OLEH SYAIKH MUHAMMAD ABDUL HADI AL MISHRI.
Penerjemah : Abu Fahmi Ahmad dan Ibnu Marjan, 1992 , updated Februari 2012.

Bagian-2.
INTI PEMBAHASAN BAB I.
          Bab ini membahas secara umum sejarah perjalanan Ahli Haq, sunatullah di alam semesta bagi mereka yang menyimpang dari jalan yang lurus, definisi-definisi penting dalam pendahuluan pembahasan, dan sekelumit tentang munculnya fitnah serta asal usul penamaan Ahli Sunnah Waljama`ah.

PASAL I.
SEJARAH PENYIMPANGAN MANUSIA DARI JALAN YANG BENAR
(1).     Amanat Allah Bagi Manusia
          Allah Swt telah menciptakan manusia dalam kehidupan ini untuk tujuan dan tugas tertentu. Dia telah menundukan semua yang ada di muka bumi –dari yang berupa lautan, sungai-sungai, angin dan hujan, gunung-gunung dan lembah-lembah, binatag dan tumbuhan, hingga makhluk-makhluk Allah lainnya- ini semata-mata untuk kepentingan manusia.
          Bahkan Allah telah memberikan ilham kepada manusia agar dapat mengungkap sebagian hukum alam dan berbagai peraturan  hidup hingga manusia dengan mudah dapat mencapai tujuan penting ini. Tujuannya besar, tugas dan amanatnya berat hingga langit, bumi, dan gunung-gunung merasa takut serta tidak berani memikulnya. Sebagaimana Allah berfirman:
          “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat [1] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh.” (Al Ahzab 72)
          Sesungguhnya tujuan besar, tugas dan amanat besar yang dipikul oleh manusia ini tidak lain adalahsebagai khalifah Allah di buni-Nya. Allah sebagai Rabb semua makhluk, Raja segala raja, serta Penguasa langit dan bumi telah menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi dan menjadikannya agar bertanggung jawab kepada-Nya, sehubungan dengan tugas kekhalifahannya.
          Allah memberitahu para malaikat tentang tugas penting yang dibebankan kepada manusia, sebagaimana firman-Nya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."(Al Baqarah 30)
          Imam Ath-Thabari menafsirkan ayat diatas dengan, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi dari-Ku yang mewakili-Ku dalam memutuskan hukum diantara makhluk-Ku. Khalifah itu adalah Adam dan orang yang bersikap seperti dia dalam menaati Allah serta memutuskan hukum dengan adil di antara makhluk-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir 1:70)
          Ibnu Katsir mengatakan, mereka memahami tentang khalifah, yakni orang yang memutuskan perselisihan diantara manusia dan mencegah melakukan perbuatan haram dan dosa. Demikian perkataan Al-Qurthubi. (Tafsir Ibnu Katsir 1:69)
          Selanjutya Ibnu Katsir mengatakan, dengan ayat ini Al-Qurthubi dan yang lainnya menjadikan dalil atas wajibnya mengangkat seorang khalifah untuk mmutuskan perselisihan diantara manusia, menolong orang yang teraniaya dan dianiaya oleh orang-orang zhalim, menegakkan hukum, mencegah perbuatan keji, serta melaksanakan perkara penting lainnya yang hanya bisa ditegakkan oleh seorang Imam. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh: Kewajiban yang tidak dapat ditegakkan, kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itupun hukumnya wajib. (Tafsir Ibnu Katsir 1:72)

(2).     Kekhalifahan Manusia di Bumi dan Syarat-syaratnya
          Kekhalifahan manusia di muka bumi mempunyai syarat tertentu, yakni selalu iltizam (komit) dengan ketaatannya terhadap Rabb yang memiliki perintah da larangan. Manusia senantisa dituntut melaksanakan segala perintah-Nya karena mengharap pahala-Nya; dan menjauhi segala larangan-Nya karena takut siksaan-Nya. Semua ini dalam rangka menghormati, menjungjung tinggi, mencintai, dan mengagungkan-Nya.
          Oleh karena itu, masalah khilafah manusia di muka bumi ini tidak lain adalah masalah ibadah manusia kepada Allah Yang Mahakuasa. Seperti dalam firman-Nya:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Adz Dzariyat 56).
          Menurut Ibnu Taimiyah, Allah disembah pada setiap jaman sesuai dengan yang diperintahkan-Nya pada jaman itu. (Qaidah Jalilah Fit-Tawassul Wal-Wasilah 41)
          Adapun menurut Ibnu Katsir, makna ayat tersebut adalah bahwa Allah Swt menciptakan hamba-hamba untuk beribadah hanya kepada-Nya, dan tidak mempersekutukan-Nya. Maka barangsiapa menaati  Allah, ia akan mendapat balasan-Nya yang paling sempurna; dan barang siapa menentang Allah, ia akan mendapat siksaan-Nya yang amat pedih. (Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir 3:387)

(3).     Perjanjian Fihrah
          Allah Azza wa Jalla mengetahui berapa besarnya amanat dan beratnya beban taklif yang diemban manusia, padahal manusia makhluk lemah yang selalu membutuhkan Rabb dan penciptanya. Karena itu, dengan Maha Bijaksana-Nya Allah tidak membebani seseorang, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Allah telah menciptakan manusia dengan tabiat untuk mengenal Rabb-Nya, mentauhidkan-Nya, mentaati-Nya, serta beribadah hanya kepada-Nya dengan tidak mempersekutukan-Nya. Maka Ia hanya menerima apa yang dating dari-Nya dan menuju kepada-Nya.
          Allah Swt berfirman:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".Atau agar kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang tua Kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang Kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka Apakah Engkau akan membinasakan Kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu" Dan Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (Al A`raf 172-174)
          Dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik Ra Nabi Saw bersabda:
“ Dikatakan kepada salah seorang penghuni neraka pada hari kiamat. `Bagaimana pendapatmu jika kamu mempunyai sesuatu di muka bumi ini, apakah kamu akan menembus dirimu dengannya?` Orang tersebut menjawab, `Ya.` Allah berfirman, `Aku telah menghendaki dirimu sesuatu yang lebih ringan daripada itu. Aku telah menyuruhmu berjanji di punggung Adam untuk tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Ku. Namun, kamu tetap mempersekutukan Aku`.”
          Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam Shahihain. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Allah mengambil janji dari mereka agar beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya.
          Diriwayatkan pula oleh Ubay bin Ka`ab, Abdullah bin Ahmad dalam musnad ayahnya, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Mardawih bahwa Allah berfirman kepada mereka,” Aku jadikan ketujuh langit dan bumi serta bapak-bapakmu sebagai saksi agar kamu pada hari kiamat nanti tidak mengatakan, `Kami tidak mengetahui hal ini (eksistensi dan keesaan Allah).` Ketahuilah bahwa tidak ada Ilah selain Aku, tidak ada Rabb selain Aku, dan janganlah memperekutukan Aku. Sesungguhnya Aku akan mengutus para rasul kepadamu untuk mengingatkanmu akan janji-Ku, dan Aku turunkan kitab-kitab-Ku kepadamu.” Mereka menjawab, `Kami bersaksi bahwa sesungguhnya Engkau adalah Rabb dan Ilah kami, dan tiada Rabb bagi kami selain Engkau.` Maka pada saat itu mereka menyatakan taat kepada-Nya. (Periksa nash-nash riwayat ini selengkapnya dalam Ma`arijul Qabul 1:34 dan seterusnya)

(4).     Rahmat Allah: Allah tidak Menyiksa Seseorang, kecuali Setelah Ditegakkannya Hujjah Risalah
          Meskipun hujjah telah di tegakkan dan alasan telah dipatahkan, namun sebagai rahmat dan karunia-Nya,  Allah Yang Maha Mengetahui dengan hikmah-Nya yang jelas tidak akan menyiksa bani Adam Karena adanya perjanjian fithrah semata-mata. Dan Ia tidak akan menyiksa seorang pun, kecuali setelah ditegakkannya hujjah yang berupa risalah. Sebagaimana firman-Nya
“… dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Al Israa` 15)
          Maka Allah mengutus para rasul-Nya secara berkesinambungan untuk mengingatkan manusia akan janji mereka dan amanat besar yang dibebankan-Nya kepada mereka di bumi ini. Para rasul itu pun menyuruh manusia untuk melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di bumi dan menanggalkan alasan lain yang mungkin dipakai manusia untuk membantah Allah sebagai Rabb mereka.
          Allah berfirman:
“(mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (An Nisa` 165)
          Menurut Imam Ibnu Qayyim, dalam akal manusia tidak ada sesuatu yang lebih jelas dan terang kecuali mengenal kesempurnaan Sang Pencipta alam ini serta membersihkannya dari kejelekan dan kekurangan. Para rasul diutus untuk mengingatkan dan menjelaskan pengetahuan ini. Begitu pula dalam fithrah terdapat pengakuan akan kebahagiaan dan kesengsaraan jiwa manusia beserta balasan yang akan diterimanya diakhirat nanti. Penjelasan mengenai balasan, kebahagiaan dan kesengsaraan ini tidak dapat diketahui kecuali dengan melalui para rasul. Maka para rasul itulah yang mengingatkan dan menjelaskan apa yang dituntut oleh fithrah. Karena itu, akal yang tegas adalah sesuai dengan naql (nash) yang shahih; dan syari`at sesuai dengan fithrah. Keduanya saling membenarkan dan tidak bertentangan. (Syifa`ul `Alil 301-302)
          Ibnu Taimiyah mengatakan, hujjah tidak dijatuhkan kepada mereka yang berbuat dosa –karena kebodohannya- sebelum mereka mengetahui bahwa hal tersebut merupakan perbuatan dosa, sebelum diutusnya seorang rasul kepada mereka, dan sebelum ditegakkannya hujjah atas mereka. Sebagaimana Allah berfirman:
                   “…dan Kami tidak akan meng`azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”
          Jumhur Ulama Salaf dan Khalaf berpendapat bahwa syirik dan kejahilan yang mereka lakukan sebelum datangnya rasul adalah sesuatu yang  jelek dan buruk. Tetapi mereka tidak patut disiksa, kecuali setelah datangnya rasul. (Majmu` Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 11:675 dan seterusnya)
          Demikianlah, Allah Azza wa Jalla tidak membiarkan manusia sendirian dalam mengarungi kehidupan ini. Mereka senantiasa dibimbing ajaran nabi (manhaj nubuwwah) sejak Nabi Adam As hingga Allah mewariskan bumi dengan segala isinya. Allah menjadikan risalah-risalah tersebut beserta akal dan fithrahnya dengan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang terbesar di alam semesta sebagai penerang bagi manusia dalam menempuh jalan menuju Rabb dan mengembalikan mereka dari jalan yang sesat.
          Namun, manusia ternyata berselisih pendapat mengenai rasul-rasul mereka, sebagaimana firman Allah:
“…Tapi, kebanyakan manusia tidak mau, kecuali mengingkarinya.”(Al Israa` 89)
          Dan berimanlah orang yang mau beriman, tapi jumlahnya sangat sedikit. Itulah sunnahtullah yang berlaku pada makhluk-Nya.
“ Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah…”(Al An`am 116)
          Dalam ayat lain Allah berfirman:
“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Al Baqarah 213)
          Ibnu Katsir berkata (mengutip perkataan Ibnu Abbas), “Antara Nuh dan Adam terdapat selang waktu selama sepuluh generasi yang semuanya mengikuti syari`at yang benar. Setelah mereka beselisih, Allah mengutus para nabi untuk member kabar gembira dan peringatan…”
          Dan diriwayatkan dari Qatadah, ia berkata,”Mereka semua mengikuti petunjuk, lalu berselisih, kemudian Allah mengutus para nabi. Maka Nuh inilah nabi pertama yang diutus Allah. Demikianlah perkataan Mujahid sebagaimana disampaikan Ibnu Abbas…. Karena dahulunya manusia mengikuti millah (ajaran) Adam hingga akhirnya mereka menyembah berhala, lalu Allah mengutus Nuh kepada mereka. Dengan demikian, Nuh adalah Rasul pertama yang diutus Allah untuk penduduk bumi.
          Mengenai kenabian Adam, Al Qur`an tidak menyebutkan secara eksplisit sebagaimana nabi-nabi yang lain seperti Ibrahim, Ismail, Musa, Isa, dan lain-lain. Namun, kepada Adam juga diturunkan syari`at yang berupa perintah-perintah dan larangan-larangan, penghalalan dan pengharaman, yang semua itu merupakan indikasi kenabian. Adapun mengenai kerasulannya, hal ini masih diperselisihkan, dan kita menyerahkan hakikat kebenarannya kepada Allah. Namun, dalam sebuah hadits riwayat Muslim disebutkan bahwa pada hari kiamat nanti manusia berduyun-duyun mendatangi Nabi Nuh sambil berkata, “Engkau adalah Rasul Allah yang pertama kali dikirim ke bumi….” Seandainya Adam itu sebagai Rasul, niscaya Nabi Muhammad Saw tidak akan menceritakan dengan menyebut Nuh sebagai Rasul pertama (Lihat Abdul Wahhab An-Najjar, Qishashul Anbiya`, Darul Fikri:10-11). Tetapi hal ini juga masih menimbulkan pertanyaan, yaitu: Jika Nabi Adam itu bukan Rasul yag nota bene tidak menyampaikan syari`at kepada manusia, lantas mereka mengikuti syari`at siapa? Bagaimana pula dengan Idris? Apakah beliau juga buka Rasul? Karena itu, sebagian ulama mentakwilkan bahwa ucapan Nabi Saw mengenai Nuh sebagai Rasul pertama, adalah sesudah terjadinya banjir besar. Wallahu a`lam  bish shawab (penj.)
          Oleh karena itu, Allah berfirman (lihat kembali Al Baqarah 213):
“…dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri…”
          Maksudnya, setelah berdirinya hujjah (bukti-bukti yang nyata) atas mereka. Dan tiada yang mendorong mereka untuk berselisih, melarikan kedengkian antara yang satu dengan yang lain.
          “Maka Allah memberi petunjuk bagi orang-orang  yang beriman kepada kebenaran mengenai hal-hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya.” Maksud ayat ini, sebelum berselisih, manusia mengikuti ajaran para rasul. Mereka bersikap ikhlas kepada Allah Azza wa Jalla dan hanya beribadah kepada-Nya, tidak mempersekutukan-Nya, mengerjakan shalat, serta mengeluarkan zakat. Mereka menjadi saksi atas sesame manusia pada hari kiamat, yakni saksi atas kaum Nuh, kaum Hud, kaum Shaleh, kaum Syu`aib, dan keluarga Fir`aun. Dalam kesaksiannya itu mannusia membenarkan bahwa rasul-rasul mereka telah menyampaikan risalah kepada mereka, sedangkan mereka (kaum kuffar) telah mendustakan rasul-rasul itu.” (Tafsir Ibnu Katsir 1:250)

(5).     Kerusakan Fithrah
          Ketika fithrah manusia mayoritas sudah rusak, dan ketika “Manusia menjadi makhluk yang paling banyak membantah.” (Al Kahfi 54), maka saat itulah setan menghiasi amal buruk manusia sehingga tampak bagus dan indah. Setan pun mencampuradukkan antara yang haq dan yang bathil  serta mengilhami manusia dengan berbagai perilaku buruk sehingga mereka bertahan dengan kebatilannya.
“ Tetapi  orang-orang kafir membantah dengan yang bathil agar dengan demikian itu mereka dapat melenyapkan yang hak.” (Al Kahfi 56).
          Betapa herannya anak Adam ketika menjadi rusak, mata hatinya menjadi gelap, dan akalnya menjadi sesat. Lantas ia melihat kebatilan sebagai kebenaran, dan sebaliknya kebenaran sebagai kebatilan. Atau ia menyimpang sama sekali sehingga tak mampu melihat mana yang hak dan mana yang batil. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya:
“ Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (Ibrahim 4)
“Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang Luas dalam gua itu. itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, Maka Dialah yang mendapat petunjuk; dan Barangsiapa yang disesatkan-Nya, Maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (Al Kahfi 17)
          Orang-orang kafir berselisih diantara sesamanya. Mereka terpecah belah menjadi bermacam-macam golongan. Mereka berbeda-beda dalam tingkat kekufuran, kesesatan, kebingungan, dan penyimpangan dari jalan yang lurus. Di antara mereka ada yang mengingkari Pencipta alam semesta, mengingkari kemahaesaan-Nya, mengingkari kenabian, mengingkari kenabian, mengingkari kebangkitan setelah mati dan hari akhir, serta faham-faham sesat lainnya yang diajarkan setan kepada para pengikutnya.
          Ibnul Qayyim mengomentari firman Allah surat Al Qiyamah ayat 36-yang artinya: “Apakah manusia engira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungj
Waban)?”- sebagai berikut:
          “Di antara rahsia-rahasianya ialah bahwa penetapan kenabian dan akhirat itu dapat dijangkau dengan akal. Demikianlah salah satu dari dua pendapat sahabat-sahabat kami dan lainnya. Dan inilah yang tepat….Kekuasaan-Nya yang haq mengharuskan adanya perintah dan larangan-Nya, pahala dan siksaan-Nya. Demikian juga Ia mengharuskan diutusnya rasul-rasul-Nya, diturunkannya kitab-kitab-Nya, serta dibangkitkannya manusia pada hari kiamat agar orang yang  baik memperoleh balasan sesuai dengan kebaikannya dan orang yang jahat memperoleh balasan sesuai dengan kejahatannya.” (Lihat Al Tibyan Fi Aqsamil Qur`an, Ibnul Qayyim: 161-162).
          Ibnu Hazm berkata, “ Kelompok-kelompok utama yang bertentangan dengan Dinul Islam ada enam, masing-masing terpecah lagi menjadi beberapa golongan. Keenam golongan tersebut, menurut ingkatannya, adalah sebagai berikut:

Pertama :  golongan yang mengingkari adanya hakikat alam semesta. Golongan ini –   oleh para mutakallimin- disebut kaum sofistis (sesat).
Kedua    : golongan yang mengakui adanya hakikat alam –dengan mengatakan, sesungguhnya alam ini tetap ada tapi mereka tidak mengakui adanya pencipta dan pengaturannya.
Ketiga    : golongan yang mengakui adanya hakikat alam dan berpendapat bahwa alam dan pengaturannya tetap ada.
Keempat : golongan yang mengakui adanya hakikat alam. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa sesungguhnya alam itu tetap ada; sebagian lagi berpendapat bahwa alam mempunyai pengatur yang tetap ada dan lebih dari satu.
          Namun, mereka berselisih mengenai jumlahnya.
Kelima   : golongan yang mengakui adanya hakikat alam dan berpendapat bahwa alam itu diciptakan oleh satu pencipta.
          Namun, mereka mengingkari seluruh kenabian.
Keenam : golongan yang mengakui adaya hakikat alam dan berpendapat bahwa alam itu  
          Namun, mereka berbeda dalam mengakui sebagian nabi-nabi dan mengingkari sebagiannya….(Al Fashl Fil Milal wal Ahwa` wan-Nihal 1:3)
          Demikianlah aliran-aliran yang bertentangan dengan Dinul Islam. Adapun mengenai penganut Dinul Islam adalah mereka yang mengakui ajaran rasulnya. Sesungguhnya Allah mengutus seorang rasul pada setiap umat, sebagaimana firman-Nya:
“ Sesungguh Kami telah mengutus seorang rasul pada setiap umat  (untuk menyerukan): beribadahlah hanya kepada Allah dan jauhilah thoghut….” (An Nahl 36)
          Setiap rasul menyeru kaumnya kepada Din Allah, yaitu Al Islam, yang berarti menyerahkan diri secara total hanya kepada Allah Yang Esa. Firman-Nya:
                   “ Sesungguhnya din(yang diridlai) Allah hanyalah Islam….” (Ali Imran 19)
“ Barangsiapa mencari din selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (din tersebut), dan di akhirat kelak ia termasuk orang yang rugi.” (Ali Imran 85)
          Menurut Ibnu Taimiyah, semua nabi diutus dengan membawa Dinul Islam. Ia adalah Din satu-satunya yang diterima  Allah, dan bukan yang lainnya, baik dari orang-orang terdahulu maupun yang dating kemudian. (Al-`Ubudiyyah 34)
          Beliau juga mengatakan, “Adapun kitab-kitab samawi yang mutawatir dari para nabi As semuanya memastikan bahwa Allah tidak menerima din dari seseorang, kecuali Din yang benar (hanif), yaitu Al-Islam, yakni: beribadah hanya kepada Allah Yang Esa dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain, beriman kepada kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir.” (Al-Fatawa al-Kubra 1:335)
          Selanjutnya Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa Allah berfirman:
“Katakanlah, “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan.`dan (katakanlah),`Luruskan muka (diri)-mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya…”(AlA`raf 29)
          Yang dimaksud dengan keadilan di sini ialah tauhid, yakni beribadah hanya kepada Allah, yang tiada sekutu bagi-Nya. Inilah dasar ad-din, sedangkan kebalikannya adalah dosa yang tak terampuni.
          Firman Allah:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik)itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya…”(An Nisa` 48)
          Ia adalah din yang diperintahkan Allah kepada semua rasul yang diutus-Nya untuk semua umat. Ia adalah Islam (tauhid) yang telah disepakati semua nabi. Dan tauhid inilah yang merupakan pokok ad-din, yakni keadilan terbesar. Adapun lawannya adalah syirik, yang merupakan kezhaliman terbesar.” (Al-Fatawa al-Kubra, juz I:348)
          Ibnu Taimiyyah juga mengatakan, Islam sebagai Din Allah dibangun di atas dua landasan, Pertama, mengabdi hanya kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya. Kedua, mengabdi kepada-Nya dengan syari`at yang ditetapkan-Nya melalui lisan rasul-Nya. Kedua landasan inilah yang sebenarnya merupakan hakikat syahadat kita: Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.(Qa`idah Jalilah Fit Tawassul wal Wasilah: 162)
          Allah berfirman:
“…Untuk tiap-tiap umat di antara kamu. Kami berikan aturan (syari`at) dan jalan hidup yang benar ….”(Al Ma`idah 48)
          Menurut Ibnu Katsir, ayat diatas merupakan pemberitahuan mengenai umat-umat yang berbeda agamanya dengan pertimbangan syari`at yang juga berbeda. Untuk itu, Allah mengutus para rasul-Nya yang mulia, yang bersepakat dalam  masalah hukum dan tauhid. Adapun syari`at itu bermacam-macam dalam  bentuk perintah dan larangan. Dan Allah tidak menerima din selain Islam, yakni tauhid dan ikhlas hanya kepada Allah, yang dibawa oleh semua rasul As (Tafsir Ibnu Katsir 2:66)
          Orang-orang mukmin yang menjadi pengikut tiap-tiap  rasul senantiasa menemani rasul mereka emasa hidupnya. Mereka bergaul dengannya, belajar darinya, menerima ajarannya, mengikuti teladannya, menjaga kitab RabbNya, dan memelihara peninggalan (atsar) dan sunnahnya. Mereka juga menanyakan kepadanya mengenai perkara-perkara rumit yang mereka hadapi dan meminta fatwa kepadanya secara langsung mengenai segala sesuatu yang menyangkut urusan kehidupan (dunia) dan akhirat.
          Setelah rasul meninggal dunia dan waktu telah berlalu, para sahabat berpencar-pencar. Generasi pun dating silih berganti. Maka yang muncul selanjutnya adalah kondisi umat yang lemah kemauan dan cita-citanya, sedangkan gejolak syahwat tampak lebih dominan. Timbul berbagai syubhat, hati menjadi keras, teladan sangat minim, sunnah memudar, bid`ah makin merajalela, dan yang hak bercampur dengan yang batil. Kitab-kitab suci dan atsar-atsar nabawiyyah bercampur baur dengan filsafat keberhalaan, dan keutamaan berpikir (bersih) terkalahkan oleh logika.
          Akhirnya, umat yang tadinya bersatu di atas kebenaran, menjadi berselisih dan berpecah belah. Sebagaimana firman Allah:
“Manusia dahulunya adalah satu umat, kemudian mereka berselisih….”(Yunus 19)
“…maka mereka  tidak berselisih, melainkan setelah dating kepada mereka pengetahuan karena kedengkian (yang ada) di antara mereka…”(Al Jatsiyah 17)
“Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa kelompok. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (Al Muminun 53)
“…dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al-Kitab itu benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari kebenaran).” (Al Baqarah 176)
          Sesuai dengan kadar penyimpangan mansia dari kitab Rabb mereka dan sunnah nabi mereka, sesuai dengan kadar bergelimangnya mereka dalam mengikuti hawa nafsu dan akal yang rusak, dan sesuai dengan kadar kesesatan mereka dari jalan Allah yang lurus, maka manusia telah mendustakan kebenaran –atau sebagiannya- setelah mereka memahaminya. Mereka telah mendahului Allah dan rasul-Nya, hingga sesatlah generasi demi generasi. Mereka berselisih dan berpecah belah setelah dating kepada mereka ilmu(keterangan yang jelas), karena kedengkian antara sesama mereka.
          Ibnu  Taimiyyah berkata, “Barangsiapa keluar dari kenabian (ajaran yang dibawa nabi), maka ia terjerumus dalam syirik dan lainnya… Syirik tidak berasal dari anak-anak Adam, bahkan Adam dan anak-anaknya yang mengakui din-nya bertauhid kepada Allah, karena mengakui kenabian. Sebagaimana Allah berfirman (yang artinya): ”Manusia dahulunya adalah satu umat, kemudian mereka berselisih….”(Yunus 19). (Majmu` Fatawa 20:106 dan seterusnya)

(6) Penutup Para Nabi dan Rasul Saw
          Setelah begitu lama manusia berada dalam kesesatan dan larut dalam berbagai ikhtilaf, maka Allah hendak memberi petunjuk dalam menempatkan mereka di atas kebenaran. Dengan kemahatahuan dan kemahabijaksanaan-Nya, Allah hendak menutup risalah-Nya kepada semua manusia dengan risalah nabi penutup, yaitu Muhammad Ibnu Abdillah Saw maka diturunkan-Nya kepada beliau kitabullah, Alqur`anul Karim, yang berlaku untuk semua manusia hingga Allah mewariskan bumi beserta isnya.
          Allah berfirman:
“…Maka Allah member petunjuk orang-orang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya…” (Al Baqarah 213)
          Allah Azza wa Jalla berjanji akan memelihara din ini dengan menjaga kitab-kitab-Nya hingga hari kiamat. Sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur`an, dan sungguh Kami benar-benar akan memeliharanya.”(Al Hijr 9)
          Ibnu Katsir berkata, “Allah telah menetapkan bahwa Dialah yang menurunkan Adz Dzikir –yakni Al Qur`an- dan Dia pula yang akan memeliharanya dari perubahan dan penggantian (tangan-tangan jahil).” (Mukhtashar Ibnu Katsir 2:308)
          Allah Swt memerintahkan rasul-Nya yang mulia agar menjelaskan kepada manusia –dengan sunnahnya- tentang Al Quranul Kari m ini. Sebagaimana  firman Allah:
“…Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur`an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa  yang telah diturunkan kepada mereka, dan agar mereka memikirkan.” (An Nahl 44)
          Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut dengan: “ Dan Kami turunkan kepadamu  Adz-Dzikir –maksudnya Al Qur`an- agar engkau terangkan kepada manusia apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka dari Rabb mereka. Sebab engkau mengerti makna wahyu yang diturunkan kepadamu, kemauanmu amat besar untuk itu, dan engkau mengikutinya. Di samsipi itu, juga karena Kami tahu bahwa engkau adalah makhluk paling utama dan pemimpin manusia.
Maka engkau jelaskanlah kepada mereka mana yang global dan mana yang rumit.”(Mukhtashar Ibnu Katsir 2:332)
          Maka Rasulullah menyampaikan risalah dan amanat, menasihati umat, dan menghapus kesulitan. Dengan risalah itulah Allah membuka hati yang lupa dan telinga yang tuli.
Firman Allah:
“Hai Rasul, sampaikalah apa yang diturunkan kepadamu dan Rabbmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya….”(Al Maaidah 67)
          Ya, siapakah yang akan menyampaikan risalah ini jika Rasulullah tidak menyampaikannya kepada manusia? Siapakah yang akan menjelaskannya jika tidak dijelaskan oleh orang yang diutus Allah sebagai rahmat bagi alam semesta?
           Menurut Ibnu Katsir, Allah Swt berfirman kepada hamba dan Rasul-Nya, Muhammad Saw, dengan nama risalah dan menyuruhnya menyampaikan semua yang diturunkan kepadanya. Rasulullah Saw telah menunaikan hal itu dan melaksanakannya dengan sebaik-sebaiknya. Umat beliau pun menyaksikan bahwa beliau memang benar telah menyampaikan risalah dan amanat itu. Beliau menanyakan hal itu kepada umatnya dalam pertemuan terbesar pada waktu haji Wada`. Pada waktu itu ada sekitar empat puluh ribu orang sahabat yang hadir. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Shahih Muslim dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasululllah Saw, bersabda:
“Wahai manusia, sesungguhnya kalian akan ditanya tentang aku, maka apa jawab kalian?”Mereka menjawab, `Kami bersaksi bahwa engkau benar telah menyampaikan risalah, menunaikan amanat, dan menasihati umat.` Maka beliau mengangkat jarinya kea rah langit dan menunjuk kepada mereka seraya berkata, `Ya Allah, bukankah (risalah-Mu) telah kusampaikan? (Mukhtashar Ibnu Katsir 1:533)
          Rasulullah Saw tidak wafat kecuali setelah kaumnya bersatu di atas jalan yang terang benderang. Malam bagaikan siang, terutama setelah Allah menurunkan ayat:
“… Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kuucapkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu jadi agamamu…”(Al Maaidah 3)
          Rasulullah Saw bersabda:
“Aku tinggalkan dua perkara untuk kalia. Selama berpegang teguh kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat. Dua perkara itu adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Malik)
          Menurut Ibnu Katsir, itulah nikmat Allah yang terbesar atas umat ini. Karena Dia telah menyempurnakan Din mereka, hingga mereka tidak memerlukan din lagi selain Islam, dan tidak memerlukan nabi lagi selain Nabi mereka (Muhammad Saw). Oleh karena itu, Allah menjadikan Muhammad sebagai penutup para nabi dan mengutusnya untuk manusia dan jin….(Mukhtashar Ibnu Katsir 1:482)

(7)      Allah Menyuruh Kaum Muslimin Bersatu dan Melarang Berpecah Belah
          Allah Azza wa Jalla menyuruh pengikut Dinul Islam ini agar bersatu di atas kebenaran serta memperingatkan mereka agar tidak berpecah belah dan berselisih seperti yang terjadi pada umat-umat terdahulu. Allah berfirman:
“Dan berpegang teguhlah kamu semua pada tali (Din) Allah  dan janganlah kamu bercerai-berai….”(Ali Imran 103)
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah dating keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siska yang berat.”(Ali Imran 105)
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawab terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.”(Al An`am 159)
          Firman Allah Walaa tafarraquu (dan janganlah kamu berpecah belah) dalam ayat di atas, menurut Ibnu Katsir, mengandung maksud bahwa Allah memerintahkan umat agar bersatu dan melarang berpecah belah. Ihwal perintah bersatu dan larangan bercerai berai banyak juga dibicarakan dalam hadits Nabi.
          Adapun firman Allah yauma tabyadhdhu wujuuhun wataswaddu wujuuhu (pada hari yang ketika itu ada wajah-wajah yang putih berseri dan ada pula yang hitam muram), mengandung maksud bahwa wajah yang putih berseri pada hari kiamat itu adalah wajah Ahli Sunnah Waljama`ah, sedangkan wajah yang hitam muram tidak lain adalah wajah ahli bid`ah dan firqah (Mukhtashar Ibnu Katsir 1:305-307)
          Mengenai ayat 159 surat Al-An`am, Ibnu Katsir mengomentari sebagai berikut. Bahwa yang dimaksud dengan wa kaanuu syiya`an (dan mereka bergolong-golong) adalah kaum Khawarij. Ada pula yang menafsirkan itu ahli bid`ah. Secara eksplisit, ayat tersebut bersifat umum, yakni mengandung makna setiap orang yang meninggalkan dan menentang din Allah.
          Sesungguhnya Allah Swt telah mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk –dan din yang hak untuk mengunggulkan-nya di atas semua agama. Syari`at-Nya adalah satu. Sebab itu, tidak ada perselisihan (sedang mereka bergolong-golong) atau berpecah seperti penganut agama-agama, aliran-aliran, hawa nafsu, dan kesesatan, Allah telah membebaskan tanggung jawab Rasulullah dari apa yang mereka perbuat….(Mukhtashar Ibnu Katsir 2:637-638)

(8)      Perpecahan Umat: Semua Masuk Neraka, kecuali Satu
          Kebanyakan  manusia tetap berselisih dan berpecah belah, kecuali orang yang diberi rahmat oleh Allah. Mereka bertengkar dan terpecah-pecah menjadi berbagai kelompok dan golongan. Mereka menjadikan Al Qur`an terpilah-pilah[2]. Setelah datang ilmu dan keterangan yang jelas kepada mereka –tapi mereka berlaku dengki- mereka saling memukul dan silang sengketa mengenai kebenaran. Sebagaimana firman Allah:
“Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan : sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia  (yang durhaka) semuanya.”(Hud 118-119)
          Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya pengikut kedua kitab (Yahudi dan Nashrani)-dalam hal agama mereka- terpecah belah menjadi 72 aliran. Dan sungguh umat (Islam) ini pun akan terpecah menjadi 73 aliran. Semuanya masuk neraka, kecuali satu, yaitu al-jama`ah.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam catatan kakinya atas syarah Ath-Thahawiyah, hlm.578, Al-Maktabul Islami)
Dalam suatu riwayat disebutkan: “Para sahabat bertanya, `Siapakah golongan yang selamat itu, wahai Rasulullah?` Beliai menjawab, yaitu orang yang mengikuti jalanku dan para sahabatku.`” (HR. Turmudzi)
          Menurut Qatadah, golongan yang mendapat rahmat Allah ialah golonngan yang bersatu walaupun negeri dan bangsa mereka berbeda, sedangkan golongan yang mendurhakai-Nya ialah golongan yang menyukai perpecahan walaupun negeri dan bangsa mereka sama. (Mukhtashar Ibnu Katsir 2:236)
          Demikianlah manusia, manakala meninggalkan petunjuk Rabb dan nabi mereka, mereka dikuasai hawa nafsu dan berpecah belah. Mereka lebih mengutamakan pendapat manusia, kesesatan para filosof, serta kebatilan para mutakallimin daripada Allah dan rasul-Nya. Akhirnya mereka sesat dan disesatkan Allah dari jalan-Nya yang lurus. Setan telah membingungkan mereka dalam masalah agama mereka. Dan Mahabenarlah Allah dengan firman-Nya ini:
“Katakanlah ,`Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?` Yaitu orang-orang  yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”(Al- Kahfi 103-104)
          Menurut  Ibnu Katsir, ayat tersebut meliputi golongan Yahudi, Nashrani, dan yang lainnya. Ayat ini tidak diturunkan secara khusus bagi mereka, tapi berlaku umum bagi setiap orang yang menyembah Allah dengan cara tidak diridlai dan menyangka dirinya berbuat benar, amalannya diterima, padahal salah dan tertolak. (Mukhtashar Ibnu Katsir 2:438)
          Maka benarlah apa yang disabdakan Rasulullah Saw berikut ini:
                   “ Sungguh kamu akan mengikuti tata cara orang-orang  sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Bahkan, seandainya mereka memasuki lubang biawak pun, tentu kamu akan mengikutinya. Kami (para sahabat) bertanya, `Wahai Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nashrani?` Beliau menjawab, `Siapa lagi kalau bukan mereka.`”(HR.Bukhari)

(9)      Bendera Sunnah Tampak Berkibar pada Setiap Masa dan Generasi
          Di tengah-tengah perpecahan dan perselisihan, Allah menakdirkan adanya orang-orang yang memelihara dan melaksanakan sebaik-baiknya Din ini –sepeninggal Rasulullah Saw. Dalam Al Qur`an (Al-Ahzab 23) disebutkan bahwa mereka adalah “Orang-orang yang menepati janji kepada Allah.”
          Para sahabat Rasulullah Saw telah melaksanakan tugas dan menunaikan amanat Allah –melalui Rasul-Nya- dengan sebaik-baiknya, dan kemudian  mewariskannya secara utuh kepada tabi`in, yang merupakan sebaik-baiknya penerus. Sesudah periode tabi`in, tugas ini dilanjutkan  oleh para Imam Sunnah dan para pengikutnya. Mereka tanpa menghhiraukan para penentang dan pengejek, baik dari pengikut hawa nafsu, bid`ah, maupun kelompok sesat. Mereka tetap berpegang teguh pada petunjuk nabi Saw berikut Sunnah dan atsar-atsarnya. Mereka melaksanakan, memelihara, dan mengajarkannya kepada generasi sesudah mereka.
          Demikianlah, Ahli Sunnah dan Pengikut Kebenaran (Ahli Haq) menerima bendera Sunnah dan berbagai peninggalan kenabian (atsar nubuwwah) dari generasi ke generasi. Bendera itu terus berkibar, dibawa dan dipelihara –kemurnian dan kesuciannya- oleh golongan yang selamat, hingga Allah mewariskan bumi beserta isinya.
          Rasulullah Saw bersabda:
“Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tampil (membela kebenaran) hingga dating keputusan Allah kepada mereka, sedang mereka dalam keadaan unggul.” (HR. Bukhari)
          Dari masa ke masa, dari generasi ke generasi, prinsip-prinsip dan kaidah golongan yang selamat ini semakin kokoh. Berbagai sistemnya (manhaj), sumber pikiran dan ilmunya makin cemerlang. Aqidah-aqidahnya terkodifikasi. Hal ini menunjukan perbedaan dengan aqidah-aqidah dan prinsip-prinsip golongan lainnya. Posisi golongan selamat ini terhadap golongan lainnya bagaikan posisi Dinul Islam terhadap agama-agama lain.
          Dalam Majmu` Fatawa 4:140, Ibnu Taimiyah berkata, “Dan telah dimaklumi bahwa ahli Hadits dan Sunnah lebih khusus mengenai Rasulullah dan para pengikutnya. Mereka mendapat kelebihan dan keistimewaan dari Allah berupa ilmu dan akal serta pahala yang berlipat ganda yang tidak di dapat oleh orang lain. Salah seorang Ulama Salaf mengatakan, `Ahli Sunnah dalam Islam (jika dibandingkan dengan golongan lainnya) bagaikan penganut Islam dengan penganut agama-agama lain.”
          Golonga yang selamat itu berbeda dengan golongan lainnya, baik dalam aqidah dan fiqih maupun dalam akhlak dan perilaku mereka. Mereka itulah sebaik-baiknya saksi bagi Din ini. Dengan mereka, Allah menegakkan hujjah atas hamba-hamba-Nya pada setiap masa dan generasi. Imam-imam mereka bagaikan matahari yang menerangi jalan bagi orang yang diberi kebaikan dan hidayah Allah dalam mengikuti atsar, petunjuk, dan sunnah Rasulullah Saw.

(10)    Keutamaan Para Sahabat Rasulullah Saw
          Prinsip utama yang menjadi cirri khas golongan ini-sepanjang masa- ialah sikap komitmen mereka terhadap Kitab Rabb, Sunnah Nabi, dan Ijma` ulama Salaf dari para sahabat, tabi`in, dan Imam-imam dari tiga generasi yang diberkati.
Mereka terpelihara dari perpecahan, perselisihan, serta saling sengketa pemikiran dan hawa nafsu. Maka siapakah gerangan jika bukan sahabat Rasulullah Saw yang lebih mengerti tentang Kitab Rabb dan lebih mengetahui tentang Sunnah Nabi mereka?
          Pensyarah kitab Durratul Mudli`ah mengatakan, “Tidak ada umat Muhammad yang diunggulkan (karena keutamaannya)atas umat-umat lainnya, kecuali sahabat yang mulia. Mereka beruntung karena menjadi sahabat manusia terbaik, (yakni Rasulullah Saw). Pendapat yang bisa dipertanggungjawabkan datangya dari Imam-imam Sunnah yang menyebutkan bahwa semua sahabat berperilaku adil. Sebagaimana Allah berfirman:
“Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka….(Al Fath 29)
          Ihwal keutamaan sahabat disbanding dengan umat Muhammad lainnya, tersebut dalam dua hadits shahih,. Pertama, hadits yag diriwayatkan dari Abi Sa`id al-Khudri Ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Janganlah kamu mencaci maki sahabat-sahabatku. Demi Allah yang diriku ada di tangan-Nya, seandainya salah seorang di antara kamu menginfakkan emas sebesar gunung Uhud. Nilainya tidak mencapai satu mud yang diinfakkan mereka (para sahabat), bahkan setengahnya pun tidak.”
          Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dari Ibnu Mughaffal Ra. Katanya, “Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda:
“Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah mengenai sahabat-sahabatku. Janganlah kamu menjadikan mereka sebagai sasaran sepeninggalanku nanti. Barangsiapa mencintai mereka, karena mencintai  aku maka aku mencintai mereka. Barangsiapa membenci mereka, karena membenci aku maka aku membenci mereka. Barangsiapa menyakiti mereka, ia menyakitiku; barangsiapa menyakitiku, ia menyakiti Allah. Barangsiapa menyakiti Allah, ia akan mendapat hukuman Allah. Dan barangsiapa dihukum Allah, ia tak akan lolos.”
          Dalam hal ma`ruf, tidak ada umat Muhammad yang lebih utama, kecuali sahabat.  Yang dimaksud ma`ruf di sini ialah segala hal yang menyangkut ketaatan          kepada Allah, mendekatkan diri kepada-Nya, berbuat baik kepada sesama  manusia, patuh dalam menjalankan semua kebaikan yang diperintahkan syara`, dan menjauhkan segala larangannya.
          Tak ada seorangpun –yang berakal sehat- meragukan terhadap keutamaan para sahabat Nabi, baik dalam perbuatannya yang terpuji maupun perkataannya yang benar. Orang yang berbahagia ialah orang yang mengikuti dan meneladani jalan hidup mereka, sedangkan orang yang celaka ialah orang yang menyimpang dari jalan hidup mereka. Adakah jalan lurus yang tidak mereka tempuh? Adakah kebaikan yang tidak mereka jalankan?
          Demi Allah, mereka telah memberikan pandangan hidup yang jernih dan segar. Mereka telah mengokohkan landasan-landasan ad-Din dan al-Ma`ruf. Maka tidaklah layak bagi seseorang untuk untuk memperkatakan jelek kepada mereka sepeninggal mereka.
          Mereka membuka hati dengan Al Qur`an, dzikir, dan iman. Mereka taklukan negeri-negeri dengan pedang dan tombak, mereka korbankan jiwa mereka untuk mendapatkan ridla Allah Yang Maharahman. Tidak ada kema`rufan kecuali yang telah mereka datangkan; tidak ada bukti yang nyata kecuali yang telah mereka ungkap dengan ilmu mereka. Tidak ada jalan keselamatan, kebaikan, dan kebahagiaan kecuali jalan yang telah mereka tempuh. Semoga Allah meridlai mereka, karena mereka inilah yang telah mengisi majlis-majlis dengan peringatan. Mereka inilah yang telah mengukir lembaran hidup dengan berbagai kebaikan yang patut dipuji dan disyukuri.
          Dalam hal ketaatan terhadap hukum Allah dan Sunnah Nabi, tidak ada umat yang menyamai para sahabat. Merekalah yang paling konsekuen dalam mengamalkan Al Qur`an dan Sunnah Nabi. Kebenaran ini ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad da`i Ibnu Mas`ud Ra.
“Barangsiapa hendak menjadikan teladan, teladanilah para sahabat Rasulullah Saw. Sebab, mereka itu paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit takallufnya (tidak suka mengada-ada), paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Mereka adalah kaum yang dipilih Allah untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan Din-Nya. Karena itu, hendaklah kalian mengenali keutamaan jasa-jasa mereka dan ikutilah jejak mereka, sebab mereka senantiasa berada di atas jalan (Allah) yang lurus.”
          Al-Muhaqqiq al-Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya, I`lamul Muwaqqi`in, mengatakan, “Para sahabat adalah orang yang paling baik hatinya, dalam ilmunya, paling sedikit takallufnya. Dibanding dengan yang lain, mereka paling dekat dengan kebenaran. Sebab, Allah telah member keutamaan bagi mereka hingga mereka memiliki kecerdasan luar biasa, kefasihan berbicara, keluasan ilmu, serta mudah dan cepat dalam memahami persoalan. Bagi mereka hanya sedikit musuh atau bahkan tak ada sama sekali. Mereka senantiasa punya maksud baik dan bertakwa kepada Allah.
          Bahasa Arab adalah jalan dan watak mereka.  Makna-makna yang benar (dalam Kitab dan Sunnah Nabi) tertanam dalam fithrah dan akal mereka. Dalam hal menerima hadits, mereka tak perlu memeriksa sanad, rawi, jarh, ta`dil, atau cacat tidaknya sebuah hadits. Mereka juga tidak perlu memeriksa kaidah-kaidah ushul, sebab mereka telah memiliki semua itu.
          Bagi mereka hanya ada dua perkara. Pertama, Allah berfirman begini. Kedua, artinya begini dan begini.
          Mereka adalah orang paling berbahagia dengan dua perkara tersebut dan paling banyak memperoleh bagian dari keduanya. Mereka telah menyaksikan dan menemani Nabi pilihan serta mengetahui berbagai rahasia Al Qur`an dari hadlirat Nabi Saw. Mereka mengetahui turunnya wahyu, sebab-sebab turunnya (asbabun nuzul), ta`wil, dan tata caranya. Mereka menyaksikan cahaya-cahaya Al Qur`an dan kenabian. Maka mereka inilah umat yang paling berbahagia karena telah bertindak benar dan paling tahu mengenai Alqur`an da Sunnah Nabi.”[3]
          Menurut Imam Ibnu Qayyim, beristidlal dengan baik terhadap makna-makna Al Qur`an haruslah melalui orang-orang kepercayaan Rasulullah Saw. Mereka adalah pewaris Nabi. Kemudian mereka mengikutsertakan perkataan para sahabat dan tabi`in sebagai imam-imam yang member petunjuk. Apakah orang-orang yang berakal sehat tidak mengetahui bahwa penafsiran Al Qur`an dengan cara ini lebih baik daripada cara yag dilakukan oleh para imam yang sesat? Atau lebih baik daripada cara yang dilakukan oleh para tokoh Jahmiyah dan Mu`tazilah, seperti Al-Muraisi, Al-Jubba`i, An-Nazhom, Al-Allaf, dan orang-orang semisal mereka yag berpecah belah dan berselisih? Mereka suka berbuat sesat dari berbagai bid`ah dalam Islam. Mereka juga suka mencerai beraikan agama dan terpecah dalam berbagai golongan. Dan masing-masing merasa bangga atas golongannya.
          Jika tidak diperbolehkan  menafsirkan Al Qur`an dan menetapkan maksudnya serta mencari ilmul-yaqin dengan Sunnah-sunnah Rasulullah Saw yang shahih dan perkataan para sahabat dan tabi`in, maka apakah diperbolehkan memahami makna-makna Al Qur`an  berdasarkan penyelewengan-penyelewengan Jahmiyah dan kelompoknya, takwil-takwil Al-`Allaf, An-Nazhom, Al-Juba`i, Al-Muraisi, Abdul Jabbar dan para pengikut mereka?  Bukankah mereka itu jauh dari as-Sunnah dan Alqur`an serta amat dibenci oleh kalangan ahli ilmu dan iman….(Mukhtashar Ash-Shawa`iqul Mursalah 2:335)



2 Menurut Ibnu Abbas, amanat adalah ketaatan, sedangkan menurut Ibnu Katsir, amanat  adalah taklif (tugas), menerima perintah dan larangan dengan bersyarat. Syaratnya ialah jika ia melakukan ketaatan, akan mendapat pahala; dan jika meninggalkannya, ia akan mendapat siksa. (Tafsir Ibnu Katsir 6:477). 
[2] Ibnu Katsir menafsirkan ayat alladzina ja`alul Qur`aana `idlin (Al-Hijr 91) mereka memilah-milah semua kitab yang diturunkan kepada mereka. Maksudnya, sebagaian diimani dan sebagian dikufuri. Menurutnya, Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu  Abbas tentang ayat tersebut, katanya:”Mereka adalah penganut Al-Kitab, tetapi mereka membagi-baginya dengan mengimani sebagian dan mengkafiri sebagian.” (Mukhtashar Ibnu Katsir 2:319)
[3]Lihat Mukhtashar Lawami`ul Anwaril Bahiyyah, hlm.525, karya Syekh Muhammad bin Salum. Kitab ini ringkasan dari Lawami`ul Anwaril Bahiyyah, karya Muhammad bin Salim as Safarini, yang merupakan syarah kitabnya ad-Durratul Mudli`ah Fi Aqidatil Firqatil Mardliyyah. Lihat pula Syarah Ath-Thahawiyyah, hlm.464 dan seterusnya. Di dalamnya disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda (yang artinya): “Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada zamanku, kemudian generasi yang dating sesudahnya, dan sesudahnya.” Imran, salah seorang perawinya berkata, “Saya tidak tahu, apakah beliau menyebutkan dua atau tiga generasi sesudah generasi beliau.”(Shahih Bukhari dan Muslim)


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------