Seri Kado Pernikahan -6



Pasal Dua : Seri ke-6
Upaya Syaithan dalam Mempengaruhi Anak Manusia

2.1 Pendahuluan
Termasuk bagian obsesi syaithan ketika dihukum oleh Allah karena ingkar kepadaNya, tidak mau sujud kepada Adam ‘alaihissalam, adalah meminta kepada Allah waktu yang cukup didunia ini agar bisa mengajak manusia, dari dzuriyyah Adam, menyesatkan dan menjerumuskan mereka kedalam kejahatan serta menyeru kepada pintu-pintu jahanam, sampai batas yang telah ditentukan.
Hal ini ditegaskan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berikut:
Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba Ku itu hunafa’ (dalam keadaan fitrahnya yang cenderung kepada kebenaran), lalu datanglah syaithan kepada mereka dan menyesatkan mereka, mengharamkan kepada mereka apa-apa yang telah Aku halalkan, dan menghalalkan kepada mereka apa-apa yang telah Aku haramkan” (HR Muslim, dari Iyadl bin Hammad RA).
Dalam beberapa riwayat, Rasulullah SAW pernah menyebutkan bahwa syaithan datang mendampingi suami isteri ketika hendak melakukan hubungan sebadan dan juga datang menunggu masa kelahiran anak yang dikandung setiap ibu. Oleh karenanya Rasulullah SAW menyunnahkan suami berdo’a sebelum melakukan hubungan sebadan dengan isterinya, dan mengumandangkan kalimat tauhid (seperti dalam adzan) ketika anak lahir agar tidak didahului oleh bisikan syaithan yang memang tengah menunggu.
Disinilah perlunya kewaspadaan ekstra bagi setiap orangtua terhadap masa depan anak-anaknya, apakah mereka akan menjadi pengikut golongan syaithan ataukah golongan Allah, kufur dan mukmin.
Dan (iblis) berkata: ‘terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberikan tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya bena-benar akan akan aku sesatkan keturunanya, kecuali sebagian kecil’. Allah berfirman: ‘Pergilah, barang siapa diantara mereka yang mengikuti kamu, maka sesungguhnya neraka jahanam adalah balasanmu semua, sebagai suatu pembalasan yang cukup. Dan hanguslah siapa yang kamu sanggupi diantara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaithan kepada mereka melainkan tipuan belaka’” (QS 17: 62 – 64).

2.2 Mewaspadai Syaithan: Yang Gundul Maupun Yang Berdasi
Orang-orang kafir dan jahiliyah, dahulu, kini dan hingga hari kiamat datang, mereka terus menerus melancarkan provokasi, propaganda dan rayuan-rayuan kepada seluruh anak keturunan Adam, sebagaimana telah menjadi sumpah serapah syaithan (wali mereka), dengan manhaj syaithaniyah, uslub (metode) dan wasa’il (media dan sarana) dalam berbagai bentuk dan jenisnya, dari yang sederhana sampai yang paling canggih. Namun dari semua itu, mereka menjadikan kekuasaan, politik, pendidikan dan ekonomi sebagai uslub sekaligus wasa’il yang sangat efektif dan prioritas dalam menyesatkan manusia untuk menjadi hizb syaithan, dan menjauhi dari hizb Allah dan Manhaj Allah.
Syaithan yang paling teramat bahaya itu bernama sistem pendidikan jahiliyah-sekuler, dikarenakan keampuhannya dalam merubah manusia, ke arah negatif maupun ke arah pembentukan masyarakat penentang lagi ingkar yang tunduk dibawah naungan Manhaj Syaithan. Dan ini sangat tergantung pada bentuk sistemya (manhajnya) sebab Allah punya manhhaj dan syaithan pun punya manhaj sebagaimana dianut  dan diperjuangkan oleh orang-orang kafir.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah menciptakan jin dari tiga golongan, yaitu golongan ular, kalajengking, dan serangga; golongan seperti angin diudara, golongan yang wajib atas mereka itu hisab dan pembalasan. Allah menciptakan manusia juga terdiri dari tiga golongan, yaitu golongan seperti hewan, golongan yang mana badan mereka seperti badan bani Adam sedangkan ruh-ruhnya adalah ruh syaithan; dan golongan yang berada dalam perlindungan Allah pada hari yang tiada perlindungan kecuali perlindungan Nya” (diriwayatkan oleh Abu Darda’ ditakhrij Ibnu Abdi Duniya dalam Makaidusy Syaithan dan at Tarmidzi dalam Nawadirul Ushul).
Dalam buku yang berjudul “ Mukhtasharush Shihhah” disebutkan bahwa syaithan juga dapat diketahui. Setiap orang yang sombong lagi membangkang dari manusia, jin dan binatang melata adalah syaithan. Bangsa Arab menyebut ular sebagai syaithan.
Ada dua pendapat mengenai kata syaithan:
Lafadz ini dibentuk dari kata-kata syathana, yang artinya menjauh dari kebenaran atau rahmat Allah
Kebalikan yang pertama, yaitu berasal dari kata syatha, yang artinya bathil atau terbakar. Syaithan selalu mengikuti manusia, mengganggu dan memperdayakannya dengan hawa nafsu. Setiap bani Adam mempunyai pendamping (qarin) berupa syaithan. Sedangkan orang yang memelihara diri, maka ia akan dijaga Allah Ta’ala.
Agar rumah tangga muslim tidak dimasuki syaithan, maka setiap mukmin harus memiliki senjata yang dapat melawan senjata syaithan. Sabar untuk melawan syahwat, dan yakin untuk melawan syubhat.
Syaikh Muhammad ash Shayim, dalam bukunya “Buyut La tadkhuluhasy Syithan” (rumah yang tidak dimasuki syaithan), yang diterbitkan oleh Alkautsar Jakarta, antara lain ia menyebutkan, bahwa senjata orang mukmin menghadapi syaithan itu antara lain:
Membaca Basmalah setiap kali memulai sesuatu
Memperbanyak dzikir dan istighfar
Banyak mengucap Laa ilaha illa Anta Subhanaka Inni kuntu minazh zhalimin
Selalu mengucapkan do’a diwaktu padi dan petang hari
Mendirikan shalat berjama’ah
Wudlu sebelum tidur, membaca ayat kursi, surat Al Falaq dan surat An Naas
Tidak mendengarkan musik dan lagu-lagu yang tak pantas bagi mukmin
Mengenakan pakaian hingga menutupi aurat dan tidak menggunakan minyak wangi (parfum) berbau menyengat (keras merangsang) bagi muslimah
Banyak berta’awwudz dan membaca Al Qur’an
Membekali diri dengan ilmu
Menjaga kebersihan hati dan badan
Taubat dari dosa dan banyak istighfar, dll

Pintu-pintu masuk bagi syaithan ke dalam hati manusia:
Jahil terhadap ajaran dan tuntunan Islam
Ghadlab (amarah)
Cinta dunia
Angan-angan melambung dan kosong
Ambisi
Kikir
Kibr (sombong)
Suka dipuji
Riya’
Ujub
Keluh kesah dan tidak bersabar
Mengikuti hawa nafsu
Su’uzh zhan
Meremehkan orang lain (ihtiqar)
Menyepelekan dosa (kecil)
Merasa aman dari makar Allah
Putus asa dari rahmat Allah
(Pustaka Al Kautsar, Jakarta, Tahun 1993; Cet I, hlm 27 – 28)

Adakah rumah seorang mukmin yang tidak dimasuki syaithan? Penulis buku tersebut menegaskan tentu ada. Diantaranya yang terpenting adalah:
Rumah orang-orang yang mensucikan diri dan selalu ingat kepada Allah
Rumah mereka yang ruku’ dan sujud
Rumah mereka yang memelihara silaturahmi
Rumah mereka yang makanannya (dari sumber usaha) yang halal
Rumah mereka yang berbakti kepada kedua orangtua
Rumah mereka yang beristerikan wanita-wanita shalih
Rumah mereka yang saling memenuhi hak dan kewajiban
Rumah mereka yang memelihara rahasia
Rumah mereka yang tidak melakukan hal-hal yang diharamkan
Rumah mereka yang menjauhi bid’ah dan hurafat
Rumah mereka yang selalu tawadlu’
Rumah mereka yang suka memaafkan dan berbuat baik
Rumah mereka yang Menolak kehinaan
Rumah mereka yang mencintai dan menaati Allah Ta’ala (hlm 48)
Dr. Abdullah nasih ‘Ulwan berkata, “Telah berabad-abad lamanya beberapa generasi muslim selalu menghirup mata air berdasarkan keutamaan mereka, menerangi jalan dengan cahaya kemuliaan mereka, mengambil metode dalam membina kemuliaan. Hal tersebut berlangsung sampai masanya tiba, dimana hukum Islam terlepas dari masyarakat Islam, rambu-rambu kekhalifahan lenyap dari permukaan bumi dan musuh-musuh Islam dapat mencapai tujuan negatif dan busuk didalam dunia Islam menjadi umat yang saling bertengkar, saling berperang diantara mereka karena dorongan hawa nafsu dan ketamakan serta tumbang oleh fondasi-fondasi lawan. Sehingga mereka menjadi pengekor dibelakang hawa nafsu mereka dan kelezatan-kelezatannya. Mereka berjalan tanpa arah dan tujuan. Mereka hidup tanpa ada usaha untuk meraih kemuliaan, kemandirian dan eksistensi diri. Dan hati mereka telah terpecah belah, walau seakan tampak sebagai himpunan umat yang kokoh -setidaknya kini kalau kita perhatikan jama’ah di masjid Agung setiap kota, (pent)- namun sebenarnya adalah buih yang sedang terhempas oleh ombak dan arus bah. Sehingga tidak sedikit dari kalangan da’i dan pendidik yang pesimistis dan terserang wabah keputus asaan, karena adanya keyakinan bahwa mereka tidak akan memiliki jalan lagi untuk dapat memperbaiki ummat, tidak ada lagi harapan untuk dapat mengembalikan kemuliaan, kejayaan dan eksistensinya.
Keputus asaan didalam mengupayakan perbaikan ini lahir dari tiga sebab, dan ini hasil dari perjuangan dan provokasi syaithan. Tiga sebab itu adalah:
Kejahilan mereka terhadap tabi’at Islam ini
Cinta dunia dan takut mati
Kejahilan mereka terhadap tujuan Allah dalam menciptakan manusia Muslim
(Tarbiyatul Awlad fi Islam, jilid I. Hlm 9 – 10, Dar as Salam, cet ke 3, Tahun 1415 H)
Selanjutnya ia mengatakan, “Jadi hendaklah kaum muslimin mengetahui akan tabi’at agama yang mereka yakini (Islam). Dan hendaklah mereka membebaskan diri dari cinta dunia dan takut mati. Sehingga mereka bangkit kembali dengan Al Islam, mengembalikan kemuliaan yang terselimuti, membangkitkan tekad yang terbungkus, kekuatan yang melemah dan persatuan mereka yang kokoh. Semua itu tidak sulit bagi Allah Ta’ala”.
Akan tetapi, mana jalan untuk perbaikan itu (mas sabil ilal ishlah)? Langkah apa yang pertama kali harus kita lalui dalam membina masyarakat yang baik itu? Tugas apa saja yang harus dipikul oleh orangtua, pendidik dan pembaharu pada masa sekarang ini? ... jawabannya singkat saja, yaitu tarbiyah (pendidikan). Hanya saja perlu disadari bahwa kalimat ini mengandung konotasi yang integral, lapangan yang luas dan pengertian-pengertian yang kompleks. Dan ini meliputi pendidikan individu, keluarga, masyarakat, dan pendidikan umat manusia seluruhnya. Dan tiap-tiap pendidikan tersebut memiliki banyak aspek, yang semuanya menuju kepada pendirian masyarakat utama (al Mujtama’ al fadlil) dan upaya menciptakan umat teladan (hlm 15 – 16).
Namun sebelum kita berbicara jauh tentang pendidikan, khususnya pendidikan anak, perlu kiranya kita lontarkan pertanyaan; “ Min aina nabda” (dari mana kita memulai)?
Menjadi keharusan bagi calon orangtua anak, bahkan sebelum mereka berdua menjadi sebuah pasangan serasi dalam sebuah lembaga keluarga, cita-cita kearah sana harus telah dimulai. Sehingga Islam perlu memberi tuntunan bagaimana adab dalam melakukan hubungan sebadan dan bagaimana suami memperlakukan isteri ketika hamil, dan bagaimana isteri memperlakukan anak (janin) yang dikandungnya? Dan kemudian bagaimana seharusnya orangtua dalam mendidik anak agar menjadi anak-anak shalih dan (siap) menjadi musuh-musuh syaithan dan sekutu-sekutunya. Hal ini mengingat, bahwa anak adalah anugerah Allah Ta’ala bagi setiap pasangan manusia.
Kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia mmemberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki dan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang Dia kehendakiNya). Sesungguhnya dia Maha Tinggi dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa” (QS 42: 49 – 50).



0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------