Mengambil dan Menguasai Hak Orang Lain
secara Zalim
Oleh:
Ustadz Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqh Muyassar Fii
Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus
Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Malkhash Al Fiqhiy (Shalih
Al Fauzan), Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan At Tirmidzi
dll.01 Januari 2013
---------------------------------------------
Segala puji bagi Allah, shalawat dan
salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para
sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan tentang ghasb
atau merampas, mudah-mudahan risalah ini Allah
jadikan ikhlas karena-Nya dan bermanfaat.
Ta'rif (definisi)
ghasb
Kata Ghasb disebutkan dalam Alquran. Allah berfirman,
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدتُّ
أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
"Adapun perahu itu adalah
kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan
perahu itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap
bahtera." (Al Kahfi: 79)
Ghasb secara bahasa
artinya mengambil sesuatu secara zalim.
Sedangkan menurut istilah fuqaha adalah mengambil dan atau menguasai hak
orang lain secara zalim dan aniaya dengan tanpa hak[1].
Ghasb adalah haram. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم
بِالْبَاطِلِ
“Wahai orang-orang yang
beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil.........” (QS. An Nisaa’: 29)
Di samping itu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal mengambil harta
seorang muslim kecuali dengan kerelaan dirinya.” (HR. Abu Dawud dan
Daruquthni, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no.
7662)
Ketika khutbah wadaa', Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ، بَيْنَكُمْ
حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ
هَذَا
"Sesungguhnya darahmu,
hartamu dan kehormatanmu terpelihara antara sesama kamu sebagaimana
terpeliharanya hari ini, bulan ini dan negerimu ini." (HR. Bukhari dan
Muslim)
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ
يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَشْرَبُ الخَمْرَ حِينَ
يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ
يَنْتَهِبُ نُهْبَةً، يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ فِيهَا أَبْصَارَهُمْ حِينَ
يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ
"Tidaklah seseorang berzina
dalam keadaan beriman, tidaklah seseorang meminum minuman keras ketika
meminumnya dalam keadaan beriman, tidaklah seseorang melakukan pencuria dalam
keadaan beriman dan tidaklah seseorang merampas sebuah barang rampasan di mana
orang-orang melihatnya, ketika melakukannya dalam keadaan beriman."
(HR. Bukhari dan Muslim)
As Saa'ib bin Yazid meriwayatkan
dari bapaknya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَأْخُذْ أَحَدُكُمْ عَصَا أَخِيهِ لَاعِبًا أَوْ جَادًّا، فَمَنْ
أَخَذَ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرُدَّهَا إِلَيْه
"Janganlah salah seorang di
antara kamu mengambil tongkat saudaranya baik main-main maupun serius. Jika
salah seorang di antara kamu mengambil tongkat saudaranya, maka
kembalikankah." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan ia menghasankannya.
Hadits ini dihasankan pula oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud
dan Shahih At Tirmidzi)
Dalam hadits yang lain yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Umamah secara marfu' disebutkan:
مَنِ
اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ، فَقَدْ أَوْجَبَ اللهُ لَهُ
النَّارَ، وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ» فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا
رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ
"Barangsiapa yang mengambil
harta saudaranya dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan
mengharamkan masuk surga. Lalu ada seorang yang bertanya, "Wahai
Rasulullah, meskipun hanya sedikit?" Beliau menjawab, "Meskipun hanya
sebatang kayu araak (kayu untuk siwak)."
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan
dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ
يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ
"Barangsiapa yang
mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan tujuh bumi
kepadanya."
Oleh karena itu orang yang melakukan
ghasb harus bertobat kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala dan mengembalikan barang
ghasb kepada pemiliknya serta meminta maaf kepadanya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَىْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ
مِنْهُ الْيَوْمَ ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ ، إِنْ كَانَ
لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ
لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ » .
“Barangsiapa yang pernah
menzalimi seseorang baik kehormatannya maupun lainnya, maka mintalah dihalalkan
hari ini, sebelum datang hari yang ketika itu tidak ada dinar dan dirham. Jika
ia memiliki amal saleh, maka diambillah amal salehnya sesuai kezaliman yang
dilakukannya, namun jika tidak ada amal salehnya, maka diambil kejahatan orang
itu, lalu dipikulkan kepadanya.” (HR. Bukhari)
Jika barang ghasb masih ada, maka
dikembalikan seperti sedia kala. Namun jika sudah binasa, maka dengan
mengembalikan gantinya.
Menanam tanaman atau pohon atau
membuat bangunan di atas sebuah tanah ghashb (rampasan)
Barangsiapa yang menanam di tanah rampasan, maka tanaman itu milik
yang punya tanah, dan bagi perampas memperoleh nafkah. Hal ini, jika tanaman
belum dipetik, adapun jika sudah dipetik, maka pemilik tanah tidak berhak
selain upah.
Pohon yang ditanam juga wajib
dicabut, demikian juga bangunan yang dibuat juga harus dirobohkan. Dalam hadits
Raafi' bin Khudaij disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ زَرَعَ فِي أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ، فَلَيْسَ لَهُ مِنَ
الزَّرْعِ شَيْءٌ وَلَهُ نَفَقَتُه
"Barangsiapa yang menanam di
sebuah tanah milik sebuah kaum tanpa izin mereka, maka ia tidak berhak
memperoleh dari tanaman itu sedikit pun, dan untuknya (perampas) nafkah yang
dikeluarkannya." (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan ia
menghasankannya, dan Ahmad, ia berkata: "Sesungguhnya saya berpegang
kepada hukum tersebut atas dasar istihsan; dengan menyelisihi qiyas.")
Abu Dawud dan Daruquthni juga
meriwayatkan dari hadits Urwah bin Az Zubair bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا فَهِيَ لَهُ وَلَيْسَ لِعِرْقِ ظَالِمٍ حَقٌّ
"Barangsiapa yang
menghidupkan tanah, maka tanah itu menjadi mililknya, dan untuk keringat orang
yang zhalim tidak memiliki hak."
Urwah berkata, "Telah
memberitakan kepadaku orang yang menceritakan hadits ini kepadaku bahwa ada dua
orang yang bertengkar lalu menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Yang satu menanam pohon kurma di tanah milik yang lain. Maka Beliau
menetapkan (tanaman tersebut) untuk pemilih tanah karena tanahnya dan
memerintahkan kepada pemilik pohon kurma untuk mengeluarkan pohon itu darinya.
Ia berkata, "Sungguh, saya melihatnya ketika pohon kurma itu dipotong
akarnya dengan kapak, padahal pohon itu adalah pohon kurma yang tinggi."
Syaikh Shalih Al Fauzan dalam al-Malkhash
Fiqhiy berkata, "Jika orang yang melakukan ghasb telah membuat
bangunan di tanah rampasannya atau menanam di atasnya tanaman, maka ia harus
melepas bangunan itu atau mencabut tanaman itu, jika pemiliknya meminta
demikian. Jika tindakannya itu sampai membekas ke tanah yang dirampasnya, maka
ia wajib mengganti rugi kekurangannya, di samping ia juga harus menghilangkan
sisa-sisa tanaman dan bangunan sehingga ia menyerahkan tanah kepada pemiliknya
dalam keadaan baik. Ia pun wajib membayar upah standar dari sejak merampas
sampai menyerahkannya, karena ia mencegah pemiliknya untuk memanfaatkan di masa
itu dengan tanpa hak. Jika ia merampas sesuatu dan menahannya hingga menjadi
murah harganya, maka harus menanggung kekurangannya menurut pendapat
sahih."
Jia barang yang dirampas bercampur
dengan barang lainnya yang bisa dibedakan seperti gandum dengan sya’ir, maka
perampas wajib membersihkannya dan mengembalikannya. Namun jika bercampur
dengan barang yang sulit dibedakan, seperti gandum dengan gandum,
perampas wajib mengembalikan barang itu; ada berapa takar atau timbangan ketika
diambilnya sebelum dicampur?
Jika dicampur dengan dengan barang
yang di bawahnya atau lebih baik darinya atau tidak sejenis, namun sulit
dibedakan, maka campuran itu dijual, lalu diberikan seukuran harganya
masing-masing. Dan jika barang rampasan berkurang nilainya jika secara
terpisah, maka perampas menanggung kekurangannya. Disebutkan oleh para fuqaha,
الْأَيْدِي الْمُتَرَتِّبَةُ عَلَى يَدِ الْغَاصِبِ كُلِّهَا أَيْدِيْ
ضَمَانٍ
“Tangan-tangan yang muncul di atas
tangan perampas semuanya adalah tangan tanggungan.”
Maksudnya Tangan-tangan di mana
barang rampasan berpindah kepadanya melalui jalan perampas semuanya menanggung
jika binasa.
Dengan demikian, jika orang kedua
mengetahui hakikat sebenarnya dan bahwa orang yang memberikan barang kepadanya
adalah perampas, maka ia harus menanggungnya karena ia berbuat zhalim dengan
kesengajaan (diketahuinya) tanpa izin pemiliknya. Namun jika orang kedua tidak
mengetahui keadaan sebenarnya, maka yang menanggung adalah perampas (orang
pertama).
Jika barang rampasan adalah yang
biasa disewa, maka perampas wajib mengganti upah semisalnya (standar) selama
barang itu berada di tangannya. Karena manfaat adalah harta yang jelas
nilainya, maka wajib ditanggung seperti menanggung barang.
Semua tindakan ghaasib (perampas)
adalah batal, karena tidak ada izin pemiliknya.
Jika seseorang merampas sesuatu dan
ia tidak mengetahui di mana pemiliknya serta tidak mampu mengembalikannya, maka
ia bisa serahkan kepada hakim yang akan menaruhnya di tempat yang benar atau ia
sedekahkan memakai nama pemiliknya. Sehingga jika disedekahkan, maka pahalanya
untuk pemilik barang dan si perampas sudah lepas tanggungan.
Lanjutan : Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya
dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini merupakan lanjutan pembahasan tentang ghasb atau merampas,
mudah-mudahan risalah ini Allah jadikan ikhlas karena-Nya dan bermanfaat.
Haramnya memanfaatkan
barang rampasan
Selama ghasb masih haram, maka
haram pula dimanfaatkan apa pun bentuknya, dan wajib dikembalikan jika
berkembang[1]
baik menyatu maupun terpisah. Dalam hadits Samurah dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda:
عَلَى
الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَهُ
"Kewajiban tangan (menggantinya)
karena mengambilnya, sampai dikembalikan." (HR. Ahmad, Abu
Dawud, Hakim dan dishahihkannya serta Ibnu Majah, namun hadits ini didha'ifkan
oleh Syaikh al-Albani dalam Dha’iful Jami’ no. 3737)
Jika ternyata barang itu binasa, maka perampas wajib
mengembalikan semisalnya atau senilainya baik binasanya karena tindakannya
maupun karena musibah dari langit. Adapun ulama madzhab Maliki berpendapat,
bahwa barang, hewan dan lainnya yang tidak dapat ditakar dan ditimbang, maka
menggantinya dengan nilainya ketika dirampas dan ternyata binasa.
Sedangkan menurut ulama madzhab Hanafi dan madzhab
Syafi'i bahwa orang yang membinasakannya atau merusaknya wajib mengganti yang
semisal, dan tidak bisa berpindah kecuali jika tidak ada yang semisal.
Namun mereka sepakat, bahwa barang yang ditakar dan
ditimbang apabila dirampas lalu binasa, maka wajib diganti dengan yang semisal
jika ada, berdasarkan ayat berikut,
فَمَنِ
ٱعۡتَدَىٰ عَلَيۡكُمۡ فَٱعۡتَدُواْ
عَلَيۡهِ بِمِثۡلِ
مَا ٱعۡتَدَىٰ عَلَيۡكُمۡۚ
"Barangsiapa yang menyerang
kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu." (QS. Al Baqarah: 194)
Adapun biaya pengembalian betapa pun besar tetap ditanggung
oleh si perampas. Jika barang yang dirampas ada yang kurang, maka wajib
dibayarkan nilai kurangnya, baik kurangnya pada barang atau pun sifatnya.
Mempertahankan Harta
Seseorang wajib mempertahakan hartanya ketika ada orang
lain yang hendak merampasnya. Tentunya perlawanan dilakukan dengan cara yang
lebih ringan dahulu, jika ternyata tidak bisa, maka digunakan cara keras
meskipun sampai mengakibatkan pertarungan. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ،
وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ
شَهِيدٌ
"Barangsiapa yang terbunuh karena
menjaga hartanya maka dia syahid. Barangsiapa yang terbunuh karena menjaga
darahnya, maka dia syahid. Barangsiapa yang terbunuh karena membela agamanya,
maka dia syahid dan barangsiapa yang terbunuh karena menjaga keluarganya, maka
dia syahid." (HR. Tirmidzi, ia berkata, "Hadits ini
hasan shahih." Dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani.)
Siapa saja yang
menemukan hartanya ada pada orang lain, maka dia lebih berhak mengambilnya
Kapan saja barang rampasan ditemukan pada orang lain,
maka dia lebih berhak, meskipun si perampas telah menjualnya kepada orang lain
itu. Hal itu, karena perampas ketika menjualnya sama saja dalam keadaan tidak
memilikinya, sedangkan akad jual beli jika seperti itu tidak sah. Dalam keadaan
seperti ini, si pembeli tinggal menuntut uangnya dari si perampas. Abu Dawud
dan Nasa'i meriwayatkan dari Samurah secara marfu':
مَنْ
وَجَدَ عَيْنَ مَالِهِ عِنْدَ رَجُلٍ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ وَيَتَّبِعُ الْبَيِّعُ
مَنْ بَاعَه - أي يرجع المشتري على البائع
"Barangsiapa yang menemukan barangnya
ada pada seseorang, maka dia lebih berhak terhadapnya, dan si pembeli mengambil
(uangnya) dari si penjual." (namun hadits didha'ifkan oleh
Syaikh al-Albani).
Membuka Pintu Sarang
Barangsiapa yang membuka pintu sebuah sangkar yang
terdapat burung dan ia membuatnya lari, maka ia wajib mengganti. Namun para
ulama berselisih apabila sangkar dibukanya (karena suatu keperluan), lalu
burung itu terbang atau melepas ikatan unta, lalu unta itu lari. Abu Hanifah
berkata, "Ia tidak wajib mengganti apa pun bentuknya." Sedangkan Imam
Malik dan Ahmad berkata, "Ia wajib mengganti, baik keluar langsung atau
lambat." Adapun Imam Syafi'i, ia memiliki dua pendapat: pendapat yang lama
(qaul qadim) menyatakan bahwa ia secara mutlak harus mengganti. Sedangkan qaul
jadid (pendapa yang baru) menyatakan bahwa jika burung itu terbang langsung
setelah dibuka, maka wajib diganti, namun jika burung itu diam dulu kemudian
terbang, maka tidak mengganti.
Merampas dengan Jalan Pertengkaran dan
Sumpah Palsu
Perlu diketahui, bahwa merampas harta itu tidak mesti
menguasainya dengan kekerasan. Bahkan bisa juga menguasainya dengan jalan pertengkaran
yang batil dan sumpah palsu. Allah berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ
بِعَهْدِ اللهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلاً أُوْلاَئِكَ لاَ خَلاَقَ لَهُمْ
فِي اْلأَخِرَةِ وَلاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ وَلاَيَنظُرُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَلاَيُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمُُ
"Sesungguhnya orang-orang yang
menukar janji(nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang
sedikit, mereka itu tidak mendapat bagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak
akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari
kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.” (QS. Ali Imraan: 77)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga bersabda:
فَمَنْ
قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا، بِقَوْلِهِ: فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ
قِطْعَةً مِنَ النَّارِ فَلاَ يَأْخُذْهَا
“Barangsiapa yang aku yang berikan
sedikit hak saudaranya karena ucapannya, maka sesungguhnya saya memberikan
sebuah api kepadanya. Maka janganlah ia ambil.” (HR. Bukhari)
Kesimpulan
- Pelaku ghasb (perampas) wajib mengembalikan barang
yang dighasb sesuai keadaannya. Jika ia membinasakannya, maka ia wajib
menggantinya.
- Pelaku ghasb wajib mengembalikan tambahan (hasil)
dari sesuatu yang dighasb, baik tambahan itu menyatu dengan barang ghasb
maupun terpisah.
- Pelaku ghasb apabila melakukan tindakan pada sesuatu
yang dirampas, baik dengan mengadakan bangunan atau menanam tanaman, maka
ia harus mencabutnya jika pemiliknya meminta demikian.
- Sesuatu yang dirampas, jika terjadi perubahan,
adanya kekurangan atau menjadi murah, maka pelaku ghasb menanggung
kekurangan itu.
- Semua tindakan perampas adalah batil, jika
pemiliknya tidak mengizinkan.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa
nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Oleh: Ustadz Marwan bin Musa
Sumber Artikel www. Yufidia.com
Maraji’: Fiqh Muyassar Fii
Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus
Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Malkhash Al Fiqhiy (Shalih
Al Fauzan), Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan At Tirmidzi
dll.
[1]
Jika hasil yang duperoleh diusahakan oleh perampas, di antara ulama ada yang
berpendapat bahwa hasilnya itu dibagi antara pemilik dan perampas sebagaimana
mudhaarabah.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa
nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Oleh: Ustadz Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqh Muyassar Fii
Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid
Sabiq), Al Mulakhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Shahih Bukhari,
Shahih Muslim, Sunan At Tirmidzi dll.
[1]
Jika mengambil harta orang lain secara rahasia dari tempat yang terjaga, maka
hal itu disebut pencurian. Jika mengambilnya secara kekerasan, maka hal
itu adalah muhaarabah dan jika mengambilnya karena menguasai,
maka hal itu adalah ikhtilas (jambret) dan jika mengambilnya saat ia diamanahi,
maka hal ini disebut khianat.
3 komentar:
makasih sy telah baca dan copy
makasih sy telah baca dan copy
Trimaksih.. Semoga menjadi ladang amal kebaikan, Aamin
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------