BAGIAN KEDUA
BERTAHKIM KEPADA AKAL

DAN MENDAHULUKANNYA ATAS NASH-NASH


            Tidak diragukan lagi bahwa Alloh Ta’ala telah memuliakan anak cucu Adam karena akal yang diberikan kepadanya. Dan dijadikannya akal itu sebagai ‘alasan’ bagi diberikannya taklif. Alloh SWT juga memuji orang-orang yang memiliki kecerdasan lagi lurus (Ulil Albab as Saliah), dan orang-orang yang memiliki akal cemerlang.
                Alloh juga menganjurkan didalam ketentuan KitabNya untuk bertafakur, memikirkan dan merenungkan serta mengamati berbagai fenomena yang ada di alam ini. Juga tadabbur terhadap ayat-ayatNya yang bersifat Kauniyyah yang dapat diamati. Sebagai mana Dia SWT menganjurkan dan memerintahkan kepada hamba-hambaNya untuk bertafakkur dan bertadabbur, memikirkan dan merenungkan ayat-ayat yang diturunkanNya, yang dengannya pula Ia mengutus Nabi penutup para Nabi, Muahammad SAW. Seperti juga halnya Ia memerintahkan hamba-hambaNya untuk menggunakan kreatifitas akal fikiran mereka dalam rangka membuat kedamaian dan kemakmuran dimuka bumi, untuk mewujudkan tuntunan tugas khalifah di dalamnya.
                Ayat-ayat dalam pembahasan ini sangat banyak, namun disini kami sebutkan sebagian saja. Alloh berfirman,

                “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ulil Albab).” (Ali ‘Imron : 190)
FirmanNya lagi,
                “Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.”(Ar Ro’d : 19)

“Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Shaad : 29)

“Demikianlah kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir.” (Yunus : 24)

“Katakanlah ; Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Alloh menciptakan (manusia) dan permulaanya, kemudian Alloh menjadikannya sekalilagi….” (Al Ankabut  : 20)

Alloh SWT telah menciptakan akal sebagai alat canggih yang dapat bekerja sesuai batas kemampuannya. Maka jika ia bekerja melampaui batas (yang dibolehkan), maka ia menjadi dzolim. Dan natijah (koklusi) yang diperolehnya bisa membingungkan dan menyesatkan, nihil dan kacau balau. Lebih-lebih jika tindak keterlaluan itu menyangkut perkara-perkara yang ghaib, yang tidak bisa dijangkau oleh akal, seperti halnya menyangkut aqidah dan ibadah.
                Diantara sejumlah kenikmatan yang tak terbatas yang telah Alloh SWT berikan kepada hamba-hambaNya, adalah dengan diutusnya para RosulNya ‘alaihimus salam’ untuk memberi petunjuk kepada manusia satu jalan yang menghubungkan kepada Robb mereka, serta bagaimana mereka mengabdi kepadaNya dan mentaatiNya. Tidaklah mereka meninggalkan kebaikan kecuali mereka (para Rosul Alloh) menunjuki ummat mereka kepada jalan tersebut. Dan mereka tidaklah meninggalkan kejelekan kecuali mereka memperingatkan ummat-ummat mereka dari kejelekan itu. Maka pantaslah atas mereka itu (para Rosul Alloh) dianugrahkan sholawat serta salamNya.
                Dengan diutusnya para Rosul itu, maka tegaklah hujjah yang disampaikan pada manusia seluruhnya. Alloh SWT berfirman,
“……agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Alloh setelah diutusnya rosul-rosul itu.” (An Nisa : 165)
                Maka diantara kekacauan dan kesesatan terbesar, adalah mengerahkan akal pikiran dan menggunakannya dalam perkara-perkara yang telah Alloh cukupkan urusannya bagi kita, dan meninggalkan aspek sebenarnya yang diperintahkan kepada kita untuk mengamalkannya, yaitu seperti tadabbur (merenungkan) ayat-ayatNya yang diturunkan dan memikirkan kepada makhluk-makhlukNya dan berupaya sungguh-sungguh  menjalankan apa-apa yang memberikan mashlahat, baik yang menyangkut urusan dunia maupun urusan akhirat kita.
                Oleh karena itu ketika kaum muslimin menjauhkan perintah-perintah Alloh dan membuahkan penyimpangtan fikroh, yang merupakan natijah bagi terbukanya dunia beserta perhiasannya, dan meluasnya kawasan negeri Islam, menjadikan banyak para ‘Ulama berbicara melantur tentang masalah-masalah agama dengan manhaj asing yang masuk dari luar, dan mereka berpaling dari manhaj pendahulu mereka yang asli. Mereka pun menterjemaahkan buku-buku Yunani, seperti filsafat, ilmu logika, dan lain sebagainya. Sehingga tak sedikit hal itu mempengaruhi cara berpikir ‘ulama-‘ulama kaum muslimin, dan mereka bukan saja menerima, bahka ta’jub kepadanya, dan menyerap banyak pemikirannya. Mereka berusaha keras mengkombinasikannya dengan Islam, namun mereka tidak berhasil. Mereka menghabiskan tenaga dalam rangka mencari pemaparan Aqidah Islam yang murni dengan mengikuti manhaj yang jauh (dari Islam yang haq), sehingga mereka membuat buruk keindahan (Aqidah Islam) itu, membuat semakin ruwet pembicaraannya, menjauhkan petunjuk-petunjukNya dan menghilangkan kebagusannya. Dan para ‘Ulama yang mengutamakan manhaj ilmu kalam terjerumus dalam kekeliruan yang sering menimpa para filosof yang mereka taqlidkan, mereka menjadikannya sebagai sebagai syari’at yang diikuti dan dipatuhinya.
                Akhirnya perkara ini menjadi sebab timbul dan lahirnya beberqapa firqoh Islam yang bertakhim kepada akal. Dan menjadikannya sebagai sumber utama dalam penerimaan ilmu. Dan Mu’tazilah adalah firqoh yang paling menonjol diantara firqoh-firqoh tersebut.
                Kemudian muncul pula firqoh-firqoh lainya dalam rangka membantah firqoh-firqoh sebelumnya yang menyimpang dari jalan yang lurus. Akan tetapi mereka sendiri jatuh kedalam kekeliruan yang besar dalam bentuk lain. Dan perkara-perkara besar yang diakibatkannya adalah sebagai hasil dari penggunaan manhaj pengagungan akal dalam menyampaikan bantahan didalam perdebatan, serrta menapikan sandaran manhaj yang lurus dan asya’iroh adala fikroh pertama yang mewakili firqoh-firqoh itu.
                Seandainya mereka menjadikan kitab dan Sunnah sebagai pegangan teguh sepenuhnya dan menjadikan keduanya sebagai sandaran satu-satunya dalam mnerima ilmu,serta berpaling dari apa-apa yang menyalahi keduanya, mngikutu manhaj ummat terdahulu (Salafussholeh) dalam memahami hukum-hukum agama baik yang ushul maupun yang furu’, tentu semua kekeliruan dan penyimpangan tersebut tidak akan terjadi, tapi justru yang terjadi pada mereka adalah natijah yang pasti dalam bertahkim kepada akal dalam hal-hal yang menyangkut persoalan yang beradda diluar akal mereka.
Imam Syatibi berkata, “Sesungguhnya Alloh menjadikan batasan untuk akal manusia dalam jangkauannya dan tidak bisa melampaui batas tersebut da Ia (Alloh) tidak menjadikan baginya suatu jalan untuk mengetahui setiap yang dituntut.” (Al I’tishom, II : 318)

                Oleh karena itu, natijah yang ditetapkan oleh akal, juga bagi setiap yang mendahulukan akalnya atau akal orang lain dari syari’at Alloh, adalah kebingungan dan keraguan ….Na’udzubillahi min Dzalik.
Beerdasarkan pengamatan erhadap kitab-kitab yang ditulis oleh firqoh-firqoh, golongan-golongan dan aliran yang menyimpang, tanpa terkecuali termasuk kitab Maqoolaat Islamiyyin oleh Abul Hasan Al Asy’ari, adalah berisi penuh dengan hasil pemikiran (natijah) seperti yang tersebut dalam uraian terdahulu, sehingga banyaknya ikhtilaf yang terjadi diantara firqoh-firqoh tersebut dalam hal aqidah membuat seseorang trauma (membicarakannya).
                Ssampai-sampai ada diantara mereka mengakui kekacauan dan kebingungannya. Dikatakannya “barang siapa yang mengatakan sesuatu tentang ilahiyyat, dia perlu diperhatikan.” (perkataan Ibunu Rusyd dalam kitabnya Tahafutut Tahatut, II ; 547, ditahqiq oleh Dr. Sualiman Dunia)
                Sebagaimana ulama ilmu kalam pada akhir hayatnya telah kembali merujuk (kepemahaman salaf dalam memahami Dien) dan mereka bertaubat kepada Alloh, menyesali apa yang telah mereka lakukan, dan berusaha menghapus (meralat) dan menghilangkan pendapat-pendapat mereka yang telah tersebar luas. Mereka telah menyadari akan kesalahan jalan yang ditempuhnya dan mengakui bahwa manhaj Al Qur’an dan sunnah yang ditempuh oleh salafus sholeh adalah sebagai jalan yang paling utama (benar). Diantara mereka yang insyaf dan taubat adalah, Al Juwaini, Al Ghozali, Ar Rozi, dan As Syahrutsani.
                Diantara mereka yang mengumumkan kembalinya kesalaf madzhab salafus sholih dan memperkuatnya dalam tulisan-tulisan terakhirnya, adalah Abul hasan Al Asy’ari yang telah menulis kitab-kitab yang berjudul Al Ibanah’an Ushulid Diyanah, Maqoolat Islamiyyin, dan Risalah ila Ahli ‘Itsagri. Itu ditulisnya dalam rangka membela mahdzab salaf yang menerangkan kekeliruan serta kerusakan faham lainya.
                Yang perlu mendapat perhatian adalah tentang adanya sinyalemen benturan antara akal dan naql serta mendahulukan akal dari pada naql, yang dibangun diatas premisme yang mereka namakan dengan “Qoonuun’I Kulliy”. Ini merpukan masalah yang paling besar, yang menyangkut manhajiyah yang dipegang kuat oleh para pejuang manhaj taufiqy yang berusaha keras menggabungkan antara manhaj Islam yang murni dan bersih, yang datang dari Robb semesta alam, dengan fisafat Yunani serta pendapat-pendapat shobiin yang dibangun diatas paham keberhalaan (Watsniyyah) dan dongeng-dongeng.
                Oleh karena itu, akhirnya banyak orang yang terjerumus kedalam kebingungan dan kekacauan,. Sebab natijah seperti itu tidak didukung oleh adanya manhaj mereka yang tetap (kuat), sehingga setiap saat mengalami evolusi, suatu perkembangan pemikiran yang mengejutkan, yang sempat membangkitkan kesadaran setiap Muhaqqiq (orang yang hendak meluruskan) dan para pembahas.
                Manhaj Taufiqy sebagai hasil penggabungan antara yang haq dan yang bathil,kelahirannya justru menjadi penyebab pecahnya kalimat kaum muslimin dan menghancurkan kesatuan dan persatuan Ahlis Sunnah wal Jama’ah. Juga sebagai penyebab kejahatan besar bagi manhaj ini, yang bnyak menisbatkan tokoh-tokohnya kepada As sunnah sehingga mengacaukan ummat, melemahkan dan membuat kelas-kelas kepemimpinan serta kotak-kotaknya loyalitas dalam barisan kaum muslimin (Lihat Thohiroh Al Irja’ fil Fikri Islamiy, hal 298-303, oleh DR. Safar Hawaly ; dan Al Mu;tazilah wal Ushuluhumul khomsah, hal 50, oleh ‘Awwad bin Abdullah Al Mu’taq).
                Manhaj Taufiqy ini juga merupakan penyebab besasr dalam penyimpangan pengagumnya dari Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah di dalam masalah-masalah penting yang menyangkut Aqidah dan bab-bab yang bersangkutan dengannya. (Thohiroh Al Irja’ fil Fikri Islamiy, Dr. Safar Hawaly, hal ; 305)
                Diantara indikasi terhadap hal itu adalah, bahwa Fakhrurrozi mengambil cara berpikir ‘mendahulukan akal dari naql yang dibangun di atas dakwaan untuk menpertentangkan antara keduanya dari ‘ulama kalam yang mendahuluinya’ (Dar’u Ta’arudl’I Aql wan Naql, oleh Ibnu Taimiyah, I : 5-6, dan lihat Mukaddimahnya, hal 14-15, oleh Rosyad Salim), seperti Al Ghozali, Al Baqilany, Al Juwainy. Lalu ia menjadikannya sebagai qonun (aturan yang mesti diakui) yang dinamakannya : Al Qoonunul Kulliy, yang dituangkan dalam banyaj tulisannya (diantaranya ; Asasut Taqdiis fi Ilmi-kalam, Al Mutaqoddimin wal Mutaakhkhirin, Nihayatul ‘Uquul, lihat mukoddimahnya Dar’u Ta’arudl Al Aql wan Naql, Juz I :11)
                Kemudian datanglah generasi setelahnya yang menjadikan undang-undang itu sebagai rujukan, sehingga menjadi pokok dari prinsip-prinsip madzhab Asy’ari dan yang lainya.
                Diantara dampak buruk dan mengerikan dalam penerapan manhaj tersebut dalam nash-nash kitab dan sunnah, adalah kaidah yang dipancangkannya dan didukung oleh pemuja-pemuja “Qoonuun Al Kulliy” tersebut dan oleh manhaj Taufiqi, yaitu pengakuan mereka bahwa dalil-dalil sam’iyyah (yang bisa didengar- maksudnya ayat dan hadits) “Zhoniyyah Dalalah” dan tidak memberikan keyakian (lihat Dar’u Ta’arudl’I Aql wan Naql, I : 4-5)
                Dari sini jelaslah, betapa pentingnya bagi kita untuk membantah Qoonuun mereka dan menanggalkan dari asasnya, seperti halnya yang telah dilakukan oleh Syaikhul Islam ibnu taimiyyah di dalam bukunya Dar’u Ta’arudl’I Aql wan Naql, dan seperti juga yang dilakukan oleh muridnya Ibnu Qoyyim di dalam kitabnya  Ash Showa’iqul Mursah, juga seperti halnya yang telah dilakukanoleh sebagian besar ‘ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah lainnya. Pembatalan terhadap Qoonun tersebut diikuti dengan pembatalan seluruh prinsip yang dibangun diatasnya yang dianggap benar, yang sebagaiannya telah saya singgung pada pembahasan terdahulu. Di sini kami tidak akan panjang lebar dalam mengupas bantahan yang disampaikan oleh para ‘ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap “Qoonuun Al Kulliy” ini, namun cukuplah kami kupas hal-hal yang terpenting tentang bantahan itu disertai dengan hujjah yang memadai untuk menunjukan kebenaran dalam perkara ini bagi setiap orang yang memiliki bashirah. Di dalamnya terdapat sejumlah bantahan yang lazim untuk membatalkan keraguan yang dibangun suatu kaum yang berdasarkan pada Qoonuun dan pokok-pokok pemikiran mereka.
                Untuk ini, kami akan bersandar –setelah kepada Alloh- pada bagian pertama (juz 1) dari kitab Dar’u Ta’arudl’I Aql wan Naql, yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan meneliti topik-topik penting yangdapat memenuhi tujuan, insya Alloh Ta’ala.
                Kami memperhatikan bahwa Ibnu Taimiyyah memulainya dengan mengupas Qoonuun’I Kulliy yang dipancangkan oleh Ar Razi, barulah dia membantahnya dan membatalkannya, baik secara garis besarnya maupun rinci sampai kepada hal-hal yang berkaitan dengan pembatalan secara menyeluruh terhadap Qoonuun tersebut, atau hasil konklusi penerapannya dalam masalah I’tiqodi, tentu disertai dengan penjelasan tentang rusaknya manhaj pengambilan dalil yang dilakukan oleh para penentang Ahlis Sunnah wal Jama’ah.
                Dia (Ar Razi) menegakan Qoonuun’I Kulliy diatas pemikiran adanya pertentangan antara dalil-dalil naqliyyah dan Aqliyyah, kemudian terhadap premisnya ini Ar Razi membangun tuntutan yang bathil yaitu :
1.       Bahwa, menyatukan antara dalil-dalil itu merupakan sesuatu yang mustahil, sebab (tak mungkin) menyatukan duahal yang saling berlawanan (saling membatalkan), demikian juga membuang (kedua) nya mustahil. Kalau demikian yang diperlukan adalah mendahulukan salah satu dari yang lainnya. Yang sebenarnya, bahwa akal adalah pangkal (dalam memahami) naql (Kitab dan Assunnah), sehingga ia (Ar Rozi) pun mendahulukan akal dari naql.
2.       Berhubung meraka, mendahulukan akal, maka naql itu kalau tidak ditakwilkan, mereka kompromikan (dengan akalnya).
3.       Adapun jika antara dalil aqliyyah dan naqliyyah saling bertentangan karena saling berlawanan dan bukan karena saling membatalkan, maka tidak boleh disatukan, tetapi boleh saja apabila membuang keduanya. (Perbedaan antara dliddain,-saling berlawanan- dengan naqidlain –saling membatalkan- adalah : kalau saling berlawanan tidak boleh disatukan, akan tetapi bisa dibuang keduanya, sedangkan saling membatalkan artinya tidak boleh disatukan dan tidak boleh dibuang. Contoh pertama adalah seperti hitam dan putih, dan contoh yang kedua seperti ada dan tidak adanya).
Dan yang harus diketahui bahwa, menurut mereka fikroh tentang adanya pertentangan antara dalil-dalil aqal dan naql, yang dibangun berdasarkan pada anggapan bahwa nas-nas Kitab dan Assunnah, merupakan “Zhaniyyah Dalalah” yang tentunya tidak memberi keyakinan.
Inilah keputusan batil mereka, yang berdasarkan pada sepuluh perkara yang memalingkan dalil-dalil naqliyyah dari zhohirnya, dan mereka menganggap perkara tersebut sebagai pertentangan yang bersipat akal. ( lihat Mahashol Afkar Al Mutaqoddimin wal Muta’akhirin, oleh Ar Rozi, hal. 31 ; lihat Muqoddimah Dar’u Ta’arudl’I Aql wan Naql, hal. 13)
Berikutnya adalah menyangkut pemusatan pendukung-pendukung Qoonun’I Kulliy  atas orang yang mempertentangkan berdasarkan akal, Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa pertentangan seperti itu merusak, secara global maupun terinci.
Secara global, sebenarnya setiap orang yang beriman kepada Alloh sepenuhnya, dan kepada Rosulullah saw. Merupakan orang yang paling fasih (jujur dan benar) lisannya, paling sempurna keterangannyadan paling hebat nasihatnya kepada ummatnya, tentu ia akan mengetahui (maksud) dari apa-apa yang dikehendaki oleh Rosulullah saw dengan ilmu yang pasti. Dan baginya akan dapat memperoleh keyakinan atas setiap berita yangg datang dari sisinya, dan ia mengetahui bahwa setiap pendapat (perkara) yang menentang beritanya, itu adalah batil dan keliru. (lihat dar’u Ta’arudl’I Aql wan Naql. I : 21)
Secara terincinya, dengan mengetahui rusaknya apa yang mereka dakwakan, berupa hujjah yang bertentangan, sebab “Qoonuun al Kulliy” (karya Ar Rozi) dibangun diatas perkara-perkara yang bathil, yaitu asumsi adanya pertentangan antara dalil akal dan naql, dan terbantahnya pembagian sebagaimana yang ia sebutkan menjadi empat, dan batalnya pembagian yang tiga. (lihat Dar’u Ta’arudl’I Aql wan Naql, I : 17)
Golongan-golongan itu telah keliru dalam pokok permasalahan, yang menjadikan akal meereka sebagai ‘pangkal’ bagi sama’, lalu mereka menjadikan hal itu sebagai keharusan, dan ini ciri-ciri ahklul bid’ah. Mereka meletakan pokok yang batil, lalu menghasilkan perkara-perkara lainnyayang berdasarkan pokok-pokok itu, sehingga terjadilah konklusi-konklusi yang keliru seperti halnya premisme-premisme yang keliru. (Dar’u Ta’arudl’I Aql wan Naql, I : 80-81)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memaparkan bantahannya secara rinci dari beberapa sudut pandang :
Pertama : benturan tidaklah mungkin terjadi antara dua dalil qoth’I dan sama sekali tak akan terjadi. Adapun jika keduanya sama-sama dalil zhonni, maka tentukanlah mana yang mestinya didahulukan yang rojih secara mutlak. Adapun jika terjadi (dua dalil) zhonni dan qoth’I, maka dahulukan yang qath’I secara mutlak. Dengan demikian, maka jelaslah bahwa dalil akal mutlak tidak bisa di dahulukan, sebab jika ia didahulukan berarti ia sendiri bukanlah dalil akal, namun merupakan dalil qoth’i. Dengan demikian, menjadikan sisi tarjih bukanlah yang dijadikan sandaran oleh golongan tersebut.
Kedua : pembagian empat kelas yang disebutkan Ar Rozi dalam “qonuun” nya tidak bisa dibenarkan. Dan yang seharusnya dikatakan sebenarnya adalah ; Jika dua dalil akal dan naql disatukan, maka mana saja yang termasuk qoth’I wajiblah didahulukan. Jika keduanya dalil zhonni, maka haruslah didahulukan yang paling rojih. Kalau kedua-duanya sama qoth’I, maka itu terlarang dipertentangkan tak mungkin ada benturan sesamanya.
Ketiga : dakwaan mereka tentang mendahulukan naql dari akal membuat cacatnya “ashal”yaitu akal. Dengan demikian ia telah membuat cacat terhadap akal sekaligus naql, dan itu tidak bisa diterima. Katakanlah pada mereka, “apakah yang kalian inginkan dari pernyataan kalian yang menyatakan bahwa, sebenarnya akal itu adalah pangkal dari naql ?” . Maka jika mereka inginkan adanya akal yang menjadi pangkal dalam membenarkan (menetapkan) naql dalam satu perkara, maka hal ini tidaklah dikatakan oleh orang yang berakal, sebab syari;at telah tetap dalam perkara tersebut, baik yang diketahui akal kita maupun yang tidak diketahui, karena tiadanya ilmu bukanlah berarrti mengetahui yang tidak ada.
Ilmu semua berlaku untuk setiap perkara yang tsabit dengan sendirinya, seperti tentang wujud Robb jalla wa ‘Ala, dan hal-hal yang hak bagiNya dari sifat-sifat dan nama-namaNya. Dan juga seperti diutusnya Rosulullah saw, maka dia itu adalah utusan Alloh, sekalipun manusia jahil tentang masalah itu. Dan apa-apa yang diberitakan olehnya maka hal itu benar, sekalipun tak seorangpun yang membenarkannya. Dan apa-apa yang diperintahkan olehnya dari Alloh SWT, maka hal itu adalah hak, sekalipun tak seorangpun yang mentaatinya. Dengan demikian, jelaslah bahwa dari segi ini dakwaan mereka itu rusak.
Jika demikian, tetaplah syari’at itu sendiri tidak butuh ilmu dan akal kita. Namun kitalah yang seharusnya berhajat untuk mengetahui berdasarkan akal kita. Sebab tidak ada kebahagiaan dan keberuntungan lain bagi kita di dunia ini dan juga di akhirat, kecuali kita dapat mngetahui syari’at ini dan mengamalkannya.
                Adapun yang mereka inginkan diterimanya perkataan mereka, bahwa akal adalah pokok pangkal dalam pengetahuan kita terhadap sama’ dan dalil bagi kita untuk membenarkannya, maka katakanlah kepada mereka ,”Apakah yang kalian maksukan dengan akal itu ?”.
                Apakah yang mereka maksudkan itu adalah insting yang kita miliki ?, padahal insting ini bukanlah suatu ilmu dan bisa saja berlawana dengan naql, bahka ia merupakan syarat dalam memperoleh suatu ilmu baik berdasarkan akal maupun sama’(naql).
                Adapun jika mereka menginginkan akal itu diartikan sebagai limu pengetahuan dan ma’rifat, yang dapat kita ambil manfaatnya dengan insting tersebut, maka katakanlah pada mereka,”sesungguhnya ma’rifat aqliyah itu banyak sekali dan tak mungkin bisa dibatasi. Dan setiap yang diketahui oleh akal berupa ma’rifat-ma’rifat dan ilmu tidak bisa dijadikan sebagai pangkal bagi sama’ (dalil naql) dan sebagai dalil atas pembenarannya.
                Mengetahui kebenaran sama’ (naql) tidak melampaui batas sesuatu yang digunakan untuk mengetahui kebenaran Rosulullah saw. Dan Alloh SWT telah mengutusnya seperti menetapkan Ash shooni’(Alloh SWT), beriman kepada mu’jizat-mu’jizatnya serta ayat-ayat yang menunjukan kepada kebenaran Rosulullah saw.
                Dengan demikian, cela dalam hal penentangan yang bersifat akal yang mengetahui kebenaran sama’ tidak tergantung kepadanya, tidaklah menjadi cela pada pokok sama’ (naql). Dan cela di dalam sebagian dalil akal tidaklah menjadi cela dalam keseluruhannya. Begitu juga kebenaran sebagian akal tidaklah mengharuskan kebenaran pada semuanya.
                Dengan demikian dari benarnya hal-hal yang masuk akal yang diatasnya dibangun pengetahuan kita terhadap sama’ (naql) tidaklah mengharuskan benarnya hal-hal yang masuk akal lainnya. Demikian pula rusaknya hal-hal yang masuk akal tidaklah mengahruskan rusaknya hal-hal yang masuk akal lainnya. Terlebih lagi tentang benarnya dalil-dalil akal yang bertentangan dengan dalil-dalil naql (sama’). (lihat Ta’arudlu ‘Aql wan Naql, I : 90)
                Terjadilah kekeliruan bagi Ar Razi dan orang yang semisal dengannya tentang konklusi (natijah) yang mana mereka menjadikan dalil-dalil akal semuanya (tanpa kecuali) merupakan jenis yang satu (sama saja) dalam hal penerapannya, baik dalam hal yang benar maupun yang rusak dan telah kita maklumi bahwa dalil-dalil naql hanyalah mengharuskan pembenaran terhadap sebagian yang patut baginya, tidak membenarkan sebagian yang menolak baginya. (lihat Ta’arudl ‘Aql wan Naql, I : 90)
                Dengan tinjauan ketiga perkara ini sebagaimana telah dipaparkan oleh Ibnu Taimiyyah-rohimallah- jelaslah bagi kita tentang rusaknya ketiga premisme (mendahulukan dalil akal), yang diatasnya dibangun “undang-undang” mereka (ahli firqoh). Maka jika premisme tersebut telah batal, maka batal pula natjah-natjah yang berdiri diatasnya.
                Lalu sampailah Syaikh Ibnu Taimiyyah kepada natjah yang membuat mereka bungkam. Itu sebagai bantahan terhadap penyimpangan praduga (hipotesa) mereka, dimana mereka berkata,”Kami hanyalah mandahulukan dalil naql yang masuk akal yang kami ketahui berdasarkan otak yang sehat.”
                Syakhul Islam membantah pernyataan, bahwa dalam hal itu tidak dijumpai suatu yang masuk akal dimana kebenaran haq’ tergantung padanya, sesuatu yang beraturan dengan “sama”, sehingga munculah pernyataan berikutnya bahwa cela dalam sesuatumasuk akal tidaklah cela pada pokok “sama”, lalu ia pun menegakan dalil ntuk kepentingan itu. (Dar’u Ta’arudl’I Aql wan naql, I : 91)
                Dalam bantahannya, Ibnu Taimiyyah telah memaparkan dengan baik “Qoonuun al Kulliy” Ar Rozi, yaitu diantara yang mesti di cermati oleh setiap orang yang memiliki akal, manakala dikatakan mendahulukan akal atas syari’at, pastilah manusia berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang tak ada jalan lain lagi kecuali menetapkannya dan mengetahuinya., dan setiap orang yang berakal pastilah ia mengetahui adanya perbedaan pendapat dan jangkauannya. Maka, akal bukanlah sebagai satu-satunya, secara lahiriyah dalam menyerahkan setiap orang yang merujuk kepadanya, namun kenyataan menunjukan bahwa elah terjadi ikhtilaf, saling konteradiksi dan saling berlawanan antar akal yang satu  dengan akal yang lainnya, antara pemikiran yang satu dengan pemikiran yang lainnya.
                Jadi apa-apa yang telah disepakati oleh satu akal, belum tentu disepakati oleh akal yang lain dan pendapat yang sebelumnya bisa jadi dibantah oleh pendapat yang terakhir. Maka jelaslah di sini tidak ada ittifaq (kesepakatan) yang bewnar diantara manusia dalam hal ini.
                Ini berbeda dengan syari’at, yang memang memiliki sifat itsabit (tetap) dan sidq (benar secara hakiki), sifat yang harus dimiliki olehnya, tidak berubah oleh karena perbedaan-perbedaan yang terjadi pada diri manusia. Sebagaimana bahwa mengetahuinya itu adalah suatu hal yang mungkin, diperintahkannya manusia untuk kembali kepadanya dan bertakhim kepada nash-nashnya juga suatu perkara yang mungkin.
                Inilah yang seharusnya diperbuat, manakala Alloh memerintahkan hamba-hambaNya untuk kembali kepada Kitab dan Sunnah ketika mereka saling berbeda pendapat. Alloh Ta’ala berfirman,
Kemudian jika kamu belain pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Alloh (Al Qur’an) dan Rosul (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang  demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (An Nissa : 59)
                Ayat ini menunjukan dengantegas keharusan untuk mendahulukan naql dan wahyu yang di dengar. Perintah ini menunjukan wajib. Maka wajib hukumnya bagi kaum muslimin untuk bertahkim kepada Kitabullah dan Sunnah RosulNya ketika ejadi beda pendapat dan ikhtilaf.
                Andaikan perintah kembali diarahkan kepada yang  lain, seperti akal seseorang atau pendapat-pendapat mereka, maka tidak akan menghasilkan kesepakatan, taslim dan ketenangan. Bahkan natijah yang terjadi adalah natijah yang sebaliknya, yaitu kacau dan meragukan, membuat kebimbangan dan kebingungan, iftiroq dan ikhtilaf (lihat Dar’u Ta’arudl ‘I Aql wan Naql, I :146-147)
                Inilah yang terjadi dikalangan ummat Islam. Ketika manusia bertahkim kepada akal mereka atau mengembalikan kasusnya kepada akal-akal selain mereka, dalam menerima hal yang asasi, atau dalam bertahkim ketika terjadi ikhtilaf atau tanazu’ dan dalam mengkaji kitab-kitab ahli firkoh, milal dan nihal –aliran-aliran sesat dan bid’ah- untuk meluruskan setiap orang yang memiliki bashirah di seputer perselisihan dan ikhtilaf yang terjadi pada firqoh-firqoh yang menisbatkan dirinya pada Islam, sebagian besarnya –jika tak mau dikatakan seluruhnya- adalah menyangkut masalah aqidah.
                Ibnu Qoyyim rohimalloh mengumpamakan orang yang disifati manakala mereka bberthkim kepada akal mereka dan mendahulukannya dari pada syari’at, ia berkata, “Pemisalan mereka itu ibarat satu kaum yang tinggal bersama dipadang pasir yang terbuka dari bagian bumi ini. Pada suatu malam mereka diserang musuh, sehingga bangkitlah mereka dalam kegelapan untuk menyerbu dan melawan musuh disetiap sudut. (lihat Ash Showa’iqul Mursalat, Dr. Ali Muhammad Ad Dkhililillah, II :840)

                Lain lagi dengan perumpamaan menururt Ibnu Taimiyyah rohimahulloh, yang menggambarkan suatu keadaan yang sebenarnya, yang dinginkan oleh orang yang mendahulukan akalnya dari naql. Ia berkata, “Akal yang menunjukan kepada kebenaran Rosul adalah dalil umum yang mutlak. Ini seperti halnya orang awam yan g mengetahui sumber pemberi fatwa, dan ia pun menunjukan kepada yang lainnya dan menerangkan bahwa orang itu adalah seorang yang ‘alim dan pemberi fatwa, lalu orang awam itu berbeda pendapat, sementara simufti mewajibkan atas orang yang meminta fatwa untuk mendahulukan perkataan si mufti.” (lihat Dar’u Ta’rudl ‘I Aql wan Naql, I : 138-139)
                Maka wajib bagi seorang muslim untuk mematuhi secara sempurna nash-nash kitab dan sunnah serta taslim kepadanya. Dan supaya tidak mendahulukan perkataan siapapun dari padanya, apa pun kedudukan orang itu, dan tidak menentangnya berdasarkan dan qiyas, tidak pula dengan perasaan maupun ungkapan hati.
                Oleh karena itu, kita dapati Imam Thohawiy rohimahulloh berkata, “Dan tidaklah kaki Islam itu berdiri kokoh, kecuali diatas punggung taslim wal istislam (penyerahan totalterhadap aturan-aturannya). (Syarah Thohawiyyah, hal. 201)
Berkata Syarih (pensyarah Aqidah Thohawiyyah), “maksudnya tidaklah kokoh Islam seseorang kecuali bagi orang yang berserah diri pada nash-nash yang diwahyukan, mematuhinya serta tidak menentang atau berpaling darinya dan juga tidak mempertentangkannya dengan pendapatnya, akalnya ataum qiyasnya.” (Syarah Thohawiyyah, Hal.201)
                Kemudian Tohawiy berkata, “Maka siapa yang menghendaki ilmu, namun tak memperoleh (manfaat) dari ilmunya dan tidak rela memasrahkan pemahamannya, maka ilmu yang di inginkannya menghalangi dirinya dari kemurnian tauhid, kejernihan ma’rifat dan lurusnya Iman.” (Syarah Thohawiyyah, hal. 203)
                Ini jelas sekali bagi orang-orang yang membandingkan antara keadaan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan keadaan ahlul bid’ah dan ahlu frqoh. Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti (sunnah) dan tidak mengada-ada hal yang baru (di luar sunnah), berpegang teguh dengan wahyu yang diturunkan, mereka tidak mencapur adukannya dengan hal-hal yang cela dan keruh seperti hasil yang diperoleh ahli kalam dan manthiq. Dan natijah yang diperoleh Ahlus Sunnah adalah ; tauhid mereka muurni, ilmu mereka manfaat, dan iman mereka lurus. Sedangkan ahlu bid’ah, maka seluruh yang dicarinya jauh dari kebaikan. Natijah yang diperoleh jauh dari kepasrahan terhadap nash-nash, banyak terjadi bid’ah pada diri mereka. Bahkan banyak diantara mereka terperosok pada kemusyrikan –semoga Alloh menjauhkan kita dari masalah-masalah ini. Ilmu dan ma’rifat yang mereka dapatkan adalah berupa campuran antara yang haq dan yang batil. Banyak juga dikalangan mereka yang mengalami kegoncangan iman, dan pengaruhnya dalam perjalaqnan hidup mereka.
                Diantarra hujjah-hujjah yang kuat yang dijadikan dalil oleh ibnu Taimiyyah dalam membatalkan “Qoonuun Kulliy” produk Ar Rozi, adalah dengan peneguhan kebenaran yang memang berlawanan sama sekali dengan apa yang mereka dakwakan. Yaitu yang berkenaan dengan asumsi mereka yang mengatakan adanya pertentangan antara akal dan naql, maka yang sebenarnya yang diinginkan adalah untuk mendhulukan naql dan menolak mendahulukan akal, sebab dengan demikian telah menunjukan benarnya dalil naql. Kalaupun kita mendahulukannya pastilah dengan menbatalkan dalil-dalilnya, dan jika telah batal dalil-dalilnya, maka tidak bisa dijadikan sebagai pembenaran adanya pertentangan terhadap naql.
                Syaikhu Islam Ibnu Taimiyyah berkata didalam kitabnya, “Aspek kesepuluh, untuk menentang dalil mereka dengan pengamatan yang mereka katakan, untuk itu maka katakanlah : Jika ada pertentangan antara akal dan naql, maka wajiblah mendahulukan naql. Sebab menghimpun dua sumber dalil berarti menyatukan dua hal yang saling membatalkan, dan membuang keduanya, berarti karena pertentangan keduanya saling membatalkan. Dan mendahulukan akal adalah terlarang, karena akal telah menunjukan benarnya dalil naql dan wajib menerima apa-apa yang diberitakan oleh Rosulullah saw. Seandainya kita membatalkan naql, pasti kita juga telah membatalka dalil akal. Dan jika kita membatalkan dalil akal, maka itu tidak boleh dijadikan bukti adanya pertentangan dengan naql. Sebab tidak ada dalil yang membenarkan bagi pertentangan sesuatu dari sesuatu yang lain. Maka mendahulukan akal sebagai alasan untuk meniadakan bagi mendahulukannya (maksudnya naql), maka itu tidak bolehh.” (Dar’u Ta’arudl ‘I Aql wan Naql, I : 170)
                Demikianlah telah dijelaskan kepada kita dengan hujjah-hujjah yang akurat dan keterangan-keterangan yang jelas, untuk membatalakan “Qoonuun ‘I Kulliy” yang dipancangkan oleh pengikut faham Asy’ari, karena undang-undang itulah yang banyak membantah dalil-dalil nash dari kitab dan sunnah dalam masalah aqidah pada umumnya, khususnya yang menyangkut sifat dan asma Alloh Ta’ala.
                Dan orang-orang yang menyalahi Rosulullah saw pasti akan terjerumus kedalam kekeliruan, sekalipun menyalahi sedikit. Sebab kesalahan itu terjadi sesuai dengan penyimpangan yang dilakukannya.
                Dan seluruh dalil yang datang dari semua Nabi baik yang menyangkut dalil Akliyyah maupu sami’iyyah adalah sejalan dengan apa yang dibawa oleh Rosulullah saw dan bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh ahli bid’ah yang menyalhi kitab dan sunnah. (Majmu’ul Fatawa, XVI : 463)
                Dan orang-orang yang mengatakan perlunya mendahulukan akal dari naql, maka seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah, sebenarnya mereka itu telah menyalahi lima prinsip ;
1.       Bahwa akal yang sehat tidaklah bertentangan dengan naql.
2.       Bahwa akal yang sehat akan sejalan dengan naql.
3.       Dakwaan tentang adanya pertentangan antara akal dan naql adalah tidak benar.
4.       Yang mereka sebutkan dengan pikiran yang bertentangan adalah menentang akal yang benar-benar sehat.
5.       Apa yang mereka tetapkan tentang prisip-prinsip seperti ma’rifatulloh dan sifat-sifatNya, tidaklah kuat, bahkan membatalkan penetapannya. (lihat Majmu’ul Fatawa, XVI : 463)
Diatara kalimat Syaikhul Islam yang masyhur tentang kedudukan ini dan yang ia sebutkan berulang-ulang kali dalam tulisan sesudahnya adalah :
Akal sehat (benar) akan selalu sesuai dengan perkataan Rosulullah saw dan sama sekali menyalahinya. Sebab mizan itu haruslah dengan kitab, sedangkan Alloh menurunkan Kitab dengan haq dan mizan. Namun akal manusia kuasa menajngkau ma’rifah secara rinci apa-apa yang terkandung didalamnya. Maka didatangkanlah seorang Rosul kepada mereka untuk mengatasi kelemahan mereka dalam ma’rifat itu, bukannya untuk mengikuti apa-apa yang diketahui oleh akal mereka yang bisa membatalkannya. Maka para Rosul Alloh diutus membawa berita untuk menjawab kebingungan mereka dan bukan membawa berita yang tak dapat dijangkau oleh akal mereka. (Majmu’ul Fatawa, XVII : 444)
                Karena itulah, tak perlu menentang ayat-ayat Alloh dan nash-nash sunnah yang shohih, dengan apa-apa yang di teloran oleh sebagian ‘ulama kalam, baik yang menyangkut istilah-istilah maupun prinsip. Karena yang demikian ini menyangkut beberapa sebab  berikut :
1.       Para tokoh Imam-imam besar ilmu kalam telah kembali dari pemahaman yang mereka pegang (mendahulukan dari naql) menuju pada Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan hal itu terjadi pada akhir hayat mereka, bahkan sebagian dari mereka melakukannya menjelang ajalnya.
2.       Bahwa dalil-dalil syari’ merupakan dalil yang jelas-jelas menunjukan wajibnya berserah diri danpeetuh terhadap nash-nash wahayu (Al Qur’an dan Sunnah) dan meniadakan pertentangan terhadapnya sekecilapapun tentangnya. Sebagaimana halnya akal yang shorih (sehat dan benar) dan selamat, akan menolak untuk menentang Kalamullah Robbul ‘Alamin, dan juga kalam Rosulullah saw, dengan menggunakan istilah-istilah yang dibuat-buat oleh manusia, terlebih lagi jika istilah-istilah itu datang dari filosof yang beragama dengan agama watsniyyah (keberhalaan)
Bahwa kesimpulan-kesimpulan yang diambil berdasarkan madzhab-madzhab filsafat, manthiq, dan ahli kalam, lemah sekali dalam menghormati dan mengagungkan dalil-dalil Kitab dan Sunnah, bahkan mereka menolak pengagungan eksistensinya sehingga dianggapnya tak mempunyai nilai, yang tak pantas dijadikan sumber dalil. Namun mereka mengambil seperlunya yang mereka mau, dinomor duakan, sehingga dijadikan lawan bukan sandaran. Ini semua jelas bertenangan dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang benar-benar menghormati dan mengagungkan Alloh, tidak melanggar ketentuanNya, mengetahui dalil-dalil syari’ dan nash-nash sesuai dengan haknya dan kadarnya, dan menjadikannya sebagai sandaran pokok dalam menetapkan aqidah, ibadah, dan hukum syari’at.



0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------