BAB EMPAT : MANHAJ ISLAM DALAM MENYELARASKAN ANTARA FARDIYAH DAN JAM`IYAH.

Untuk mengakhiri pembahasan yang telah lewat, yang pada intinya bahwa islam memandang masing-masing kecendrungan: fardiyyah dan jama’iyyah keduanya merupakan fitrah dan prinsipal pada diri manusia. Keduanya harus tumbuh secara baik, tidak boleh diterlantarkannya atau pun dihalangi pertumbuhannya. Oleh sebab itu wajib atas manusia menempatkan dirinya pada pangkuan Jama’ah(supaya individualistik bisa tumbuh sejalan dengan sosialistik), tidak boleh mengucilkan diri atau menghindar darinya walau sementara, sekalipun di dalamnya ada berbagai  kendala, gangguan atau isu-isu, dan sebagaimana halnya dikatakan oleh Ali bin Abi Tholib RA:

          “Kekeruhan di dalam jama’ah lebih baik daripada kejernihan di dalam firqah[1]

                    Dengan demikian islam telah memenuhi kebutuhan fithrah manusia, yang tidak lain adanya kecondongan untuk hidup di tengah-tengah masyarakat dan hidup bersamanya, dan mencari ma’isyah bersama mereka, sekalipun dia itu masih tetap menginginkan kecendrungan individualistiknya, atau dalam rangka menjaga dan memelihara unsur individualistiknya, sekalipun di dalamnya ada sebab-sebab dan alasan-alsan yang dapat membiarkan tumbuh – namun baginya harus mempersatukan(menselaraskan) dan menjaga keseimbangan antara kecendrungan individualistiknya dan sosialistiknya.

          Satu-satunya Manhaj yang bisa menumbuhkembangkan kedua kecendrungan itu secara ringkasnya adalah:

PEMAHAMAN  DAN KESADARAN

                    Yang dimaksud adalah pemahaman seseorang (individu) terhadap pentingnya jama’ah di dalam kehidupannya, dan perlunya mengikuti aturan-aturan kerja di dalamnyamenjaga tingkah laku dirinya selama berada di dalamnya demi memelihara eksistensi dan keberhasilan jama’ah itu sendiri. Ini dari satu segi.

                    Pemahaman individu yang demikian ini dapat menjadikan dirinya akan sungguh-sungguh mengupayakan untuk memetapi dan komitmen terhadap jama’ahnya, dan tidak ingin melepaskan darinya, sekalipun harus mengalami berbagai gangguan dan rintangan. Dan sekaligus menjadikan dirinya disiplin terhadap aturan-aturan hidup berjama’ah, serta memberikan kesungguhannya secara optimal. Begitu pun potensi dan tenagana, dalam rangka menjaga keberlangsungan dan kelestarian serta kesinambungan jama’ah, dan dalam rangka mewujudkan keberhasilannya.

                    Dari segi lainnya, dia itu memahami jama’ah, kedudukan dan posisi individu di dalamnya, dan juga hak-haknya atas jama’ah, dan dampak yang memperkuat dirinya dalam memperoleh hak-haknya itu.

                    Maka sesungguhnya pemahaman seperti ini, akan eksistensi Jama’ah bisa menjaga individu tersebut, tidak mentelantarkan kecuali jika memeang terbukti bahwa keberadaan dirinya itu sebagai penyebab yang dapat menggagalkan dan memperulit kepentingan dan risalah cita-cita jama’ah (Tanggung jawab masyarakata dan individu  muslim,oleh Dr. Sayyid Ustman,hal. 46-47).

                    Terhadap segi-segi kelebihan manhaj ini dapat dibuktikan oleh fakta yang terjadi pada dirinya, sebab kenyataan telah membuktikan bahwa ketidak pahaman terhadap suatu perkara biasanya terbalik menjadi membenci dan memusuhinya,

sebagaimana firman Alloh SWT:

“Bahkan mereka mndustakan apa yang yang mereka sendiri tidak mengetahui, padahal belum datang penjelasannya ”(Yunus :39)

                    Hal ini telah terbukti akan kehebatan Tarbiyah Alloh kepada rasul-Nya, dan terhadap jama’ah kaum mukminin generasi pertama.

                    Sebab Tarbiyyah ini dimulai dan berkisar di seputarr pengenalan manusia akan dirinya, pengenalan terhadap Rabb-nya, terhadap alam yang mengelilinginya, menyangkut kaifiyyah mu’amalah (tata pergaulan) bersama saudara-saudaranya seiman, dan sebaliknya bagaimana saudaranya memperlakukan dirinya. Terlebih lagi tata pergaulannya terhadap Rabb-nya, bersama alam sekelilingnya, sampai-sampai jika hal ini telah sampai ke dalam lubuk hati dan beraktifitas dengannya, maka jadilah bagian tak terpisah darinya, dimana keberadaan jama’ah kaum muslimin yangg telah disifati Alloh SWT berdasarkan firman-Nya:

“Mereka itu sangat keras/tegar terhadap orang-orang kafir namun lemah lembut/kasih sayang sesama mukmin ”(Al Fath :29)

“Dan generasi tedahulu (ummat ini) dari kalangan Muhajirin dan Anshor, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Alloh meridloi mereka, dan mereka ridlo atasNya, disiapkan bagi mereka surga-surga yang menglair di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-selamanya. Demikian itu adalah suatu kemenangan yaang besar”(At Taubah:100)

                    Kenyataanya seperti ini tidak pernah dialami oleh sejarah manusia manapun dan kapanpun.

Memberikan Kontribusi yang Konkrit:

                    Hal ini terjadi dengan cara setiap individu berperan aktif didalam jama’ah sesuai dengan tugasnya, menunaikan kewajiban yang dipukulkan padanya selama dalam hal kebaikan. Memberikan nasehat dengan cara yang pantas dan layak, menggunakan nalar-nya sesuai dengan kehendak jama’ah akan kebaikan dan kemaslahatan”(Tanggung jawab masyarakat dan pribadi muslim: Dr. Sayyid Utsman, hal 49-50, edisi revisi).

Perhatian/ Perlindungan Jama’ah bagi Individu    

                    Hal ini terjadi manakala jama’ah itu menegakkan kewajibannya atas pribadi, dalam hal ini memberikan perlindungan yang konkrit terhadapa hak-haknya, menakannya ketika tidak ada, memberikan jalan keluar manakala ia mengalami kesulitan, tantangan-tantangan, memenfaatkan potensi keahliannya secara proporsional, baik medannya maupun bidangnya, bahkan memberikan jawaban yang pantas atas pertanyaan dan kritik yang diajukannya, serta memperhatikan secara cermat usulan-usulannya dengan penuh penghargaan dan tanggapan.

Senantiasa Mendekatkan Diri dengan Alloh:

                    Ini bisa melalui jalan dimana setiap individu senantiasa menjaga hal-hal yang menjadikan dirinya “Rabbani” yang berada di tengah-tengah jama’ah; Sebab sifat-sifat Rabbani tidak bisa tumbuh pad diri seseorang kecuali setelah sucina hati dan kebersihannya, sehingga menjadikan masing-masing individu didalam jama’ah itu timbulnya rasa saling mencintai, kasih kasayang, dan saling terikat.

                             Sebab hati kita ada di genggaman tangan Alloh, berubah-ubah menurut kehendak-Nya, sbeagiamana firmanNya:

“Dan yyang mempersatukan hati mereka(orang-orang mukmin)Sekalipun kamu belanjakkan (kekayaan) yang ada di bumi ini, sudah pasti kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Alloh lah yang telah mempersatukannya”(Al Anfal:63)

“Dan ingatlah akan nikmat Alloh kepadamu ketika kamu dahulu(masa jahiliyyah) bermusuhan, lalu Alloh menjinakkan hati kamu, sehingga jadilah kamu karena nikmat Allohh orang-orang yang bersaudara”       (Ali Imran: 103)

          Dan Rasulullloh saw juga bersabda:

“Sesunggguhnya jika Alloh mencintai seorang hambaNya, maka Dia memanggil jibril as seraya berkata: Sesunguhnya Aku mencintai Fulan maka dari itu cintailah dia, ya jibril, Lalu jibrilpun mencintai hamba tersebut. Kemudian dia berseru kepada penduduk langit, katanya:”Sesungguhnya Alloh Ta’ala mencintai si Fulan.  Maka cintai pulalah dia oleh kalian semua. Lalu penduduk langitpun mencintai hamba tersebut. Kemudian cinta dan kasih pun sampai kepada penduduk bumi. Dan apabila Alloh membenci seorang hamba, maka di panggilNya  jibril as seraya berfirman: Ya, Jibril, Aku benci kepada si Fulan,maka benci pulalah kepadanya. Kemudian dia berseru kepada penduduk langit, katanya : Sesuungguhnya Alloh Ta’ala membenci si Fulan, maka membenci pulalah kamu semua kepadanya. Kata nabi SAW : Lalu penduduk langit membenci orang tersebut, sehingga penduduk bumi membencinya pula”[2]   

                             Sifat-sifat Rabbani ini tidak akan terwujud kecuali dengan menjauhi semua bentuk kemaksiatan atau kejahatan, baik yang kecil maupun yang besar, lalu menjaga semuanya itu. Ini dimulai dari menjaga kewajiban-kewajiban sampai kepada menunaikan hal-hal yang sunnah sifatnya secara sungguh-sungguh, yaitu dengan tetap mengikuti sunnah Rasululloh SAW dalam segala hal. Tentang ini Alloh berfirman:

“Katakanlah, jika kamu mencintai Alloh maka ikutillah aku, sesungguhnya Alloh akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, dan Alloh itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ”(Ali Imran: 31)

Rasululloh saw bersabda: (dalam hadits Qudsi) Alloh berfirman:

“Barangsiapa memusuhi pendukung(dien)Ku,maka sesungguhnya telah mengizinkan perang kepadanya, tidaklah hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari ibadah-ibadah fardlu (mandub) sampai Aku mencintai dia maka bila Aku mencintainya, maka jadilah Aku(sumber)pendengarannya, penglihatannya, dan tangannya yang digunakan untuk memukulnya(karenaNya), kakinya yang dijadikan alat berjalan (karenaNya), jika ia meminta kepadaKu pasti Aku kabulkan, dan jika ia meminta perlindungan dariku pasti Aku lindunginya, dan aku tidak ragu-ragu tentang sesuatu yang Aku lakukan, Aku hanya meragukan seorang mukmin yang membenci kematian, dan Aku benci kemalangan bagi dirinya”[3]         

Merasa bertanggung jawab

                    Hal ini hendaknya setiap individu merakan tanggung jawabnya, baik dalam hal individualistiknya maupun sosialistiknya, terlebih menyangkut tanggung jawab terhadap Alloh kelak di hari kemudian. Sesungguhnya rasa tanggung jawab seperti ini dapat menjadikan diri seseorang maupun melaksanakan settiap langkah-langkah yang perlu di ambil dalam menjalani kehidupannya, dalam bergaul di tengah-tengah jama’ah(masyarakat)nya.

                    Sebentar lagi kita akan lihat bagaimana perasaan takut akan tanggung jawab ini, akan dapat mendorong bagi setiap individu yang berada di tengah-tengah jama’ah muslim yang telah dididik oleh Rasululloh SAW pertama sekali--- generasi pertama ummat ini yang mampu melakukan kewajibannya dengan teliti, cermat dan sungguh-sungguh, tanpa membantingkan antara yang meminpin dan yang di pimpin atau antara tuan dan hamba.

 




[1]) Lihat Al Amtsal al hikam, oleh Abdul Hasan Ali An Nadawi, halaman 185)

[2] )    HR Bukhori di dalam shohihnya, Kitab Al Adab. Bab Al Maqtu minallai Ta’ala.8/17, dan HR Muslim di dalam shohihnya. Kitab Al Birr. Wash shilah wal Adab. Bab: Jika Alloh mencintai seorang hamba.. Dia jadikan hamba-hambaNya mencintainya.4/2030. Keduanya berasal dari Abu Hurairah RA. Sanadnya marfu’.. lafazd ini oleh muslim, sedangkan Bukhari tidak menyebut kata benci).

[3]) HR Bukhari, Kitab Ar Riqaq, bab Tawadli: 8/131 dari hadits Abu Hurairah RA, dengan sanad marfu’: Dan juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam musnadnya 6/246 dari Aisyah RA dia berkata: Bahwa Rasululloh SAW bersabda : Alloh telah berfirman: Barangsiapa yang menghilangkan (dien) Ku maka dia telah menghalalkan untuk memerangiKu dan tidaklah hambaKu mendekatkan diri kepadaKu (melebihi dari pahala ibadah fardlu dan hambaKu masih  mendekatkan diri kepadaKu dengan ibadah-ibadah nafilah, Sehingga Aku mencintainya, bila meminta kepadaKu Aku memberinya, Aku tidak meragukan sesuatu yang Aku lakukan, namu aku meraggukan terhadap kematiannya  kerena ia membenci mati itu,sedangkan Aku tak suka kemalangan baginya. Dan boleh Imam Ibnu Majah di dalam As Sunan. Kitab Al Fitan. Bab ornag yang diharapkan keselamatan padnanya ketika terjadi fitna, 2/1320. No. 3989, dari Mu’az bin Jabal RA, marfu’)”      



0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------