunjukkan bahwa Rasulullah diutus untuk seluruh umat manusia. Karena ucapan
tersebut ditujukan kepada manusia yang merupakan kata yang mencakup seluruh
orang Arab maupun ‘Ajam (non Arab). Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah
disebutkan bahwa Rasulullah bersabda:
والذي نفس محمد بيده لا يسمع بي أحد من هذه الأمة يهودي ولا نصراني ثم
يموت ولم يؤمن بالذي أرسلت به إلا كان من أصحاب النار
“Demi yang jiwa Muhammad berada di
tangan-Nya, tiada seorangpun dari umat ini yang mendengar seruanku baik orang
Yahudi maupun orang Nasrani kemudian mereka mati dalam keadaan tidak beriman
kepada apa yang aku bawa melainkan ia pasti termasuk penghuni Neraka.”
[Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (no 240-153)]
Hadits ini juga merupakan dalil yang
menunjukkan akan keumuman risalah Rasulullah dan wajib bagi semua manusia untuk
beriman kepadanya.
Perkataan penulis:
Allah telah menyempurnakan risalah
beliau. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala: “Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.” (Al-Maaidah : 3)
Kesempurnaan agama diperoleh dengan
turunnya kesempurnaan pertolongan dan paripurnanya syariat Islam lahir dan yang
batin, ilmu dan amal. Alhamdulillah, agama ini tidak membutuhkan tambahan dan
juga tidak ada yang kurang hingga dibutuhkan penyempurnaan.
وقد ورد عن عمر بن الخطاب – رضي الله عنه – أن رجلاً من اليهود قال : يا
أمير المؤمنين، آية في كتابكم تقرأونها لو علينا معشر اليهود نزلت لاتخذنا ذلك
اليوم عيدًا. قال : أي آية ؟ قال
[الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الإِسْلاَمَ دِيناً]
قال عمر : قد عرفنا ذلك اليوم والمكان الذي نزلت فيه على النبي وهو
قائم بعرفة يوم الجمعة
Dalam sebuah riwayat dari Umar Bin
Khatab disebutkan bahwa seorang Yahudi berkata: “Wahai Amir Mukminin! Ada satu
ayat dalam kitab suci kalian dan sering kalian baca, jika ayat tersebut turun
kepada kami orang-orang Yahudi tentunya sudah kami jadikan hari tersebut
sebagai hari Ied.” Umar bertanya: “Ayat yang mana?” Lelaki itu berkata: “Ayat
yang berbunyi: Umar berkata: “Sungguh kami tahu hari dan tempat turunnya ayat
tersebut kepada Nabi yaitu ketika beliau berdiri di Padang ‘Arafah pada Hari
jum’at.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhary (no 45) & Muslim (no
3017)]
Lelaki yang bertanya adalah Ka’ab
Al-Akhbar sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ath-Thabraani. Dalam riwayat itu
juga terdapat ucapan:
نزلت في يوم الجمعة ويوم عرفة وكلاهما بحمد الله لنا عيد
“(Ayat tersebut-ed) Turun pada hari
Jumat di Hari ‘Arafah dan alhamdulillah kedua hari tersebut menjadi hari
Ied bagi kami.” [Lihat Tafsir Ath-Thabari (9/526) ditahqiq oleh Ahmad Syakir.]
Firman Allah [الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي] yakni dengan agama ini dan dengan manhaj yang sempurna ini,
maka telah sempurnalah nikmat Allah terhadap umat ini.
Firman Allah [وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً] ini merupakan dorongan dari Allah
terhadap umat ini agar mendapatkan kelurusan agama ini dan mendorong untuk
bersikap istiqamah.
Barang siapa yang tidak ridha Islam
sebagai pedoman jalan hidupnya baik yang kecil maupun yang besar berarti ia
telah menolak apa yang telah dipilihkan untuknya. Dan cukuplah ini sebagai
celaan dan cercaan untuknya. Ini menunjukkkan bahwa Allah menjaga dan menolong
hamba-Nya dengan memilihkan bagi mereka agama yang Dia ridhai dan Dia cintai.
Di antara dalil yang menunjukkan
bahwa agama ini telah sempurna ialah hadits dari Al-’Irbadh Bin Sariyah bahwa
Nabi bersabda:
لقد تركتكم على مثل البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ بعدي عنها
إلا هالك
“Aku meninggalkan kalian di atas
jalan yang putih bersih, malamnya seperti siangnya, tiada seorang pun yang
menyimpang darinya kecuali akan celaka.” [Hadits ini
diriwayatkan oleh Ibnu Majah (43), Ahmad (4/126), Al-Hakim (1/96), Al-Albany
berkata: "Sanad hadits shahih, semua perawinya tsiqat ma'ruuf kecuali
Abdur Rahman Bin Amru. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab Ats-Tsiqaat. Dia
(Abdurrahman bin Amru) meriwayatkan dari orang-orang tsiqaat (terpercaya).
Riwayat ini telah dinyatakan shahih oleh At-Tirmidzy, Ibnu Hibban dan Al-Hakim
dalam At-Tahdzib" Ash-Shahihah (937); lihat kitab As-Sunnah karya Ibnu
Ashim (7/19)]
Sumber :
Syarah 3 Landasan Utama karya Abdullah bin Shalih Al-Fauzan, At-Tibyan Solo.
Artikel TigaLandasanUtama.Wordpress.com
| Rasulullah Wafat, Tapi
Agamanya Kekal
و بعدها تُوُفِّيَ، صلاةُ الله وسلامه عليه، ودِينُهُ باقٍ، وهذا
دينُه : لا خَيْرَ إِلاَّ دَلَّ الأُمَّةَ عليه، ولا شَرَّ إِلاَّ حَذَّرَها عنه.
والخيرُ الذي دَلّها عليهِ التوحيدُ وجميعُ ما يُحِبُّهُ الله ويرضاه، والشَّرُّ
الذي حَذَّرَها عنه الشركُ وجميعُ ما يَكرهه الله ويأباه
Dan setelah itu beliau wafat
-shalatullahi wa salamuhu ‘alaihi-, akan tetapi agamnya kekal. Inilah
agama yang beliau bawa. Tidak satupun kebaikan kecuali telah ditunjukkan kepada
ummat beliau dan tidak satupun kejelekan kecuali telah diperingatkan perihal bahayanya.
Kebaikan tersebut adalah tauhid dan seluruh perkara yang disukai dan dicintai
oleh Allah. Sedangkan kejelekan tersebut berupa syirik dan segala yang dibenci
oleh Allah.
Perkataan penulis:
Dan setelah (sepuluh tahun berdakwah
di Madinah) itu beliau wafat -shalatullahi wa salamuhu ‘alaih-. Akan tetapi
agamanya tetap kekal,
Ibnu Katsir, berkata: “Tidak ada
perbedaan pendapat bahwa beliau wafat pada hari Senin. Dan yang masyhur adalah
pada tanggal 12 Rabiul awal. ” [Lihat As-Sirah
An-An-Nabawiyah karya Ibnu Katrsir (4/505)]
Agama yang beliau bawa tetap kekal
karena Islam adalah agama untuk seluruh ummat manusia hingga hari Kiamat.
Adapun agama-agama terdahulu
mempunyai batasan waktu berlaku, agama-agama tersebut berakhir dengan
berakhirnya batasan waktu atasnya. Adapun Islam, ia adalah agama untuk semua
manusia, yang mewajibkan manusia dan jin untuk beriman kepada Rasulullah, baik
orang-orang yahudi maupun orang-orang nasrani atau selain mereka sebagaimana
yang akan diterangkan. Oleh karena itu Allah telah menjamin keutuhan agama ini
dan keaslian Al-Qur’anul Karim. Adapun Injil dan Taurat telah mengalami
perubahan di dalamnya, bahkan kitab-kitab yang lain sudah tidak didapati lagi.
Sedangkan Al-Qur’anul Karim sejak diturunkannya hingga hari ini bahkan sampai hari
kiamat nanti tetap terjaga dan terpelihara dari jamahan tangan-tangan jahil dan
usil. Karena Allah yang menjaganya. Allah berfirman :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”
[Al-Hijr : 9]
Perkataan penulis:
“Inilah agama yang beliau bawa.
Tidak satupun kebaikan kecuali telah ditunjukkan kepada ummat beliau dan tidak
satupun kejelekan kecuali telah diperingatkan perihal bahayanya. Kebaikan
tersebut adalah tauhid dan seluruh perkara yang disukai dan dicintai oleh
Allah. Sedangkan kejelekan tersebut berupa syirik dan segala yang dibenci oleh
Allah.”
Ini adalah sebuah ungkapan yang
sangat bagus dan akurat yang jarang didapati di tempat-tempat lain.
عن أبي ذر – رضي الله عنه – قال : تركنا رسول الله وما طائر يقلب جناحيه
في الهواء إلا وهو يذكرنا منه علمًا .
Diriwayatkan dari Abu Dzar ia
berkata: “Rasulullah telah meninggalkan karni, dan tiada seekor burungpun yang
mengepakkan dua sayapnya di udara kecuali beliau telah menerangkannya kepada
kami ilmu yang terkandung di dalamnya.
قال : فقال رسول الله : ما بقي شيء يقرب من الجنة ويباعد من النار
إلا وقد بُين لكم
Abu Dzar berkata lagi, Rasulullah
bersabda: “Tidak ada satu pun yang dapat
mendekatkan ke jannah dan menjauhkan dari naar kecuali telah dijelaskan kepada
kalian.” [Hadits riwayat Ath-Thabrany dalam kitab Al-Kabir (2/155, no 1647) dishahihkan oleh
Al-Albany dalam Ash-Shahihah
(no 1803) lihat Al-'Ilal
karya Ad-Daruquthny (6/290).]
وعن المطلب بن حنطب أن النبي قال : “ما تركت شيئًا مما أمركم الله به إلا
وقد أمرتكم به، ولا تركت شيئًا مما نهاكم عنه إلا وقد نهيتكم عنه...”
Diriwayatkan dari Al-Muththalib Bin
Khaththab Radhiyallahu anhu bahwa Nabi bersabda: “Tidak ada satu perintah Allah pun kecuali telah aku
perintahkan kepada kalian dan tidak ada satu larangan Allah pun kecuali telah
aku larang kalian untuk melakukannya.” [Hadits
riwayat As-Syafi'i
(1/13 Badai'ul Manan) Al-Albany berkata:"sanad hadits ini mursal hasan dan
sebagai syahid terhadap hadits sebelumnya".]
Sumber :
Syarah 3 Landasan Utama karya Abdullah bin Shalih Al-Fauzan, At-Tibyan Solo.
Artikel TigaLandasanUtama.Wordpress.com
| Periode Turunnya Syari’at
Di Madinah
فلما استقر بالمدينة أمر ببقية شرائع الإسلام مثل الزَّكاةِ، والصوم،
والحجَّ، والأذانِ، والجهادِ، والأَمْرِ بالمعروف والنهي عن المُنْكَرِ، وغير
ذلِكَ من شرائع الإِسلام. أَخَذَ على هذا عشرَ سنينَ .
Setelah Rasulullah menetap di
Madinah, turunlah syari’at-syari’at Islam yang lain, seperti: zakat, shiyam (puasa), haji, adzan, jihad, amar ma’ruf nahi munkar,
dan sebagainya. Beliau melaksanakan tugas ini selama sepuluh tahun.
Perkataan penulis:
Setelah menetap di Madinah, beliau
diperintahkan untuk melaksanakan syariat Islam yang lain.
Penulis, menyebutkan syariat
disempurnakan setelah Rasulullah menetap di Madinah. Dan mengenai hijrah beliau
-shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah disinggung pada pembahasan yang lalu.
Penulis memulai dari hukum berhijrah
beserta dalil-dalilnya, karena hijrah termasuk syariat teragung yang berkaitan
dengan wala’
dan bara’.
Kemudian barulah diperintahkan syariat yang lainnya setelah kokohnya pondasi
aqidah, sebab aqidah adalah asas semua amal. Oleh karena itu dakwah di Makkah
berlangsung seputar masalah aqidah. Adapun syariat yang lainnya diperintahkan
setelah hijrah ke Madinah, kecuali shalat. Karena agungnya ibadah ini, shalat
sudah diwajibkan sejak di Makkah sebagaimana yang telah disebutkan oleh penulis
bahwa Rasulullah mulai mengerjakan shalat tiga tahun sebelum beliau hijrah ke
Madinah.
Perkataan penulis:
Seperti zakat, shaum, haji, adzan,
jihad, menyeru untuk berbuat ma’ruf dan melarang dari perbuatan mungkar dan
syariat syariat Islam lainnya.
Dalam beberapa naskah kitab ushulu ats-tsalatsah, tidak
tercantum kata “adzan”, kemudian aku menyisipkannya dari Kitab “Kumpulan karya
Syaikh; Bagian Pertama : Al-Aqidah wal Adaab Al-Islamiyyah” (hal 194).
Zakat
Dari perkataan penulis tersebut
dapat dipahami bahwa zakat tidak disyariatkan kecuali setelah beliau hijrah ke
Madinah, karena beliau menyebutkan zakat bersama shaum (puasa), haji, jihad dan adzan yang
semuanya baru disyariatkan setelah beliau hijrah ke Madinah.
Dalam surat-surat Makkiyah
disebutkan tentang zakat, begitu pula di tempat lain ada juga disebutkan tentang
perintah untuk membayar zakat. Sebagaimana yang terdapat dalam surat Makkiyah
Al-An’am. Allah berfirman:
وَآتُواْ حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
“dan
tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya).”
[Al-An'am : 141]
Dalam surat Al-Ma’arij Allah
berfirman:
وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُومٌ لِّلسَّائِلِ
وَالْمَحْرُومِ
“Dan orang-orang yang dalam hartanya
tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak
mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)” [Al-Ma'aarij
: 24-25]
Dan juga dalam surat Al-Mukminun
Allah berfirman:
وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ
“dan mereka-mereka yang membayar
zakat.” [Al-Mu'minun : 4]
Ayat-ayat ini adalah ayat Makkiyah,
namun di dalamnya disebutkan tentang zakat. Kemudian setelah itu turun
ayat-ayat Madaniyah yang juga menyebutkan tentang zakat.
Ibnu Katsir ketika mengomentari ayat
dalam surat Al-Mukminun [وَالَّذِينَ
هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ] mengatakan: “Kebanyakan para ulama mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan zakat di sini adalah zakat harta. [Tafsir Ibn Katsir 5/457]
Sebahagian para ulama berkata:
“Sesungguhnya yang dimaksud dengan zakat yang disebutkan dalam Firman-Nya: [وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ] ialah membersihkan jiwa dan
menyucikannya dari kotoran-kotoran terutama dosa syirik.
Tidak ada pertentangan antara
ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah yang menyebutkan permasalahan zakat tersebut.
Zakat telah diwajibkan di Makkah, kemudian diterangkan nishabnya di Madinah.
Zakat yang diwajibkan di Makkah belum mempunyai nishab dan ukuran tertentu,
ukurannya dikembalikan kepada masing-masing orang, terkadang banyak dan
terkadang sedikit. Hal ini mungkin -Allahu
a’lam- karena di Makkah belum ada daulah sehingga belum
ada penetapan ukuran tertentu untuk zakat. Tetapi setelah berdiri daulah di
Madinah dan adanya syariat yang lain, maka ditetapkanlah nishab zakat tersebut melalui lisan
Rasulullah. Oleh karena itu ketika Rasulullah berada di Makkah tidak pernah
menyinggung tentang nishab
zakat dan ukurannya. Berdasarkan ini semua, maka yang dimaksud penulis dengan
zakat di sini ialah yang berkaitan dengan nishab
dan ukuran zakat. Allahu a’lam.
Shaum (puasa)
dan Haji
Shaum (puasa) diwajibkan pada tahun kedua
hijriyah. Sedangkan Haji diwajibkan pada tahun kesembilan hijriyah menurut
pendapat yang lebih kuat.
Jihad
Kata dasar dari [جاهد يجاهد جهادًا] jaahada-yujahidu-jihaadan: jika sudah sampai kepada
pembunuhan terhadap musuh dan lainnya.
Begitupula dengan kata [جهد - jahada] ketika Anda mendapatkan di dalamnya kesan
penyangatan. Firman Allah
وَجَاهِدُوا
فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ
“Dan berjihadlah kamu di jalan Allah
dengan jihad yang sebenar-benarnya”
Maksudnya khusus dalam memerangi
orang-orang kafir.
Jihad diwajibkan setelah hijrah ke
Madinah, sebagaimana yang telah disinggung oleh penulis. Ketika di Makkah kaum
muslimin belum diizinkan untuk beijihad, karena mereka masih dalam keadaan
lemah dan tidak memiliki kemampuan untuk memulai peperangan. Namun setelah hijrah
ke Madinah dan daulah Islam berdiri barulah diperintahkan berjihad. Allah
berfirman:
وَقَاتِلُواْ
فِي سَبِيلِ اللّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ
لاَ يُحِبِّ الْمُعْتَدِينَ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُم
مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ
“Dan perangilah di jalan Allah
orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas,
karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.Dan
bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat
mereka telah mengusir kamu (Mekkah);” 376
Adzan
Menurut pendapat yang kuat adzan
disyariatkan pada tahun pertama hijriyah. Ada beberapa hadits yang menunjukkan
bahwa adzan disyariatkan sebelum hijrah, namun hadits tersebut hadits ma’lulah
(cacat) sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar. Dan Ibnu Mundzir
telah memastikan bahwa Rasulullah sejak diwajibkan shalat selama di Makkah,
beliau melaksanakannya tanpa adzan hingga beliau hijrah ke Madinah. [Lihat Zaadul Ma'ad (3/69) Fathul Bary (2/78-79)]
Amar Ma’ruf – Nahi Munkar
Ma’ruf
adalah suatu istilah yang mencakup semua hal yang dikenal sebagai ketaatan dan
pendekatan diri kepada Allah serta perbuatan baik kepada sesama makhluk. Adapun munkar
adalah kebalikannya.
Berkata
Ar-Raghib: “Ma’ruf adalah suatu istilah yang mencakup perbuatan yang dikenal
oleh akal dan syariat sebagai suatu perbuatan baik, adapun kemungkaran adalah
yang diingkari oleh akal dan syariat.”
Asy-Syaukani
berkata: “Dalil yang menentukan bahwa sesuatu itu dianggap perbuatan ma’ruf dan
mungkar adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.”
Syaikh
menyebutkan perkara ini dan tidak menyebutkan syariat lainnya, karena perkara
ini adalah bab yang penting dan merupakan sendi serta landasan setiap urusan,
merupakan tugas para nabi dan rasul dan merupakan salah satu jalan keimanan
serta salah satu hak seorang muslim terhadap saudaranya. Dan dalilnya sudah
diketahui dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.
Perkataan penulis:
Beliau
melaksanakan tugas ini selama sepuluh tahun.
Yakni
beliau mulai menyampaikan syariat dan menerangkannya di kota Madinah dan kota
lainnya selama sepuluh tahun.
--------------------------------------------
Sumber : Syarah 3 Landasan Utama karya
Abdullah bin Shalih Al-Fauzan, At-Tibyan Solo.
Artikel TigaLandasanUtama.Wordpress.com
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------