BAB DUA : PENGARUH FARDIYAH DAN JAMA`IYAH TERHADAP EKSISTEN SEORANG MUSLIM DAN KENYATAAN HIDUP

Di depan telah kami kemukakan bahwa setiap kecenderungan individualistis dan sosialistis, itu memiliki pengaruh-pengaruh positif dan negatif terhadap diri seorang muslim dan dalam kehidupan yang nyata. Namun bila keduanya itu tetap dipelihara dan ditempatkan pada tempatnya yang proporsional, maka akan berdampak positif dan membawa kepada kebahagiaan hidupnya. Tetapi jika tidak mendapat perhatian yang layak dan benar sehingga dapat mengalahkan dan menguasai kecenderungan – kecenderungan yang lain, maka akan menimbulkan kesengsaraan, dan ketidak stabilan di dalam hidup.

Di antara pengaruh-pengaruh itu adalah :

PENGARUH-PENGARUH POSITIF BAGI KECENDERUNGAN FARDIYYAH

Kecenderungan fardiyyah membawa pengaruh positif bagi diri seorang muslim dan kenyataan hisupnya, misalnya pada :              

Daya Analisa dan Nalar

Setiap muslim yang merasakan bahwa lalai terhadap pengamatan, atau analisa masalah di sekelilingnya dan dirinya, akan memberikan peluang bagi musuh-musuhnya untuk melakukan penindasan terhadapnya, padahal mereka itu termasuk orang-orang yang menghalangi manusia dari jalan Allah dan membangkang. Ia bias tersisih dan tertutup dari kehidupan yang selayaknya, sebagaimana diinginkan oleh setiap insan yang mengetahui akan hak kemanusiaannya, di dalam hidup di dunia ini, disamping ia juga akan mendapatkan murka Allah SWT dan siksanya.

Itulah mengapa Nabi SAW berkomentar dalam sabdanya ketika usai membaca bagian dari surat Ali Imran : (Sesungguhnya di dalam kejadian langit dan bumi serta pergantian antara siang dan malam … sampai firmanNya: Sesungguhnya Engkau tidak akan menyalahi janji), beliau SAW bersabda: Celakalah bagi orang-orang yang membaca ayat-ayat ini namun ia tidak memikirkan apa-apa yang dikandungnya. (Hadist ini cuplikkan dari hadist yang panjang sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya juz 1 hal. 440-441dari dua jalan: pertama dari Atha RA dengan kalimatnya yang berbunyi: “Berangkatlah aku, Ibnu Umar dan Ubaid Bin Umair pergi menuju Aisyah RA, lalu kami menemuinya, dan di antara kami dengannya ada hijab, dia berkata: Wahai Ubaid apa yang menghalangimu untuk menziarahiku ? Ubaid menjawab dengan mensitir ucapan seorang penyair: “Berziarahlah dengan tidak berlebihan, maka akan menambah rasa cinta dan kasih sayang”, lalu Ibnu Umar berkata: Biarkanlah kami berkata, kemudian ia bertanya kepada Aisyah : Berilah kami kabar tentang apa yang paling menarik dari yang engkau amati pada diri Rasulullah SAW, lalu Aisyah RA sambil menangis, ia berkata: segala sesuatu mengenai beliau adalah baik dan menarik, suatu malam beliau mendatangiku, hingga ketika kulit beliau menyentuh kulitku, beliau berkata: Biarkanlah aku mengabdi kepada Rabbku. Lalu Aisyah RA berkata : (Ya Rasulullah), Demi Allah sungguh aku suka engkau dekat padaku, (namun) sungguh aku lebih suka engkau mengabdi kepada Rabbmu. Kemudian beliau pergi menuju qirbah (tempat air terbuat dari kulit) mengambil air wudlu’, dengan air secukupnya. Lalu beliau melakukan Shalat, seraya meneteskan air matanya sampai membasahi jenggotnya, kemudian bersujud sambil menangis, sampai kemudian datanglah Bilal bin Abi Rabah untuk mengumandangkan azan subuh. Bilal bertanya: Wahai Rasulullah, mengapa engkau menangis padahal Allah SWT telah mengampunimu semua dosa yang telah lalu maupun yang akan datang ? Berkatalah Rasulullah SAW: Wahai Bilal, apa yang menghalangiku untuk tidak menangis, sementara tadi malam Allah SWT menurunkan ayat berikut ini: Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi, serta pergantian siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi kaum Ulil Albab … ; kemudian beliau berkata:

“Sungguh celaka bagi yang membacanya, tetapi tidak memikirkan kandungannya. Dan dari jalan lain hadist ini berbunyi sama, namun Ibnu Katsir menyambungkannya kepada Mardawaih, ‘Abdu bin Hamid, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Hibban.

Karena itulah, seorang muslim apabila merasakan kecenderungan fardiyyah ia berusaha untuk berfikir dan merenungkan atau menganalisa setiap apa yang ada disekitarnya, atau yang ada di setiap yang melingkupinya, dalam rangka maksud tertentu dan mengambil manfaatnya, juga untuk mendapat Ridlo Allah SWT, kemudian dalam rangka memelihara eksistensi dirinya dan hasrat fardiyyah.

Melipatgandakan Semangat dan kesungguhannya:

Yang demikian itu dikarenakan bahwa setiap muslim mengetahui kerugian dari bermalas-malas dan mengabaikan setiap kesempatan, akan memberikan peluang kepada musuh-musuhnya (musuh-musuh Allah) berlaku sewenang-wenang, menindas dan menguasai dirinya, sebagai analisanya, sebab kehidupan ini berdiri di atas kompetisi dan penundukan, sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair:

“Cita-cita tidak diperoleh melalui angan-angan

Namun diperolehnya melalui penaklukan”.

Karenanya bisa jadi ia terhalang memperoleh kehidupan yang kokoh dan mulia, disamping tentunya telah melanggar perintah Allah dan RasulNya.

Sungguh Allah SWT telah berfirman:

Dan mereka yang berjuang di jalan Kami, maka sungguh Kami akan memberinya petunjuk kepada jalan-jalan kami” (Al Ankabut : 69)

“Berlomba-lombalah kamu sekalian untuk mendapatkan pengampunan Rabbmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi” (Al Hadid : 21)

Begitu pula sabda nabi SAW:

“Setiap orang yang mati ditetapkan perbuatannya seperti yang telah diamalkan kecuali bagi orang-orang yang mati sebagai pengawal perbatasan (negeri Islam) di jalan Allah maka amalan-nya terus bertambah hingga hari kiamat, dan mendapat keamanan dari siksaan kubur”[1])

Oleh karena itu seorang muslim yang ingin menyempurnakan fardiyyahny, ia harus berusaha keras mengoptimalkan tenaga dan kekuatannya untuk mewujudkan apa yang dicita-citakannya, bahkan ia harus bersusah payah untuk memperoleh kebahagiaan dirinya maupun bagi yang lainnya. Hal ini telah menjadi idaman setiap orang yang mulia disetiap tempat, tentunya untuk mendapat ridla Allah, barulah dalam rangka penjagaan eksistensi dirinya atau individualistisnya.

Memberikan Konstribusi dengan Menyampaikan Pendapat yang Akurat

          Seorang muslimin yang memahami bahwa  kehidupan yang penuh dengan persoalan, yang tidak bisa diselesaikan kecuali dengan memberikan sumbang pikir cara pemecahannya. Maka jika ia tidak memperdulikan hal itu, ia akan menghampiri berbagai kesulitan hidupnya. Oleh karena itu ia harus berusaha semampunya. Kemudian didorong oleh (ruh) agamanya untuk mempertahankan eksistensi dan hasrat fardiyyahnya guna memberikan sumbang pikir yang dapat menjawab dan menyelesaikan berbagai persoalan.

Adanya Kemampuan untuk Menyelesaikan Persoalan Pelik dan Erat

          Bagi seorang muslim yang mengetahui akan adanya kesulitan dan rintangan berat yang menghadang jalan yang hendak ditempuhnya, yang bisa menggagalkan cita­citanya, ketinggian iradatnya dan kekuatan ‘azamnya (tekadnya), maka jelas ia harus mampu menjawab berbagai kesulitan tersebut. Jika tidak, maka ia akan tersisih dari kehidupan, disamping ia harus bertanggung jawab di hadapan Allah kelak di hari akhirat, sebab ia telah menjadikan dirinya tidak berjuang sungguh­sungguh, dan tidak melatih dirinya untuk bersabar.

          Allah SWT berfirman:

          “…mereka itu akan bersumpah dengan nama  Allah:  jikalah kami sanggup tentunya kami berangkat bersama­sama kamu, mereka membinasakan diri mereka sendiri” (At Taubat : 42)

          Tidak ada jalan lain, ia harus bersungguh­sungguh bekerja keras membela dan mempertahankan Dien­Nya, mempertahankan eksistensi dirinya­­ ia harus menghimpun cita­citanya, meninggalkan kemauan dan menguatkan tekadnya, sehingga ia memungkinkan untuk menjawab kesulitan­kesulitan dan taklif­taklif yang menghalangi jalan (kehidupannya). Dari sinilah, ia akan hidup terhormat dan memberikan pengaruh (positif)  dalam kehidupannya. Lebih jauh ia akan selamat kelak dari hisab dan tanggung jawabnya di akhirat.

Tegas dalam Hal Kebenaran, Menjaga Diri dari Kesombongan orang­orang yang congkak, dan Tipu Daya orang­orang yang Mempermainkan Ad Dien.

          Hal ini dikarenakan bahwa setiap muslim yang mengetahui akan bahaya “bungkam dan tidak tegas dalam kebenaran” dan menyepelekannya dalam menegakkannya setelah disampaikannya nasehat kebaikan, ia bisa tunduk tak berdaya dihadapan kebatilan dan ahli­nya, sehingga dengan semena ­ mena orang­orang sombong itu melecehkanna, begitu juga orang­orang yang mempermainkan agama. Yang pada gilirannya dapat meninggalkan kejahatan dan kerusakan di muka bumi ini.

          Tidak hanya itu, bahkan perbuatan yang ia lakukan, juga akan mengurangi kebebasan menghalangi dirinya untuk memperoleh kehidupan yang berwibawa dan mulia. Kemudian ia akan mendapatkan siksaan Allah SWT kelak di hari kiamat. Sebagaimana dinyatakan Al Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW sebagai berikut:

          Allah SWT berfirman:

          “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain tentulah bumi ini pasti telah rusak”                                    (Al Baqarah : 251)

          “Dan kalaulah Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara­biara, gereja­gereja, rumah ibadat orang Yahudi dan masjid­masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah” (Al Hajj : 40)

          Kemudian Rasulullah SAW bersabda:

          “Perumpamaan orang yang berdiam diri terhadap ajaran­ajaran Allah, dengan apa yang menimpa mereka, adalah bagaikan sekelompok orang yang sedang menaiki perahu, sebagian berada  di bagian papan bawah, dan sebagian lagi berada di bagian papan atas, maka orang­orang yang berada di bagian bawah melewati orang­orang yang di bagian atas ketika mengambil air. Karena tidak merasa enak melewati orang­orang yang berada di bagian atas itu, lalu mereka yang berada di bagian bawah  itu mengambil jalan pintas dengan melubangi perahu bagian bawahnya. Ketika itu orang­orang yang berada di atas mendatangi mereka yang berada di bawah itu sambil berkata: Kalian telah membuat kami terganggu, padahal kami sangat memerlukan air. Maka kalaulah orang­orang yang di atas menolong mengambilkan air untuk orang­orang yang berada di bawah, maka tidak saja menyelamatkan mereka sendiri namun juga menyelamatkan orang­orang yang berada di bawah. Tetapi jika tidak, berarti telah membinasakan diri mereka maupun orang­orang yang di bawah”[2])

          Selayaknya bagi seorang muslim itu senantiasa berusaha atas dorongan iman dan kepentingan pribadinya untuk tegar dalam menegakkan kebenaran, sehingga tidak menjadi bahan olok-olokan dan kesombongan bagi orang-orang yang congkak, yang tidak menyukai kebenaran.

Menjaga Diri dan Kehormatannya

Hal ini dikarenakan bahwa seorang muslim menyadari sikap acuh tak acuhnya (berpangku tangan) terhadap orang yang berlaku keterlaluan atas dirinya atau kehormatannya atau dalam hal hartanya, serta hak-hak lainnya, maka dia dijadikan dirinya sebagai bahan olok-olokan bagi orang yang menginginkannya. Kemudian ia terhalang dalam menjalankan tugas penyebaran risalah islamiyah di muka bumi, bahkan ia telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Islam itu sendiri dalammembela diri, hak-haknya dalam kehormatan lainnya, sebagaimana disabdakan oleh Nabi SAW:

"Barang siapa terbunuh membela dirinya maka ia mati sebagai syahid, dan barang siapa terbunuh dalam rangka membela keluarganya atau darahnya atau agamanya, maka ia pun mati syahid"[3])

Berlaku Ta'at Terhadap yang Bukan Ma'syiat:

Yang demikian ini adalah karena setiap muslim beriman, ia itu harus menjadikan seorang Imam atau Amir atau waliyul Amri  yang berdiri di atas kepentingan agama – sebab kehadiran Imam ini sangatlah dibutuhkan dan menjadi keharusan, ini bisa dimengerti, sebab hanya dengannya segala perkara dapat diatur secara benar, dan kekacauan pun bisa dibasmi, sehingga kehidupan manusia mudah memperoleh berbagai kemanfaatan atau mengerahkan tenaga, waktu dan hartanya secara optimal.  

Seorang muslim harus yakin bahwa keta'atan ini merupakan syarat keberadaannya, selama bukan dalam hal kemaksiatan, guna menjauhkan kekeliruan-kekeliruan yang telah menjadi tabi'at bahkan untuk menjauhkan kesewenang-wenangan atau penindasan yang dapat membunuh kejantanan dan menginjak-injak martabat dan hak-hak serta kebebasan dan kemungkinannya. Disamping tentunya ia pun layak mendapat siksa Allah SWT dan balasanNya.

Untuk itulah, maka seorang muslim harus berusaha keras untuk mempertahankan (pertama) agamanya, lalu mempertahankan dirinya, melalui jalan penegakan keta'atan yang bertanggung jawab ini selama bukan dalam rangka kemaksiatan terhadap Allah SWT.

Mau Memberi dan Menerima Nasehat yang Baik :

Hal ini adalah karena seorang muslim menyadari bahwa kesalahan itu merupakan bagian dari tabe'at kemanusiaannya, dan bahwa menghilangkan kesalahan ini hanya bisa melalui pemberian nasehat kepada orang lain, dan bersedia menerima nasehat dari orang lain. Jika hal itu diabaikan, maka kesalahan pun bertumpuk-tumpuk, dan ini akan mendatangkan malapetaka dan kebinasaan.

Oleh sebab itu seorang muslim haruslah—mencari ridla Allah SWT, kemudian melindungi dirinya, dalam memberikan nasehat yang disertai dengan aturan dan adab-adabnya, dan bahkan ia pun mau bersedia menerima nasehat dari orang lain jika ia mengalami kesalahan, guna menaungi jiwa menjadi bersih putih dan sekaligus untuk menjadikan hidup ini baik dan bermakna.

Introspeksi Diri :

Hal ini dikarenakan seorang muslim, tidak bisa menutupi dirinya dari kesalahan, yang merupakan ciri kemanusiaannya. Kemudian ia itu tidak jatuh aib apabila melakukan kesalahan. Namun yang termasuk aib (cela) itu adalah apabila ia melakukan terus menerus. Ia pun menyadari sepenuhnya bahwa introspeksi diri itu merupakan satu-satunya jalan yang paling tepat untuk mengetahui aib-aib dirinya dan juga cacatnya lalu ia mengobatinya dan membersihkannya dari kesalahan tersebut, sebagaimana firman Allah SWT: 

Wahai orang ­orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri melihat terhadap apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)” (Al Hasyr : 18)

Oleh karena itu seorang muslim harus berusaha keras mencari ridha Allah, (lalu) mempertahankan meng­introspeksi dirinya, agar ia tidak menumpuk­numpuk kesalahan, sebab yang demikian itu dapat menimbulkan kegelisahan jiwa (intern). Dan juga akan merusak kehidupannya.

B. PENGARUH ­PENGARUH POSITIF JAMA’IYYAH

          Demikian halnya jama’iyyah jika ia tumbuh di dalam jiwa secara proporsional sesuai dengan tuntutan, tidak berlebihan dan tidak berkurang, maka ia akan mempunyai pengaruh positif bagi eksistensi seorang muslim dan juga dalam realita hidupnya. Hal ini bisa nampak pada aspek berikut ini:

Mengetahui Akan Dirinya

          Maksudnya (bahwa kecenderungan jama’iyyah) itu dapat membantu seorang muslim mengungkapkan kepribadiannya dan apa­apa yang ada pada dirinya, baik menyangkut kesempurnaan, atau kuat­lemahnya. Walaupun ia pintar (atau) cerdas, maka kecerdasannya itu tidak akan mampu (atau sulit) mengenali dirinya sendiri secara detail dan menyeluruh. Ia hanya bisa mengenali dirinya itu melalui bantuan orang lain, dan melalui jalan inilah bisa mengungkap dirinya yang sementara ia sendiri tidak menyadari (tidak mampu) mengungkap kepribadiannya sendiri, baik menyangkut apakah ia itu suka mementingkan orang lain, egois, atau apakah ia suka tolong menolong. Ini hanya akan terungkap jika ia hidup di tengah­tengah jama’ah (masyarakat) dimana terjadi pergaulan sesama anggota masyarakat, dan saling memenuhi kebutuhan masing­masing, kemudian barulah ia melihat dirinya apakah ia itu berhati keras atau jumud? Sehingga ia menjadi rakus dan kikir!

Menjadi tak peduli dan egois, ataukan dengan cara yang lembut dan penuh santun? Sehingga ia suka berderma dan memberi! Sehingga ia mementingkan orang lain dan tolong menolong.

Demikian pula ia tak mungkin mengenali kepribadiannya, apakah ia penyabar dan tidak bersifat tergesa­gesa, atau mudah marah dan tergesa­gesa, kecuali jika ia berada di dalam satu jama’ah (masyarakat). Mungkin saja ia bertemu dengan klas masyarakat yang berada di bawah klasnya, apakah ia mesti menghadapi kekasaran lisan itu harus dengan kelembutan? Atau kekerasan hati mereka itu harus dihadapi dengan kasih sayang?  Dan disinilah ia bisa menjadi tabah dan tidak tergesa­gesa, atau menghadapinya dengan cara yang sama atau bahkan lebih keras lagi? Disinilah terkandung kita berlaku bodoh, mudah marah dan tergesa­gesa dalam mengambil tindakan.

Manusia tidak bisa mengendali dirinya, apakah ia itu pemberani atau penakut atau licik? Itu semua terjawab jika ia berada di tengah­tengah masyarakat (jama’ah) nya, lalu ia melihat di antara mereka yang berbuat salah. Kemudian ia memperhatikan dirinya, apakah ia rela mengatakan kepada yang melakukan kesalahan itu, bahwa kebenaran bukanlah yang kau katakana? Dan kebenaran bukanlah seperti apa yang kau lihat? Kebaikan itu bukan pula seperti yang kau lakukan, disinilah ia akan menampakkan sikap pemberani, atau justru ia berlaku pengecut untuk mengatakan seperti itu sehingga ia diam seribu bahasa.

Dan seperti itu manusia tidak mengetahui apa yang ada pada dirinya tentang kepribadiannya, apakah ia itu jujur, dusta, amanat atau hidup teratur, berantakan dan lain­lainnya, kecuali ia hidup di tengah­tengah jama’ah (masyarakat) menceritakan individu­individu yang ada di dalamnya atau mempercayakan harta, darah dan kehormatan mereka atau memberikan kepada mereka sebuah janji, atau memberi janji dengan suatu jaminan tertentu, kemudian merenungkan … apakah ia telah berkata pada mereka dengan sesuatu yang sesuai dengan kenyataan dan fakta? Maka ia menjadi jujur. Dan jika ia tidak sesuai maka ia termasuk orang pembohong, ataukah ia itu memelihara darah, harta dan kehormatan mereka? Ia akan termasuk orang yang bisa dipercaya ataukah justru berlaku menyimpang dan tidak memelihara darah mereka sehingga ia menjadi penghianat? Dan apakah ia itu bisa memelihara janji dan memenuhinya, sehingga ia menjadi orang yang teliti dan penuh perhatian? Atau ia menyepelekan dan berlaku serong, sehingga ia menjadi orang yang hilang kepeduliannya?

Demikianlah peranan sebuah jama’ah atau masyarakat bagi seorang muslim, yaitu sebagai medan uji­coba guna mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya apakah ia memiliki sifat sempurna, kurang, kuat ataukah lemah. Ini adalah perkara yang mudah untuk ia kerjakan, jika ia benar­benar sungguh­sungguh dan senang melakukannya karena terdorong oleh semangat keagamaan (iman) yang ada pada dirinya, sehingga ia melakukannya sesuai dengan pertumbuhan dan memperhatikan aspek­aspek kekuatan, serta meluruskan dan menyempurnakan aspek­aspek kelemahannya.

Nabi SAW telah banyak memberikan perhatian kepada peranan masyarakat, yaitu ketika beliau bersabda:

Orang mukmin adalah cermin bagi saudaranya, dan orang mukmin itu saudara orang mukmin lainnya, ia harus memelihara apa yang dimilikinya dan mengawasinya dari belakang”[4])

Sabda beliau tersebut seolah mengingatkan kepada kita bahwa beliau berkata: cara terbaik bagi seorang mukmin/muslimuntuk mengenali dirinya tentang aibnya, faktor­faktor kekurangannya dan kelemahannya adalah tak lain dengan berjama’ah, karena itu ia bagaikan “tempat bercermin”.

Orang yang ingin mengetahui aibnya dan mengetahui kelemahan­kelemahannya, ia harus berusaha sungguh­sungguh memperbaiki dan membersihkannya (mendidiknya), seperti orang yang berdiri dihadapan cermin ketika melihat penampilannya.

Meluruskan Hal­Hal yang Menyimpang

          Maksudnya adalah perbaikan, pembersihan, dan pelurusan terhadap apa­apa yang mungkin ada pada dirinya, apakah berupa kekurangan, kelemahan ataukah penyelewengan. Karena masyarakat bisa banyak membantu melihat aib­aibnya seorang muslim, lalu ia melihat dirinya jika ia tidak melakukan hal itu akan mendatangkat peranan yang lain dari masyarakat itu yang sesuai untuk dia. Mungkin saja pada suatu ketika masyarakat itu bisa memberikan gambaran yang benar terhadapnya, dengan contoh­contoh keteladanan. Kadangkala menggunakan nasehat yang disertai dengan persyaratan dan adab­adabnya. Kadangkala juga dengan ejekan dan cemoohan. Bahkan dengan pengisolasian dan pemutusan hubungan untuk waktu tertentu.

          Demikianlah jama’ah menggunakan berbagai metoda dan media dalam mengembalikan kepribadian seorang muslim sebagaimana yang dituntut.

          Peranan jama’ah (masyarakat) seperti ini yang mendapat perhatian Nabi saw, seperti terlihat dari lanjutan hadits di atas:

          “ Seorang mukmin adalah cermin bagi saudaranya, jika mendapatkan dia bersalah, maka segeralah meluruskan. Atau tentang ucapan beliau: Agama adalah nasehat, serentak kita menjawab: bagi siapa wahai Rasulullah ? Beliau berkata: Bagi Allah, kitabNya, RasulNya, para Imam dan seluruh ummat Islam ini”[5])

          Terdapat pula pada sebuah atsar sahabat yang berbunyi:

          “Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan padanya, maka Allah akan memberikan hadiah padanya teman yang baik, dikala lupa dia diperingatkannya”[6]

Memfungsikan Potensi yang Dimiliki :

          Penyaluran potensi dan pemanfaatan kecenderungan­kecenderungan dalam menjalakan keseimbangan dan kesempurnaan, dengan mengisi waktu­waktu senggang yang sering digunakan setan­setan ­­ manusia atau jin ­­ untuk menyelewengkan dan menyesatkannya. Hal ini dikarenakan bahwa manusia tersusun dari jasad, roh dan akal. Dimana roh dibekali dengan seperangkat kecenderungan atau instink yang mirip jaringan­jaringan yang halus dan saling berpasangan. Setiap dua kecenderungan itu berdampingan di dalam jiwa, dan keduanya pada suatu saat bisa berlawanan, seperti halnya: rasa takut dan berharap, cinta dan benci, kadang menatap keadaan dan hayal, kekuatan luar dan kekuatan batin, percaya pada hal­hal yang bisa dicerna, disiplin dan suka rela, fardiyyah dan jama’iyyah negatif dan positif , dan begitu seterusnya.

          Setiap pasangan kecenderungan ­­ seperti anda perhatikan ­­, yaitu keseimbangan dan saling berhadapan itu mengemban tugas dalam mengikat eksistensi manusia dalam kehidupannya. Dia seakan­akan seperti pasak­pasak yang berserakan yang mengikat sebuah struktur secara menyeluruh, mengikat dari setiap arah, namun pada suatu ketika bisa memperluas ruangnya, memperlonggar kehidupannya, tidak hanya terbatas pada kondisi tertentu, serta tidak pula pada level tertentu, sekalipun mewujudkan kesatuan dan saling melengkapi dalam kehidupan, seorang muslim wajib memberikan hak­hak pada kecenderungan itu, tanpa melebihkannya atau menguranginya.

          Jama’ah adalah satu­satunya tempat penyaluran potensi seorang muslim, sehingga menjadikan seluruh kecenderungan itu bekerja secara proporsional, seimbang. Semua itu agar bisa membentuk kepribadian yang serasi, seimbang dan saling melengkapi tanpa ada penyimpangan dan pembengkokan, dan tatap terpelihara dari tipu daya setan serta penyesatannya. Dan inilah barangkali yang diisyaratkan oleh Nabi SAW dalam sabdanya:

          “Hendaklah kalian itu berjama’ah, sebab setan itu bersama satu orang, dan dia dari dua orang adalah lebih jauh, dan barangsiapa menghendaki surga yang terbaik maka hendaknya dia itu iltizam terhadap jama’ah”[7])

Optimis dan Pantang Putus Asa :

          Maksudnya adalah memberikan kepercayaan diri dan optimis… yang demikian ini sebab seorang muslim yang bekerja secara sendirian untuk kepentingan Dinullah, dia itu selalu diliputi was­was pada dirinya (seakan dia bertanya­tanya): apa yang dapat aku lakukan dengan kesendirian ini, sementara musuh­musuh Allah ­­intern ummat maupun ekstern ummat­­ banyak jumlahnya, dan mereka memiliki strategi dan cara­cara yang keji serta membahayakan, disamping kini mereka itu memegang kendali dunia Islam? Senantiasa ancaman yang membahayakan ini menghantuinya, sementara alat untuk mengusirnyapun tak ada, sehingga menjalarlah rasa keputus asaan ke dalam seluruh jiwanya, lalu diapun meninggalkan aktifitas untuk kepentingan Dinullah.

          Adapun jika dia bekerja untuk kepentingan Dinullah melalui jama’ah, lalu datanglah perasaan seperti tadi, maka dia akan mampu mengusirnya sebab dia tidaklah sendirian di medan ini. Namun banyak orang lain yang berjalan di medan yang sama, diman mereka memiliki berbagai strategi, cara­cara dan memiliki seperangkat alat yang bisa diandalkan untuk menghadapi musuh­musuh mereka dan menghancurkan strategi dan tipu daya mereka.

          Demikianlah jama’ah telah memberikan ketetapan dan kepercayaan serta harapan bagi seorang muslim, sebab dia yakin bahwa pertolongan Allah akan datang, begitulah kepemimpinan dan kemenangan ada pada Dinullah SWT.

Memperbaharui Semangat dan Cita­Cita:

          Maksudnya memperbaharui semangatnya dengan hal­hal memperkuat cita­citanya, membangkitkan kemauan, dan melipatgandakan daya yang dimilikinya. Hal ini disebabkan oleh karena seorang muslim itu ketika menemui rasa malas dan keputus asaan, disebabkan oleh beratnya beban yang ditanggung, jauhnya jalan yang harus ditempuh, atau beratnya pekerjaan, maka manakala dia bertemu dengan kawan­kawannya yang tampak pada wajah mereka itu cahaya keta’atan, melihat begitu khusyu’­nya mereka, dan begitu semangatnya menghadap Allah, maka hilanglah segala kemalasan dan keputus asaannya, dan timbullah rasa semangat baru, segar dan giat serta melipatgandakan daya yang dimilikinya yang seakan dia tidak bekerja untuk kepentingan Dinullah sebelumnya.

          Hal ini Nabi SAW telah mengisyaratkan peranan seperti ini ketika beliau bersabda:

          “Maukah aku berikan berita pada kalian tentang sebaik­baik manusia? mereka menjawab: Ya; bersedia ya Rasulullah. Kemudian beliau berkata: Yaitu orang yang bila dilihat dapat mengingatkanmu kepada Allah Azza wa Jalla”,[8])

Memperoleh Pengalaman­Pengalaman dan Percobaan­Percobaan:

          Maksudnya adalah memeberikan kepada seorang muslim, dengan berbagai pengalaman atau percobaan yang dapat membantunya, bilamana dia sedang menghadapi hambatan­hambatan atau kesulitan­kesulitan diperjalanannya… demikian itu disebabkan oleh jalan dia yang harus ditempuh dalam menegakkan Dinullah penuh dengan berbagai rintangan dan penuh bahaya, seorang muslim yang baik dan berpikiran luas adalah yang memiliki berbagai pengalaman dan percobaan. Dengan bekal itu semua, dia bisa mampu mengatasi berbagai rintangan dan selamat dari bahaya­bahaya.

          Tidak ada medan yang lebih leluasa dan baik dalam memperoleh pengalaman­pengalaman dan percobaan­percobaan itu kecuali jama’ah.  Sebab dalam jama’ah (masyarakat) itulah seorang muslim bisa mengenali tindakan dan tingkah laku setiap individu yang hidup didalamnya, daripada dia hidup sendirian.

Tolong Menolong dalam Rangka Memperteguh Manhaj Allah di Muka Bumi

          Maksudnya adalah tolong menolong dalam hal pelaksanaan kewajiban Allah SWT, seperti halnya kewajiban seorang muslim terhadap Allah adalah: Menyeru kepada Agama ini, berjihad pada jalanNya sehingga kokoh berdiri di muka bumi, sehingga berkibar tinggi benderanya di alam raya ini. Dan seorang muslim tidak akan mampu melakukan kewajiban tersebut secara sendirian, namun haruslah dia memerlukan bantuan kawan­kawan yang memperkuat ikat pinggangnya dan membantu dalam urusannya. Bukti kecil yang bisa menjelaskan hal ini, misalnya: sepotong roti, sekalipun kecil, ia baru sampai kepada seseorang setelah melalui sekian banyak orang yang terlibat di dalam proses produksi dan peredarannya, dari mulai mempersiapkan, memproduksi hingga menghidangkannya.

          Bagi yang masih ragu, silahkan bertanya pada dirinya: siapakah yang membajak tanah? siapakah yang menaburkan biji­bijinya? siapa yang menyiraminya dengan air? Siapa pula yang menyiangi rumput­rumput yang membahayakan pertumbuhannya? Dan siapa yang memetiknya? Siapakah yang membersihkannya? Siapa yang memindahkan ke tempat penggilingan? Lalu siapa yang membuatnya menjadi roti? Siapa yang membuat adonan? Siapa pula yang menyajikannnya kepada kita? Siapakah … dan siapakah …? Ini semua masih diseputar peranan manusia, belum lagi peranan alam disekitarnya, seperti: matahari, udara, air, tanah dan unsur­unsur lainnya, dan di atas semua itu adalah Allah ‘Azza wa jalla, sebagaimana firmannya:

          “Maka terangkanlah yang kamu tanam kepadaKu, kamukah yang menumbuhkannya atau Kamikah yang menumbuhkannya?” (Al Waqi’ah : 63­64)

          Atas semua itu, maka siapa yang mendakwakan dirinya mampu melakukan itu secara sendirian ­­­ membuat roti­­­ kecil lagi sederhana maka dia akan mampus sebelum roti itu terwujud.

          Jika demikian halnya, terhadap persoalan sepele­­ seperti membuat roti saja­­ seseorang itu tak mampu melakukannya sendirian, apalagi persoalan yang menyangkut had (hokum dan ketentuan) Allah ­­ perkara da’wah dan jihad pada jalanNya ­­ dalam rangka melindungi Manhaj Allah dan mengokohkannya di atas bumi. Oleh karena itu menjadi perhatian Allah SWT akan hal ini, ketika dia berfirman:

Hendaklah ada di antara kamu sekalian umat yang menyeru pada kebaikan, menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah termasuk orang-orang beruntung” (Ali Imran: 104)

“Dan perangilah mereka supaya jangan ada fitnah, dan supaya agama itu semata-mata milik Allah”. (Al Anfal: 39)

“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu pada jalan Allah…”   (At Taubat : 41)

“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman, dan menghilangkan panas hati orang-orang yang beriman, dan Allah menerima taubat orang yang dikehendaki” (At Taubah: 14-15)

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan sebenar-benarnya, Dia telah memilih kamu…” (Al Hajj: 78)

Menjaga Kewibawaan dan Kemuliaan

Maksudnya adalah menjaga kewibawaan, kehormataan dan kemuliaannya, sehingga musuh-musuh tidak akan berani mengganggu atau berlaku sewenang-wenang terhadap darah, harta dan kehormatan, karena sesungguhnya Jama’ah kaum muslimin baginya merupakan pembela dan penolong. Sekalipun musuh-musuh itu melakukan gangguan dan menyakitinya, maka tentu saudara-saudaranya seiman (satu jama’ah) akan merapatkan barisan dan melawan kezhaliman mereka. Hal ini pernah terjadi ketika orang Yahudi bani Qainuqa’ menginjak-injak kehormatan seorang muslimah dan pengusiran Nabi SAW terhadap mereka, atau seperti terjadi ketika seorang Romawi menampar seorang muslim di ‘Amuriyah, lalu dilaporkan kepada khalifah Al Mu’tashim Al ‘Abbasi, maka Khalifah mempersiapkan pasukan dalam jumlah besar untuk memberi pelajaran bagi perbuatan mereka itu.

Inilah posisi seorang muslim manakala ia berada di tengah-tengah jama’ah (yang kuat). Namun jika ia sendirian maka tentu musuh-musuhnya akan mengincarnya dengan segala cara dan akan membuat tipu daya atau makar dengan segala kekuatan dan semua media yang mungkin.

Dan inilah sebenarnya yang menjadi missi utama musuh-musuh Islam untuk selalu menginginkan kaum muslimin itu dalam kondisi terpecah-pecah. Dan mereka yakin betul bahwa satu-satunya cara untuk menguasai kaum muslimin, menghinakannya, merampas hartanya dan hasil buminya adalah dengan menjadikan kaum muslimin itu berselisih dan berpecah-pecah.

Di antara semboyan yang selalu mereka slogankan adalah:

“Pecah belah-lah mereka – kaum muslimin – tentu anda akan dapat menguasainya”.

Berdasarkan faktor yang hakiki ini kita dapat memahami tujuan dari perintah Allah SWT untuk tetap berjama’ah dan menjalin persatuan ummat serta menjauhi perpecahan dan perselisihan yang membahayakan.

Allah SWT berfirman: 

“Dan berpeganglah kamu semua pada tali Allah (Dinullah) dan janganlah kamu bercerai berai” (Ali Imran: 103)

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang kepada mereka keterangan yang jelas, mereka itulah orang­orang  yang mendapat siksaan yang berat” (Ali Imran: 105)

“Dan taatlah kamu kepada Allah dan Rasul­Nya janganlah kamu berbantah­bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu” (Al Anfal: 46)

Membuat Pintu Pahala dan Ganjaran

          Maksudnya adalah membuka berbagai peluang untuk memperoleh ganjaran dan pahala bagi seorang muslim jika ia berada di tengah­tengah jama’ah. Sebab di dalamnya ia akan mendapat berbagai kesempatan dan lapangan yang bisa diperoleh tambahan pahala dan ganjaran. Sehingga ia bisa mengucapkan salam sesama mukmin, menasehati mereka, memenuhi seruan mereka, mendo’akan bagi yang bersin, mengunjungi yang sakit, melawat yang mati, menanyakan yang tidak hadir, mengantarkan yang bepergian, menjemput yang datang, memenuhi hutang piutang yang membutuhkan, melapangkan kesulitan mereka, memberi hadiah kepada mereka, menerima hadiah dari mereka, membimbing mereka, mengajari mereka yang jahil, dan belajar dari mereka yang pintar… dst. Inilah segi­segi kesempatan­kesempatan yang bisa mendatangkan pahala dan ganjaran ­­ jika mereka berada dalam jama’ah kaum muslimin­­ Namun jika seorang muslim itu sendirian (tanpa mau berjama’ah), maka mungkin ia bisa melakukan perbuatan­perbuatan seperti itu? kesempatan­kesempatan itu tertutup dan terkunci rapat­rapat.

Layak mendapat Pertolongan Allah SWT

          Maksudnya bahwa dengan berjama’ah itu, layak baginya untuk memperoleh pertolongan dan pembelaan Allah SWT. Hal ini dikarenakan bahwa kaum muslimin sekalipun mereka itu banyak jumlahnya, sekalipun kuat persiapan mereka, tetaplah bahwa mereka itu membutuhkan pertolongan Allah, Dia­lah yang menciptakan segala sesuatu dan segala urusan ada di tangan­Nya, terlebih lagi disaat kaum jahiliyah telah mengendalikan kuat­kuat dalam segala sisi kehidupan dan di segala tempat. Dimana dunia islam pun berada di bawah kendali mereka, dan tiada lagi tempat yang bisa membuat kita bernapas dengan lega, sunatullah telah berjalan… dan pertolongan Allah itu tidak akan turun kecuali melalui pengorbanan dan rela memikul amanat taklif. Sedangkan bentuk pengorbanan dan beaban yang mesti pikul adalah: orang muslim hendaknya berjuang menghadapi jiwa dan hawa nafsunya … serta selalu berada dalam satu jama’ah, sebab dengan jama’ah itulah seorang muslim dapat menunaikan perintahNya dan menjauhi laranganNya.

          Mafhum seperti ini telah menjadi perhatian Nabi SAW ketika bersabda:

                                      “Tangan Allah bersama jama’ah”[9])



[1])   HR turmudzi di dalam kitab sunannya, kitab Fadlail Jihad, bab keutamaan orang yang mati dalam mengawal pertahanan perbatasan (murabith) pada jalan Allah, 4/165 hadist no. 1621, hadist Fudlolah bin ‘Ubaid, hasan Shohih.
[2]) HR Bukhari, bab berbagai kesulitan, kitab Asy Syahadah
[3])    HR Abu Daud dalam kitabnya,  As Sunan,  pada kitab As Sunah, bab: orang yang mati dibunuh karena mencuri , 4/246 No. 41772; Imam Turmudzi di dalam As Sunan, kitab Ad Diyat, bab: tentang orang yang  terbunuh karena mempertahankan hartanya adalah mati syahid, 4/30, No. 1421,  keduanya dari hadits Sa'id bin Zaid Marfu', lapadz oleh Abu Daud. Dan Imam Turmudzi menyatakan diakhir riwayatny,  hasan shahih 
[4] ) HR Abu Daud, di dalam As Sunan, Kitab Al Adab, bab tentang nasehat, 4/280 No. 4918dari hadits Abu Hurairah, Marfu’.

[5]) HR Imam Daud dalam sunan­nya, kitab Al Adab. bab nasehatdan pengawasan, No. 280, dari Abu Hurairah dengan sanad marfu’

[6])  Atsar seperti ini belum kami temukan, namun Abu Daud menyebutkan dalam Sunannya, pada kitab Al Imarah, bab menjadikan seorang menteri dari haditsnya Aisyah yang marfu’ dengan bunyi kalimat: jika Allah menghendaki seorang Amir yang baik maka dijadikan baginya seorang menteri yang berlaku benar, mengingatkannya bila lupa dan membantunya dikala tidak lupa. Alhadits dan diriwayatkan pula oleh Imam An Nasa’i dalam sunan­nya, pada kitab al­Basi’ah, bab menterinya seorang imam, 7/159 dari hadistnya Al Qasim bin Muhammad dari bibinya, Aisyah RA, dengan sanad marfu’ yang berbunyi: “Barang siapa di antara kamu sekalian mengemban tugas Allah, baginya kebaikan, maka Allah menjadikan baginya pembantu yang shalih, jika ia lupa diingatkannya dan apabila dalam keadaan ingat dibantunya”, tapi dalam sanad hadits ini terdapat Baqiyyah yang mana keadaannya telah dikenal.

[7] ) HR Turmudzi dalam sunannya: 9/10, pada catatan pinggir kitab ‘ Aaridlah al­Ahwadzi, dari hadits Ibnu Umar RA. Marfu’ di akhir riwayatnya ia berkata: hadist ini adalah hasan shohih, ghorib dari jalur ini).

[8] ) HR Ibnu Majah dalam sunannya, kitab Az Zuhud, bab orang yang tak perlu dihargai, 2/1379 No. 4119, dari hadits Suwaid bin Sa’id RA berkata: menceritakan padaku Yahya  bin Salim dari Abi Khutsaim dari Syahr bin Khusyab dari Asma bin Yazid RA bahwasanya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: Maukah aku ceritakan kepadamu sekalian tentang orang-orang yang paling baik di antara kamu? Mereka menjawab: Ya.. wahai Rasulullah, beliau berkata: sebaik orang-orang dari kamu adalah orang yang bila dilihat bisa mengingatkan kepada Allah Azza wa Jalla, dan dikeluarkan oleh Al Bushori dari kitabnya: Misbah az zujajah fi zawaid Ibnu Majah: 4/125, kemudian berkata : Sanad hadits ini baik, dan syahr serta suwaid keduanya diperselisihkan, sedang rawi-rawi yang lainnya semua dapat dipercaya, diriwayatkan oleh abu bakar abi syaibah dalam musnadnya, dan juga ‘Abd bin hamid dalam musnadnya, dan Abu Ya’la al –Mushily dalam musnadnya, dari jalur Syahr bin Khausyab).
[9] ) HR Turmudzi di dalam kitabnya As sunan, 4/466,  No. 2166 dari hadits Ibnu Abbas RA, Mafru’ juga dari Imam An Nasa’i di dalam As Sunan-nya kitab tahrimuddam, bab Qatlu man faaroqal  jama’ah, 7/92-93    


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------