BAB EMPAT : MANHAJ ISLAM DALAM MENDIDIK FARDIYAH DAN JAMA`IYAH.

Selama Islam sebagai satu­satunya manhaj yang harus dijadikan sandaran dalam segala hal kehidupan manusia, baik dalam hal keserasian dan keseimbangan antara kecenderungan fardiyyah dan jama’iyyah, maka kami akan mengungkapkan jalan­jalan atau uslub­uslub (metodologi) yang harus ditempuh dalam membentuk dan menumbuh kembangkan individualistis dan sosialistis pada seorang muslim dan dalam kenyataan hidupnya.

Kepada pembaca kami sampaikan metoda ini:

A. MANHAJ ISLAM DALAM MENDIDIK FARDIYYAH

Secara ringkas manhaj ini meliputi:

1. Perlunya Manusia Mengetahui Kemuliaan Asal Penciptaan dan Bahan Bakunya.

          Berdasarkan nash­nash yang menceritakan kemuliaan Adam yang diberikan Allah­­ sebagaimana menjadi kehendak Yang Maha Benar. (Allah SWT), menciptakan dengan kedua tanganNya, kemudian menyempurnakan dengan meniupkan roh (ciptaannya) di dalamnya, sebagaimana firman Allah:

          “Dzat yang menjadikan sesuatu dengan sebaik­baiknya, maka Dia memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian menjadikan keturunannya, terbuat dari setetes air yang hina (mani), lalu Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya roh ciptaanNya, dan Dia juga membuat bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati. Namun sedikit sekali di antara kamu sekalian yang bersyukur” (As Sajdah : 7­9)

          Dan juga ketika Dia mengajarkan nama­nama seluruh benda, lalu sujudlah malaikat kepadanya; Allah berfirman:

          “Dan dia mengajarkan kepada Adam nama­nama (benda­benda) seluruhnya, kemudian mengemukakan kepada para malaikat dan lalu berfirman: Sebutkanlah Kepadaku nama­nama benda itu kalau kamu memang orang­orang yang benar. Mereka menjawab: Maha Suci Engkau tidak ada yang kami ketahui kecuali yang engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman: Hai Adam, berikanlah kepada mereka nama­nama benda­benda itu, Allah berfirman: Bukanlah Aku mengatakan kepadamu bahwasannya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan mengetahui apa yang kau tampakkan dan yang kau sembunyikan. Dan ingatlah ketika kami berfirman kepada para malaikat: Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan sombong, dan termasuk ke dalam golongan orang­orang yang kafir”                             (Al Baqarah : 31­34)

          Sebagaimana halnya Dia memilih dan mengangkatnya melalui nubuwwah dan risalah terhadap alam semesta, seperti firmannya:

          “Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga Imran melebihi segala umat (di pasa mereka masing­masing)” (Ali Imran: 33)

Demikianlah sesungguhnya manusia, jika mengetahui dirinya itu bersumber dari keluarga yang mulia dan dari saripati yang baik, yang akan melahirkan pengetahuan. Tetap berdiri tegak di atas keberadaannya, bahkan ia mampu memelihara dan menjaganya agar ia tidak mencemari keasliyannya, atau merusak sumbernya.

2. Memperkenalkan kepada Manusia akan Musuhnya yang Paling Besar

          Hal ini dapat dilakukan berdasarkan nash­nash yang mengingatkan kepada kita tentang kisah Adam bersamanya di surga, yang keduanya telah mendapatkan godaan setan, lalu keduanya dikeluarkan dari surga itu, sebagaimana firmannya:

          “Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah kamu kedua (buah­buahan) dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon itu, maka kamu akan menjadi orang­orang yang zhalim. Lalu setan pun membisikan fikiran jahatnya kepada mereka berdua untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup, yaitu: auratnya, setan berkata: Rabbmu tidak melarang dari mendekati pohon ini melainkan kamu berdua supaya tidak menjadi malaikat, menjadi orang­orang yang kekal di surga. Dan setan bersumpah kepada mereka berdua: sesungguhnya aku termasuk orang­orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua, lalu setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya, tatkala mereka berdua merasakan buah pohon itu, maka nampaklah bagi keduanya aurat­auratnya, dan menutupilah mereka berdua dengan daun­daun surga, kemudian Allah menyeru kepada mereka: bukankah Aku telah mencegah kamu berdua dari pohon itu dan Aku katakana kepadamu: Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua; keduanya berkata: Ya Rabb kami, kami telah menganiyaya diri kami berdua dan jika Engkau tidak mengampuni dan memberi rahmat kepada kami berdua, niscaya kami termasuk orang­orang yang merugi. Allah berfirman: Turunlah kamu sekalian, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kesenangan) dimuka bumi sampai waktu yang ditentukan” (Al A’raf: 19­24)

          Demikianlah manakala manusia telah mengenali bahwa pada dasarnya rencana­renana jahat dan tipu daya (musuh) selalu meliliti dirinya dan menjebaknya, sehingga dapat merubah haluan hidupnya, dari ketentraman menuju kesengsaraan, bahkan makar dan tipu daya semacam itu akan terus berlangsung dalam rangka menjebaknya. Setelah manusia mengetahui hal demikian, sadarlah atas eksistensi dirinya, sadar atas kemerdekaannya, dan kemandiriannya. Bahkan dapat membuatnya untuk melakukan perhitungan dan balasan setimpal terhadap musuh­musuhnya atau setidak­tidaknya mewujudkan balasannya itu dengan menyalahinya, mengingkarinya, dan tidak mengikuti keinginannya, sebagaimana ditunjukkan oleh Allah ketika berfirman:

          “Hai anak Adam; janganlah sekali­kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana dia telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperhatikan kepada kedua auratnya” (Al A’raf: 27)

          “Hai manusia, sesungguhnya janji Allah itu benar maka janganlah sekali­kali kehidupan manusia memperdayakan kamu, dan janganlah sekali­kali orang­orang yang pandai menipu memperdayakan kamu tentang Allah. Sesungguhnya setan hanyalah mengajak golongannya agar menjadi penghuni neraka yang menyala­nyala” (Fathir: 5­6)

          “Hai orang­orang yang beriman; janganlah kamu mengikuti langkah­langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh pada perbuatan yang munkar dan keji” (An­Nurr: 21)

3. Memperkenalkan Manusia akan Kedudukannya di Dunia

          Hal ini mengambil nash­nash yang menceritakan tentang hubungan manusia dengan Rabb­nya, dan dengan apa saja yang ada di ala mini, sebagaimana firmanNya:

          “Dan ketika Rabbmu berkata kepada malaikat: Sesungguhnya aku menjadikan dibumi seorang khalifah …” (Al Baqarah: 30)

          “Dialah yang menjadikan kamu khalifah­khalifah di bumi” (Fathir: 39)

          “Dialah yang menjadikan kamu dari bumi dan memerintahkan kamu untuk memakmurkannya…” (Huud: 61)

          “Dan tidaklah Aku jadikan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah kepadaku” (Adz Dzariyat: 56)

Allah berfirman pula di ayat lain:

          “Dan Dia lah menjadikan semua yang ada di langit dan di bumi tunduk kepadamu semua” (Al Jatsiyah: 13)

          “Dan sesungguhnya kami telah memuliakan anak Adam, dan kami bawa mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki yang baik­baik, dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang kami ciptakan” (Al Isra’: 70)

          Demikian ini manakala manusia mengetahui bahwa dirinya itu diciptakan untuk memimpin alam semesta ini di bawah naungan ‘ubudiyyah yang sempurna kepada Rabb alam semesta ini. Maka dirinya akan melahirkan perasaan khusus, bahwa dialah mahluk yang memiliki kemerdekaan, baik kedudukan dan tempatnya di dalam wujud ini, bahkan mengharuskan baginya untuk memelihara alam ini sekalipun harus menebusnya dengan mahal.

4.  Terikatnya Hati Manusia dengan Allah SWT.

          Hal ini bisa kita perhatikan dari nash­nash yang menceritakan akan nikmat­nikmat Allah yang dianugrahkan kepada hamba­hambaNya begitu pula hak Allah atas mereka:

          “Hai manusia, sembahlah Rabbmu yang menciptamakan kamu dan orang­orang sebelum kamu agar kamu menjadi orang­orang yang bertaqwa. Yang menjadikan bagi kamu bumi sebagai hamparan, langit sebagai bangunan, dan menurunkan air dari langit yang dapat menumbuhkan bagi kamu buah­buahan sebagai rezki, karena itulah janganlah kamu menjadikan sekutu­sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui” (Al Baqarah: 21­22) 

          “Dan kepunyaan Allahlah segala apa yang ada pada malam dan siang hari, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, katakanlah: Apakah akan aku jadikan pelindung selain Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan? Katakanlah: Sesungguhnya aku diperintahkan supaya aku menjadi orang yang pertama kali menyerahkan diri (kepada Allah), dan janganlah kamu sekalian menjadi golongan orang­orang yang menyekutukan Allah. Katakanlah: sesungguhnya aku takut dari azab di hari yang besar (hari kiamat) jika aku mendurhakai Rabbmu”  (Al An’am: 13­15)

          “Dan bahwasannya (din tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Rabbmu, maka bertaqwalah kepadaKu”  (Al Mu’minun: 52)

          “Dan sembahlah rabbmu sampai dating yang diyakini (ajal)”                 (Al Hijr: 99)

          “Katakanlah, hai hamba­hambaKu yang beriman; bertaqwalah kepada Rabbmu” (Az Zumar: 10)

          Bahkan bisa pula dilakukan melalui ibadah­ibadah wajib seperti: shalat, zakat, puasa, hajji, membaca al Qur’an, berdzikir, berdo’a, dan beristigfar. Semua itu merupakan hak Allah atas hamba­hamba Nya. Berkatalah Nabi SAW kepada Mu’adz bin Jabal Ra:

          Hai Mu’adz; tahukah engkau apakah hak Allah atas hambanya dan hak hamba atas Allah? Mu’adz berkata: aku menjawab; Allah dan RasulNya lebih mengetahui. Maka beliau berkata: Sesungguhnya hak Allah atas hambaNya adalah mereka harus menyembah hanya kepada Allah SWT dan tidak menyekutukan Allah terhadap sesuatu apapun. Dan hak hamba atas Allah adalah sepatutnya Allah tidak menyiksa siapapun hambanya yang tidak menyekutukan Nya dengan sesuatu apapum”[1])

          Yang demikian ini dikarenakan bahwa manusia jika mengetahui nikmat Allah yang dianugrahkan, dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah tingkatannya, dan hakNya sepantasnya ia menyembah RabbNya, serta melupakan bentuk sesembahan di muka bumi yang selainNya.

          Dr. Muhammad Qutb di dalam bukunya Manhaj Tarbiyyah Islamiyyah berkata:

          Ya memang benar, pengertian dan apa yang menjadi tuntunan di dalam menyembah Allah, akan memenuhi hati manusia dengan muatan iman, serta menjadikannya sebagai individu yang optimis dengan eksistensinya yang khas serta keberadaannya yang mandiri.

          “Adapun fardiyyah, kepribadian yang bebas merdeka, eksistensi positif yang kuat.. semuanya itu dibina oleh islam dengan jalan mengatur hubungan antara dia dengan Allah.

Manusia kadang­kadang tenggelam sekali dalam beribadah kepada Allah, serta tenggelam di dalam cinta sampai ke suatu tingkatan dimana ia tidak ingat sesuatu pun di ala mini kecuali dirinya sendiri dan Allah. Manusia itu berhubungan dengan Allah secara pribadi. Hubungan yang mendalam, kuat, dan merasuk di dalam hati itulah bagi manusia merupakan hubungan perseorangan yang bersifat pribadi dengan Allah. Di saat ia tenggelam di dalam cinta yang mendalam itu, ia melihat seluruh ala mini samara dan bening, lalu segala sesuatu dan semua lenyap dan yang tinggal hanyalah jantungnya yang masih berdetak … dan cahaya nurani yang menghubungkan hatinya dengan Allah.

          Di saat tenggelam itulah, manusia berisi muatan­muatan yang membawanya kedalam kehidupan, membawanya menjadi seorang yang bersifat positif yang mempunyai eksistensi. Muatan­muatan itu memberikan suati kekuatan dahsyat menghadapi setiap orang, segala sesuatu dan setiap peristiwa. Ia merasakan sedang membawa obor cahaya yang suci, dipanggul oleh esensi manusia pertama yang diciptakan Allah dari tanah lalu meniupkan roh Nya ke dalamnya. Manhaj Tarbiyyah Al Islamiyyah, 1/165)

          Dengan demikian ia tampil sebagai orang perkasa, kuat, berkemampuan dan tangguh. Ia hanya tunduk kepada kebenaran yang datangnya dari Allah SWT. Ia tidak suka dililit oleh tekanan dan dininabobokan, atau menjadi bersifat negatif menghadapi nilai­nilai, orang­orang, dan kekuatan­kekuatan materialik yang ada di sekitarnya. Karena ia merasakan bahwa eksistensi dirinya yang penuh dimuati oleh Nur Ilahi itu, setingkat bahkan lebih baik dari pada seluruh kekuatan itu dari dalam, sekalipun kekuatan fisiknya yang terbatas itu berantakan pada suatu saat.

          Oleh sebab itulah Diktatorisme tidak senang kepada agama­agama. Kediktatoran pada satu segi tidak rela menyerahkan kekuasaan kepada selain seorang dictator, dan pada segi lain ia tidak rela pula menyerahkan kekuasaan kepada Allah, sebab hal ini sama saja artinya dengan mengorganisasi manusia menentang penguasa­penguasa yang sewenang­wenang dan mendorong mereka untuk menghentikan kesewenang­wenangan tersebut di tengah perjalanan:

          “Siapa saja di antara kamu melihat kemunkaran, maka ia harus merubahnya…”

          Hubungan individu dengan Allah inilah yang menjadikan manusia memperoleh eksistensinya yang bebas merdeka, tidak terpencil dan tidak terisolasi… (Manhaj Tarbiyyah Al Islamiyyah, 1/165­166)

5. Memperingatkan Manusia dari Kemungkinan Memudarnya Rasa Kepribadian

           

Hal demikian bisa dilakukan dengan mencela kepada setiap bentuk taklid buta, yang tidak berdasar pada dalil dan bukti yang dapat memperkuatnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ikutlah pada apa yang diturunkan oleh Allah; mereka menjawab: (tidak) kami hanya akan mengikuti pada apa yang kami dapati (dari perbuatan) nenek moyang kami. (apakah mereka akan mengikuti juga) sekalipun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apapun dan tidak pula mendapat petunjuk? (Al Baqarah: 170)

“Bahkan mereka berkata sesungguhnya kami mendapati bapak­bapak kami mengikuti suatu agama, dan sesungguhnya kami adalah orang­orang yang mendapat petunjuk dengan mengikuti mereka” (Az Zukhruf: 22)

Bahkan juga mungkin dengan penolakan secara mutlak secara terang­terangan jika memang ia ketahui hal tersebut akan menghilangkan kepribadiannya sama sekali.

“Bagi seorang muslim seharusnya ia itu mendengar dan mentaati apa yang ia sukai maupun yang ia tak sukai, kecuali jika ia diperintah untuk kemaksiatan­­tidak perlu di dengar dan ditaati­­ [2]

 “Dan janganlah kamu sekalian menjadiorang pengekor yang membabi buta, sehingga anda mengatakan:  jika orang­orang berbuat baik maka kami pun berbuat baik, akan tetapi jika mereka berbuat zhalim kami pun demikian. Seharunya anda itu berkata demikian: Manakala mereka berbuat baik maka kalian pun berbuat baik, dan jika mereka berlaku zhalim (berbuat jahat) maka janganlah kalian mengikuti mereka”[3]

6. Keharusan Mengikuti Taklif­Taklif Syar’iyyah Terutama dalam Nasehat Menasehati dan Amar Ma’ruf Nahi ‘Anil Munkar:

Ini berdasarkan kepada sabda Nabi SAW:

“Agama itu adalah nasehat. Kami semua bertanya: Bagi siapa wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Bagi Allah, RasullNya, kitabNya, para Imam dan seluruh kaum Muslimin” [4]

          “Barangsiapa melihat kemungkaran di antara kamu sekalian, maka hendaklah merubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu maka dengan menggunakan lisan. Dan jika (juga) tidak mampu maka dengan menggunakan hati, namun yang demikian ini adalah selemah lemahnya iman”[5]

          Inilah jalan terang yang sesungguhnya mengenai kewajiban, terlebih jika menyangkut masalah pelurusan terhadap keadaan­keadaan yang telah rusak, maka mukallaf harus memusatkan pusat perhatian. Dialah yang layak melakukan tugas­tugas ini. Dan tidaklah mungkin manusia yang berakal dan merasakan itu berbalik meninggalkan dan menyianyiakan.

7. Menjadikan Manusia Mau Bertanggung Jawab atas Segala Amal Perbuatannya

Hal di atas ini dapat di ambil dari nash­nash yang memberikan sejumlahtanggung jawab kepada setiap manusia atas perbuatannya, dan manusia tidak bisa melimpahkan tanggung jawab ini kepada pihak lain, dan tidak bisa pula melimpahkan tugas orang lain dipundaknya, sebagaimana firman Allah:

“Dan setiap manusia telah kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan kami keluarkan pada hari kiamat baginya kitab yang diterimanya dalam keadaan terbuka. Bacalah kitabmu; dan cukuplah dirimu pada saat ini sebagai penghisab terhadap dirimu” (Al Isra’: 13­14)

“Dan jagalah dirimu dari azab hari kiamat yang pada hari itu seseorang tak dapat membela yang lain walau sedikitpun” (Al Baqarah: 48 & 123)

“Wahai manusia, bertaqwalah kepada Rabbmu dan takutlah pada hari dimana seseorang tidak dapat menolong anaknya, dan seorang anak tidak dapat menolong bapaknya walau sedikitpun” (Luqman: 33)

“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika orang yang berat dosanya memanggil (orang) lain, untuk memikulkan dosa itu tidaklah dia akan memikulkan untuknya sedikitpun, sekalipun yang dipanggilnya itu kerabatnya …” (Fathir: 18)

Firmannya lagi:

          “Setiap manusia bertanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuatnya” (Al Muddatztsir: 38)

          “Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya, meskipun dia mengemukakan alasan­alasannya” (Al Qiyamah: 14­15)

          Itu hanya bisa dilakukan dengan cara mendidik individualistik yang dimiliki manusia, dengan anggapan bahwa manusia itu jika merasakan akan tanggung jawabnya terus menerus, maka akan terbentuk pada dirinya sebuah kemandirian, bebas merdeka, bahkan ia dapat menjadikan kesadarannya hidup dan peka terhadap setiap yang menyentuhnya (mempengaruhinya) walau dari jauh.

8.  Keharusan Memberi Pada Individu Waktu yang Cukup dan Luang Untuk Mengurusi Urusan­Urusan Pribadinya:

Islam sungguh menghargai setiap urusan pribadi secara khusus, yang jelas berbeda dengan urusan yang dihadapi orang lain. Sebab islam tidak pernah mengabaikan dan mengingkari semua itu, bahkan menyambut dan memenuhi kebutuhan­kebutuhannya, yaitu melalui pemberian waktu­waktu tentu pada pribadi untuk mengurusi urusan­urusan pribadinya, seperti shalat, berdzikir, berdo’a, membaca al Qur’an, memenuhi kebutuhan isteri, anak, tamu, dan saudara­saudaranya, memberikan waktu untuk istirahat bagi dirinya, dan begitu seterusnya. Islam benar­benar memperhatikan urusan pribadi ini, sebagaimana firmanNya:

          “Sesungguhnya yang benar­benar beriman adalah orang­orang yang percaya pada Allah dan RasulNya, dan apabila mereka bersama­sama dengan Rasulullah dalam sebuah urusan yang membutuhkan pertemuan, mereka tidak meninggalkan Rasulullah sebelum meminta izin kepadanya, mereka itulah orang­orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu tentang suatu urusan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah, sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (An Nur: 62)

9. Mengajak Manusia Menuju Kemuliaan Diri

          Islam tidak cukup dalam membentuk kepribadian itu dengan cara­cara atau uslub yang telah kami paparkan dalam metoda mendididk individualistik, bahkan menyeru kepada kemuliaan. Hal ini seperti disabdakan oleh Nabi SAW:

          “Janganlah salah seorang di antara kamu merendahkan dirimu sendiri. Mereka berkata: wahai Rasulullah, bagaimana hal itu bisa terjadi pada diri kami? Nabi bersabda: Ia mengetahui suatu perintah Allah atasnya namun ia masih bertanya­tanya, kemudian ia tidak mengatakannya. Lalu Allah berfirman padanya pada hari kiamat: Apa yang menghalangimu untuk mengatakan tentang diriKu begini dan begini…? Ia menjawab: karena takut pada orang­orang, maka Allah berkata padanya: Hanya kepadaKu lah engkau lebih pantas takut” [6]

          Inilah cara­cara Islam yang terbaik dalam mendidik individualistik dan menghujamkannya ke dalam jiwa.



[1]) Hr. Imam Muslim, Shohih, dalam kitab Al Iman, dalil tentang orang yang mati dalam tauhid itu masuk surga, 1/58­59, No. 49; dari hadits Mu’adz, marfu’ pada akhir hadits beliau berkata: wahai Rasulullah, bolehlah aku kabarkan kepada orang banyak? Beliau menjawab: jangan, sebab pemberitaanmu kepada mereka menjadikan mereka hanya berpasrah diri).

[2] ) HR Muslim dalam shahihnya, Kitab al Iman bab: perkara yang menerangkan bahwa agama itu nasehat: 1/74. no. 95 haditsnya Tamim At Dary dengan sanad Marfu’)

[3] )  HR Muslim dalam Shahihnya, kitab: wajib taat kepada amir pada yang selain kemaksiatan serta larangan untuk mengingkarinya: 3/1469. no. 1839 dari hadits Abdullah bin Umar marfu’)
[4] )  HR Turmudzi dalam As Sunan, kitab. Al Birr was shilah, bab: kebaikan dan pemberian maaf: 4/334 no. 2007. haditsnya dari Abu Thufail Amir bin Watsilah Al Laitsy dari Khudzaifah dengan sanad marfu’m kemudian berkata di akhir riwayatnya hadits ini hasan shahih, dan kami tidak mengenalnya dari jalan ini).
[5] ) HR Muslim di dalam Shohihnya, kitab : Al Iman 1/69. no. 78, dari hadits Sa’id Al Hudri RA dengan Sanad marfu’)

[6] ) HR Ibnu Majah dalam As Sunan, Kitab: Al fitan, bab: Amar maruf’ nahi munkar: 2/1328 no. 4008, dari haditsnya Al Bukhtury dari Sa’id Al Khudri, dan disebutkan oleh Al Buhoiri dalam kitabnya: Misbah az Zujajah Fil Zawaid Ibnu Majah: 4/182­183, dan berkata di akhir riwayatnya: hadits ini shahih dan diriwayatkan oleh Imam Abu Daud Ath Thayalisy dalam musnadnya, dan diriwayatkan oleh Ahmad bin Mani’, dan di riwayatkan oleh Baihaqi di dalam Al Kubra, dan juga oleh ‘Abd bin Hamid di dalam Musnadnya”)


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------