BAGIAN KETIGA
TAQLID DAN TA’ASHSHUB

Definisi Taqlid dan Ta’ashshub

1.       Menurut Bahasa, Taqlid berarti mengenakan kalung di leher. Sedangkan Ta’ashshub berarrti mengikat kuat-kuat, berasal dari kata al ‘ashobiyyah  (lihat Ash Shohah, oleh Al Jauhari, II : 527; I : 182)

2.       Menurut istilah, Taqlid artinya merujuk kepada perkataan seseorang yang tidak ada hujjah atasnya (lihat Jami’ Bayanul ‘Ilmi wa Fadlluhu, Ibnu ‘Abdil Barr, II : 117. Daar ‘I Baaz, Makkah ‘I Mukarromah. 1398). Sedangkan Ta’ashshub berarti menjadikan sesuatu pendapat atau ijtihad seseorang sebagai hujjah atas semua hamba. (lihat Adabuth Tholab wa Muntaha ‘I Arab, oleh Asy Syaukani, hal. 7; Daar ‘I Kutubul ‘Ilmiyyah, Beirut. 1402)
‘Ulama-ulama lain ada yang mengartikan ta’ashshub sebagai : Suatu bentuk kelemahan dan kejahilan, yang mana ketika manusia diuji dengannya, maka butalah pandangannya, tertipulah akal pikirannya, sehingga dia tidak bisa lagi melihat kebaikan kecuali apa yang menurutnya baik, dan tidak bisa lagi menerima kebenaran kecuali yang sesuai menurut pandangannya atau menurut orang yang dia fanatikinya. (lihat Moqoddimah sebab-sebab terjadinya ikhhtilaf dikalangan kaum muslimin dan perpecahan mereka, hal.83)

Taqlid dan Ta’ashshub penyebab Tafarruq
                Taqlid dan Ta’ashshub, keduanya bisa dianggap sebagai penyebab terbesar dari timbulnya firqoh dan penyimpangan ummat dari jalan lurus. Dan memiliki peran penting dalam penyebaran bid’ah dan hawa nafsu.
                Ahli bid’ah berlaku taqlid kepada guru-guru dan imam-imam mereka secara membabibuta, baik dalam hal yang ushul (prinsip) maupun yang furu’ (cabang). Mereka juga mendahulukan pekataan mereka (guru dan imam mereka) sekalipun bertentangan dengan perkataan Alloh dan RosulNya saw. Apa yang mereka lihat tentang hal ikhwal mereka (guru dan imam), maka merekapun pasrah begitu saja dan menjadikan satu-satunya jalan untuk mendekatkan mereka kepada Alloh, sampai dalam hal yang menyalahi petunjuk Kitab danSunnah sekalipun. Mereka berlebihan dalam bertaqlid dan berta’ashshub terhadap guru, imam-imam dan jalan-jalan yang mereka tempuh, bahkan sebagian besar dari mereka meyakini kema’shuman syekh-syekh (guru-guru, ulama, dan imam-imam) mereka dan (menganggap) mereka tiak melakukan sesuatu kecuali yang benar, tidak berkata kecuali yang sidq, karena syekh terlindung dari kesalahan (ma’shum). Sehingga merekapun mengikuti setiap perkataan dan perbuatan yang diperoleh dari syekh-syekh mereka itu.
                Karena taqlid dan ta’ashshub inilah bid’ah terbesar dan merajalela di kalangan ummat, sehingga menghalangi sampainya petunjuk dan kebenaran kepada mereka. Karena sebab itulah mereka meninggalkan manhaj Robbani yang Agung dan petunjuk nabawi yang lurus. (lihat Tanbih ulil Abshor, Dr. Sholih bin Sa’ad As Sahimy, hal. 142-143)

Dalil yang melarang Taqlid dan Ta’ashshub
                Alloh Ta’ala telah mencela orang-orang yang bepaling dari mengikuti kebenaran dan patuh padanya, yang taqlid dengan hujjah nenek moyang mereka. Alloh berfirman ;
Dan apabila dikatakan kepada mereka ,”ikutilah apa yang tela diturunkan Alloh. Mereka menjawab (tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami. (apakah mereka akan mengikuti juga), walau nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apapun dan tidak mendapat petunjuk? (Al Baqoroh : 170)
                Imam Al Qurtuby berkata, “Telah berkata ulama-ulama ahlu sunnah, bahwa kekuatan lafadz-lapdz yang terkandung dalam ayat ini menandakan batalnya (berlaku) taqlid.” (lihat Al Jami’ul Ahkam ‘I Quran, II : 221)
                Berkata Asy Syaukani, “dalam ayat tersebut terdapat celaan terhadap orang-orang muqollid, dan menyerukan kejahilan dan aqidah meerka yang rusak, yang tidak lagi mempunyai nilai.” (lihat Fathul Qodir, I : 167)
                Berkata juga As Sa’ady, “Ini adalah syubhat untuk menolak kebenaran. Ayat ini juga menunjukan berpalingnya dan bencinya mereka kepada kebenaran, sekaligus menunjukan keengganan meereka untuk menerima kebenaran. Seandainya mereka mengikuti petunjuk yang membimbing mereka dan bermaksud baik, niscaya mereka akan menuju kepada kebenaran. Dan siapa saja yang menjadikan kebenaran itu sebagai tujuannya dan menjadikannya sebagai bahan pertimbangan antara dia dan orang lain, maka baginya kebenaran itu merupakan hal yang qoth’I (tak bisa ditawar-tawar lagi), lalu iapun mengikutinya jika memang ia orang yang adil.” (Tafsir Al Karimur Rohman, II : 202)
                Sayyid Qutb berkata dalam tafsirnya, “Ayat tersebut menunjukan adanya penyimpangan tentang sesuatu perkara aqidah yang diterimanya dari selain Alloh, dan penympangan lain berupa taqlid dan menukil tanpa dipikirkan dan diselidiki,”  (Fi Zhilalil Quran, I : 155)
                Disini bisa dimaklumi bahwa taqlid yang dicela adalah taqlid dalam kebatilan. Adapun taqlid yang menyangkut al haq, pada hakekatnya bukanlah suatu taqlid, anmun lebih tepat disebut suatu ittiba’. Karena itulah kita dapati dalam prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mengatakan, “Kita mengikuti apa-apa yang telah menjadi komitmen Salafush Sholih.” Kalimat ini menunjukan ungkapan “ittiba” bukannya taqlid. Dalam pernyataan lain juga dikatakan, “Kami mengikuti (ittiba’)dan bukan melakukan bid’ah.”
                Maka jelaslah, bahwa salafush Sholih, mereka itu tidak lain hanyalah mengikuti Al Kitab dan As Sunnah, dan orang-orang yahg mengikuti mereka dan manhajnya tidak lain hanyalah sebagai orang yang mengikuti petunjuk Al Kitab dan As Sunnah.
      Ibnu Dirbas berkata sebagaimana yang dikatakan oleh Al Qurthuby, “Banyak kalangan orang-orang yang menyimpang mengatakan kepada orang-orang yang memegang Al Kitab dan As Sunnah, bahwa mereka itu adala muqollid. Ini kesalahan mereka bahkan perkataan ini lebih tepat ditujukan kepada mereka dan mahjab mereka, dimana mereka menerima perkataan tuan-tuan dan pembesar-pembesar (tokoh-tokoh) mereka dalam hal yang bertentangan dengan Kitab dan Sunnah RosulNya serta ijma’ para sahabat ra.” (Al Jami’ Li Ahkam ‘l Quran Karim, Al Qurtuby, II : 213)
      Imam Al Qurtuby berkata, “Tidaklah sama perkataan Ahlul Aatsar dengan pekataan mereka tentang keyakinannya, dimana merka mendapatkan dari Imam-Imam dan nenek Moyang mereka dalam mengambil Kitab, Sunnah dan Ijma’ Salafush Sholih. Sedangkan perkataan mereka adalah ; ‘Sungguh kami dapati nenek moyang kami dan kami mentaati para pemimpin dan pembesar (tokoh) kami dalam menempuh jalan. Sebab mereka (Ahlul Atsar) menisbatkan (apa yang dilakukan mereka) itu kepada Kitab dan mengikuti Rosulullah saw, dan mereka (ahlut Taqlid) menisbatkan kebohongan mereka kepada ahlul batil (orang-orang yang batil), sehingga makinsesatlah mereka dengan sikap itu.” (Al Jami’ Li Ahkamil Quran, II : 213).
      Diantara ayat-ayat yang diturunkan dalam rangka mencela taqlid dan pelakunya, adalah Firman Alloh Ta’ala berikut ini ;
Apabila dikatakan kepada mereka; marilah mengikuti apa yang diturunkan Alloh dan mengikuti Rosul. Mereka menjawab, “Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka akan mengiuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? (Al Maidah : 104)

      Ibnu katsir rohimahullah berkata tentang ayat tersebut didalam tafsirnya, “Maksudnya adalah manakala mereka diseru kepada Dienullah dan syari’atNya dan apa-apa yang diwajibkan serta meninggalkan apa-apa yang dilarangNya, mereka berkata,’Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati dari nenek moyang kami, tentang jalan maupun jejak yang mereka tempuh’.
      Maka dari itu, taqlid buta dan ta’ashshub keduanya akan menyeret kita kedalam lembah kenistaan. Dan menuntun pelakunya kepada jalan-jalan yang keliru dan sesat, serta menghalangi kita dalam mengikuti cahaya dan petunjuk. Maka jadilah kita berjalan tanpa petunjuk dan berbalik (membelakangi kebenaran), akhirnya binasa danmerugi diakhirat.
      Adapun pengingkaran dalam ayat tersebut (dan apakan mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka tidak mengetahui apa-apa dan tidak( pula)mendapat petunjuk). Hal tersebut untuk menunjukan fakta mereka, orang-orang yang menentang dan menyimpang. Begitu pula dengan nenek moyang mereka sebelumnya, mereka mengikuti apa-apa yang disyari’atkan oleh nenek moyang mereka juga,atau apa-apa yang mereka syaria’atkan untuk mereka sendiri.
      Makna istinkar itu bukanlah berarti; andaikan mereka dan nenek moyang mereka mengetahui sesuatu, tentu mereka boleh mengikutinya dan meninggalkan apa-apa yang diturunkan Allah dan apa-apa yang diterangkan oleh RosulNya.
      Sesungguhnya seseorang tidak boleh mengikuti apa yang disyari’atkannya sendiri dan nenek moyangnya, sementara dihadapannya ada syari’at Alloh dan Sunnah RosulNya saw, jika tidak demikian dia tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak juga ditunjuki. (Al Jaami’ li Ahkamil Quran, Al Qurtuby, II : 213)
      Allah memberitakan, bahwa ketaqlidan mereka terhadap nenek moyang mereka itu merupakan penyebab ummat-ummat terdahulu berpaling dari hidayahNya dan wahyuNya. Dan mereka menjadikannya sebagai hujjah untuk menolak wahyu yang dibawa oleh nabi-nabi mereka, tanpa mau berpikir, merrenung dan meneliti. Yang mereka lakukan adalah menapak diatas kebatilan dan ta’ashshub terhadap kebiasaan-kebiasaan (adat) sekalipun bertentangan dengan kebenaran. Allah Ta’ala berfirman,   
dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamuu seorang pemberi peringantan pundalam satu negeri, melaikan orang-orang yang hidup mewah dalam negeri itu berkata, “Sesungguhnya dapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak mereka.” (Rosul) Itu berkata,”Apakah (kamu akan) mengikutinya (juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk aripada apa yang kamu dapati dari anutan bapak-bapak kamu?”. Merek menjawab, “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (Az Zukruf : 23-24)
      Imam Al Qurtuby berkata, “Ayat ini jelas menunjukan batalnya (berlaku) taqlid, karena tercelanya mereka yang bertaqlid kepada bapak-bapak mereka dan meninggalkan perhatian mereka dalam menerima seruan yang dibawa oleh Rosulullah saw, kepada mereka.” (Al Jaami’ li Ahkamil Quran, XVI : 75)
      As Sa’ady berkata, “Hujjah-hujjah mereka itu termasuk hujjah yang biasa dilakukan oelh kaum musyrikin yang sesat. Dengan bertaqlid kepada bapak-bapak mereka yang sesat, tidak ada maksud mereka untuk mengikuti petunjuk dan kebenaran. Itu mereka lakukan semata-mata dalam rangka ta’ashshub (fanatis), yang dimaksud untuk membela kebatilan mereka.”
      Oleh karena itu setiap Rosul berkata kepada orang yang menentangnya denagn cara melemparkan syubhat yang batil,
Apakah (kamu kan mengikuti juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk dari apa yang kamu dapati dari anutan bapak-bapakmu?
Maksudnya, apakah kamu akan mengikuti demi kebenaran dan petunjuk ? mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.”
      “Tentang hal ini, maka ketahuilah bahwa mereka enggan mengikuti kebenaran dan petunjuk. Justru yang ingin mereka ikuti adalah kebatilan dan hawa nafsu.” (Tafsir Al Karimur Rohaman, VI : 640)
      dan Sayyid Quthb berkata, sebagai komentar atas perkataan kaum musyrikin dan hujjah mereka yang batal (tidak dapat dipertanggungjawabkan), “Yaitu perkataan yang menyeru kepada olok-olokan (berupa) hujjah yang membingungkan yang tidak berdiri diatas kekuatan. Hujjah itu semata-mata merupakan wujud dari sikap sombong dan taqlid mereka, tanpa mau merrenungkan, mempelajari, memikirkan, dan tidak juga didukung oleh alasan dan dalil. Ini merupakan gambaran sikap mereka yang meremehkan, ingin berjalan semau gue dan tidak perlu lagi  bertanya kemana harus melangkah, dan tidak juga mengikuti petunjuk-petunjuk jalan.” (tafsir Fizilalil Quran, III : 3182)
      Allh Ta’ala telah memberikan tentang keadaan orang-orang yang berpaling dari petunjukNya dan tiodak mengikuti apa-apa yang dibawa oleh para nabi mereka, mereka hanya mengikuti tokoh-tokoh da pembesar-pembesar mereka. Allah SWT, menjelaskan tentang mereka di akhirat,    

Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, “Alangkah baiknya andaikan kami taat kepada andaikan kami telah mentaati pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (Al Ahzab : 66-67)
      Ibnu Katsir berkata, “Berkata Thawus ; yang dimaksud pemimpin-pemimpin kami adalah orang-orang yang terkemuka, dan pembesar-pembesar kami artinya para ‘Ulama. Diriwayatkan dari Ibnu Hatim, artinya ‘kami mengikuti umara’ (para pemimpin) dan para pembesar dari guru-guru dan syekh-syekh kami, dan kami menyalahi rosul-rosul serta meyakini bahwa mereka (pemimpin dan pembesar) itu memiliki sesuatu (pengetahuan) dan mereka berdiri diatasnya, namun nyatanya mereka tiak memiliki sesuatu (pengetahuan) apapun.” (tafsir Al Quran ‘l ‘Azhim, III : 519)
      Didalam tafsirnya Imam Al Qurtuby berkata tentang ayat tersebut diatas, “Sikap demikian itu merupakan larang untuk bertaqlid.” (Al Jaami’li Ahkamil Quran, XIV: 249). Adapun yang dimaksud dengan jalan yang menyesatkan mereka daripadanya adalah tauhid.
      Berkata Asy Syaukani, “Yang dimaksud dengan para pemimpin dan pembesar-pembesar mereka adalah pemimpin dan tokoh yang mereka ikuti perintahnya di dunia dan mereka teladani. Dalam hal inilah taqlid ini dikenakan larang an yang keras. Banyak sekali peringatan di dalam Kitabullah tentang larangan bertaqlid dan perintah untuk menjauhkan dirinya.” (Fathul Qodir, IV : 306).
      Hujjah-Hujjah yang disajikan oleh ayat-ayat tersebut hanyalah untuk menunjukan batilnya taqlid tanpa hujjah da dalil. Ayat-ayat tersebut sekalipun ditujukan untuk orang kafir, namun sekaligus sebagai ibroh bagi orang-orang mukmin. Sebab taqlid itu, antara satu dengan yang lainnya memiliki kesamaan model, sekalipun didalamnya terdapat dosa yang berbeda-beda.
      Ibnu Abdil Barr berkata, “Para ‘ulama telah berhujjah dengan ayat ini tentang batilnya taqlid, dan kekafiran mereka tak menghalangi untuk berhujjah dengannya. Sebab persamaannya bukanlah dari sisi kekafiran dan kimanannya, yang ada diantara sesama muqollid adalah karena sikapnya yang tanpa hujjah. Seperti halnya, andaikata bertaqlid kepada seseorang yang berakibat kufur, dan bertaqlid kepada yang lainnya berakibat dosa, kemudian bertaklid kepada yang lainnya berakibat salah, maka titik permasalahannya adalah mereka masing-masing tercela karena bertaklid tanpa hujjah. Sebab semua taqlid, antara satu dengan yang lain, modelnya sama, sekalipun berbeda tingkat dosa yang dilakukannya.” (Jaami’ Bayan ‘l ‘ilm wa Fadlihi, II : 110)
      Banyak hadits yang dijadikan para ‘ulama jadikan hujjah dalam membatalkan taqlid dan melarang melakukannya. Antara lain hadits dari Adi bin Hatim. Bahwasannya dia berkata, “Aku mendatangi Nabi saw, sementara dileherku terpasang kalung salib dari emas, maka beliau berkata kepadaku, ‘Lepaskan berhala itu dari lehermu.’ Akupun melepaskannya, dan mengekhiri (memakai barang haram itu) sementara Nabi saw, membacakan surat At Taubah (ayat 31)     
Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahibnya sebagai tuhan selain Allah, dan (juga) mereka mempertuhankan Isa Al Masih putra Maryam. Padahal mereka hanya disuruh untuk menyembah Ilah yang Esa, tidak ada Ilah selain Dia.
      Adi berkata, “Wahai Rosulullah, aku tidaklah menyembahnya.” Lalu Rosulullah saw, bersabda, “Bukankah mereka itu telah menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan oleh Allah dan mengharamkan apa-apa yang telah dihalalkan olehNya, sehingga kamu membenarkannya dan mentaati mereka ?” Adi berkata, “Ya, memang benar.” Kemudia Rosulullah bersabda lagi, “Itu sama artinya menyembah mereka.” (Lihat Sunan Turmudzi, III : 56)
      Adapun dari atsar para sahabat dan salafus sholih tentang masalah ini sangat anyak sekali, antaranya ;
      Berkata Ibnu Abbas ra, “Hampir-hampir batu menimpamu dari langit, ketika aku katakan,” Berkata Rosulullah saw, ‘kalian berkata, “Berkata Abu Bakar dan Umar?” (Jaami’ Bayannul ‘ilmi wa Fadluhu, Ibul Abdil Barr, II : 196)
      Ibnu Qoyyim berkata dalam menanggapi perkatan Ibnu Abbas ra, “Semoga Allah memberi rahmat kepada Ibnu Abbas ra, bagaimana seandainya ada seseorang melihat satu kaum yang menentang perkataan Rosulullah saw, dengan mengatakan, ‘Telah berkata Aristoteles, Plato, Ibnu Sina, Al Farabi, Jahm bin Sofwan, Bisyr bin Ghoyats Al Marisy, Abil Huzail Al ‘Allaf dan yang semisal dengan mereka.” (lihat Muktshor Ash Showa’iq ‘l Mursalah, Ibnu Qoyyim, I : 224)
      Dan dikatakan kepada Imam Ahmad bin Hambal, bahwa sesungguhnya ada seorang (golongan) yang meninggalkan hadits, dan berpihak pada pendapat pendapat Sofyan dan yang  lainnya. Lalu Imam Ahmad berkata, “Saya heran tehadap satu kaum yang mendengar hadits dan mengetahui sanad-sanadnya dan menshohihkannya lalu meninggalkannya, kemudian mengikuti pedapat sufyan dan yang lainnya." All”h berfirman,      
Maka hendaklah orang-orang yang memyalahi perintahNya takut akan ditimpa azab yang pedih. (An Nur : 63)
      Tahukah anda apa fitnah itu ? Fitnah adalah syirik, sehingga jika ia membantah sebagian firmanNya, karena dalam hatinya terdapat sesuatu perkara yang menyimpang, maka binasalah ia. (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah ‘an Ayari’atil Firkotin Najiyah, I : 260)
      Imam Syafi’I berkata, “Pra ‘ulama besepakat, bahwa barang siapa yang telah jelas padanya sunnah Rosulullah saw, maka tak patut ia meninggalkannya karena perkataan seseorang.” (lihat I’lam al Muwaqi’in, Ibnu Qoyyim, II : 361)
      Para dalil-dalil yang terdahulu, telah dipaparkan jelas kepada kita bahwa taqlid dan ta’ashshub, keduanya akan menolak ittiba’nya seseorang kepada Nabi saw secara penuh, dan juga menghalanginya dalam menerima petunjuk dan kebenaran.
      Dengan demikian, sudah cukup jelas untuk dikatakan berdosa (bagi orang yang taqlid dan ta’ashshub) dan jauh dari jalan yang lurus. Disini terdapat ibroh, bagi orang yang mau mengambilnya sebagai ibroh, dalam rangka menjauhkan dan membuang jauh-jauh taqlid dan ta’ashshub.
      Penyakit kronis ini telah tersebar pada diri ummat Islam, lebih-lebih pada masa-masa sekarang ini. Bahkan hhal ini telah menjadi sesuatu yang asasi dan pokok, yang menimbulkan berbagai kejelekan dan perkara besar dalam agama ini.
Asy Syaukani mensifati kondisi ummat Islam manakala mereka taslim (pasrah) kepada taqlid dan mengikuti kebiasaan-kebiasaannya yang buruk. Ia berkata, “Dan dengan taqlid inilah yang merupakan mediiator bagi syetan dan thoghut. Sehingga tetaplah musyrik jahiliyyah itu pada kemusyrikannya., Yahudi tetap pada ajaran Yahudinya dan Nashroni tetap pada kenashroniannya, begitu pula dengan pelaku bid’ah tetap pada bid’ahnya. Maka jadilah yang ma’ruf itu munkar dan munkar itu ma’ruf. Pada akhirnya, muncullah pada diri ummat Islam berbagai masalah syari’ dan yang lainnya, yang membuat hati mereka untuk semakin kuat untuk bertaqlid dan ta’ashshub. Sehingga bila ada orang yang berusaha menganjurkan kepada mereka untuk meninggalkan taqlid dan kembali kepada syari’at yang bersih dan murni, mereka menghindarinya. Tabi’at mereka tidak berkenan menerimanya, bahkan mereka cenderung tidak suka pada orang yang memberi peringatan itu dan mengadakan perlawanan denagn kata-kata yang tidak pantas. Inilah kenyataan yang banyak terjadi pada setiap firqoh dan tak bisa dipungkiri lagi.
      Coba anda perhatikan ujian yang menimpa ummat Islam ini, yaitu dengan adanya taqlid kepada orang yang sudah mati dalam menjalankan Dienullah. Sampai-sampai, setip kelompok dalam seluruh permasalahan agamanya didasarkan pada perkataan’ulama tertentu, tidak mau dan tidak rela menerima perkataan yang lainnya. Bahkan dari itu, mereka telah melecehkan seluruh ‘ulama dan mereka menganggap sesat, bid’ah dan berpaling dari mereka. Lebih jauh lagi mereka melontarkan tuduhan fasik dan kafir. Maka bertambah jahatlah mereka, dimana setiap pengikut madzab itu seakan-akan penganut millah yang bebas dan merdeka, yang memiliki seoarang ‘nabi’ tersendiri, yaiotu orang alim yang ditaqlidkannya. Sama sekali tak ada (orang alim itu) tanpa mau mendengarkan kata-kata (‘ulama) lain. Mereka pun semakin berlebihan, dengan manjadikan perkataannya lebih penting (lebih pantas untuk didahulukan) dari pada kalam Allah dan RosulNya. Adakah fitnah dan ujian yang lebih besar dari ini ?
Bagi orang yang memperhatikan keadaan tentang fitroh-fitroh, madzab-madzhab dan sekte-sekte, ia akan melihat dengan jelas sikap yang melampaui batas (berlebih-lebihan) terhadap ‘ulama, ataupun kepada orang yang dianggapnya sebagai ‘ulama, mereka berta’ashshub kepadanya.
Perkara tidak berhenti sampai kepada taqlid dan ta’ashshub kepada syekh-syekh, Imam-imam dan ikut-ikutan saja, namun sudah sanpai pada tingkat sombong dan membanggakan diri terhadap orang yang dinisbatkan kepadanya, menolak dan tak mau peduli terhadap yang lainnya.
Ini semua merupakan ulah ahli bid’ah dan pengabdi hawa nafsu, di mana mereka memecah ummat menjadi kelompok-kelompok dan golongan-golongan dan masing-masing senang dengan golongannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Tidak ada seorang pun yang mengangkat dirinya sebagai orang yang (patut) menyeru kepada jalan yang ditempuhnya (thoriqohnya), merupakan prinsip muwalah dan mu’adah di atas jalan itu, selain dari Nabi saw. Dan tidak patut pula seseorang memaksakan pendapat (perkataannya) kepada mereka, bermuwalah dan bermu’adah di atasnya, selain kalam Allah dan RosulNya dan apa-apa yang telah disepakati ummat. Ini merupakan perbuatan ahli bid’ah yang mengangkat dirinya, dan perkataannya dapat memelah ummat, dimana mereka menjadikan perkataan dan nisbat (kaitan-kaitan) tersebut sebagai ukuran muwalah dan mu’adah.” (liihat Majmu’ul Fatawa, XX : 164)
Talid kepada seseorang, yang semata-mata didasarkan pada keyakinan yang baik terhadapnya tanpa ada keterangan, dalil dan hujjah, lalu memjadikan perbuatan dan perkataan mereka sebagai abbud, itu semua merupakan kesesatan yang nyata. Yaitu yang menyebabkan terjerumusnya kebanyakan generasi muta’akhirin ini kedalam perbuatan bid’ah dalam dienullah. (lihat Al I’tishom, oleh Asy Syatibi, II : 182)
Fanatik terhadap satu Imam atau seorang alim tanpa memperdulikan yang lainnya, merupakan jenis perbuatan dari sekte Rofidloh. Mereka berlebih-lebihan dalam hal mendudukan para Imam mereka, berta’ashshub terhadap mereka, hingga menganggap mereka (para Imam) itu ma’shum (bebas dari dosa, kecil maupun besar), kemudian mendahulukan perkataan mereka dari pada perkataan Rosulullah saw.
Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi berkata, “Maka sesungguhnya orang yang benci (murka) dan ta’ashshub terhadap seseorang dari para Imam itu disifati sebagai tercela, yang termasuk perbuatan Rofidloh.” (lihat Al I’tiba, hal 25)
Penulis Kitab Al Muquddimah berkata, “Ta’ashshub itu merupakan cabang dari klaim kema’shuman yang tidak terlepas dari unsur ta’ashshub. Apa yang ada dalam klaim itu sama dengan apa yang ada dalam ta’ashshub, yaitu cacatnya pola pikir dan jauh dari kebenaran. darinya lahirlah firqoh-firqoh seperti Rofidloh.” (Moqoddimah fi Asbab Iktilaf ‘l Muslimin wa Tafaruquhim, hal 84)
Karena itulah kita melihat bagaimana simuqollid yang fanatik ini tidak mau mencabut perkataan orang yang ditaqlidinya dan difanatikinya. Sekalipun telah jelas padanya kesalahan orang yang ditaqlidinya itu, bahkan ia tak mau menyalahi perkataannya meskipun telah datang nash dan dalil yang menentangnya, dan ia juga membenarkannya dengan berbagai alasan.
Ibnu Qoyyim rohimahullah berkata, “Denikian kondisi seluruh arbab muqolat dan madzahib, ia mengikuti pendapat dan perkataan orang yang dijadikan idolanya dan ditaqlidinya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolak hal tersebut, kemudian ia yakin, bahwa imam dan syekhnya itu lebihsempurna darinya,baik ilmu maupun kesempurnaan akal pikirannya. Padahal menurut ilmu maupun akal, ia menyadari bahwa yang diikutinya itu bukanlah tergolong orang yang ma’shum (terbatas) dari kesalahan.” (Kitab Showa’iqul Mursalah, III : 386)
Diantara hasil dari sikap ta’ashshub yang membahayakan dan amat jahat itu adalah ‘enggan menerima kebenaran’ dan membantahnya manakala dianggap bertentangan dengan (pendapat)nya. Hal inilah yang dapat menimbulkan permusuhan, kebencian dan perpecahan (tafarruq), dan ini merupakan sikap mereka yang tercela dan dimurkai. Allah dan RoaulNya saw, telah memerintahkan kepada kita untuk menjauhi thoriqoh mereka dan menyerupai mereka. (kitab Iqtidlo’ Ash Shirothol Mustaqim, oleh Ibnu Taimiyyah)
Allah berfirman,                      
Dan apa bila dikatakan kepada mereka; Berimanlah kepada Al Quran yang diturunkan Allah. Mereka menjawab, “Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami.” Dan mereka kafir kepada Al Quran yang diturunkan sesudahnya, sedangkan Al Quran itu adalah (Kitab) yang haq yang membenarkan apa yang ada pada mereka. (Al Baqoroh : 91)
      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Maka (Allah) mensifati Yahudi, bahwa mereka mengetahui kebenaran sebelum datangnya orang yang membacakan kebenaran itu dan mengajak kepadanya. Maka ketika orang yang bukan berasala dari golongannya membacakan dihadapan mereka, maka tidak mau mematuhinya. Dan mereka tidak mau menerima kebenaran kecuali (yang datang) dari kelompok yang mereka nisbatkan kepadanya, di samping mereka juga tidak itzam kepada Aqidah mereka.”
      “Dan inilah ujian yang sering menimpa kebanyakan orang yang menisbatkan kepada kelompok  tertentu dalam hal ilmuatau dien, yang berasal dari kalangan ahli fiqh, kaum sufi atau yang lainnya. Atau kepada tokoh-bukan Nabi- yang diagung-agungkan dalam agama menurut mereka. Dan mereka tidak mau menerima (seruan agama) baik secara akal maupun riwayat (nash), kecuali yang datang dari sisi kelompok mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa yang diwajibkan oleh kelompok mereka. Sementara dien Islam secara mutlak mewajibkan untuk mengikuti kebenaran, baik riwayat maupun ro’yu tanpa harus menentukan seseorang atau kelompok tertentu-kecuali Rosulullah saw.” (Iqtidlo Ash Shirothol Mustaqim, I : 73-74)
      Mana kala sikap taqlid dan ta’ashshub telah mencapai pengaruh yang membahayakan, kita mendapati para ‘ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengelaurkan stetmen (kesepakatan) bersama atas terlarangnya berlaku taqlid dan ta’ashshub kepada mereka.
      Imam Malik rohimahullah menerangkan dengan perkataannya yang merupakan prinsip utama dalam bab ini. Yang dituntut bagi setiap muslim, seyogyanya untuk merenungkan dan memperhatikan dengan benar agar ia tahu, bahwa ‘ulama sekalipun mereka memiliki kedudukan yang tinggi dan disegani dan kita wajib menghormati dan mengagungkan mereka, namun kita tetap wajib membatasi diri agar tidak berlebih-lebihan dalam menjunjung martabat mereka. Itu sebabnya kerena mereka adalah manusia biasa yang tak terlepas dari kesalahan.
      Imam Malik berkata, “Siapa saja perkataannya bisa diambil dan bisa juga ditolak, kecuali orang yang berada didalam kubur inio (sambil menunjuk kuburan Nabi saw.).” (Irsyad As Salik, oleh Ibnu Abdul Nadi, I : 227)
      Beliau juga berkata, “Tidak ada seorangpun yang setiap kata-katanya mesti diambil. Sekalipun baginya memang patut memiliki kelebihan untuk diikuti. Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,      
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya………(Az Zumar : 18)
      Fanatik terhadap guru, syekh dan pribadi-pribadi tertentu secara berpaling dari hujjah dan dalil, adalah penyebab yang menyesatkan dari kebanyakan kaum. Dengan sebab itu, akhirnya mereka keluar dari hal-hal dankebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh salafus sholih dari kalangan sahabat dan tabiin.
      Asy Syatibi menyebutkan sepuluh contoh tentang masalah ini, dan yang terpenting dan terbesar bahanya adalah kelompok yang pertama. Katanya “Yang paling bahaya adalah perkataan orang yang menjadikan bapak-bapak dan nenek moyang sebagai ikutan dalam prinsip agama, kepada mereka (nenek moyang) lah seluruh perkara dikembalikan tanpa peduli dengan yang lainnya, sampai-sampai mereka menolak bukti-bukti keterangan risalah, hujjah Al Quran dan dalil aql.”(lihat Al I’tishom, II : 347)
      Kelompok selanjutnya adalah orang yang melakukan kema’shuman seorang manusia selain Rasulluloh SAW,dan dia taqlid terhadap apa-apa yang dikatakanya ,sekalipun bertententangan dengan kalamulloh dan Rasulnya,seperti yang telah di perbuat oleh Rofidloh dan yang lainya. Setelah itu Asy Syatibi menyebutkan contoh-contoh lainya sampai 10
Asy Syatibi juga memberikan terapi dari penyakit tersebut dengan mengatakan,”Al hasil,dari apa yang telah lalu,bahwa bertahkim kepada sesorang tanpa memperdulikan statusnya sebagai Wasail untuk mencapai hukum syar’I adlah sesat.dan tidak ada taufik kecuali dengan spertolongan Allah SWT.
Sesungguhnya hujjah dan hakim yang paling agung dapat memutuskan adalah syaria’t,bukan yang lain .”(Al I’tishom ,II:225) 
Beliau juga menyebutkan dalil-dalil sunnah dan perkatan salafus sholih dalam rangka mencela taqlid dan mengikuti sunnah(selain sunnah RasullulohSAW.). (lihat Al I’thisom,256-362)

Perbedaan antara ta’ashshub dan tsabatul haq (menetapi kebenaran)
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam bab ini adalah tentang perbedaan esensi antara ta’ashshub dan tsabat (menetapi) terhadap suatu kebenaran. Keduanya mempunyai pengertian yang hampir sama, sehingga banyak juga orang yang tidak bisa membedakannya.
      Kedua istilah itu berbeda secara hakiki, baik dalam asal mula terjadinya, jalannya maupun hasil-hasilnya. Masing-msing mempunyai pengertian dan batasannya sendiri.
      Penulis Kitab Al Muqoddimah berkata, “Memisahkan pengertian antara ta’ashshub dan tsabat terhadap kebenaran, agaknya cukup sulit. Keduannya mempunyai makna yang berdekatan, sehingga keduanya hampir tidak bisa dibedakan, kecuali bagi orang yang mempunyai keinginan untuk menelitinya secarra mendalam. Maka kita melihat sebagian orang ada yang memuji ta’ashshub, katanya hal itu sebagai bukti kuatnya iman dan mantabnya aqidah. Namun ada juga sebagian yang mencela orang yang berpegang teguh kepada kebenaran dan tsabit terhadapnya, mereka menuduhnya dengan jumud dan ta’ashshub.”
      “Asal mula timbulnya ta’ashshub adalah lemahnya jiwa dan kejahilan akalnya. Kebenaran yang dipegang adalah yang lahir dari kepuasan ra’yu (akal) dan kejelasan dalil.”
      “Jalan yang ditempuh orang yang ta’ashshub adalah melawan (menghalangi) seseorang untuk mengetahui dalil yang menyalahinya atau menolak untuk mendengarkan (kebenarannya), atau mempertimbangkannya dalam bentuk apapun.”
      “Sementara, jalan yang ditempu oleh orang yang berpegang teguh pada kebenaran adalah munaqosyah (diskusi) bebas, dan mendengarkan dalil yang bertentangan dengan dada terbuka dan wawasan yang luas, serta menolak secara halus tanpa menjatuhkannya dengan berharrap semoga dia diberi petunjuk.”
      “Hasil ta’ashshub adalah ikhtilaf, terbentuknya firqoh dan saling bembenci, sedangkan hasil dari menetapi kebenaran adalah persatuan dan kesatuan pada kebenaran, serta mengoreksi/menegur orang-orang yang menyalhi manhajnya. Lalu cahaya dalam hati akan memancarkan sinar terang yang akan menunjukinya kepada jalan yang luurus.”
      “Ta’ashshub dan berpegang teguh pada kebenaran, masing-masing mempunyai tempat dan batasannya tersendiri.”
      “Didalam ushuluddin, prinsip-prinsipnya yang tsabit dan metawatir, dan apa-apa yang datang dari Rosulullah saw, tidak ada tempat untuk toleransi. Bahkan, berpegang teguh kepada kebenarran hingga mencapai titik optimalnya adalah hal yang dituntut dan terpuji. Adapun dalam masalah-masalah yang dibolehkan untuk berikhtilaf adalah sepertihalnya dalam masalah-masalah fiqh yang mengandung berbagai pandangan, sesungguhnya berketetapan (tsabat) terhadap kebenaran, bukanlah berarti meniadakan tasamuh (toleransi) atau saling menghargai, saling menghormati ijtihad orang lain.” (lihat Moqoddimah fi Asbab Ikhtilaf ‘l Muslimin wa Tafaruqihim, hal : 85-86).

Perkara taklid dalam hukum amaliyyah
      Sekalipun pembahasan ini berkaitan dengan masalah aqidah, namun, mau tidak mau, saya juga harus menyinggungnya masalah yang berkaitan dengan pasal ini, yaitu masalah taqlid dalam hukum-hukum fiqh, apakah boleh atau tidak?
      Dalam bahasan ini, saya akan menjesakan dengan bersandar pada perkataan-perkataan para muhaqqiqin dari ahli ilmu, disamping penyajiannya sendiri saya ringkas menurut perkara-perkara yang penting saja. Saya bicarakan masalah ini karena:
1.       Erat kaitannya dengan pembahasan pasal ini (taqlid dan ta’ashshub).
2.      Perhatian ‘ulama, dulu maupun sekarang, tentang pentingnya perkara ini.
3.      Salafush Sholih tidaklah memisahkan antara yang ushul dan furu’ sebagaimana generasi sekarang, dimana mereka bersandar pada pembagian-pembagian secara ilmiyyah dalam rangka memperluas ilmunya lalu mengklasifikasikannya dengan membuatnya bercabang-cabang.
4.      Manhaj Ahlus Sunnah wa Jama’ah adalahsatu dan bersifat umum dalam perlakuannya terhadap berbagai jenis ilmu. Sebagaimana mereka mencela taqlid dan fanatik golongan dalam hal prinsip agama dan aqidah, mereka pun mencela keduanya menakala menyangkut perkara-perkarra ijtihadiyyah, yang bersifat cabang sekalipun.
Bahsan akan saya urut menurut point-point berikut ini :
Pertama, Manusia, dalam hal ini ada yang berlaku ekstrim dan ada yang berlaku adil (di tengah-tengah). Diantara mereka ada yang mengharamkan total tentang taqlid dan mewajibkan ijtihad. Namun ada juga yang mengatakan ‘wajibnya’ taqlid tanpa kecuali, sehingga setiap orang baik ‘ulama maupun orang awam, diharuskan mengikuti secara taqlid kepada salah seorang ‘alim diantara keempat imam mujtahid yang masyhur (Syafi’I, Malik, Abu Hanafi, dan Imam Ahmad bin Hambal).
      Kedua golongan ini sama-sama ekstrim dalam memandang suatu perkara, dan ini tercela. Yang benar dan yang diikuti oleh jumhur ‘ulama, dalam masalah ini perluadanya klasifikasi. Dimana mereka menjadikan (hukum) bertaqlid itu dibolehkan secara umum, demikian pula berijtihad. Tentu saja ungkapan ini, menurut mereka disesuaikan dengan kemampuan dan ketidakmampuannya (dalam berijtihad).
      Maka ijtihad adalah boleh saja bagi yang memiliki kemampuuan untuk melakukannya, dan berlaku taqlid juga boleh saja bagi yang tidak mampu berijtihad. (lihat Majmu’ul Fatawa, XX : 203-204)
Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan hukum-hukum syari’at, Asy Syatibi mengelompokan manusia menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama, yang layak sebagai mujtahid. Maka baginya dalam menentukan hukum haruslah dengan ijtihadnya. (Al I’tishom, II : 342)
      Kelompok kedua, tergolong dalam muqollid murni, tidak memiliki ilmu yang bisa digunakan untuk memutuskan  hukum dalam segala hal. Maka baginya diperlukan pemandu yang membimbingnya.(Al I’tishom, II 343)
      Kelompok ketiga, yang tergolong memahami dalil dan kedudukannya, namun tidak mencapai tingkat maujtahidin. Ia juga memiliki pemahaman dalam mentarjih sumber-sumber yang rojih….. (Al I’tishom, II : 343)
      Syatibi menganggap kelompok yang terakhir ini labil dalam posisinya diantara kedua kelompok yang lain. Bila tarjihnya dianggap layak, hal ini dihukumi sebagai mujtahid dan bagi yang tidak, dihukumi sebagi mana orang awam pada umumnya.
Yang ketiga adalah yang dinyatakan oleh sebagian ‘ulama sebagai “Ittiba”. Insya Allah nanti akan disebutkan perbedaannya dengan taqlid.
Syaikh Abdurahman bin Hasan Ali Syaikh berkata, “Maka (jelaslah), tidak ada satupun iman yang menguasai seluruh ilmu. Maka setiap mukallaf, jika sampai kepadanya dalil dari kitab dan sunnah RosulNya serta memahami pengertian itu, wajib baginya memutuskan untuk mengikutinya dan beramal dengannya, sekalipun bertentangan dengan orang lain yang berbeda pendapatnya. Seperti firman Allah Ta’ala,            
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Robbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya…(Al A’rof : 3).” (Fathul Majid, Syarah Kitab Tauhid, hal :345)
      Justru yang harus diperhatikan adalah syarat yang disebutkan oleh syaikhul tersebut, katanya, “Faham yang menyebutkan tercegahnya seseorang melakukan perbuatan dengan sesuatu yang ia ketahui dari Kitab dan Sunnah, sampai ia mencapai tingkatan mampu untuk berijtihad secara mutlak, perkataannya bisa menjadi penghalang bagi kaum muslimin untuk memperoleh manfaat cahaya Al Qur’an, sampai mereka memenuhi persyaratan yang dituntut, yang ada dlam keyakinan orang-orang yang mengatakan demikian. (lihat Adwa’ul Bayan,VII : 434)
      Tak diragukan lagi, bahwa berpalingnya kebanyakan kaum muslimin dari petunjuk Kitab dan Sunnah serta jauhnya mereka dari penyinaran cahaya wahyu, merupakan sebab terjerumusnya mereka ke dalam perselisihan pendapat dalam hal-hal sysri’at, yang akan mengarah pada tafarruq di kalangan kaum muslumin yang menjadikan mereka berkelompok-kelompok dan bergolong-golongan.
Kedua, Taqlid apa yang diharamkan ? Dan kepada siapa larangan taqlid itu ditunjukan?
      Pertanyaan dijawab oleh Ibnul Qoyyim rohmahullah dalam kitabnya I’lam al Muwaqi’in, jilid II halaman 187, yaitu ketika ia membahas bagian-bagian taqlid yang diharamkan;
1.       Berpaling dari apa yang diturunkan oleh Allah dan tak memperdulikan sama sekali, mencukupkan diri dengan bertaqlid kepada bapak-bapak dan nenek moyangnya.
2.      Bertaqlid karena tidak mengetahui bahwa (orang yang ditaqlidkannya itu) ahli, sehingga ia mengambil (begitu saja) perkataannya.
3.      Taqlid setelah ditegakannya hujjah dari jelasnya dalil yang menentang perkataan Muqollad (orang yang ditaqlidkan).
Adapun kepada siapa larangan taqlid ditujuakan, dapat kita fahami lewat uraian Ibnul Qoyyim tentang pengelompokan jenis-jenis taqlid yang diharamkan. Maka setiap orang yang terjerumus kedalam jenis tersebut, tekene celaan yang oleh para Imam ditujuakan kepada para Muqollad.
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Ali Syaikh mengomentari pernyataan Imam Ahmad yang berkata, “Saya heran kepada satu golongan yang mendengarkan hadits, mengetahui sanad dan keshohihannya, lalu meninggalkannya dan kemudian mengikuti pendapat sofyan dan lain-lain.”
Berkata Syaikh, “Tentang pernyataan imam Ahmad itu menunjukkan kepada pengertian, bahwa bertaqlid sebelum sampainya hujjah, maka pelakunya tidak dicela. Namun bagi orang yang telah sampai kepadanya hujjah, lalu menyalahinya dan mengikuti seseorang  imam, itu adalah tertolak (patut dicela).” (Fathul Majid, syarah Kitab Tauhid, hal ; 345)

Ketiga, Dalam perkara apa saja seseorang dibolehkan untuik bertaqlid? Siapa saja yang dibolehkan untuk berlaku demikian?
      Syaikh Abdurrahman bin Hasan Ali Syaikh berkata, “Tidak diperbolehkan taqlid, kecuali dalam perkara-perkara ijtihad yang tidak ada dalil padanya, dari Kitab dan Sunnah, yang dapat dijadikan rujukan.”(Fathul Majid, hal 344)
      Penulis Kitab Al Muqoddimah berkata, “Kita wajib mengetahui, bahwa atsar-atsar yang disebutkan oleh Ibnul Qoyyim dan yang lainnya dari kalangan ‘ulama tentang celanya bertaqlid, tidaklah mutlak (berlaku umum), namun ia lebih kuat kaitannya dengan taqlid yang diharamkan. Kalau tidak demikian, bagaimana jadinya mencela orang yang bertaqlid di dalam masalah-masalah yang diperbolehkan dan dibenarkan baginya berlaku taqlid.” (lihat Al Muqoddimah fi Asbab Iktilafil Muslimin, hal :93)
      Syaikh Syangiti menambahkan tentang perkara-perkara yang menyangkut ijtihad, yang menurutnya ada dua bagian, “Ijtihad hanya diperbolehkandalam dua hal : perkara yang tidak ada nashnya sama sekali dan perkara yang terdapat nash-nash yang lahiriyyahnya bertentangan, maka wajib dilakukan ijtihad dalam rangkan mempertemukan keduanya (nash yang tampaknya bertentangan itu), atau mentahrijnya.” (lihat Mudzakaroh Ushul Fiqh ‘alaa Raudlotin Nazhir, hal : 314-315)
      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Pada perkara ijtihadi, barang siapa yang beramal berdasarkan pada perkataan sebagian ‘ulama, tidaklah tercela. Dan barang siapa yang beramal berdasarkan salah satu dari dua perkataan (pendapat), juga tidak ditolak. Dan jika masalah itu mempunyai dua pernyataan (ulama), maka seseorang bisa saja beramal dengan salah satu dari dua pernyataan (ulama) itu bila nampak padanya sebagian pendapat yang raji. Dan jika tidak demikian, ia boleh bertaqlid pada sebagian ulama yang dijadikan sebagai sandaran dalam menjelaskan mana yang lebih rajih dari dua pernyataan itu…Allahu A’lam. (lihat Majmu’ul Fatawa, XX : 207)
      Adapun orang yang diperbolehkan melakukan taqlid adalah ; orang yang tak mampu mengetahui hukum syari’ dalam satu persoalan agama. Maka bagi dia hendaklah bertanya kepada orang yang ‘alim yang dapat dipercaya dalam agamanya dan ilmunya tentang hukum perkara tersebut.
      Syaik Ibnu Taimiyyah berkata, “Adapun bagi orang yang tidak mengetahui hukum Allah dan RosulNya, dan ia (hanya mampu) mengikuti orang yang ahli tentang (ilmu) perkara tersebut, dan juga agamanya, sementara ia belum mengetahu bahwa perkataan (ulama) lainnya itu lebih rojih dari perkataan (orang yang ditaqlidkannya) itu, maka hal itu adalah terpuji dan patut diberi pahala, pelakunya tidak dicela ataupun dihukum.” (lihat Majmu’ul Fatawa, XX :225)

Keempat, Wajib membedakan antara ittiba’ dan taqlid.
      Syaikh Syanqithi berkata, “Ketahuilah, bahwa diantara yang harus dipahami adalah mengetahui perbedaan antara ittiba’ dan taqlid. Seseorang dapat saja melakukan ittiba’ dalam satu hal, namun tidak diperbolehkan baginya bertaqlid dalam hal tersebut.”
      “Jelasnya demikian; Bahwa setiap hukum yang sudah jelas dalilnya dari Kitabullah atau Sunnah RosululNya ataupun ijma’ kaum muslimin, maka tidak diperbolehkan untuk bertaqlid dalam masalah ini. Sebab, setiap ijtihad yang menyalahi nash maka ijtihadnya batil, dan tidak boleh bertaqlid kecuali dalam masalah-masalah ijtihadi. Sebab nash-nash Kitab dan Sunnah merupakan penentu (perkara hukum) bagi setiap orang yang melakukan ijtihad. Maka tidaklah dibenarkan bagi siapapun yang menentangnya. Dan tidak boleh taqlid dalam hal yang bertentangan dengan Kitab dan Sunnah ataupun ijma’, sebabtidak ada uswah dalam hal kebatilan.”
      “Maka didalam perkara yang ditunjukan oleh dalil nash-nash, tidak ada jalan lain kecuali ittiba’ saja. Dan tak ada ijtihad ataupun taqlid di dalam perkara-perkara yang sudah ditunjukan oleh dalil-dalil nash, dari Kitab dan Sunnah, yang selamat dari pertentangan.”
      “Membedakan antara taqlid dan ittiba’ merupakan perkara yang sudah biasa menurut ahli ilmu, nyaris tak terbantah tentang kebenaran maknanya oleh seorangpun dari mereka.” (lihat Adlwa’ul Bayan, VII : 547-548)
      Kemudian Syaikhul Islam rohimahullah menerangkan sebab-sebab mengapa beramal mengikuti wahyu itu disebut ittiba’, bukannya taqlid. Sebab ayat Al Qur’an sendiri menujkan tentang penamaan dalam masalah ini dengan ittiba’ disebutkan dalam firman Allah,
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Robbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya, amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya). (Al A’rof : 3)
Lalu firmanNya lagi,

Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Robbmu.
(Az Zumar : 55)
Katakanlah : Sesungguhnya akau hanya mengikuti apa yang diwahyukan dari Robbku. (Al A’raf : 203)

      Dalam pembahasan ini ada perkataan para Imam, diantaranya adalah seperti yang disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr dari Ibnu Khuwaiz Mindad Al Maliky, ia berkata, “Taqlid dalam syari’at, yaitu merujuk kepada perkataan yang tak disertai hujjah oleh yang mengatakannya, adalah terlarang untuk dilakukan. Sedangkan ittiba’ adalah mengikuti perkara hukum yang disertai hujjah diatasnya.” (Bayaanul ‘Ilmi wa Fadlihi, II : 117)
      Dikutip juga beliau, “Siapa saja yang kamu ikuti perkataannya tanpa dalil yang mewajibkan kamu untuk mengikti perkataannya itu, berarti kamu telah bertaqlid kepadanya. Dan taqlid dalam Dienulloh tidak dibenarkan. Siapa saja yang mewajibkan kamu untuk mengikuti perkataannya karena suatu dalil, maka kamu berittiba’ kepadanya. Dan ittiba’ dalam dienullah adalah dibolehkan, sedangkan taqlid itu dilarang.” (lihat Jaami’ Bayaanul ‘Ilmi wa Fadlihi, II : 117)

Kelima, Kaidah-kaidah umum dalam perkara taqlid :
1.       Bagi muqollid, hendaklah dia tidak mengikuti orang yang bertaqlidkannya kecuali terhadap sesuatu yang ia (orang yang ditawlidkannya) memang ‘alim terhadap ilmu yang dibutuhkan oleh si muqollid. Hal itu juga merupakan jalan yang ditempuhnya untuk mendapatkan faedah dari limu tersebut. Jika diketahui atau diduga kuat bahwa ia (yang ditaqlidinya) itu salah, hendaklah tidak meneruskan taqlidnya, kecuali perkara itu jelas. Karena kesalahan dan ketergelinciran adalah hal yang mungkin saja terjadi bagi setiap manusia. (Al I’tishom, II : 344)
2.      Agar tidak membabi buta dalam melakukan taqlid, terhadap orang yang jelas-jelas memiliki kesalahan secara syari’ dalam taqlidnya. (Al I’tishom, II : 345; Majmu’ul Fatawa, XX : 214)
3.      Orang awwam tidak boleh meminta fatwa, kecuali terhadap orang yang diduga kuat, bahwa dia itu seorrang ahli fatwa. Jika di dalam suatu negeri ada beberapa orang mujtahid, maka boleh bertanya kepada siapa saja yang dikehendaki dari mereka. (lihat Mudzakaroh Ushul Fiqh, oleh Syanqthi, hal 315)
4.      Tidak benar untuk beriiltzam kepada satu mahjab tertentu. Pada hakekatnya itu merupakan bentuk taqlidnya seseorang kepada orang ‘alim pada setiap permasalahan yang diperintahkan dan yang dilarangnya, dan ini adalah prinsip.Dalam menetapkan prinsip tersebut , syaikhul Islam berkata, “Dan tidaklah wajib bagi seseorang dari kaum muslimin untuk bertaqlid kepada seseorang ulama manapun, dalam setiap hal yang dikatakannya.” (Majmu’ul Fatawa, XX : 209)
5.      Pengucalian dalam prinsip tersebut adalah : dibolehkan ittiba’ kepada mahjab tertentu bagi seseorang yang tidak mampu mengetahui syari’at kecuali dengan cara tersebut. Syaikhul Islam berkata, “Ittiba’nya seseorang kepada mahzabnya sendiri, adalah jalan yang dibolehkan bagi orang yang tidak mampu mengetahui syari’at tanpa cara tersebut. Namun bagi orang yang memungkinkan untuk menempuh jalan lai dalam mengetahui syari’at, itu tidak boleh. Bahkan  setiap orang hendaknya benar-benar bertaqwa (takut) kepada Allah sesuai dengan kemampuannya. (Majmu’ul Fatawa, XX : 209).
Dibagian lain, Syaikhul Islam mengatakan, bahwa dengan prinsip ini berarti ditolaknya menisbatkan pada syaikh tertentu. Namun jika orang itu memungkinkan tidak bisa beribadah kepada Allah, dengan apa-apa yang diperintahkanNya, kecuali dengan jalan itu (menisbatkan diri pada madzhab tertentu), sebagaimana kondisi di suatu tempat, dimana petunjuk, ilmu dan iman lemah ditempat tersebut, atau dengan menisbatkannya ia pada syaikh, lalu akan  menambahkannya (pengetahuan) diennya dan ilmunya, maka dalam hal ini sesungguhnya ia telah melakukan kebaikan bagi agamanya. Kemudian syaikh menerangkan bahwa yang demikian itu biasanya tidaklah terjadi kecuali disebabkan kelengahannya dalam mencari petunjuk, jika memang ada. (lihat Majmu’ul Fatawa, XI : 514)
6.      Tidak boleh bagi orang yang menisbatkan pada seseorang ulama tertentu, untuk menampakan muwalah dan mu’adahnya di atas asas penisbatan tersebut. Bagi siapa yang melakukan hal demikian, berati ia termasuk ahli bid’ah. Syaikhul Islam berkata, “Maka barang siapa yang lebih condong untuk bertaqlid kepada Syafi’I daripada yang lainnya, sepatutnya tidak mengingkari orang yang lebih condong untuk bertaqlid kepada Malik ketimbang pada yang lainnya. Dan barang siapa yang lebih mengutamakan betaqlid kepada Imam Ahmad ketimbang pada yang lainnya, hendaklah ia tidak mengingkari orang yang lebih mengutamakan bertaqlid kepada Syafi’I, dan seterusnya…..(Majmu’ul Fatawa, XX : 292).
Dibagian lain beliau berkata, “Barang siapa yang menisbatkan diri kepada seseorang, sehingga ia bermuawalah dan bermu’adah terhadap apa-apa yang disepakatinya dalam hal apapun dan kondisi manapun, baik dalam perkataan maupun perbuatan, maka orang itu termasuk dalam apa yang difirmankan oleh Allah Ta’ala,
Termasuk orang-orang yang memecah belah agama mereka, dan mereka dalam keadaan berkelompok-kelompok.”  (Majmu’ul Fatawa, XX : 908).
Juga dibagian yang lain beliau berkata lagi, “Adapun penisbatan-penisbatan yang menyebabkan terpecahnya kaum muslimin, dalam hal ini keluar dari jama’ah dan berikhtilaf, menuju firqoh dan menempuh jalan ibtida’ (bid’ah), maka yang demikian adalah terlarang baginya, berdosa bagi pelakunya, dan berarti juga keluar dari ketaatan kepada Allah dan RosulNya.” (Majmu’ul Fatawa, XI : 514)
7.      Dipebolehkan bagi muqollid untuk beralih madzhab kepada madzhab yang lain dalam perkara dien, dan bukan untuk mencari kemudahan atau serupa dengan itu, yang bukan dengan alasan perkara dien.
Contoh dari kaidah ini adalah ; “seseorang muqollid berpindah kemadzhab lain dalam suatu perkara yang dibangun di atas hujjah yang kuat dan dalil yang jelas, maka yang demikian ini adalah perbuatan terpuji dan berpahala bagi pelakunya. Bahkan hal ini wajib bagi setiap orang bila telah jelas baginya hhukum Allah dan RosulNya, dalam urusan yang tidak menyimpang darinya.”  (Majmu’ul Fatawa, XX : 223)
Jika kaum muslimin benar-benar memperhatikan kaidah kaidah ini serta kaidah lainnya yang telah dijadikan prinsip oleh ulama-ulama Islam, tentulah mereka tidak terjerumus kedalam kesalahan-kesalahan syari’ seprti ta’ashshub yang menyebabkanya berfirqoh-firqoh dan bergolong-golongan.


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------