Pokok Bahasan Kedua

MASALAH PEMAAFAN TERHADAP KEJAHILAN

Dalam bahasan ini terpaksa saya menulis sebuah topik yang mempunyai hubungan kuat dengan yang banyak dibicarakan khususnya pada saat-saat sekarang ini. Hampir setiap bulan saya dapati kitab baru atau risalah tentang masalah ini, yaitu ‘Apakah seorang muslim dengan kejahilannya, dimaafkan atau tidak bila membawa sesuatu yang bertentangan dengan salahsatu persolan hukum dari Aqidah?’.
                Topik ini menyebabkan kerancuan, dan menimbulkan kekacauan diantara barisan pemuda muslim, khususnya para da’I di kalantgan mereka. Dan hal ini menyebabkan tidak bisanya menentukan antara yang ushul dan yang furu’ berdasarkan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dari situlah muncul kelompok-kelompok yang mengkafirkan masyarakat Muslimin, lalu timbul satu hukum, khususnya yang berhubungan dengan orang-orang yang berada disekitarnya.
                Ini merupakan ‘lubang’ yang paling berbahaya, yang kadangkala dapat menimbulkan musibah dan petaka bagi kaum muslimin itu sendiri, jika para ‘Ulama dan para penuntut ilmu tidak bangkit untuk menghadapi fenomena ini dan mengobatinya secara cecrmat.
                Jika kita membuka-buka kitab Slafush Sholih, pasti akan kita dapati diantara para Imam yang berbicara tentang masalah ini dan penjelasannya dengan sejelas-jelasnya. Sekalipun untuk itu kita membutuhkan data dan penyelidikan sumber-sumber rujukannya.
                Dalam bahasan ini, saya akan membatasi pada masalah yang terpenting, yang berkisar pada rujukan sebagian kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimulloh ini saya lakukan karena dengan alasan sebagai berikut :

Pertama :
                Bahasan ini merupakan bahasan yang padat, dan kitab beliau banyak berbicara di sekitar masalah tersebut. Dimana dengan mengungkap perkataan-perkataan beliau, persoalan-persoalannya menjadi jelas. Karena sudah dipastikan, bahwa beliau adalah salah seorang dari Imam Ahlus Sunnah, yang memiliki kemampuan dengan ilmu yang bermanfaat dari kitab dan sunnah. Beliau juga memahami perkataan-perkataan Salafush Sholih dan juga memahami kondisi dan pendapat-pendapat dari kelompok dan mahjab-mahjab, ini yang menjadikan pendapat-pendapat beliau bernilai tinggi dan bermutu, sekalipun secara umum manusia itu bisa salah dan bisa benar, dan perkataannya bisa diambil dan bisa ditinggalkan.

Kedua  :
                Karena adanya persamaan antara masa beliau dengan masa kita sekarang ini. Dimana hawa nafsu dan bid’ah merajalela, dan banyak muncul firqah-firqah dan aliran-aliran sesat. Juga banyak manusia yang jauh dari petunjuk Nabi SAW dan apa yang ditempuh beliau dan para sahabatnya RA.

Ketiga :
                Untuk menjelaskan sejauhmana obyektifitas dan keadilan beliau terhadap musuh dan penentangnya, dan kasih sayang beliau kepada mereka dan keinginannya untk berbuat baik kepada mereka. Dan beliau adalah orang yang paling berhati-hati dalam mengkafirkan kaum muslimiin selkalipun mereka bertentangan dengannya dalqm pendapat dan keyakinan, sekalipun begitu sengitnya pertentangan musuhnya itu dalam sebagian masalah Syari’. Semua itu berbeda dengan anggapan musuh dan para penentangnya baik dahulu maupun sekarang.
                Dari ucapan Syaikhul Islam tentang masalah tersebut, menjadi jelas bagi kita bahwa jawaban tentang pertanyaan diatas (pemaafan atas kejahilan) tidaklah dengan penetapan secara mutlak atau penafian secara mutlak. Sebagaimana yang terjadi pada sebagian orang yang berbcara tentang masalah ini. Bahkan harus dedngan perincian dan pejelasan, dan harus mengembalikan yang cabang pada kaidah umum, agar orang berbicara harus berdasarkan ilmu dan keadilan.
                Syaikhul Islam berkata diawal ucapanya tentang salah satu cabang masalah yang sedang saya pelajari : “Orang itu harus memahami kaidah umum untuk mengembalikan persoalan cabang, supaya dia berbicara berdasarkan ilmu dan keadilan. Kemudian mengetahui, bagaimana persoalan cabang itu bisa terjadi ? Jika tidak, dia akan tetap berada dalam kedustaan dan kejahilan dipersoalan ini, serta berada dalam kejahilan da kedzoliman terhadap pesoalan umum. Akhirnya melahirkan kefasadan yang besar.” (Majmu’ul Fatawa, XIX : 203)
               
Berdasarkan pada yang sudah diuraikan, maka pemaparan saya terhadap perkataan Syaikhul Islam ini berbentuk prinsip-prinsip umum, dan dengan segala kemampuan saya berusaha mengurutkan berdasarkan prioritasnya;

Prinsip pertama :
                Syikhul Islam menjelaskan sikap yang benar dan adil pada apa yang dimiliki oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap manusia secara umum, dan terhadap para penentangnya secara khusus. Bahwa keadilan dan kasih sayang mereka didasarkan pada ilmu yang bermanfaat.
                Beliau berkata, “Para Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah serta para ahli ilmu dan imam, mereka semua memiliki ilmu, bersifat adil dan kasihsayang. Mereka mengetahui yang haq, yang dengannya mereka berusaha sesuai dengan sunnah dan selamat dari bid’ah. Dan mereka bersifat adil terhadap orang yang keluar daripadanya, sekalipun berlaku dzolim, sebagaimana Firman Alloh SWT,
8. Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. QS Al Maidah: 8

Mereka berkasih sayang terhaddap sesama manusia dan mereka menginginkan kebaikan, petunjuk dan ilmu. Tidaklah mereka menginginkan kejahatan. Bahkan jika mereka menghukumi orang lain, mereka menjelaskan kesalahannya, kejahilannya dan kedzolimannya, mereka mempunyai maksud untuk menjelaskan al haq dan kasih sayang, Amar ma’ruf nahyi munkar agar Dien ini semua milik Alloh dan kalimat Allohlah yang paling tinggi.”(Ar Rod ’Ala Al Bakri, hal : 256-257)

Prinsip kedua :
                Mengkafirkan adalah hukum syari’ yang merupakan hak Alloh. Oleh karena itu, tidak boleh dikafirkan kecuali orang yang telah dikafirkan oleh Alloh dan Rosul-Nya. Prinsip inilah yang membedakan antara prinsip Ahlus Sunnah wal jama’ah dengan ahli bid’ah dan ahli firqoh. Ahlus Sunnah tidaklah mengkafirkan orang hanya karena sekedar pertentangan dengannya, sekalipun orang yang bertentangan dengannya itu mengkafirkannya, sebab kekafiran itu adalah hukum syari’ sebagaimana penjelasan terdahulu. (Ar Rod ‘Ala Al Bakri, hal : 257-258)
                Syaikhul Islam telah menerapkan kaidah ini kepada musuh-musuhnya ketika itu, yaitu kaum Jahmiyyah, yang menafikan Alloh diatas Arsy, ketika aku mengalami skrining mereka : Seandainya saya menyetujui kalian, maka saya menjadi kafir. Namun di hadapanku kalian tidaklah kafir, sebab kalian jahil.” Perkataan ini beliau tunjukan kepada para ‘Ulama mereka, para qodli, syekh dan amir mereka. (Ar Rod ‘Ala Al Bakri, hal : 259)
                Adapun ahli bid’ah dan ahli firqoh, dalam menenggapi masalah ini mereka benar-benar menjadi goncang. Dalam hal ini mereka terbagi dua kelompok :

Kelompok pertama, yang menkafirkan karena dosa besar dan maksiat. Mereka mempunyai keyakinan yang sesat, namun mereka panadang sebagai haq dan mereka mengkafirkan orang yang bertentangan dengannya dalam masalah tersebut. Bahkan mereka mengkafirkan orang hanya karena masalah yang sangat sederhana yang tidak bisa dipahami hakikatnya dan tidak diketahui hujjahnya. Sebagaimana yang telah disifati oleh Syaikhul Islam terhadap mereka, bahwa, mereka memiliki kesamaan yang kuuat dengan ahli kitab dalam hal mengingkari kebenaran dan juga kedzolimannya terhaddap manusia. Demikianlah halnya keadaan Khowarij, Rofidloh, Qodariyyah, Jamiyyah dan yang semisal dengannya.

                Kelompok kedua, mereka yang tidak mengetahui I’tiqod Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai mana mestinya, atau mereka mengetahui hanya sebagian dan jahil terhadap sebagian yang lain. Apa yang mereka ketahui itu terkadang tidak dijelaskan kepada manusia, tidak melarang bid’ah dan tidak mencela ahlinya, bahkan bisa jadi mereka menceela terhadap ucapan sunnah dan Ushuluddin secara umum. Kadangkala mereka juga tidak bisa membedakan mana yang dikatakan oleh Ahlis Sunnah wal Jama’ah dan mana yang dikatakanoleh ahli bid’ah dan ahli firqoh. Atau mereka mengakui secara keseluruhan berdasakan mahjab mereka yang berbeda-beda, sepertihalnya ditempatkannya para ‘Ulama pada lahan ijtihad yang boleh di dalamnya berbeda pendapat. Inilah keadaan dari kebanyakan kaum murji’ah dan sebagian ahli tasawwuf dan filsafat (lihat Majmu’ul Fatawa, XII : 466-467)
                Cara yang baik adalah cara yang ditempuh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sebagaimana telah dijelaskan :

Prinsip ketiga :
                Perbedaan waktu dan tempat yang didasarkan pada dominasi kejahilan dan sedikitnya ilmu. Syaikhul Islam berkata setelah menjelaskan tentang sebagian kelompok ahli bid’ah, “Orang-orang seperti mereka, sekalipun saat ini sudah banyak, karena sedikitnya para da’I, ilmu dan iman serta lemahnya pengaruh risalah disebagian besar negara, kebanyakan mereka tidak mempunyai pengaruh terhadap risalahdan warisan nubuwwah yang dengannya dapat mengetahui petunjuk, dan belum sampainya masalah tersebut pada sebagian mereka yang lain. Begitu juga pada masa-masa fatroh dan di tempat-tempat fatroh, seseorang diberi pahala berdasarkan sedikitnya iman yang mereka miliki, dan Alloh mengampuni bagi orang-orang yang belum tegak hujjah padanya. (Majmu’ul fatawa, XXXV : 165-166)
                Didalam kitab yang lain beliau mengatakan, “Namun karena dominannya kejahilan dan sedikitnya ilmu terhadap pengaruh risalah pada sebagian besar orang-orang mutaakhirin, maka kita tidak boleh mengkafirkan mereka lantaran mereka memanjatkan do’a kepada para Nabi dan orang-orang sholih yang sudah meninggal dunia, hingga jelas pada mereka apa yangtelah dibawa oleh Rosulloh SAW, dari apa-apa yang bertentangan, dengannya.” (Ar Rod ‘Ala Al Bakri, hal : 376)

Prinsip keempat :
                Wajib membedakan antara itlaq (penyebutan secara umum) dan ta’yin (penentuan secara khusus). Ini merupakan kaidah agung dan prinsip utama yang merupakan cri dari manhaj Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam persoalan ini.
                Terkadang perbuatan dan perkataan merupakan suatu kekufuran, dan orang yang mengatakan dan melakukan perbuatan tersebut lazim disebut kafir. Seperti perkataan : “Barang siapa yang berkata begini dia kafir, dan barang siapa yang melakukan perbuatan begini dia kafir.” Namun jika ada orang-orang tertentu yang mengatakan perkataan dan melakukan perbuatan tersebut, tidaklah boleh dihukum kafir kecuali telah tegak hujjah padanya.
                Persoalan ini berlaku secara umum didalam nash-nash ancaman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan tidak boleh memberikan kesaksian terhadap orang-orang tertentu dari ahli qiblat, bahwa dia termasuk ahli Neraka, karena ada kemungkinan dia belum mendengar ancaman lantaran tidak terbuktinya syarat atau karena adanya halangan. (Majmu’ul Fatawa, XXXV : 165-166; X : 370-372)
                Dari prinsip ini muncul beberapa cabang, dan ang terpenting adalah :
1.     Membedakan pengkafiran sesuai deengan kondisi seseorang. Syaikhul Islam berkat, “Mengkafirkan seseorang itu berbeda-beda tergantung dengan kondisi seseorang. Tidaklah setiap orang yang salah, melakukan bid’ah, yang jahil dan yang sesat menjadi kafir, ahkan dia juga belum tentu fasik atau maksiat.” (Majmu’ul Fatawa, XII : 180)
                Syaikhul Islam telah menerapkan kaidah ini dalam bentuk amalan terhadap musuh-musuhnya dan para penentangnya. Dia berkata, setelah menyebutkan I’tiqod Al Firqotun Najiyah, “Tidaklah setiap orang yang menyalahi sesuatu dari I’tiqod ini harus binasa. Sebab orang yang menentangnya kadangkala termasuk seorang mujtahid keliru yang diampuni oleh Alloh. Barangkali juga dia belum menerima ilmu yang menjadi hujjah padanya, atau mungkin saja dia mempunyai kebaikan yang dapat menghapuskan kejelekannya, atau dia orang yang diampuni dan lain sebagainya. Inilah yang lebih utama untuk disampaikan. Bahkan perkataan sebenarnya mengharuskan orang yang memiliki I’tiqod seperti itu mestinya akan selamat dengan I’tiqodnya itu, dan barang siapa yang mempunyai keyakinan yang bertentangan dengan hal tersebut, boleh jadi dia itu selamat, boleh jadi juga tiak. (Majmu’ul Fatawa III : 179)
2.     Jika orang tertentu telah jelas tsabit keislamannya, dia tidak akan dikafirkan dengan perbuatannya yang dia lakukan atau dengan perkataannya yang dia ucapkan, kecuali setelah tegaknya hujjah atasnya dan hilangnya keraguan. Syaikhul Islam berkata, “Bagi seorang muslim, tidaklah patut dia mengkafirkan muslim yang lainnya sekalipun ia bersalah, sampai ditegakan dan diterangkannya hujjah padanya. Begitu pula dengan orang yang telah terbukti keislamannya secara yakin, tidak akan gugur keislamannya karena alasan yang meragukan. Bahkan ia etap sebagai muslim sampai ada dalil yang tegas dan hilangnya kesamaran dan keraguan.” (Majmu’ul Fatawa, XII : 465-466)
        Dilain tempat beliau mengatakan, “Mengkafirkan orang tertentu dan membolehkan untuk membunuhnya, tergantung pada sampainya hujjah nabawiyyah kepadanya. Kalu tidak, maka tidaklah setiap orang yang tidak mengetahui sesuatu dari persoalan dien harus dikafirkan.”(Ar Rod ‘Ala Al Bakri, hal : 258)
                Kemudian ia menyebutkan contoh-contoh penerapan kaidah ini, diantaranya adalah kisah tentang seorang Bani Isroil yang menyuruh anak-anaknya untuk memakar mayatnya bila ia mati, kemudian dilumatkan dan dibuang ke laut. Syaikhul Islam berkata, : “Orang tersebut berkeyakinan bahwa setelah dia melakukan hal tersebut, Alloh tidak akan mampu mengembalikannya dan diapun tidak akan dikembalikan. Ini jelas suatu kekufuran namun dia itu orang jahil dan kebenaran belum sampai padanya. Lalu Alloh mengampuninya.” (Ar Rod ‘Ala Al Bakri, hal : 259)
3.     Syaikhul Islam telah menyebutkan berbagai halangan yang menjadi penyebab tidak terkenanya seseorang terhadap ancaman, diantaranya adalah, “Sesungguhnya orang yang menentang itu kadangkala adalah seorang mujtahid yang keliru, yang kesalahannya diampuni oleh Alloh, terkadang juga belum sampainya ilmu padanya tentang masalah itu sebagai hujjah. Atau kadangkala dia juga seorang yang mempunyai kebaikan yang bisa menghapukan kejelekannya.” (Majmu’ul Fatawa, III : 179)
                Dalam kesempatan dia juga berkata, “Sesungguhnya sesuatu yang terbukti, baik bid’ah maupun yang bukan bid’ah yang terlarang dalam Al Kitab dan As Sunnah, bila muncul dari seseorang terkadang bisa dimaafkan, entah karena ijtihad atau karena taqlid yang dimaafkan atau juga karena tidak adanya kemampuan. “ (Majmu’ul Fatawa, X : 370-372)
                Setelah menyebut salah satu prinsip aqidah, dia mengatakan tentang kebaikan yang kadangkala berdampingan dengan kejelekan baik yang diampuni maupun yang tidak, “Prinsip ini dimaksudkan agar seseorang dapat menempatkan cela dan aib dari kaum salaf dan para ‘Ulama pada proporsi yangg sebenarnya. Dan agar dia mengetahui, bahwa penyimpangan dari kesempurnaan khalifah manhaj nubuwwah yang diperintahkan syari’ terkadang bisa saja disebabkan oleh kealpaan hingga meninggalkan kebaikan, baik dalam ilmu maupun amal. Atau kemungkinan juga karena sikap permusuhan hingga melakukan keburukan, baik dalam ilmu maupun amal. Ini semua bisa saja disebabkan oleh adanya keterpaksaan atau kemauannya sendiri. Sedangkan, setiap orang yang lemah yang tidak mampu melakukan kebajikan denan sempurna dan melakukan sebagian kejahatan dengan terpaksa,adalah dimaafkan.” (Majmu’ul Fatawa, X : 364-365)
4.     Sesungguhnya, jika ahli bid’ah tidak mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan itu bertentangan deengan perintah Alloh dan Rosul-Nyam, dan seandainya mereka tahu, lalu mereka merujuk kembali, maka kesalahan mereka bisa diampuni. Dan jika mereka masih tetap melakukannya, mereka itulah orang yang kurang imannya dan sebagian pelaku bid’ah.
                Syaikhul Islam berkata ketika berbicara  tentang ahli bid’ah, “Jika mereka dengan keimanannya mengikuti sunnah, namun mereka masih mempunyai sifat nifaq dan bid’ah sesuai dengan apa yang dia lakukan di hadapan Alloh dan Rosul-Nya. Lalu mereka menyalahi Alloh dan RosulNya, tetapi mereka tidak tahu bahwa itu menyalahi, dan seandainya dia tahu dia tidak akan mengatakan, mereka itu bukanlah orang yang munafik, tetapi mereka itu orang yang kurang imannya dan pelaku bid’ah. Kesalahan mereka diampuni, kesalahan mereka diampuni dan mereka tidak dihukum atas hal tersebut.” (Majmu’ul Fatawa, XIII : 62-63)
5.     Tentang kelemahan dan tingkat kemampuan ilmu seseorang dalam masalah I’tiqod, Syaikhul Islam berkata, “Patut diketahui bahwa hati itu mempunyai kemampuan dalam hal ilmu dan keyakinan ilmiah, dalam kehendak dan tujuan, juga dalam gerak fisik. Kessalahan dan kelalian termasuk bagian dari ilmu ini bisa terjadi karena tidak memungkinkanya ilmu sampai padanya atau karena sulitnya ilmu baginya.” (Al Istiqomah, I : 28)
                Lalu dia menyebutkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah tentang hal tersebut, bahwa syari’ah itu datang untuk memdahkan hamba dan menghilangkan kesulitan dari mereka. Dia mengatakan, “Jika dedmikian seseorang yang lemah terhadap ilmu dan keyakinannya, hingga ia beritiqod dan mengatakan yang bertentangan dengannya karena keliru atau lupa, maka ia diampuni.” (Al I’tishom, I : 29)
                Ditempat lain beliau mengatakan, “Hujjah kepada hamba itu hanya tegak dengan dua hal ; memiliki ilmu mengenai apa yang diturunkan oleh Alloh, dan ia mampu melakukannya. Adapun orang yang tidak memiliki kemampuan terhadap ilmu, seperti orang gila atau yang tidak mampu melakukannya suatu perbuatan maka tidak ada perintah ataupun larangan. Jika terputus ilmu terhadap sebagian dien, atau karena lemahnya terhadap sebagian yang lain. Ini adalah hak orang yang tidak memiliki  kemampuan terhadap ilmu dan tidak mampu mengamalkannya. Juga hak bagi orang yang terputus terhadap ilmu dien, atau lemah terhadap seluruhnya, seperti halnya dengan orang gila. Ini adalah masa-masa fatroh.” (Majmu’ul Fatawa, XX : 59)
6.     Sesungguhnya ketidak mampuan terhadap perkara-perkara yang rumit dan samar, memang sering terjadi pada ummat Islam, apalagi yang disertai dengan ijtihad dalam mencari kebenaran dan tujuan yang baik. Syaikhul Islam berkata, “Tidak diragukan lagi, bahwa kesalahan dalam ilmu yang rumit dan detail diampuni untuk ummat, jika hal itu menyangkut masalah ilmiyyah. Jika tidak, pastilah akan celaka orang-orang yang patut dihormati dari ummat ini. Jika Alloh mengampuni orang yang jahil terhadap haramnya khamar disebabkan dia hidup ditengah-tengah masyarakat yang jahil, juga karena dia tidak menuntut ilmu, maka terlebih lagi bagi seorang mujtahid dalam menuntut ilmu sesuai dengan apa yang dia ketahui di jamannya dan di temapnya, dan jika maksudnya untuk mengikuti Rosul sesuai dengan kemampuannya, maka dia lebih berhak diterima kebaikannya oleh Alloh, dan diberi pahala atas ijtihadnya serta tidak dihukum atas kesalahannya, itu sebagi perwujudan dari irman Alloh Ta’ala. “Ya Robb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau salah.” {(Al Baqoroh : 286), (Majmu’ul Fatawa, XX : 165-166; dan lihat XIII : 64)

Prinsip kelima :
                Sesungguhnya jelas atau tersembunyinya dalam masalah-masalah I’tiqodiyah itu sifatnya relatif. Kadangkala persoalan itu nampak jelas pada saat dan tempat tertentu, tapi tampak samar pada saat dan tempat yang lain.
                Syaikhul Islam menyebutkan, bahwa telah terjadi beberapa pertentangan pada masa-masa generasi pertama yang dimuliakan dalam seabgian masalah-masalah detail dan samar, dan itupun disertai dengan kesungguhhan mereka, yang berbeda pendapat, untuk mencari kebenaan. Dia mengatakan “Mereka tidaklah seperti ini dalam menghadapi kejelasan persoalan. Karena keterangan mengenai hal tersebut sudah benar-benar jelas diantara mereka. Tidak ada orang yang menentangnya kecuali orang-orang yang menentang Rosul. Mereka berpegang teguh pada tali Alloh, bertahkim pada Roaul terhadap apa yang mereka peselisihkan, dan tidak mendahului Alloh dan Rosulnya (dalam memutuskan suatu perkara), terlebih lagi bermaksud untuk menentang Alloh dan RosulNya.
                Setelah lama berselang, apa yang tadinya jelas diantara mereka (para sahabat), menjadi samar pada kebanyakan manusia, dan terasa sulit apa yang tadinya mudah dikalangan sahabat. Dikalangan mutaakhirin, kini banyak yang menyalahi Al kitab dan As Sunnah, dan hal seperti ini tidak pernah didapati dikalangan kaum salaf. Jika mereka termasuk para mujtahid, maka mereka dimaafkandan diampuni kesalahannya oleh Alloh, dan diberi pahala atas ijtihad mereka.” (Majmu’ul Fatawa, XIII : 64-65)

Prisip keenam :
                Diantara prinsip yang agung ini, ada yang diisyaratkan oleh Syaikhul Islam tentang pemaafan terhadap kejahilan orang-orang tertentu. Bahwa kadangkala seseorang meresa sulit untuk meneliti suatu jalan yang telah di syari’atkan kecuali yang telah tercampur oleh bid’ah. Dalam keadaan seperti ini tidaklah patut dia mendapat cela kecuali dia mampu meniti suatu jalan yang benar tanpa bid’ah. Syaikhul Islam berkata, “Kadangkala sulit bagi seseorang untuk meniti suatu jalan yang telah disyri’atkan secara murni kecuali yang telah tercampur oleh bid’ah. Hal ini disebabkan karena tidak ada yang menunjukan jalan kepada syari’at yang murni, baik dalam hal ilmu maupun amalan. Cahaya yang murni tidak diperoleh, karena yang ada hanyalah cahaya campuran, kalau tidak diambil, maka manusia akan tinggal dalam kegelapan. Maka tidaklah patut seseorang mencela orang lain dan melarangnya mengambil cahaya yang tidak murni, kecuali memang telah tercipta cahaya yang benar-benar bersih dari kegelapan. Berapa banyak orang yang keluar dari cahaya yang tidak murni tersebut malah keluar dari cahaya secara total. Jika yang lain juga keluar dari cahaya, maka tidak akan erlihat lagi kegelapan jalan manusia. “ (Majmu’ul Fatawa, X : 364-365)

Prinsip ketujuh :
                Diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah , termasuk juga didalamnya perkatan para fuqoha dan para imam, bahwasannya mereka tidaklah mengkafirkan, mengkafirkan dan memfasikan dan menganggap dosa seorang mujtahid yang melakukan kesalahan, dalam masalah ilmiyyah maupun amaliyyah. Dalam hal ini mereka tidak mebedakan antara masalah yang furu’ dan masalah yang ushul. Pembagian yang diada-adakan ini hanyalah dilakukan oleh ahli Kalam. Mu’tazilah, Jamiyyah dan yang mengikuti mereka.  (Majmu’ul Fatawa, XIX : 207)
                Dari prinsip ini timbullah kenyataan, bahwa tidaklah setiap orang yang berijtihad dan berdalil mampu mengetahui yang haq. (Majmu’ul Fatawa, XIX : 213, XX : 19-33)
                Semua ini berbeda dengan manhaj Ahli bid’ah, di mana mereka menjadikan kesalahan dan dosa senantiasa melekat. Dalam masalah ini mereka juga terbagi menjadi dua pendapat :
Pertama, perkataan Mu’tajilah, Qodariyyah, dan kellompok ahli kalam yang mengatakan, “Sesungguhnya di dalam kebenaran dalam setiap masalah, Alloh telah menetapkan dalil yang telah diketahui. Setiap orang yang berijtihad dan mengerahkan segala kemampuannya, mampu untuk mengetahui kebenaran. Dan barang siapa yang tidak mengetahui kebenaran alam masalah ushul maupun furu’, berati dia lalai terhadap kewajibbannyya karena kelemahannya.” (Lihat Juz XIX : 204)
Kedua, perkataan jahmiyah, Asy’ariyah, mayoritas fuqoha dan pengikut Imam yang empat dan yang lain-lainnya mereka mengatakan, “Seorang mujtahid terkadang mampu mengetahu kebenaran, terkaang juga tidak. Namun jika mereka tidak mampu terhadap hal tersebut, bisa jadi Alloh SWT menghukumnya, bisa juga tidak. Karena Alloh  bisa mengadzab siapa saja yang Dia kehendaki dan mengampuni siapa saja yang Dia kehendaki tanpa sebab, karena itu kehendakNya.” (Juz XIX : 206)
                Dari prinsip muncul berbagi cabang-cabang pernyataan, dan yang terpenting adalah ;
1.          Sesunggguhnya apabila seorang mujtahid yang berijtihad dalam satu masalah semampunya, dalam ketaqwaan kepada Alloh, maka apa yang telah dia capai itulah yang dibebankan Alloh kepadanya. Jika dia salah, maka esalahannya diampuni, dan tidak ada hukuman atas kesalahannya tersebut.
Syaikhul Islam berkata, “Seorang mujtahid, baik dia seorangg Imam, penguasa, mufti, seorang ‘alim dan lain-lainnya, bila berijtihad, takut dan taqwa kepada Alloh semampunya, maka hal tersebut (yang dicapai) adalah yang Alloh bebankan kepadanya. Dia aat kepada Alloh, dan berhak mendapat pahala bila taqwa kepadaNya sekuat kemampuannya, dan Alloh tidak menghukumnya. Ini berbeda dengan pendapat jahmiyyah, dia taat kepada Alloh namun terkadang dia mengetahui kebenaran dalam satu persoalan, terkadang juga tidak. Dan ini juga berbeda dengan pendapat Qodariyyah dan Mu’tazilah.” (Majmu’ul Fatawa, XIX : 216-217)
2.         Sesungguhnya kesalahan yang diampuni dalam ijtihad adalah di dalam masalah-masalah ilmiyah dan juga amaliyah, keduanya tidak ada perbedaan. Syaikhul Islam berkata, “kesalahan yang diampuni dalam ijtihad adalah dua jenis masalah, amaliyah dan ilmiyah. Seperti orang yang berkeyakinan menetapkan sesuatu berdasarkan ayat atau hadits, namun penetapan hal tersebut ada yang bembantahnya dan menjelaskan maksudnya dan dia tidak mengetahuinya.” (Majmu’ul Fatawa, XX : 33)
3.         Sesungguhnya orang-orang yang syahid, para shiddiqin, dan orang-orang yang sholih, mereka tidak ma’shum menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan tidak menjadi persyaratan seluruh ucapannya benar, dan tidak pula seluruh perbuatannya sunnah. Mereka adalah manusia, ijtihadnya kadangkala benar dan kadangkala salah, dan kesalahannya itu diampuni.
Syaikhul Islam berkata, “Adapun para shiddikin, orang-orang syahid,dan orang-orang yang sholih mereka itu tidak ma’shum. Ini terhadap dosa-dosa yang nyata. Adapun hasil ijtihadnya benar, mereka mendapat dua pahala, dan jika salah mereka mendapat satu pahala dahn kesalahan mereka mendapat dua pahala, dan kesalahan mereka itu diampunii.” (Majmu’ul Fatawa XXXV : 69-70)
Dilain tempat dia mengatakan, “Tujuannya adalah mengetahui dalil yang benar. Jika tidak bisa mencapainya, boleh jadi ijtihadnya dimaafkan, bahkan boleh jadi dia itu termasuk shiddikin yang agung, sebab tidak menjadi jaminan seluruh ucapannya benar, dan seluruh amalannya itu sunnah. Kalau memang begitu, kedudukannya menjadi sama dengan Nabi SAW.” Hal ini mungkin terjadi. (Iqtidlo’as Shirothol Mustaqim, II : 99)
4.         Pentingnya membedkan antara orang yang berijtihad dalam satu masalah dan maksud untuk mencapai kebenaran seklipun salah, dengan orang lainnya,yang menentang setelah terbukti jelas kebenaran padanya, dan tetap menyalahi Nash (Al Qur’an dan As Sunnah) atau tidak mau mencari kebenaran karena satu sebab. Yang pertama dimaafkan dan kesalahannya diampuni, lain halnya dedngan yang kedua, mereka itu termasuk orang-orang yang mendapat ancaman Adzab.
Syaikhul Islam berkata, “ Adapun seseorang dari ummat Muhammad yang berijtihad dan bermaksud untuk mencapai kebenaran namun salah, tidaklah boleh dikafirkan, bahkan kesalahannya itu diampuni. Adapun bagi orang-orang yang sudah jelas padanya apa yang dibawa oleh Rosul, dan setelah itu dia menentangnya dan mengikuti selai jalan oang-orang mukmin, maka dia itu kafir. Dan barang siapa yang mengikuti hawa nafsunya, tidak mau mencari kebenaran, dan berbicara tidak berdasarkan ilmu, maka dia sudah berbuat maksiat dan berdosa. Terkadang dia juga seorang yang fasik, dan kadang juga dia mempunyai kebaikan yang melebihi kejahatannya.” (Majmu’ul Fatawa, XII : 180 ; XIX : 190-192)> Dibukunya yang lain Syaikhul Islam juga berkata, “brang siapa yang menganjurkan sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Alloh, atau mewajibkannya dengan perkataan atau perbuatannya tanpa disyari’atkan oleh Alloh, berarti dia telah berbuat sysri’at yang diijinkan oleh Alloh. Boleh jadi didalam menta’wil hal tersebut dia diampuni oleh Alloh, itu kalau dia seorang mujtahid yang berijtihad yang diampuni karena kesalahannya dan diberi pahala karena ijtihadnya. Namun dalam masalah ini tidaklah boleh mengikutinya, sebagaimana tidakbolehnya mengikuti orang yang mengngucapkan suatu perkataan atau melakukan suatu perbuatannya yang salah, karena telah diketahui yang benarnya. Sekalipun orang yang mengucapkan perkataan atau melakukan perbuatan tersebut diberi pahala dan dimaafkan.” (Iqtidlo’as Shirothol Mustaqim, II : 580). Selanjutnya dia mengatakan, “Barang siapa yang mentaati seseorang dalam masalah Dien yang tidak diijinkan oleh Alloh, seperti mengharamkan, menghalalkan, menyunahkan atau mewajibkan, dia terkena celaan ini*), seperti yang terkena pada orang-orang yang memerintah dan melarang.Kemudian bisa jadi masing-masing dari keduanya dimaafkan dan tidak terkena celaan karena tidak adanya persyaratan dan adanya halangan. Sedangkan celaan itu terkena pada orang-orang yangtg jelas padanya kebenaran namun ditinggalkannya, atau tidak mau mencarinya sehingga tersembunyi baginya, atau berpaling dari padanya karena hawa nafsu dan rasa malas, dan yang semisal dengannya.” (Majmu’ul Fatawa, IV : 194-196)
*)Yang dimaksud dengan celaan tersebut adalah celaan yang disebut dalam surat At Taubah : 31, “Mereka menjadikan orang-orang ‘alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Robb selain Alloh.”
       Dan dia berkata, “Barang siapa kesalahannya itu karena lalai terhadap kewajibannya mengikuti Al Qur’an dan beriman, atau karena melanggar hukum Alloh karena meniti jalan yang terlarang, atau karena mengikuti hawa nafsu tanpa petunjuk Alloh, maka dia itu dzolim terhadap dirinya dan yang termasuk mendapat ancaman adzab. Lain halnya dengan seorang mujtahid dalam ketaatan kepadanya kepada Alloh dan RosulNya secara lahir dan batin, yang mencari kebenaran dengan ijtihadnya sebagaimana yang diperintahkan oleh Alloh dan RosulNya, kesalahannya diampuni.” (Dar’ul Ta’Arudl’I Aql wan Naql, I : 59, tahqiq oleh DR. Muhammad Rosyad Salim)
       Dalam ucapanya tentang masalah musim-musim, seperti pengkhususan waktu Shaum dan Sholat, beliau berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa orang yang melakukannya karena ijtihad atau bertaqlid, dia memperoleh pahala atas niat baiknya dan atas ilmunya dari sisi yang disyari’atkan, dan yang mengenai yang bid’ah diampuni. Dan jika yang bid’ah tersebut terdapat pada ijtihad atau taqlidnya, dia termasuk orang yang diampuni. Begitu juga mengenai manfaat dan faidah yang disebutkan didalamnya, sesungguhnya itu terjadi terhadap sesuatu yang dikandungnya yang berupa sesuatu yang disyari’atkan jenisnya, seperti shaum, dzikir, membaca, ruku’, sujud, maksud baik dalam beribadah kepada Alloh dan taat dan berdo’a kepadaNya. Sedangkan perkara makruh yang dikandungnya, tiada dengan sendirinya melalui ampunan Alloh, karena ijtihad dan taqlidnya.” (Iqtidlo’as Shirhotol Mustaqim, II : 609)
      Perkataan Syaikhul iIslam Ibnu Taimiyyah dalam masalah ini mungkin bisa disimpulkan sebagai berikut :
1.        Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah ahli ilmu, kasih sayang dan keadilan. Mereka mengetahui yang haq, kasih sayang terhadap sesama manusia dan berlaku adil terhadap yang menentangnya. Dan mereka tidak mudah mengkafirkan orang lain hanya sekedar bertentangan dengannya. Sebab mengkafirkan itu adalah hukum syari’ yang merupakan hak Alloh SWT.
2.       Seorang muslim wajib untuk tidak mentaati seseorang dalam suatu persoalah ta’abbudiyah yang tidak berdalil, apalagi yang bertentangan dengan nash-nash syari’. Namun dia wajib beribadah kepada Alloh dengan apa yang telah disyari’atkan, tidak dengan hal-hal yang bid’ah.
3.       Perbedaan waktu dan tempat sesuai dengan muncul dan tidaknya sunnah dan pengaruh risalah. Bahwasannya seseorang aka diberi pahala dengan keimanannya sekalipun sedikit. Yang demikian ini pada masa-masa dan tempat-tempat fatro. Berdasarkan hal tersebut, maka jelas dan samarnya didalam masalah-masalah ilmiyah, sifatnya relatif. Kadang-kala satu masalah nampak jelas pada masa dan tempat tertentu, namun terasa sangat samar pada tempat masa yang lain.
4.       Wajib membedakan antara itlaq dan ta’yin dalam masalah “nama dan hukum”. Terkadang suatu perbuatan dan perkataan itu merupakan suatu kekufuran, dan orang yang atau mengucapkannya secara umum disebut kafir. Namun tidaklah dihukumi kafir orang-orang tertentu yang melakukan dan mengucapakan hal tersebut, kecuali denagn terpenuhinya syarat dan tidak adanya halangan lain (untuk menyebutkan kafir). Dalam keadaan demikian, harus diperhatikan dua hal berikut ini ;
Pertama, membedakan antara orang yangg tujuannya mencari kebenaran dan punya niat baik, namun kebenaran tidak nampak juga padanya, lalu dia keliru karena ketidakmampuannya terhadap ilmu dan amal, dengan orang yang sudah jelas-jelas padanya kebenaran lalu dia menolak dan menentangnya, atau tidak mau mencari ilmu sehingga kebenaran tersembunyi padanya, atau karena berpaling dari mencari kebenaran karena hawa nafsunya, kemalasannya, atau karena yang lainnya.
Kedua, sesungguhnya orang tertentu yang telah terbukti keislamannya secara yakin, tidaklah dikafirkan karena perbuatan atau perkataan yang muncul darinya, kecuali setelah tegaknya hujjah padanya dan tidak ada lagi keraguan.
1.        Diantaara prinsip Ahlis Sunnah wal Jama’ah, bahwa mereka tidak mengkafirkan, memfasikkan dan tidak menganggap berdosa bagi seorang mujtahid yang keliru. Dan mereka mengatakan, “Tidaklah setiap orang yang berijtihad mengetahui kebenaran.” Oleh karena itu harus diperhatikan hal-hal berikut mengenai hak para mujtahid dalam mencari kebenaran;
2.       Bila seorangg mujtahid berijtihad dalam satu persoalan dan dia bertaqwa kepada Alloh sebatas kemampuannya, lalu salah, maka kesalahannya diampuni.
3.       Sesungguhnya kesalahan yang diampuni dalam berijtihad adalah dalam masalah ilmiyah dan amaliyah, keduanya tidak ada perbedaan.
4.       Sesungguhnya manusia itu tidak ma’shum, ijtihadnya terkadang benar dan terkadang juga salah. Dan kesalahannya itu diampuni, Alloh SWT berfirman :
“Wahai Robb kami, janganlah Engkau hukum kami bila kami lupa atau melakukan kesalahan.” (Al Baqoroh : 286)
“Bertaqwalah kepada Alloh sebatas kemampuanmu.”(At Taghobun : 16)


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------