Kritik Terhadap Gagasan Titik-Temu Antar Agama
Adnin Armas, M.A.
Sumber : INSISTS

Latar-Belakang
Pada awal abad ke 20, Ananda Kentish Coomaraswamy (m. 1947) dan Rene
Guenon (1886-1951) menghidupkan kembali nilai-nilai, hikmah, kebenaran abadi yang
ada pada Tradisi dan agama-agama. Coomaraswamy menyebutnya dengan Philosophia
Perennis (Filsafat Abadi)1 sedangkan Guenon menyebutnya dengan Primordial Tradition
(Tradisi Primordial). Gagasan mengenai Filsafat Abadi atau Tradisi Primordial
tenggelam dalam peradaban Barat. Ini disebabkan filsafat yang dominan adalah filsafat
keduniawian.2 Filsafat tersebut dibangun berdasarkan pandangan hidup sekular-liberalyang
meminggirkan nilai-nilai yang ada pada Tradisi dan agama-agama.

Rene Descartes, bapak filsafat modern, dengan prinsip aku berfikir maka aku ada
(cogito ergo sum), misalnya, telah menjadikan rasio satu-satunya kriteria untuk mengukur
Kebenaran. Wahyu dan Intelek dalam struktur epistemologi terpinggirkan. Wahyu dan
Intelek semakin terpinggirkan dengan filsafat Immanuel Kant. Bagi Kant, manusia hanya
mengetahui yang phenomena bukan yang noumena. Intelek tidak mendapat tempat dalam
struktur epistemologi Kant. Sekularisasi epistemologi semakin bergulir dengan
munculnya filsafat Hegel dan Marx yang menganggap realitas sebagai perubahan yang
dialektis.3

Guenon, yang memeluk Islam pada tahun 19124 (nama Islamnya Abdul Wahid
Yahya) berpendapat sebenarnya ilmu yang utama adalah ilmu tentang spiritual. Ilmu
yang lain harus dicapai juga, namun ilmu tersebut hanya akan bermakna dan bermanfaat
jika dikaitkan dengan ilmu spiritual. Menurut Guenon, substansi dari ilmu spiritual
bersumber dari supranatural dan transendent. Ilmu tersebut adalah universal. Oleh sebab

itu, ilmu tersebut tidak dibatasi oleh suatu kelompok agama tertentu. Ia adalah milik
bersama semua Tradisi Primordial (Primordial Tradition). Perbedaan teknis yang terjadi
merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan Kebenaran. Perbedaan
tersebut sah-sah saja karena setiap agama memiliki kontribusinya yang unik untuk
memahami Realitas Akhir.5

Pemikiran Guenon tentang Tradisi Primordial (semua agama memiliki kebenaran
dan bersatu pada pada level Kebenaran) tidak terlepas dari pengalaman spiritualnya
dalam gerakan Freemason. Selain itu, Gerard Encausse, seorang ahli mistis, pendiri
Masyarakat Teosofi (Thesophical Society) di Perancis sekaligus tokoh terkemuka
Freemason banyak mewarnai pemikiran Guenon. Di sekolah yang didirikan oleh
Encausse, Guenon mengkaji tentang mistis (occult studies) dan berkenalan dengan
sejumlah tokoh Freemason, teosofi dan berbagai gerakan spiritual yang lain. Guenon
juga aktif menggelar berbagai kongres, seminar, diskusi dan aktifitas tentang mistis dan
Freemason di Perancis. Ringkasnya, Freemason merupakan ketertarikan Guenon yang
paling besar sepanjang hidupnya (it remained of Guenon’s great interests throughout his
life).6 Bagi Guenon, Freemason adalah wadah dari luasnya hikmah tradisional,
khususnya kaya dalam simbolisme dan ritual. Guenon juga yakin bahwa Freemason
adalah cara untuk menjaga banyak aspek dari Kristen yang telah hilang dan terabaikan.7

Gagasan Coomaraswamy dan Guenon untuk menghidupkan kembali kebenaran
abadi yang ada pada Tradisi dan agama-agama dikembangkan lebih lanjut oleh Frithjof
Schuon (1907-1998). Pemikiran Schuon banyak terwarnai khususnya oleh Guenon.
Schuon mulai mengirim surat kepada Guenon sejak berusia kurang lebih 12 tahun.
Korespondensi ini berlangsung selama 20 tahun. Keduanya baru saling bertemu pada
tahun 1938 di Kairo.
Schuon, yang dikenal juga sebagai Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili al-Darquwi
al-Alawi al-Maryami, adalah seorang tokoh terkemuka dalam filsafat abadi dan
metafisika tradisional. Pemikirannya dipuji dan diikuti oleh para intelektual bertaraf
internasional dan lintas agama. Dalam karya-karyanya, Schuon menegaskan kembali
prinsip-prinsip metafisika tradisional, mengeksplorasi dimensi-dimensi esoteris agama,
menembus bentuk-bentuk mitologis dan agama serta mengkritik modernitas. Schuon
mengangkat perbedaan antara dimensi-dimensi tradisi agama eksoteris dan esoteris
sekaligus menyingkap titik temu metafisik antar semua agama-agama ortodoks. Ia
mengungkap Satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha
Sempurna. Ia menyeru supaya manusia dekat kepada-Nya.

Schuon menggunakan istilah religio perennis (Agama Abadi). Ia yang pertama
kali menggunakan istilah tersebut dan menggunakannya dalam karyanya Regards sur les
mondes anciens (Cahaya tentang Dunia-Dunia Kuno).8 Istilah Religio Perennis sinonim
dengan beberapa istilah lain yang seperti Philosophia Perennis, Hikmah Abadi (Sophia
Perennis, al-Hikmah al-Khalidah, Sanatana Dharma), Agama Hikmah (Religio Cordis,
al-Din al-Hanif), Agama Hati (Religion of the Heart), Primordial Tradition dan Sains
Sakral (Scientia Sacra). Semua istilah ini bermaksud sama, yaitu menegaskan titik-temu
agama-agama dan menolak pandangan hidup filsafat modern yang relatifistik, positivistik
dan rasionalistik.9

Epistemologi Schuon
Gagasan Schuon tentang Intelek (Intellect) merupakan gagasan utama dalam
epistemologinya. Ini disebabkan dimensi esoteris dan eksoteris yang inheren dalam
agama berasal dari dan diketahui melalui lntelek. Menurut Schuon, secara psikologis, ego
manusia terkait dengan badan (body), otak (brain) dan hati (heart). Jika badan
diasosiasikan dengan eksistensi fisik, otak dengan fikiran (mind), maka hati (heart)
dengan Intelek. Jika dikaitkan dengan realitas, maka Intelek dapat diasosiasikan dengan
Esensi Tuhan (Yang Satu) dan langit (alam yang menjadi model dasar) sedangkan fikiran
dan badan meliputi dunia fisik, terrestrial. Intelek sangat penting karena otak dan badan
di bawah kendali, dan berasal dari Intelek.10

Intelek adalah pusat manusia (the centre of human being), yang bersemayam di
dalam hati. Kualifikasi intelektual harus didampingi dengan kualifikasi moral. Jika tidak,
maka secara spiritual, Intelek tidak akan berfungsi. Hubungan antara ‘intelektualitas’ dan
‘spiritualitas’ adalah bagaikan hubungan antara pusat dan pinggiran. Intelektualitas
menjadi spiritualitas ketika manusia sepenuhnya, bukan Intelektualitasnya saja, hidup di
dalam kebenaran.11

Intelek lebih tinggi dari rasio karena jika rasio itu menyimpulkan sesuatu
berdasarkan kepada data, maka mental berfungsi karena eksistensi intelek. Rasio
hanyalah media untuk menunjukkan jalan kepada orang buta, bukan untuk melihat.
Sedangkan Intelek, dengan bantuan rasio, terungkap dengan sendirinya secara pasti.
Selain itu, Intelek dapat menggunakan rasio untuk mendukung aktualisasinya.12

Di dunia fisik, Intelek terbagi menjadi fikiran (mind) dan badan (body). Namun,
hanya di dunia fisik Intelek terbagi. Di alam langit yang menjadi model dasar, atau di
dalam Ide Plato, fikiran dan badan merupakan makna yang tidak dibedakan: Fikiran
adalah eksistensi dan eksistensi adalah fikiran.13

Disebabkan berasal dari alam langit yang menjadi model dasar (Archetype), maka
Intelek menjadi transenden dalam hubungannya dengan eksistensi duniawi. Dalam
tingkatan wujud (being), Intelek terpresentasikan di dalam 3 aspek fundamental; Intelek
ketuhanan (divine intellect), Intelek kosmos (cosmic intellect) dan Intelek manusia
(human intellect). Intelek ketuhanan adalah cahaya murni (pure light). Artinya ia adalah
ilmu Tuhan (divine knowledge) sebagaimana adanya. Intelek kosmos berhubungan
dengan Tuhan. Refleksi dari ilmu Tuhan berada dalam Intelek kosmos. Manusia
menyerap “cahaya” melalui Intelek kosmos. Intelek manusia adalah sebuah cermin yang
memantulkan tingkatan-tingkatan cahaya ketuhanan dan kosmos di dalam kaitannya
dengan jiwa individu manusia yang berada di dunia terrestrial. Ketika menjadi Intelek
kosmos dan Intelek manusia, ia menjadi terbatas karena dunia kosmos dan manusia
adalah diciptakan. Pada masa yang sama, “cahaya” atau ilmu Tuhan muncul pada semua
level. Konsekwensinya, Intelek manusia pun ikut serta dalam sesuatu yang tidak
diciptakan dan tidak terbatas. Bagaimanapun, aspek dari Intelek yang diciptakan
hanyalah aksidental, sementara aspeknya yang substansial tidak terbatas. Pada tingkatan
kosmos dan manusia, Intelek memiliki identitas yang inheren dengan Intelek Ketuhanan.

Aspek ketuhanan inilah yang mendefinisikan Intelek, bukan aspek yang terbatas. Di
dalam aspek yang tidak diciptakan, Intelek adalah Intelek Tuhan14
Menurut Schuon, Intelek manusia adalah ambigu. Pada satu sisi ia bersifat
ketuhanan. Pada sisi yang lain ia bersifat manusiawi. Intelek manusia inheren dalam
Intelek ketuhanan. Dalam kehidupan duniawi (mundane existence), secara ontologis, hati
merupakan pusat kehidupan. Ini menunjukkan secara potensi manusia adalah inkarnasi
dari ilmu Tuhan karena manusia dapat melangkah keluar dari eksistensi yang diciptakan
ini melalui intelek yang tidak diciptakan (uncreated intellect). Intelek manusia
menggabungkan eksistensi fikiran dan badan yang terpisah, kepada sebuah kesatuan
wujud murni (pure being) yaitu Tuhan.15

Manusia memahami kebenaran melalui intuisi. Sebagai sebuah daya, Intelek
adalah dasar bagi intuisi. Intuisi intelek membedakan antara yang ril dan ilusi, antara
wujud yang wajib dan wujud yang mungkin. Implikasinya, ada realitas transenden diluar
dunia bentuk.16
Jadi, dengan Intelek, manusia mengetahui bahwa Realitas dapat dibagi menjadi
dua, Absolut dan relatif, Ril dan ilusi, Yang Harus dan mungkin, yang esoteris dan
eksoteris. Menurut Schuon, agama-agama bertemu pada level yang esoteris dan bukan
pada level eksoteris.

Perlu kiranya dikemukakan bahwa gagasan Schuon tentang Intelek terlalu
berlebihan. Dalam pemikiran Schuon, Intelek, pada akhirnya bisa independent dari
wahyu. Artinya, Intelek lebih tinggi dari wahyu.17 Pendapat seperti ini tidaklah tepat.
Sekalipun Intelek mungkin bisa mengetahui bahwa Tuhan itu ada, namun itu saja tidak
cukup. Mengakui eksistensi-Nya tidak cukup tanpa diikuti dengan menuruti Perintah-
Nya. Iblispun mengakui eksistensi-Nya, namun tidak mengakui perintah-Nya. Perintah-
Nya diketahui bukan melalui Intelek, namun melalui wahyu yang diturunkan-Nya.

Eksoterisme18
Dalam pandangan Schuon, eksoteris adalah aspek eksternal, formal, hukum,
dogmatis, ritual, etika dan moral sebuah agama. Eksoteris berada sepenuhnya di dalam
Maya, kosmos yang tercipta. Dalam pandangan eksoteris, Tuhan dipersepsikan sebagai
Pencipta dan Pembuat Hukum bukan Tuhan sebagai Esensi karena eksoterisme berada di
dalam Maya, yang relatif dalam hubungannya dengan Atma. Pandangan eksoteris
bermakna pandangan yang eksklusif, absolut dan total, sekalipun dari sudut pandang
Intelek adalah relatif.

Menurut Schuon, pandangan eksoteris, bukan saja benar dan sah bahkan juga
keharusan mutlak bagi keselamatan (salvation) individu. Bagaimanapun, kebenaran
eksoteris adalah relatif.19 Inti dari eksoteris adalah ‘kepercayaan’ kepada “huruf”,--
sebuah dogma esklusifistik (formalistik)--dan kepatuhan terhadap hukum ritual dan
moral. Selain itu, eksoterisme tidak pernah akan melampaui individu. Eksoterisme bukan
muncul dari esoterisme, namun muncul dari Tuhan.20

Schuon menyadari jika masing-masing “form” agama meyakini bahwa sesuatu
“form” itu lebih hebat dibanding dengan “form” yang lain. Pemikiran seperti itu, lanjut
Schuon, sangat wajar. Perpindahan agama terjadi justru karena adanya superioritas
sebuah “form” terhadap yang lain. Bagaimanapun, superioritas tersebut sebenarnya
relatif. Menurut Schuon, Islam misalnya, lebih baik dari Hindu karena memuat bentuk
terakhir dari Sanatana Dharma. Schuon mengatakan.: “…Sama halnya, bahwa Agama
Hindu adalah form yang paling tua yang masih hidup mengimplikasikan bahwa agama tersebut memiliki superioritas tertentu atau sentralitas dibanding dengan bentuk yang
terakhir (Islam)”.21

Pendapat Schuon mengenai eksoterisme mengindikasikan tidak boleh ada truthclaim
karena banyak jalan menuju keselamatan --masing-masing agama adalah benar
karena setiap “form” adalah relatif dan terbatas--. Pendapat Schuon berdampak kepada
agama apapun tidak akan ada yang sempurna disebabkan relatitas dan keterbatasan
“form”. Jadi, agama yang satu tidak akan dapat eksis dan berjalan dengan baik, jika tidak
ada agama lain. Ini jelas pendapat yang salah, karena risalah Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad saw mampu eksis dan menjalankan fungsinya tanpa agama lain. Justru
kehadiran Islam adalah untuk meluruskan dan menyempurnakan agama-agama para nabi
sebelumnya yang telah berubah. Islam adalah sempurna (al-Maidah: 3). Rasulullah saw
adalah nabi yang diutus Allah untuk seluruh manusia (al-Araf: 158). Jadi, Islam adalah
agama yang universal, untuk seluruh ummat manusia.

Al-Qur’an telah menyatakan secara tegas bahwa selain Islam, agama lain tidak
akan diterima di sisi Allah. Ajaran agama lain dalam perjalanan sejarah telah
menyimpang dari ajaran yang sebenarnya. Eksoteris agama lain bukan lagi bersumber
dari Tuhan, namun telah termanusiawikan. Jadi, eksoteris agama lain tidak otentik lagi.

Esoterisme22
Esoteris adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Tanpa esoterisme,
agama akan teredusir menjadi sekedar aspek-aspek eksternal dan dogmatis-formalistik.
Esoterisme dan eksoterisme saling melengkapi. Esoteris bagaikan “hati” dan eksoteris
bagaikan ‘badan’agama. Menurut Schuon, titik-temu agama bukan berada pada level
eksoteris. Sekalipun agama hidup di dalam dunia bentuk (a world of forms), namun ia
bersumber dari Esensi yang Tak Berbentuk (the formless Essence). Agama memiliki
dimensi esoteris yang berada di atas dimensi eksoteris. Titik temu antar agama hanya ada
pada level esoteris.23

Melalui esoterisme, manusia akan menemukan dirinya yang benar. Pandangan
esoteris akan menolak ego manusia dan mengganti ego tersebut menjadi ego yang
diwarnai dengan nilai-nilai ketuhanan.24 Esoterisme menembus simbol-simbol
eksoterisme. Sekalipun terkait secara inheren kepada eksoterisme, esoterisme independen
dari aspek eksternal, bentuk, formal agama.25 Independensi tersebut karena esensi dari
esoterisme adalah kebenaran total. Kebenaran yang tidak terbatas dan tidak teredusir
kepada eksoterisme, yang memiliki keterbatasan.26

Dalam pandangan Schuon, esoterisme dalam Islam adalah tasauf karena esensi
dan hakikat tasauf adalah wahdatul wujud.27 Bagaimanapun, esensi dan hakikat sufi
tersebut jarang sekali dipahami secara mendalam oleh kaum Muslimin.28Menurut
Schuon, para sufi mengekspresikan pandangan metafisika yang benar, indah dan baik.29
Pemikiran Schuon mengenai esoteris dan eksoteris meingimplikasikan terjadi
pertentangan antara kedua level tersebut. Padahal seharusnya, level esoteris itu seiring
dan sejalan dengan level eksoteris. Ma’rifat dan hakikat harus sejalan dengan tarekat dan
syariat. Makrifat dan hakikat tidak boleh bertentangan dengan tarikat dan syariat. Dan
inilah sufi yang benar. Mengerjakan syariat dalam tingkatan ihsan.

Bagaimanapun, pemikiran Schuon tentang Kesatuan Transendent Agama-Agama
mendapat pujian dari berbagai Intelektual lintas agama. Seyyed Hossein Nasr (S.H.
Nasr), misalnya, menganggap Schuon sebagai guru spiritualnya. Dalam pandangan S. H.
Nasr, karya-karya Schuon bagaikan hadiah dari langit30… (The works of Schuon are like
a gift from Heaven…). S. H. Nasr menganggap bahwa tidak ada dimanapun kombinasi
dari kualitas-kualitas tersebut yang lebih dapat diamati secara jelas dari apa yang ada di
dalam karya-karya Schuon, pastinya seorang figur yang paling hebat dari aliran ini di
dalam bidang agama. (Nowhere is the combination of those qualities more clearly
observable than in the works of Schuon, who is certainly the greatest figure of this school
in the field of religion).31 Schuon adalah otoritas yang paling tinggi, lanjut S. H. Nasr,
dalam metafisika tradisional dan filsafat abadi saat ini. (The foremost authority on
traditional metaphysics and the perennial philosophy today).32

Pujian seperti S. H. Nasr kepada Schuon, juga diungkapkan oleh T. S. Eliot,
seorang sastrawan terkemuka. Eliot menulis: “Saya tidak menemukan lagi karya yang
lebih mengesankan tentang kajian perbandingan agama Timur dan Barat.33 Huston Smith,
seorang professor dalam bidang perbandingan agama menyatakan: “Dia memberi makan
jiwa saya, yang tidak bisa dilakukan oleh penulis lain yang masih hidup. Dia legenda
hidup. Suri teladan zaman. Setahu saya, tidak ada pemikir lain yang masih hidup mampu
menandinginya”.

Kesimpulan
Gagasan titik-temu antar agama ingin membenarkan semua agama. Padahal, tidak
semua agama benar karena selain Islam, agama lain tidak lagi otentik. Kesalahan yang
ada pada agama selain Islam, bukan hanya diketahui dari ajaran Islam, namun dapat
diketahui juga dari historisitas berbagai agama tersebut. Eksoterisme dan Esoterisme
agama Yahudi-Kristen misalnya, telah dikritik oleh para sarjana Yahudi-Kristen sendiri.34

Jadi, kitab “suci” agama Yahudi-Kristen sebenarnya memuat sejumlah permasalahan
yang sangat mendasar. Ini sesuai dengan firman Allah SWT: “Mereka merubah
perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka melupakan sebagian dari apa
yang mereka telah diperingatkan dengannya”.35

Selain itu, titik-temu antar agama juga tidak terjadi pada level esoteris karena
masing-masing agama memiliki konsep Tuhan yang ekslusif atau berbeda satu sama lain.
Allah S.W.T. menegaskan siapa yang menganggap bahwa Nabi Isa as adalah Tuhan
termasuk orang-orang kafir. Allah SWT berfirman yang artinya: “Sesungguhnya telah
kafirlah orang-orang yang berkata sesungguhnya Allah ialah al-Masih putera Maryam.”36
Selain itu, Allah SWT juga berfirman yang artinya: “Sesungguhnya kafirlah orang-orang
yang mengatakan bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga, padahal sekali-kali tidak
ada Tuhan selain Tuhan Yang Esa.”37 Jadi, gagasan titik-temu agama-agama pada level
esoteris pun terdapat perbedaan mendasar antara Islam dengan agama-agama lain.

Dalam level esoteris seperti itu, agama-agama lain memahami Tuhan --dalam
istilah Schuon Esensi-- bukan ilah. Iblis juga memahami Tuhan sebagai Esensi, bukan
sebagai ilah. Jadi, mengetahui Tuhan sebagai Esensi tidak berarti mengetahui-Nya
sebagai ilah. Memahami-Nya sebagai Esensi akan salah, jika tidak diikuti dengan
memahami-Nya sebagai ilah, yakni tidak menyekutukan-Nya dan tunduk kepada-Nya
dengan cara, metode, jalan dan bentuk yang dipersetujui oleh-Nya seperti yang
ditunjukkan oleh para rasul yg telah di utus-Nya. Jika hanya mengakui-Nya namun
mengingkari cara, metode, jalan dan bentuk yang dipersetujui-Nya, maka seseorang itu
akan disebut kafir karena ia tidak benar-benar berserah diri kepada-Nya. Iblis yang
mempercayai Tuhan yang satu, mengakui-Nya sebagai pencipta alam semesta, masih
juga di sebut kafir disebabkan pengingkaran kepada perintah-Nya.38 Jadi, memahami dan
mengakui Tuhan harus dengan mengikuti perintah, bentuk cara, jalan-Nya. Selain itu,
hanya dengan melalui perintah, bentuk cara, jalan-Nya maka Kebenaran akan diketahui.

Pemikiran Schuon mengenai titik-temu agama-agama adalah pengalamannya
tentang agama-agama. Namun, pengalaman itu bukanlah agama itu sendiri karena
pengalaman seperti itu tidak dapat diturunkan kepada masyarakat dan seluruh manusia,
namun hanya diraih oleh elit tertentu. Jadi, kesatuan transendent (transcendent unity)
seperti itu tidak dapat disebut sebagai ‘agama’, namun hanya merupakan pengalaman
keagamaan (religious experience).39
Oleh sebab itu, gagasan Schuon tentang titik temu agama-agama pada level
esoteris ‘melampaui’ tingkatan pengalaman keagamaan masyarakat umum. Ini jelas
bukan maksud agama yang diturunkan untuk ummat. Agama Islam adalah bukan untuk
elit tertentu, namun untuk ummat. Bahkan bukan saja untuk ummat Islam, namun untuk
seluruh umat manusia.

-------------------------------------------------------------------
1 Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (New York: State University of New York, 1993),
hlm. 53-54, selanjutnya diringkas Sacred Science.
2 Frithjof Schuon, Islam and the Perennial Philosophy (World of Islam Festival Publishing Company, Ltd,
1976), hlm. vii.
3 Adnan Aslan, Religious Pluralism in Christian and Islamic Philosophy: The Thought of John Hick and
Seyyed Hossein Nasr (Richmond Surrey: Curzon Press, 1998), hlm. 120-21, selanjutnya diringkas
Religious Pluralism.
4 Pietro Nutrizio di dalam Rene Guenon, The Lord of the World, Terj. dari Le Roi du Monde (North
Yorkshire: Coombe Springs Press, 1983), hlm. 69
5 Robin Waterfield, Rene Guenon, hlm. 126.
6 Robin Waterfield, Rene Guenon and the Future of the West: The life and writings of a 20th-century
metaphysician (Crucible, 1987), hlm. 36, selanjutnya diringkas Rene Guenon.
7 Ibid., hlm. 130-131.
8 Karya Firthjof Schuon dalam bahasa Perancis tersebut diterbitkan oleh Editions Traditionnelles, Paris
(1965). Diterjemahkan ke bahasa Inggris dan diterbitkan oleh Perennial Books, London (1965). Diterbitkan
kembali tahun 1984 oleh World Wisdom Books, Bloomington, Indianapolis. Schuon menulis juga sebuah
buku berjudul Mengenai Jejak-Jejak Agama Abadi (Sur les traces de la Religion perenne) yang diterbitkan
pada tahun 1982.
9 Frithjof Schuon banyak mengkritik pandangan hidup filsafat modern. Lihat berbagai kritikannya di dalam,
The Essential Writings of Frithjof Schuon, Editor Seyyed Hossein Nasr (New York: Amity House Inc.,
1986) , hlm. 483-522, selanjutnya diringkas The Essential Writings.
10 Frithjof Schuon, Gnosis: Divine Wisdom, Pen. G. E. H. Palmer (Middlesex: Perennial Books Ltd, 1990),
hlm. 78-79, selanjutnya diringkas Gnosis.
11 Frithjof Schuon, Spiritual Perspectives & Human Facts, Pen. P. N. Townsend (Middlesex: Perennial
Books Limited, 1987), hlm. 80, selanjutnya diringkas Spiritual Perspectives.
12 Frithjof Schuon, Sufism: Veil and Quintessence, Pen. William Stoddart (Bloomington: World Wisdom
Books, 1981), hlm. 26, selanjutnya disingkat Sufism.
13 Frithjof Schuon, Gnosis, hlm.78-79.
14 Ibid., hlm. 66.
15 Ibid., hlm. 82.
16 Frithjof Schuon, To Have a Center (Bloomington: World Wisdom Books, 1990), hlm. 55.
17 Mengomentari gagasan Schuon tentang Intelek, Huston Smith menempatkan Intelek lebih tinggi dari
wahyu. Lihat Skema yang dibuat oleh Huston Smith di dalam Religion of the Heart: Esssays Presented to
Frithjof Schuon on His Eightieth Birthday, Editor Seyyed Hossein Nasr dan William Stoddart (Washington
DC: Foundation for Traditional Studies, 1991), hlm. 290.
18 Secara etimologis, kata eksoterisme berasal dari bahasa Yunani kuno (έκ:ek dan τηρικος–terikos).
Artinya sesuatu yang di luar, bentuk eksternal dan dapat dimengerti oleh publik, bukan oleh segelintir
kelompok.
19 Frithjof Schuon, The Transcendent, hlm. 15.
20 Frithjof Schuon, Spiritual Perspectives, hlm. 79-80.
21 Schuon mengatakan: “ … similarly, the fact that Hinduism is the most ancient of the living religious
forms implies that it possesses a certain superiority or centrality with respect to later forms. There is not, of
course, any contradiction here , since the standpoint is different in the two cases. Lihat Frithjof Schuon,
The Transcendent, hlm. 36.
22 Secara etimologis, esoteris berasal dari bahasa Yunani Kuno; εις: eis dan ηρικος-terikos. Artinya,
merujuk kepada sesuatu yang internal, hanya dapat dimengerti oleh orang-orang tertentu. Lawan kata dari
eksoteris.
23 Seyyed Hossein Nasr, The Essential Writings, hlm. 15.
24Frithjof Schuon, Gnosis, hlm. 70-71.
25 Frithjof Schuon, Sufism, hlm. 32.
26 Seyyed Hossein Nasr, The Essential Writings, hlm. 90-91.
27 Frithjof Schuon, Spiritual Perspectives, hlm. 87.
28 Ibid., hlm. 81-82.
29 Frithjof Schuon, Sufism, hlm. 42.
30 Seyyed Hossein Nasr, The Essential Writings, hlm. 16.
31 Seyyed Hossein Nasr, Sacred Science, hlm. 63.
32 Seyyed Hossein Nasr dan Katherine O’Brien (Editor), In Quest of the Sacred: The Modern World in the
Light of Tradition (Washington: The Foundation for Traditional Studies, 1994), hlm. 5. Lihat juga pujian
Nasr kepada Schuon, sebagaimana yang ditulis oleh Adnan Aslan, Religious Pluralism, hlm. 16-17.
33 T. S. Eliot menulis: “I have met with no more impressive work in the comparative study of Oriental and
Occidental religions.” Lihat Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions (Wheaton: Theosophical
Publishing House, 1984), hlm. ix, selanjutnya disingkat The Transcendent.
34 Lihat Robert R. Wilson, Sociological Approaches to the Old Testament (Philadelphia: Fortress Press,
1984). Lihat pembahasan Muhammad Mustafa al-Azami mengenai pendapat para sarjana Yahudi-Kristen
mengenai Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam The History of the Quranic Text from Revelation to
Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testaments (Leicester: UK Islamic Academy,
2003), hlm. 211-99. Untuk melihat masalah lebih detil dan mendalam mengenai sejumlah permasalahan
mendasar dalam Perjanjian Baru, lihat karya Bruce M. Metzger, seorang pakar New Testament dalam The
Text of the New Testament; Its Transmission, Corruption and Restoration (Oxford: Oxford University
Press, 1968, edisi kedua). Begitu juga karyanya yang lain seperti A Textual Commentary on the Greek New
Testament (Stuttgart: United Bible Societies, 1971) dan The Canon of the New Testament: Its Origin,
Development and Significance (Oxford: Oxford University Press, 1987). Selain karya-karya tersebut, masih
banyak karya lain yang mengkiritisi otentisitas Bibel sebagaimana ditunjukkan oleh pendekatan kritishistoris.
Lihat juga misalnya karya Edgard Krentz, The Historical-Critical Method (Philadelphia: Fortress
Press, 1975).
35 Al-Qur’an surah Al-Maidah (5: 13). Lihat juga surah yang lain seperti: Al-Baqarah (2: 75); Al-Nisa (4:
46); dan al-Maidah (5: 41).
36 Al-Maidah (5: 72).
37 Al-Maidah (5: 73).
38 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the
Fundamental Elements of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), hlm. 8, selanjutnya
diringkas Prolegomena.
39 Syed Muhammad Naquib al-al-Attas, Prolegomena, hlm. 8.
-------------------------------------------------------------------------------

KEYAKINAN SEORANG MUSLIM :
HANYA ISLAM YANG DIRIDLOI ALLAH SEBAGAI AGAMA SELURUH UMAT MANUSIA DAN TERAKHIR
Penjelasan Kitab 3 Landasan Utama | Landasan Ketiga | Rasulullah Diutus Untuk Seluruh Umat Manusia
بعثه الله إلى الناس كافة وافترض الله طاعته على جميع الثقلين الجن والإنس، والدليل قوله تعالى : قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعاً
Allah mengutus Rasulullah kepada seluruh manusia. Dan wajib atas seluruh manusia dan jin untuk mentaati beliau. Dalilnya adalah firman Allah: Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua. (Al-A’raf : 158)
وأكمل الله به الدين . والدليل قوله تعالى : الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً
Allah telah menyempurnakan agama ini dengan risalah beliau. Dalilnya adalah firman Allah: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu.” (QS. Al-Maaidah : 3)

Perkataan penulis:
Allah mengutus Rasulullah kepada seluruh umat manusia dan mewajibkan kepada manusia dan jin untuk mentaati beliau. dalilnya adalah Firman Allah : Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua” (Al-A’raf : 158)
Secara eksplisit ayat di atas menunjukkan bahwa Rasulullah diutus untuk seluruh umat manusia. Karena ucapan tersebut ditujukan kepada manusia yang merupakan kata yang mencakup seluruh orang Arab maupun ‘Ajam (non Arab). Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah bersabda:
والذي نفس محمد بيده لا يسمع بي أحد من هذه الأمة يهودي ولا نصراني ثم يموت ولم يؤمن بالذي أرسلت به إلا كان من أصحاب النار
“Demi yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tiada seorangpun dari umat ini yang mendengar seruanku baik orang Yahudi maupun orang Nasrani kemudian mereka mati dalam keadaan tidak beriman kepada apa yang aku bawa melainkan ia pasti termasuk penghuni Neraka.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (no 240-153)]
Hadits ini juga merupakan dalil yang menunjukkan akan keumuman risalah Rasulullah dan wajib bagi semua manusia untuk beriman kepadanya.

Perkataan penulis:
Allah telah menyempurnakan risalah beliau. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.” (Al-Maaidah : 3)

Kesempurnaan agama diperoleh dengan turunnya kesempurnaan pertolongan dan paripurnanya syariat Islam lahir dan yang batin, ilmu dan amal. Alhamdulillah, agama ini tidak membutuhkan tambahan dan juga tidak ada yang kurang hingga dibutuhkan penyempurnaan.
وقد ورد عن عمر بن الخطاب – رضي الله عنه – أن رجلاً من اليهود قال : يا أمير المؤمنين، آية في كتابكم تقرأونها لو علينا معشر اليهود نزلت لاتخذنا ذلك اليوم عيدًا. قال : أي آية ؟ قال
[الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً]
قال عمر : قد عرفنا ذلك اليوم والمكان الذي نزلت فيه على النبي  وهو قائم بعرفة يوم الجمعة
Dalam sebuah riwayat dari Umar Bin Khatab disebutkan bahwa seorang Yahudi berkata: “Wahai Amir Mukminin! Ada satu ayat dalam kitab suci kalian dan sering kalian baca, jika ayat tersebut turun kepada kami orang-orang Yahudi tentunya sudah kami jadikan hari tersebut sebagai hari Ied.” Umar bertanya: “Ayat yang mana?” Lelaki itu berkata: “Ayat yang berbunyi: Umar berkata: “Sungguh kami tahu hari dan tempat turunnya ayat tersebut kepada Nabi yaitu ketika beliau berdiri di Padang ‘Arafah pada Hari jum’at.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhary (no 45) & Muslim (no 3017)]

Lelaki yang bertanya adalah Ka’ab Al-Akhbar sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ath-Thabraani. Dalam riwayat itu juga terdapat ucapan:
نزلت في يوم الجمعة ويوم عرفة وكلاهما بحمد الله لنا عيد
“(Ayat tersebut-ed) Turun pada hari Jumat di Hari ‘Arafah dan alhamdulillah kedua hari tersebut menjadi hari Ied bagi kami.” [Lihat Tafsir Ath-Thabari (9/526) ditahqiq oleh Ahmad Syakir.]

Firman Allah [الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي] yakni dengan agama ini dan dengan manhaj yang sempurna ini, maka telah sempurnalah nikmat Allah terhadap umat ini.
Firman Allah [وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً] ini merupakan dorongan dari Allah terhadap umat ini agar mendapatkan kelurusan agama ini dan mendorong untuk bersikap istiqamah.

Barang siapa yang tidak ridha Islam sebagai pedoman jalan hidupnya baik yang kecil maupun yang besar berarti ia telah menolak apa yang telah dipilihkan untuknya. Dan cukuplah ini sebagai celaan dan cercaan untuknya. Ini menunjukkkan bahwa Allah menjaga dan menolong hamba-Nya dengan memilihkan bagi mereka agama yang Dia ridhai dan Dia cintai.

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa agama ini telah sempurna ialah hadits dari Al-’Irbadh Bin Sariyah bahwa Nabi bersabda:
لقد تركتكم على مثل البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ بعدي عنها إلا هالك
“Aku meninggalkan kalian di atas jalan yang putih bersih, malamnya seperti siangnya, tiada seorang pun yang menyimpang darinya kecuali akan celaka.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah (43), Ahmad (4/126), Al-Hakim (1/96), Al-Albany berkata: "Sanad hadits shahih, semua perawinya tsiqat ma'ruuf kecuali Abdur Rahman Bin Amru. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab Ats-Tsiqaat. Dia (Abdurrahman bin Amru) meriwayatkan dari orang-orang tsiqaat (terpercaya). Riwayat ini telah dinyatakan shahih oleh At-Tirmidzy, Ibnu Hibban dan Al-Hakim dalam At-Tahdzib" Ash-Shahihah (937); lihat kitab As-Sunnah karya Ibnu Ashim (7/19)]

Sumber : Syarah 3 Landasan Utama karya Abdullah bin Shalih Al-Fauzan, At-Tibyan Solo.
Artikel TigaLandasanUtama.Wordpress.com

| Rasulullah Wafat, Tapi Agamanya Kekal
و بعدها تُوُفِّيَ، صلاةُ الله وسلامه عليه، ودِينُهُ باقٍ، وهذا دينُه : لا خَيْرَ إِلاَّ دَلَّ الأُمَّةَ عليه، ولا شَرَّ إِلاَّ حَذَّرَها عنه. والخيرُ الذي دَلّها عليهِ التوحيدُ وجميعُ ما يُحِبُّهُ الله ويرضاه، والشَّرُّ الذي حَذَّرَها عنه الشركُ وجميعُ ما يَكرهه الله ويأباه
Dan setelah itu beliau wafat -shalatullahi wa salamuhu ‘alaihi-, akan tetapi agamnya kekal. Inilah agama yang beliau bawa. Tidak satupun kebaikan kecuali telah ditunjukkan kepada ummat beliau dan tidak satupun kejelekan kecuali telah diperingatkan perihal bahayanya. Kebaikan tersebut adalah tauhid dan seluruh perkara yang disukai dan dicintai oleh Allah. Sedangkan kejelekan tersebut berupa syirik dan segala yang dibenci oleh Allah.

Perkataan penulis:
Dan setelah (sepuluh tahun berdakwah di Madinah) itu beliau wafat -shalatullahi wa salamuhu ‘alaih-. Akan tetapi agamanya tetap kekal,
Ibnu Katsir, berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa beliau wafat pada hari Senin. Dan yang masyhur adalah pada tanggal 12 Rabiul awal. ” [Lihat As-Sirah An-An-Nabawiyah karya Ibnu Katrsir (4/505)]

Agama yang beliau bawa tetap kekal karena Islam adalah agama untuk seluruh ummat manusia hingga hari Kiamat.

Adapun agama-agama terdahulu mempunyai batasan waktu berlaku, agama-agama tersebut berakhir dengan berakhirnya batasan waktu atasnya. Adapun Islam, ia adalah agama untuk semua manusia, yang mewajibkan manusia dan jin untuk beriman kepada Rasulullah, baik orang-orang yahudi maupun orang-orang nasrani atau selain mereka sebagaimana yang akan diterangkan. Oleh karena itu Allah telah menjamin keutuhan agama ini dan keaslian Al-Qur’anul Karim. Adapun Injil dan Taurat telah mengalami perubahan di dalamnya, bahkan kitab-kitab yang lain sudah tidak didapati lagi. Sedangkan Al-Qur’anul Karim sejak diturunkannya hingga hari ini bahkan sampai hari kiamat nanti tetap terjaga dan terpelihara dari jamahan tangan-tangan jahil dan usil. Karena Allah yang menjaganya. Allah berfirman :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” [Al-Hijr : 9]

Perkataan penulis:
“Inilah agama yang beliau bawa. Tidak satupun kebaikan kecuali telah ditunjukkan kepada ummat beliau dan tidak satupun kejelekan kecuali telah diperingatkan perihal bahayanya. Kebaikan tersebut adalah tauhid dan seluruh perkara yang disukai dan dicintai oleh Allah. Sedangkan kejelekan tersebut berupa syirik dan segala yang dibenci oleh Allah.”

Ini adalah sebuah ungkapan yang sangat bagus dan akurat yang jarang didapati di tempat-tempat lain.
عن أبي ذر – رضي الله عنه – قال : تركنا رسول الله وما طائر يقلب جناحيه في الهواء إلا وهو يذكرنا منه علمًا .
Diriwayatkan dari Abu Dzar ia berkata: “Rasulullah telah meninggalkan karni, dan tiada seekor burungpun yang mengepakkan dua sayapnya di udara kecuali beliau telah menerangkannya kepada kami ilmu yang terkandung di dalamnya.
قال : فقال رسول الله : ما بقي شيء يقرب من الجنة ويباعد من النار إلا وقد بُين لكم
Abu Dzar berkata lagi, Rasulullah bersabda: “Tidak ada satu pun yang dapat mendekatkan ke jannah dan menjauhkan dari naar kecuali telah dijelaskan kepada kalian.” [Hadits riwayat Ath-Thabrany dalam kitab Al-Kabir (2/155, no 1647) dishahihkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shahihah (no 1803) lihat Al-'Ilal karya Ad-Daruquthny (6/290).]
وعن المطلب بن حنطب أن النبي قال : “ما تركت شيئًا مما أمركم الله به إلا وقد أمرتكم به، ولا تركت شيئًا مما نهاكم عنه إلا وقد نهيتكم عنه...”
Diriwayatkan dari Al-Muththalib Bin Khaththab Radhiyallahu anhu bahwa Nabi bersabda: “Tidak ada satu perintah Allah pun kecuali telah aku perintahkan kepada kalian dan tidak ada satu larangan Allah pun kecuali telah aku larang kalian untuk melakukannya.” [Hadits riwayat As-Syafi'i (1/13 Badai'ul Manan) Al-Albany berkata:"sanad hadits ini mursal hasan dan sebagai syahid terhadap hadits sebelumnya".]
Sumber : Syarah 3 Landasan Utama karya Abdullah bin Shalih Al-Fauzan, At-Tibyan Solo.
Artikel TigaLandasanUtama.Wordpress.com

| Periode Turunnya Syari’at Di Madinah
فلما استقر بالمدينة أمر ببقية شرائع الإسلام مثل الزَّكاةِ، والصوم، والحجَّ، والأذانِ، والجهادِ، والأَمْرِ بالمعروف والنهي عن المُنْكَرِ، وغير ذلِكَ من شرائع الإِسلام. أَخَذَ على هذا عشرَ سنينَ .
Setelah Rasulullah menetap di Madinah, turunlah syari’at-syari’at Islam yang lain, seperti: zakat, shiyam (puasa), haji, adzan, jihad, amar ma’ruf nahi munkar, dan sebagainya. Beliau melaksanakan tugas ini selama sepuluh tahun.

Perkataan penulis:
Setelah menetap di Madinah, beliau diperintahkan untuk melaksanakan syariat Islam yang lain.

Penulis, menyebutkan syariat disempurnakan setelah Rasulullah menetap di Madinah. Dan mengenai hijrah beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah disinggung pada pembahasan yang lalu.
Penulis memulai dari hukum berhijrah beserta dalil-dalilnya, karena hijrah termasuk syariat teragung yang berkaitan dengan wala’ dan bara’. Kemudian barulah diperintahkan syariat yang lainnya setelah kokohnya pondasi aqidah, sebab aqidah adalah asas semua amal. Oleh karena itu dakwah di Makkah berlangsung seputar masalah aqidah. Adapun syariat yang lainnya diperintahkan setelah hijrah ke Madinah, kecuali shalat. Karena agungnya ibadah ini, shalat sudah diwajibkan sejak di Makkah sebagaimana yang telah disebutkan oleh penulis bahwa Rasulullah mulai mengerjakan shalat tiga tahun sebelum beliau hijrah ke Madinah.

Perkataan penulis:
Seperti zakat, shaum, haji, adzan, jihad, menyeru untuk berbuat ma’ruf dan melarang dari perbuatan mungkar dan syariat syariat Islam lainnya.
Dalam beberapa naskah kitab ushulu ats-tsalatsah, tidak tercantum kata “adzan”, kemudian aku menyisipkannya dari Kitab “Kumpulan karya Syaikh;  Bagian Pertama : Al-Aqidah wal Adaab Al-Islamiyyah” (hal 194).

Zakat
Dari perkataan penulis tersebut dapat dipahami bahwa zakat tidak disyariatkan kecuali setelah beliau hijrah ke Madinah, karena beliau menyebutkan zakat bersama shaum (puasa), haji, jihad dan adzan yang semuanya baru disyariatkan setelah beliau hijrah ke Madinah.
Dalam surat-surat Makkiyah disebutkan tentang zakat, begitu pula di tempat lain ada juga disebutkan tentang perintah untuk membayar zakat. Sebagaimana yang terdapat dalam surat Makkiyah Al-An’am. Allah berfirman:
وَآتُواْ حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya).” [Al-An'am : 141]
Dalam surat Al-Ma’arij Allah berfirman:
وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُومٌ  لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)” [Al-Ma'aarij : 24-25]
Dan juga dalam surat Al-Mukminun Allah berfirman:
وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ
“dan mereka-mereka yang membayar zakat.” [Al-Mu'minun : 4]

Ayat-ayat ini adalah ayat Makkiyah, namun di dalamnya disebutkan tentang zakat. Kemudian setelah itu turun ayat-ayat Madaniyah yang juga menyebutkan tentang zakat.
Ibnu Katsir ketika mengomentari ayat dalam surat Al-Mukminun [وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ] mengatakan: “Kebanyakan para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan zakat di sini adalah zakat harta. [Tafsir Ibn Katsir 5/457]
Sebahagian para ulama berkata: “Sesungguhnya yang dimaksud dengan zakat yang disebutkan dalam Firman-Nya: [وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ] ialah membersihkan jiwa dan menyucikannya dari kotoran-kotoran terutama dosa syirik.
Tidak ada pertentangan antara ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah yang menyebutkan permasalahan zakat tersebut. Zakat telah diwajibkan di Makkah, kemudian diterangkan nishabnya di Madinah. Zakat yang diwajibkan di Makkah belum mempunyai nishab dan ukuran tertentu, ukurannya dikembalikan kepada masing-masing orang, terkadang banyak dan terkadang sedikit. Hal ini mungkin -Allahu a’lam- karena di Makkah belum ada daulah sehingga  belum ada penetapan ukuran tertentu untuk zakat. Tetapi setelah berdiri daulah di Madinah dan adanya syariat yang lain, maka ditetapkanlah nishab zakat tersebut melalui lisan Rasulullah. Oleh karena itu ketika Rasulullah berada di Makkah tidak pernah menyinggung tentang nishab zakat dan ukurannya. Berdasarkan ini semua, maka yang dimaksud penulis dengan zakat di sini ialah yang berkaitan dengan nishab dan ukuran zakat. Allahu a’lam.
Shaum (puasa) dan Haji
Shaum (puasa) diwajibkan pada tahun kedua hijriyah. Sedangkan Haji diwajibkan pada tahun kesembilan hijriyah menurut pendapat yang lebih kuat.

Jihad
Kata dasar dari [جاهد يجاهد جهادًا] jaahada-yujahidu-jihaadan:  jika sudah sampai kepada pembunuhan terhadap musuh dan lainnya.
Begitupula dengan kata [جهد - jahada]  ketika Anda mendapatkan di dalamnya kesan penyangatan. Firman Allah
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ
“Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya”
Maksudnya khusus dalam memerangi orang-orang kafir.
Jihad diwajibkan setelah hijrah ke Madinah, sebagaimana yang telah disinggung oleh penulis. Ketika di Makkah kaum muslimin belum diizinkan untuk beijihad, karena mereka masih dalam keadaan lemah dan tidak memiliki kemampuan untuk memulai peperangan. Namun setelah hijrah ke Madinah dan daulah Islam berdiri barulah diperintahkan berjihad. Allah berfirman:
وَقَاتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبِّ الْمُعْتَدِينَ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُم مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekkah);” 376

Adzan
Menurut pendapat yang kuat adzan disyariatkan pada tahun pertama hijriyah. Ada beberapa hadits yang menunjukkan bahwa adzan disyariatkan sebelum hijrah, namun hadits tersebut hadits ma’lulah (cacat) sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar. Dan Ibnu Mundzir telah memastikan bahwa Rasulullah sejak diwajibkan shalat selama di Makkah, beliau melaksanakannya tanpa adzan hingga beliau hijrah ke Madinah. [Lihat Zaadul Ma'ad (3/69) Fathul Bary (2/78-79)]

Amar Ma’ruf – Nahi Munkar
Ma’ruf adalah suatu istilah yang mencakup semua hal yang dikenal sebagai ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah serta perbuatan baik kepada sesama makhluk. Adapun munkar adalah kebalikannya.
Berkata Ar-Raghib: “Ma’ruf adalah suatu istilah yang mencakup perbuatan yang dikenal oleh akal dan syariat sebagai suatu perbuatan baik, adapun kemungkaran adalah yang diingkari oleh akal dan syariat.”
Asy-Syaukani berkata: “Dalil yang menentukan bahwa sesuatu itu dianggap perbuatan ma’ruf dan mungkar adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.”
Syaikh menyebutkan perkara ini dan tidak menyebutkan syariat lainnya, karena perkara ini adalah bab yang penting dan merupakan sendi serta landasan setiap urusan, merupakan tugas para nabi dan rasul dan merupakan salah satu jalan keimanan serta salah satu hak seorang muslim terhadap saudaranya. Dan dalilnya sudah diketahui dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.

Perkataan penulis:
Beliau melaksanakan tugas ini selama sepuluh tahun.
Yakni beliau mulai menyampaikan syariat dan menerangkannya di kota Madinah dan kota lainnya selama sepuluh tahun.
--------------------------------------------
Sumber : Syarah 3 Landasan Utama karya Abdullah bin Shalih Al-Fauzan, At-Tibyan Solo.
Artikel TigaLandasanUtama.Wordpress.com




0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------