FAEDAH SURAT AL
FATIHAH
Faedah
(1) :
Risalah
kali ini menjelaskan mengenai faedah surat Al Fatihah. Serial pertama akan
membicarakan mengenai nama lain dari surat Al Fatihah.
Nama Lain Surat Al Fatihah
Surat
ini disebut Al Fatihah karena sebagai pembuka dalam mushaf. Al Fatihah adalah
surat pertama dalam mushaf Al Qur’an. Surat ini disebut pula Sab’ul Matsaani
karena terdiri dari tujuh ayat. Sebagaimana yang Allah sebutkan dalam ayat,
وَلَقَدْ آَتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ
الْمَثَانِي وَالْقُرْآَنَ الْعَظِيمَ
“Dan
sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang
dan Al Quran yang agung.” (QS. Al Hijr: 87). Surat Al Fatihah itulah yang
disebut sab’ul matsaani. Dalam Zaadul Masiir disebutkan bahwa
yang dimaksudkan sab’ul matsaani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang)
adalah Fatihatul Kitab. Pendapat ini dipilih oleh ‘Umar bin Al Khottob, ‘Ali
bin Abi Tholib, salah satu pendapat Ibnu Mas’ud dan pendapat yang banyak
dinukil dari Ibnu ‘Abbas, juga menjadi pendapat Abu Hurairah, Al Hasan Al
Bashri dan Sa’id bin Jubair dalam salah satu pendapatnya dan lainnya.
Al
Fatihah disebut pula dengan Al Matsaani karena surat tersebut dibaca
berulang kali dalam setiap raka’at. Begitu pula surat tersebut disebut Ummul
Qur’an (induk Al Qur’an) karena induknya sesuatu berarti yang menjadi
tempat rujukan. Makna Al Qur’an semuanya kembali pada surat ini.
Al
Fatihah disebut pula Ash Shalah karena surat Al Fatihah disebutkan dalam
hadits qudsi berikut dengan penyebutan tersebut,
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ
الصَّلاَةَ بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ
“Allah
Ta’ala berfirman: Aku membagi shalat menjadi dua bagian antara Aku dan antara
hamba-Ku. Bagi hamba-Ku apa yang mereka minta ….” (HR. Muslim no. 395).
Mengenai
kelanjutan bahasan di atas akan dibahas dalam tulisan selanjutnya, bi idznillah
…
Hanya Allah yang memberi taufik dan
hidayah.
---
@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-GK, 29
Rabi’ul Akhir 1434 H
Faedah
(2):
Dalam
pembahasan sebelumnya telah diulas mengenai nama atau sebutan lain surat Al
Fatihah. Pada postingan kali ini, kami masih melanjutkan penamaan surat Al
Fatihah sebelum masuk pembahasan inti.
Al Fatihah Disebut Ash Shalah
Surat
Al Fatihah disebut pula ash shalah. Surat Al Fatihah disebut shalat
karena shalat tidaklah sah kecuali dengan Al Fatihah. Dalilnya adalah hadits
qudsi berikut,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ
النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ
فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهْىَ خِدَاجٌ - ثَلاَثًا - غَيْرُ تَمَامٍ ». فَقِيلَ
لأَبِى هُرَيْرَةَ إِنَّا نَكُونُ وَرَاءَ الإِمَامِ. فَقَالَ اقْرَأْ بِهَا فِى
نَفْسِكَ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « قَالَ
اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلاَةَ بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى نِصْفَيْنِ
وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ ( الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ ). قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِى عَبْدِى وَإِذَا قَالَ (الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ ). قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَىَّ عَبْدِى. وَإِذَا قَالَ
(مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ). قَالَ مَجَّدَنِى عَبْدِى - وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ
إِلَىَّ عَبْدِى - فَإِذَا قَالَ (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ).
قَالَ هَذَا بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ. فَإِذَا قَالَ
(اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ ). قَالَ هَذَا لِعَبْدِى
وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ ».
Dari
Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Barangsiapa yang shalat lalu tidak membaca Ummul Qur’an (yaitu Al Fatihah),
maka shalatnya kurang (tidak sah) -beliau mengulanginya tiga kali-, maksudnya
tidak sempurna.” Maka dikatakan pada Abu Hurairah bahwa kami shalat di belakang
imam. Abu Hurairah berkata, “Bacalah Al Fatihah untuk diri kalian sendiri
karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Allah
Ta’ala berfirman: Aku membagi shalat (maksudnya: Al Fatihah) menjadi dua
bagian, yaitu antara diri-Ku dan hamba-Ku dua bagian dan bagi hamba-Ku apa yang
ia minta. Jika hamba mengucapkan ’alhamdulillahi robbil ‘alamin (segala puji
hanya milik Allah)’, Allah Ta’ala berfirman: Hamba-Ku telah memuji-Ku. Ketika
hamba tersebut mengucapkan ‘ar rahmanir rahiim (Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang)’, Allah Ta’ala berfirman: Hamba-Ku telah menyanjung-Ku. Ketika hamba
tersebut mengucapkan ‘maaliki yaumiddiin (Yang Menguasai hari pembalasan)’,
Allah berfirman: Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku. Beliau berkata sesekali:
Hamba-Ku telah memberi kuasa penuh pada-Ku. Jika ia mengucapkan ‘iyyaka na’budu
wa iyyaka nasta’in (hanya kepada-Mu kami menyebah dan hanya kepada-Mu kami
memohon pertolongan)’, Allah berfirman: Ini antara-Ku dan hamba-Ku, bagi
hamba-Ku apa yang ia minta. Jika ia mengucapkan ‘ihdiinash shiroothol
mustaqiim, shirootolladzina an’amta ‘alaihim, ghoiril magdhuubi ‘alaihim wa
laaddhoollin’ (tunjukkanlah pada kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang yang
telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan jalan orang
yang sesat), Allah berfirman: Ini untuk hamba-Ku, bagi hamba-Ku apa yang ia
minta.” (HR. Muslim no. 395). Juga dalam hadits di atas disebut pula
bahwa Al Fatihah disebut pula Ummul Qur’an.
Dalam
penjelasan hadits qudsi di atas disebutkan bahwa surat Al Fatihah yang tujuh
ayat terbagi menjadi dua. Tiga-setengah ayat yang pertama adalah untuk Allah
dan sanjungan untuk-Nya. Tiga-setengah ayat yang berikutnya adalah untuk hamba,
yaitu mulai dari ayat ‘wa iyyaka nasta’in’ hingga akhir surat.
Al Fatihah Disebut Juga Ruqyah
Surat
Al Fatihah disebut pula ruqyah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu
Sa’id Al Khudri berikut ini,
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ
أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانُوا فى
سَفَرٍ فَمَرُّوا بِحَىٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَاسْتَضَافُوهُمْ فَلَمْ
يُضِيفُوهُمْ. فَقَالُوا لَهُمْ هَلْ فِيكُمْ رَاقٍ فَإِنَّ سَيِّدَ الْحَىِّ
لَدِيغٌ أَوْ مُصَابٌ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ نَعَمْ فَأَتَاهُ فَرَقَاهُ
بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَبَرَأَ الرَّجُلُ فَأُعْطِىَ قَطِيعًا مِنْ غَنَمٍ
فَأَبَى أَنْ يَقْبَلَهَا. وَقَالَ حَتَّى أَذْكُرَ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله
عليه وسلم-. فَأَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ.
فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ مَا رَقَيْتُ إِلاَّ بِفَاتِحَةِ
الْكِتَابِ. فَتَبَسَّمَ وَقَالَ « وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ». ثُمَّ
قَالَ « خُذُوا مِنْهُمْ وَاضْرِبُوا لِى بِسَهْمٍ مَعَكُمْ »
Dari
Abu Sa’id Al Khudri, bahwa ada sekelompok sahabat Rasulullah -shallallahu
‘alaihi wa sallam- dahulu berada dalam safar (perjalanan jauh), lalu melewati
suatu kampung Arab. Kala itu, mereka meminta untuk dijamu, namun penduduk
kampung tersebut enggan untuk menjamu. Penduduk kampung tersebut lantas berkata
pada para sahabat yang mampir, “Apakah di antara kalian ada yang bisa
meruqyah (melakukan pengobatan dengan membaca ayat-ayat Al Qur’an, -pen) karena
pembesar kampung tersebut tersengat binatang atau terserang demam.” Di antara
para sahabat lantas berkata, “Iya ada.” Lalu ia pun mendatangi pembesar
tersebut dan ia meruqyahnya dengan membaca surat Al Fatihah. Akhirnya, pembesar
tersebut sembuh. Lalu yang membacakan ruqyah tadi diberikan seekor kambing,
namun ia enggan menerimanya -dan disebutkan-, ia mau menerima sampai kisah tadi
diceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ia mendatangi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kisahnya tadi pada
beliau. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidaklah meruqyah kecuali dengan
membaca surat Al Fatihah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
lantas tersenyum dan berkata, “Bagaimana engkau bisa tahu Al Fatihah
adalah ruqyah (artinya: bisa digunakan untuk meruqyah, -pen)?” Beliau
pun bersabda, “Ambil kambing tersebut dari mereka dan potongkan untukku
sebagiannya bersama kalian.” (HR. Bukhari no. 5736 dan Muslim no.
2201). Imam Nawawi membuat Bab dalam Shahih Muslim tentang bolehnya mengambil
upah dari ruqyah dengan Al Qur’an atau dzikir.
Demikian
beberapa pembahasan nama untuk Al Fatihah. Moga bermanfaat. Moga Allah mudahkan
untuk melanjutkan pada bahasan selanjutnya. Hanya Allah yang memberi
petunjuk hidayah.
Faedah
(3):
Saat
ini kita masuk pembahasan faedah surat Al Fatihah mulai dari ayat
‘alhamdulillahir robbil ‘aalamiin’. Dalam ayat ini terdapat kandungan salah
satu rukun ibadah yaitu cinta (mahabbah). Itulah yang akan diulas pada
kesempatan kali ini.
Ayat
yang dimaksudkan di atas adalah,
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ
“Segala
puji bagi Allah, Rabb semesta alam” (QS. Al Fatihah: 2)
Syaikh
Muhammad At Tamimi rahimahullah mengatakan bahwa dalam ayat ini
terkandung makna mahabbah (cinta). Karena Allah itu pemberi berbagai
macam nikmat sehingga Allah itu dipuji dan disanjung. Setiap yang memberi
nikmat atau kebaikan akan disanjung sesuai kadar nikmat yang diberikan. Allah
itu juga dipuji karena zat, nama, sifat dan perbuatan-Nya yang mulia. Sehingga
itulah yang membuat Allah itu dicinta.
Mahabbah (cinta) itu
sendiri ada empat bentuk:
1- Mahabbah syirkiyyah (cinta yang bernilai syirik).
Inilah
seperti yang difirmankan oleh Allah Ta’ala,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا
يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan
di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang
yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.”(QS. Al Baqarah: 165).
Ada
dua tafsiran untuk ayat “yuhibbunahum ka-hubbillah”,
1-
Maknanya adalah,
يحبونهم كحب الذين آمنوا لله
“Orang
musyrik mencintai sesembahan mereka sebagaimana kecintaan orang beriman
pada Allah”. Tafsiran pertama ini dipilih oleh Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, Abul
‘Aliyah, Ibnu Zaid, Maqotil dan Al Faro’.
2- Maknanya
adalah,
يحبونهم كمحبتهم لله
“Orang
musyrik mencintai sesembahan mereka sebagaimana kecintaan orang musyrik
pada Allah.” Yaitu mereka menyamakan kecintaan kepada sesembahan mereka
dengan kecintaan pada Allah. Demikian pendapat Az Zujaj.
Tafsiran
kedua lebih baik karena melihat kelanjutan ayat,
وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا
لِلَّهِ
“Orang
beriman lebih tinggi cintanya pada Allah”. Artinya, orang beriman lebih
mencintai Allah melebihi kecintaan orang musyrik pada sesembahan mereka. Karena
kecintaan orang musyrik terbagi dua. Dan tafsiran kedua itulah yang menunjukkan
syirik dalam mahabbah (cinta). Inilah makna yang tepat untuk dipakai. Lihat dua
tafsiran di atas dalam Zaadul Masiir, karya Ibnul Jauzi.
Abul
‘Abbas Ibnu Taimiyah berkata,
وَالْأَوَّلُ قَوْلٌ مُتَنَاقِضٌ وَهُوَ بَاطِلٌ فَإِنَّ الْمُشْرِكِينَ لَا
يُحِبُّونَ الْأَنْدَادَ مِثْلَ مَحَبَّةِ الْمُؤْمِنِينَ لِلَّهِ
“Tafsiran
pertama sangat bertentangan dan batil karena orang musyrik tidaklah mencintai
sesembahan mereka sebagaimana orang mukmin mencintai Allah.” (Majmu’ Al
Fatawa, 7: 188).
Intinya,
orang musyrik sangat mencintai sesembahan mereka dan kecintaan mereka menyamai
kecintaan pada Allah, bahkan bisa jadi lebih. Oleh karenanya, mereka rela mati
demi membela sesembahan mereka. Bahkan kalau nama Allah saja yang disebut,
mereka tidak rela sampai disebut pula yang mereka agungkan. Kita dapat melihat
pada firman Allah Ta’ala,
وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا
يُؤْمِنُونَ بِالْآَخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ إِذَا هُمْ
يَسْتَبْشِرُونَ
“Dan
apabila hanya nama Allah saja disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman
kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang
disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati.” (QS. Az Zumar: 45).
Namun
kenyataan yang terjadi, cinta (mahabbah) mereka terhadap yang mereka
agung-agungkan tidaklah bermanfaat di akhirat kelak. Bahkan yang ada nantinya
adalah saling laknat di antara mereka di akhirat. Sebagaimana yang Allah Ta’ala
sebutkan,
وَقَالَ إِنَّمَا اتَّخَذْتُمْ مِنْ
دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا مَوَدَّةَ بَيْنِكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُ بَعْضُكُمْ بِبَعْضٍ وَيَلْعَنُ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
وَمَأْوَاكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَاصِرِينَ
“Dan
berkata Ibrahim: "Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain
Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam
kehidupan dunia ini kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari
sebahagian (yang lain) dan sebahagian kamu mela'nati sebahagian (yang lain);
dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali- kali tak ada bagimu para
penolongpun.” (QS. Al ‘Ankabut: 25).
Cinta
yang bermanfaat adalah cinta karena Allah yang dilandasi ketakwaan. Sebagaimana
Allah Ta’ala berfirman,
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ
لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Teman-teman
akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali
orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az Zukhruf: 67). Dalam tafsir Al
Jalalain (hal. 505) disebutkan bahwa pertemanan tersebut dilandasi
kemaksiatan di dunia, maka pada hari kiamat pertemanan akhirnya menjadi
bermusuhan, yang tetap adalah pertemanan yang dilandasi karena Allah yaitu
karena taat kepada-Nya, itulah pertemanan yang kekal abadi.
2-
Cinta pada kebatilan dan pelaku kebatilan, serta benci pada kebenaran dan
orang yang berada di atas kebenaran. Inilah sifat orang munafik.
Dikatakan
sifat orang munafik karena nifak adalah menampakkan keislaman dan
menyembunyikan kekafiran. Di antara sifat orang munafik adalah mencintai
penganut kebatilan dan membenci penganut kebenaran. Jadi orang yang membenci
orang yang berada di atas kebenaran, seperti para sahabat radhiyallahu
‘anhum, mereka itu munafik walau mereka menampakkan keislaman. Bahkan
mereka yang mencaci sahabat ini adalah orang yang kafir.
3- Cinta tabi’at, yaitu cinta secara tabi’at atau fitrah.
Seperti seseorang mencintai orang tua, istri, anak, kerabat dan teman dekatnya.
Bahkan setiap orang punya kecenderungan mencintai orang yang berbuat baik
padanya sekadar dengan kebaikan yang diberikan.
Cinta
tabi’at ini asalnya adalah boleh selama tidak sampai melalaikan dari kecintaan
pada Allah atau selama tidak menjerumuskan dalam keharaman. Kita dapat
mengambil pelajaran dari firman Allah,
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ
وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ
اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا
أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ
فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي
الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah:
"Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kerabatmu,
harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya,
dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan
Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24). Ancamannya sebagaimana
disebutkan dalam akhir ayat yaitu jika sampai kecintaan pada Allah dan
Rasul-Nya dikalahkan dengan kecintaan pada hal-hal yang disebutkan.
4-
Cinta kepada wali Allah dan membenci musuh Allah.
Inilah
kecintaan yang disebut dengan wala’ atau loyal, yaitu kecintaan dan
kebenciannya didasari karena Allah, bukan karena kepentingan dunia, politik
atau karena sama-sama satu bendera. Jika seseorang mencintai tauhid, maka ia
harus mencintai pula ahli tauhid. Jika seseorang membenci syirik, maka ia harus
membenci pula orang musyrik. Kecintaan dan kebencian di sini sekali lagi
dilakukan karena Allah.
Moga
Allah mudahkan untuk melanjutkan faedah surat Al Fatihah yang lainnya. Hanya
Allah yang memberi taufik dan kekuatan.
Referensi:
Syarh
Ba’du Fawaidh Surotil Fatihah, -guru kami- Syaikh Dr. Sholih bin
Fauzan bin ‘Abdullah Al Fauzan, terbitan Dar Al Imam Ahmad.
Faedah
ke (4):
Ayat
selanjutnya dari surat Al Fatihah membicarakan mengenai rukun ibadah lainnya
yaitu roja’ (harap) dan khouf (takut). Setelah faedah sebelumnya
kita membahas rukun ibadah, mahabbah (cinta).
Ayat
yang dimaksud dan merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya adalah,
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ
يَوْمِ الدِّينِ (4)
“Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di Hari Pembalasan” (QS. Al
Fatihah: 3-4)
Kandungan Rukun Ibadah dalam Al Fatihah
Ayat
‘arrahmanirrahim’ berisi kandungan roja’, yaitu mengharap rahmat
Allah. Karena jika Allah itu Maha Pengasih, tentu akan diharap rahmat-Nya.
Berarti ayat ini menetapkan rukun ibadah, yaitu roja’.
Sedangkan
ayat selanjutnya ‘maaliki yaumiddin’ berisi kandungan khouf,
yaitu takut pada Allah. Dan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah takut akan
hari kiamat bagi hamba yang penuh dosa.
Sehingga
dari tiga ayat yang telah kita bahas, ayat ‘alhamdulillahirrabbil ‘alamiin’
terdapat kandungan mahabbah (cinta), lalu ayat ‘arrahmanir rahiim’
terdapat kandungan roja’ (harap), sedangkan ayat ‘maaliki yaumiddin’
terdapat kandungan khouf (takut). Tiga hal ini dinamakan dengan pokok
ibadah atau rukun ibadah. Setiap orang yang mau beribadah tidak bisa
mencukupkan pada salah satunya, tetapi harus ketiga-tiganya.
Sesatnya Sufi, Murji’ah dan Khawarij
Dalam
beribadah, tidak boleh hanya mencukupkan pada mahabbah (cinta) saja
seperti yang dianut oleh kalangan Sufi.
Mereka beribadah tidak dengan rasa takut dan harap. Mereka mengatakan, “Kami
tidak beribadah pada Allah karena takut akan siksa-Nya atau mengharap
surga-Nya. Kami beribadah kepada-Nya hanya karena kami mencintai-Nya.” Ini
pemahaman yang jelas keliru. Karena para Rasul dan malaikat sebaik-baik
makhluk, mereka tetap beribadah dengan rasa takut dan harap pada Allah.
Kita
dapat melihat pada ayat,
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي
الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan)
perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan
cemas (takut). Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami.”
(QS. Al Anbiya’: 90).
Juga
dalam ayat lainnya,
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ
يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ
رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ
“Orang-orang
yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di
antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan
takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.”
(QS. Al Isra’: 57). Yang dimaksud dalam ayat ini -sebagaimana disebutkan dalam
kitab tafsir- adalah ‘Uzair, ‘Isa dan Maryam (ibunya ‘Isa) di mana mereka
bertiga disembah oleh orang musyrik dahulu. Padahal mereka sendiri mengharap
rahmat Allah dan takut akan siksa-Nya. Lantas bagaimana bisa ‘Uzair, ‘Isa dan
Maryam diibadahi bersama Allah?!
Ayat-ayat
di atas dengan sangat jelas menerangkan bahwa ibadah mestilah berisi harap dan
takut, yaitu roja’ dan khouf. Kerancuan dari kalangan sufi di
atas telah diulas dalam tulisan di Rumaysho.com: Apakah Ikhlas Berarti Tidak Boleh Mengharap Pahala dan Surga?
Begitu
pula ada yang beribadah pada Allah dengan sifat roja’ saja, merekalah Murji’ah. Mereka tidak punya rasa takut akan
dosa dan maksiat. Murji’ah menganggap pula bahwa iman hanyalah cukup pembenaran
dalam hati, atau ada kalangan Murji’ah yang berpendapat bahwa iman adalah
pembenaran dalam hati dan ucapan dalam lisan. Bagaimana dengan amalan? Murji’ah
tidak memasukkan amalan dalam definisi iman. Padahal yang jadi keyakinan yang
benar, iman adalah perkataan, amalan dan keyakinan. Harus ada ketiga bagian
ini, tidak cukup ada salah satunya saja.
Di
sisi lain, ada pula yang beribadah pada Allah dengan sifat takut (khouf)
saja. Inilah golongan Khowarij.
Golongan ini hanya mengambil ayat-ayat yang bersifat ancaman saja, dan mereka
tidak ambil peduli dengan berbagai dalil yang menunjukkan rahmat dan ampunan
Allah.
Ketiga
kelompok yang telah disebutkan di atas -yaitu Sufi, Mu’tazilah dan Khowarij-,
mereka telah berlebihan dalam hal rukun ibadah. Padahal yang benar, kita harus
beribadah dengan menggabungkan mahabbah (cinta), khouf (takut)
dan roja’ (harap). Inilah iman yang sebenarnya.
Demikian
faedah Al Fatihah kali ini. Insya Allah masih dilanjutkan kembali dalam
pertemuan lainnya, dengan izin Allah. Hanya Allah yang memberi petunjuk
hidayah.
Referensi:
Syarh
Ba’du Fawaidh Surotil Fatihah, -guru kami- Syaikh Dr. Sholih bin
Fauzan bin ‘Abdullah Al Fauzan, terbitan Dar Al Imam Ahmad.
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------