Seri Kado Pernikahan -7


Pasal Tiga: Seri ke-7
Amaliyah Orangtua Pada Hari Pertama Kelahiran Anaknya

3.1 Pendahuluan
Nikmat perkawinan adalah nikmat rabbaniyah bagi manusia, dan ia merupakan sunnah para rasul seluruhnya, dimana Allah menjadikan perkawinan sebagai sunnah untuk mmelestarikan kehidupan umat manusia melalui pernikahan antara laki-laki dan wanita.
Allah berfirman:
Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” (QS 16: 72).
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan ...” (QS 30: 21).
Islam menempatkan perkawinan dan kekerabatan yang dibentuk atas ikatan perkawinan pada kedudukan yang mulia dan strategis, baik dalam rangka memperbanyak umat Islam sebagaimana yang dengannya Rasulullah SAW menjadi gembira.
Harapan Islam dengan ikatan perkawinan tersebut, akan lahir lembaga-lembaga keluarga yang sakinah, mawaddah dan penuh kasih sayang. Perhatikan kembali          QS 30: 21.
Dalam ayat lain Allah berfiirman:
Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah (kekerabatan atas dasar perkawinan) dan adalah Rabbmu maha Kuasa” (QS 25: 54).
Gambaran manis dari lembaga keluarga yang Allah jadikan sebagai sunnah tersebut tidaklah lahir otomatis begitu saja dari setiap pasangan muslim sekalipun. Namun itu hanya akan lahir dari sebuah perjuangan penegakkan manhaj Usrah Muslimah dalam berbagai peluang manisnya dan pahitnya. Dan tentu sangat banyak faktor yang mempengaruhinya, yang pragmatis maupun yang bersifat tuntunan-tuntunan syar’i seperti sunnah berdo’a ketika berjima.
Abdur Razaq meriwayatkan denga sanadnya dari Ibnu Abbas RA berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Andaikan salah seorang dari kalian hendak mendatangi isterinya, lalu memanjatkan do’a, “Allahumma jannibnasy syaithana wa janannibisy syaithan ma ruziqna” kemudian terlahirlah anak, maka syaithan tidak mencelakakannya (memadaratkannya) selama-lamanya Insya Allah” (HR Asy Syaikhan)
Bahkan pada pembahasan terdahulu, dikatakan bahwa selain berdo’a kepada Allah memohon perlindungan dari syaithan tersebut, juga disunnahkan kita berdo’a meminta anak yang shalih dan siap berjuang memikul amanat perjuangan da’wah. Sebab jumlah umat yang banyak yang Rasulullah kehendaki adalah yang demikian, dan bukan generasi sampah yang kelahirannya yang hanya akan menambah beban Islam dan kaum muslimin.
Generasi kuat adalah kuat karena ketaqwaannya dan kemampuan berkatanya (dan da’wah adalah ahsanu qoulan). Hal inilah yang Allah wanti-wantikan kepada setiap pasangan suami-isteri agar menghindari generasi lemah (QS 4: 9).
Yang kita inginkan adalah keturunan yang baik (an Nashluth Thayyib) dan keturunan yang shalih (dzuriyyah shalihah).
Namun, sebagaimana kita saksikan dalam kenyataan, bahwa terdapat diantara pasangan suami-isteri itu ada yang subur dan ada pula yang mandul. Dan semuanya ini datang dari Allah SWT, sebagai anugerah sekaligus ujian.

3.2 Terapi Kenabian Bagi Pasangan Mandul
Abu Hanifah meriwayatkan didalam musnadnya dari Jabir bin Andullah RA bahwa telah datang seorang laki-laki anshor kepada Nabi SAW, berkata kepadanya: “Ya Rasulallah, aku tidak dikaruniai seorang anak (pun) dan tidak memiliki seorang anak pun” Bersabda Rasulallah SAW: “Mengapa kamu tidak tempuh melalui banyak istighfar (memohon ampunan) dan banyak sedekah, yang dengannya kamu akan dikaruniai (anak)?” Lalu ia pun termasuk orang yang memperbanyak sedekah dan istighfar. Berkatalah Jabir: “Kemudian orang tersebut dikaruniai 99 anak laki-laki”.
Berkata Mala Ali al Qari didalam syarahnya atas hadits ini, dia mengacu kepada firman Allah yang berkaitan dengan Nuh ‘alaihissalam, “Maka aku katakan Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula didalamnya) untukmu sungai-sungai” (QS 71: 10 – 13).
Dan banyak riwayat lain yang menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan banyak istighfar sebagai faktor penting dalam melepaskan kesulitan hidup, baik fisik maupun psikhis, dan juga sebagai faktor yang mendatangkan rezeki yang tak disangka-sangka datangnya. Seperti yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Al Hakim dari Ibnu Abbas RA . (Syarah Musnad Abu Hanifah, oleh Ali al Qariy, hlm 587).

3.3 Ancaman Keras Bagi Orang Yang Mengingkari Nasab
Dibawah ini terdapat beberapa hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan adanya sanksi atau ancaman bagi orangtua yang mengingkari akan nasab anak-anaknya:
Ibnu Umar RA, meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Barang siapa yang tidak mengakui akan anaknya yang bisa mendatangkan aib didunia, maka Allah Ta’ala akan membukakan aibnya pada hari kiamat dengan disaksikan oleh seluruh manusia sebagai qishas baginya” (HR Ahmad, Ath Thabrani adalah perawi-perawi yang shahih, kecuali Abdullah bin Ahmad. Tetapi Imam al Haitsami berkata didalam kitabnya Al Majma’ jilid 5 hlm 15, bahwa ia itu seorang imam lagi terpercaya).
Mu’adz bin Anas meriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau pernah bersabda: “Sesungguhnya ada beberapa hamba yang Allah tidak akan berbicara padanya pada hari kiamat, tidak akan mensucikannya dan tidak akan melihat pada mereka. Para sahabat bertanya: “Siapakah mereka itu, ya Rasulullah?” Nabi menjawab: “Mereka adalah yang mengingkari akan orangtuanya dan membencinya serta yang mengingkari akan anaknya” (HR Ahmad dan Thabrani dan timbahkan oleh Thabrani kalimat “ dan bagi mereka adzab yang pedih”. Akan tetapi, pada hadits ini ada Zuban bin Fa’id, dimana Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in melemahkannya. Akan tetapi berkata Imam Abu Hakim, bahwa dia itu laki-laki yang shalih, demikianlah yang dikatakan oleh al Haitsami didalam kitabnya al Majma’, jilid 5, hlm 15).
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dengan sanad yang shahih, dan juga oleh Imam Ibnu Majah, Abu Ya’la, al Baghawi, Ibnu Qani’, Ibnu Mandah, Ath Thabrani, dan Sa’id bin Manshur, bahwa Khasykhosyas al Ambari menceritakan: “aku pernah mendatangi Rasulullah SAW bersama seorang anak alki-lakiku, lalu berkata Nabi kepadaku: “Apakah ini anakmu?” Akupun menjawab, “Ya benar”. Kemudian Nabi bersabda: “Janganlah kamu berbuat aniaya kepadanya, dan diapun jangan sampai berbuat aniaya terhadapmu”. (lihat silsilah al Ahaditsus Sahihah no 990).
Imam Hakim meriwayatkan dan dia berkata sanadnya shahih serta dikuatkan oleh Imam Adz Dzahabi dari Abi Romsah, dimana beliau berkata: “ Aku pergi bersama ayahku kepada Rasulullah SAW, kemudian ayahku mengucapkan salam kepadanya dan kami pun duduk beberapa saat. Lalu berkatalah Rasulullah kepada ayahku: “Apakah ini anakmu?” Ayahku pun menjawab: “Ya, demi Rabbil Ka’bah, tentu saja” Lalu Nabi berkata lagi: “Sungguh kah?” Ayahku pun menjawab: “Lihat saja buktinya” Maka tersenyumlah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam disebabkan kemiripanku dengan ayahku, dan karena sumpah ayahku terhadap hal itu. Kemudian Abu Romsah pun berkata: ‘Maka setelah itu bersabdalah Rasulullah SAW: “Camkan, jangan sampai anakmu berbuat aniaya terhadapmu dan kamu pun berbuat aniaya kepadanya”. Abu Romsah pun mengatakan lagi: ‘kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat “Wala taziry wa ziratun wizra ukhra ... dst” (QS An Najm: 38 – 56).
Riwayat-riwayat diatas tadi jelas bagaimana bencinya Allah Subhanahu wa Ta’ala, juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, terhadap setiap orangtua yang tidak mau mengakui eksistensi anaknya sendiri atau anak yang tak mengakui ayah kandungnya. Ancaman keras ini tidak saja berkaitan dengan hukum, namun juga sangat berdampak negatif menyangkut tanggung jawab orangtua terhadap pendidikan anak-anaknya. Bahkan terdapat hadits lain yang lebih keras, dapat dihukumi kafir bagi orang yang tidak mau menasabkan kepada ayah kandungnya sendiri, padahal dia mengetahui dengan persis.

3.4 Amaliyah Hari Pertama Kelahiran
Tuntunan Do’a dalam Menghadapi Kesulitan Kelahiran Anak
Setiap manusia berkeinginan untuk tidak menemui masalah-masalah kehidupan, termasuk seorang isteri dalam mengahadapi kesulitan dalam melahirkan anaknya. Namun kenyataan menunjukkan bahwa banyak kesulitan yang terjadi menimpa ibu-ibu dalam persalinan, baik kelahiran prematur, sungsang, ataupun kelainan berat lainnya, sehingga mengharuskan operasi caesar. Oleh karena itu kita sepakat untuk mengatakan bahwa masa kelahiran merupakan masa sangat berat yang harus dihadapi oleh setiap ibu, dan dalam situasi demikian tak seorang pun yang bisa menolongnya, termasuk suaminya dan yang memberikan pertolongan persalinan sekalipun (bidan atau dokter).
Para ulama’ mengatakan, bahwa pada saat kritis seperti ini, maka yang harus dilakukan oleh seorang ibu adalah memperbaharui taubat dan memasrahkan nasibnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta menghadapinya dengan penuh ikhlas kepada Nya. (Muhammad Nur Suwaid, Manhajut Tarbiyyah an Nabawiyyah lith thifli, hlm 53 – 54). Dengan demikian, apabila ia harus mengalami nasib yang terburuk sekalipun, meninggal misalnya, maka Insya Allah ia dalam mati syahid.
Kesulitan mengandung dan melahirkan bagi seorang ibu, setidaknya dirasakan pula oleh Maryam ‘alaihisallam sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (beransar) pada pangkal pohon kurma, ia berkata: “aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan” (QS 19: 22 – 23).
Ibnu Sunni meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA dari Nabi SAW bersabda: “Jika seorang wanita mengalami kesulitan dalam melahirkan anaknya, maka sediakanlah sebuah bejana lembut lalu tuliskanlah padanya ayat: “ka annahum yauma yarauna ma yu’adun; kaanahum yauma yaraunaha lam yal batsu illa ‘ayyuyatun au dluhahah; dan laqad kana fi qashashihim ‘ibratun li ulil albab; lalu masukkan lah air dan kemudian meminumkannya kepada wanita tersebut, dan kemudian dipercikkannya kepada perut dan kemaluannya” (hlm 53).
Juga disebutkan dalam sebuah riwayat (dlaif), dimana ketika Fathimah hendak melahirkan anaknya, Nabi SAW memerintahkan Ummu Salamah dan Zainab binti Jahsy untuk datang menemui Fathimah, lalu keduanya membacakan ayat kursi disisinya dan juga ayat 54 dari surat Al A’raf, ayat 2 surat Yunus, dan surat al Mu’awwidzatain (an Naas dan al Falaq). (Ibnu Taimiyyah menyebutkan didalam kitabnya “Al Kalimuth Thayyib”, hlm 87 yang ditahqiq oleh Bdul Qadir al Arna’uth, dan dia berkata: Riwayat Ibnu Sunni didalam “Amalul Lail wal Lailah”, nomor 625, sanadnya dla’if).
Amaliyah Hari Pertama Kelahiran Anak
Adapun apa-apa yang seharusnya orangtua lakukan ketika menghadapi hari pertama kelahiran anaknya sebagaimana yang dituntunkan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
Mengeluarkan zakat fitrah untuk anaknya, jika ia lahir pada bulan Ramadhan.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah itu besarnya satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum wajib atas hamba sahaya ataupun merdeka, kecil atau besar” (HR Bukhari, Muslim, Malik, an Nasa’i dan Abu Daud dari Abdullah bin Umar RA).
Demikian pula tentang zakat perhiasan atau harta yang ada pada anak-anak, wajib dikeluarkan apabila telah memenuhi ketentuan. Hal ini berdasarkan riwayat yang dikeluarkan Abu Dawud dari Amru bin Syu’aib Rahimahullah dari ayahnya dari kakeknya, bahwa seorang ibu datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan disertai seorang putrinya dan pada pergelangan tangannya terdapat gelang emas yang tebal, lalu Nabi berkata pada Ibu tersebut; “Apakah anda telah mengeluarkan zakatnya?” Wanita itu menjawab: “tidak” Nabi berkata lagi: “Apakah sedang yang engkau pakaikan itu untuk (mendapat ganti) dua gelang pemberian Allah pada hari kiamat yang terbuat dari api neraka?” Kemudian wanita tersebut segera melepaskan gelang yang ada dikedua tangan anaknya itu dan lalu memberikannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan seraya berkata: “Kedua gelang ini (satu) untuk Allah dan (satu) untuk Rasul-Nya”. (Muhammad Nur Suwaid, hlm 139).

Memberikan Hak Waris Anak
Apabila seseorang meninggal, satu diantara ahli warisnya itu masih dalam kandungan ibunya, maka pembagian waris kepada ahlinya itu ditunda sampai kandungan janin itu lahir. Dan apabila kelak anak itu lahir dalam keadaan hidup, maka berhak ia menerima waris. Berapa besarnya, tergantung dari posisinya, laki-laki atau perempuan, terhalang oleh ahli waris lainnya atau tidak. Namun, apabila anak itu lahir dalam keadaan sudah mati, maka tidak ada bagian waris atasnya. Artinya, harta waris cukup dibagi oleh ahli warisnya yang ada dan sah. Dan jika anak lahir itu hidup dalam beberapa saat kemudian meninggal, maka tetap hak warisnya haus diberikan. Dan tentu saja walinya atau kerabatnya yang dewasa dan dipercaya yang memeliharanya sebagai titipan amanat.
Diantara tanda-tanda kehidupan sianak ketika lahir, adalah jeritan, tangisan, bersin, atau gerakan-gerakan. Yang demikian ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berikut:
Dari Abu Hurairah Radlyiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika terdapat tanda-tanda kehidupan (tangis dan jerit) pada (anak yang) dilahirkan, maka ada hak atasnya waris” (HR Abu daud).
Dari Sa’id bin Musayyab RA dari Jabir RA dan Musawwar bin Makhramah. Keduanya berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat sebagai berikut, “tidaklah mewarisi seorang bayi sampai padanya tampak jelas tanda-tanda kelahiran (jerit dan tangis), dan tanda-tanda tersebut seperti menjerit, bersin, atau menangis” (lihat Silsilah al Ahaditsush Shahihah, nomor             152 dan 153)
(Al Muntaqa min Akhbaril Mushtofa Shallallahu ‘alaihi wasallam, oleh Ibnu Taimiyyah, ditahqiq oleh Muhammad Hamid al Faqi, jilid 2: 467: Manhajut Tarbiyyah an Nabawiyyah Lith Tifhli, Muhammad Nur Suwaid, hlm 54).

Menampakkan wajah ceria dan mengucapkan selamat atas lahirnya anak
Setiap anak yang lahir di muka bumi, artinya sebagai pendatang baru (anggota baru) dalam suatu masyarakat. Masyarakat dan seluruh anggota keluarganya harus menyampaikan selamat dan menunjukkan raut wajah kegembiraan atas kelahirannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Kemudian Malaikat Zibril memanggil Zakaria, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kehadiran (seorang putramu) Yahya, yang membacakan kalimat (yang datang) dari Allah, menjjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang shalih” (QS 3: 39).
Ya Zakaria, sesungguhnya kami mmemberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak bernama Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengannya” (QS 19: 7).

 Adzankan pada telinga kanannya dan iqomatkan pada telinga kirinya
Persoalan mengadzankan anak yang baru lahir pada telinga kanannya dan iqomatkan pada telinga kirinya, pada pandangan ahlul hadits dipertimbangkan shahihnya sebagai amalan sunnah, paling tinggi derajatnya Hasan. Namun demikian, dikalangan ‘ulama pendidikan, seperti misalnya Ad Dahlawi menulis dalam kitabnya Hujjatul Balighah, lalu Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ahkamul Maulud. Keduanya sangat besar perhatiannya dalam mengomentari matan hadits adzan untuk kelahiran anak tersebut, khususnya begitu besarnya perhatian Islam terhadap setiap keturunan Bani Adam yang dilahirkan, guna menghadapi pertarungannya melawan seruan-seruan (kalimat-kalimat) yang menyesatkan dari Syaithan, baik dari kalangan Jin maupun manusia.
Hadits yang penulis maksudkan disini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi, bahwa “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengadzankan pada telinga Hasan bin Ali RA ketika Fathimah melahirkannya, dengan shalat (do’a) atau kalimat-kalimat adzan”.
Ad Dahlawi menyebutkan tentang rahasia dan hikmat dari kalimat ini dengan mengatakan sebagai berikut:
Adzan adalah termasuk syi’ar Islam
Berisikan informasi agama Muhammad
Khusus berkaitan dengan anak yang dilahirkan, dimaksudkan untuk memperdengarkan kalimat tersebut ke telinga anak (sebagai kalimat tauhid yang pertama sekali diperdengarkan kepadanya)
Saya sadar dan mengetahui bahwa syaithan akan lari terbirit-terbirit ketika mendengar kalimat adzan disuarakan, sementara tangisan anak yang baru lahir adalah karena tusukan syaithan yang telah menunggu selama anak dalam proses kelahiran dari ibunya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Asy Syaikhan dari Abu Hurairah RA berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak satu pun anak keturunan Adam yang dilahirkan kecuali syaithan mencucuknya ketika ia dilahirkan, sehingga ia menangis (menjerit) keras akibat tusukan tersebut, kecuali Maryam dan puteranya. Kemudian Abu Hurairah RA berkata, “Jika kamu menghendaki bacalah ayat (Wa inni u’idzuha bika wa dzurriyataha minasy syaithanir rajim : QS 3: 36)”.
Ibnul Qayyim Rahimahullah menambahkan sebagai berikut:
Dan satu hal lagi yang pentinga adalah, bahwa kalimat adzan yang disuarakan itu berpengaruh pada hati si anak
Dikhawatirkan jika tidak ada kalimat thayyibah seperti adzan ini, maka kalimat syaithan akan lebih dahulu masuk ke telinga anak, mengingat syaithan berada disana menunggu kelahiran anak tersebut. Sebab makna yang terkandung dalam kalimat adzan menjadi seruan pertama bagi anak kepada Allah dan agama Islam serta kepada ibadah kepada-Nya, mendahuluinya dari seruan syaithan yag hendak menyesatkannya. (Ahkamul Maulud; Manhajut Tarbiyyah  an Nabawiyyah lith Tifhli, Muhammad Nur Suuwaid, hlm 56).

Berdo’a sebagai tanda syukur
Orangtua bersyukur kepada Allah atas nikmat kelahiran anak: Al Hafizh Abul ya’la didalam musnadnya, dari Anas bin Malik RA berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apa-apa yang telah Allah berikan nikmat kepada seorang hamba, berupa keluarga atau anak, maka hendaklah ia mengucapkan “Ma Sya Allah, La Haula wa la Quwwata illa billah”.

Tahnik (meloloh)
Tahnik merupakan sunnah yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalllam. Adnan Hasan Shalih Baharats dalam bukunya Mas’uliyyatul Abil Muslim fi Tarbiyyatul walad fi Marhalatith Thufulah, mengatakan: “Suatu ketika Rasulullah mendatangi anak-anak, mendo’akan mereka dan mentahniknya (meloloh atau mengolesi mulut lidah anak dengan sepahan kunyahan kurma). Di dalam Shahih Bukhari diriwayatkan, bahwa Nabi SAW didatangi asma binti Abu Bakar dengan membawa Abdullah bin Zubair yang baru saja dilahirkan. Asma meletakkan Abdullah dipangkuan Nabi, lalu beliau meminta sebutir kurma dan mengunyahnya. Setelah itu beliau menyuapkan mulut Abdullah adalah ludah Rasulullah SAW, dan kemudian beliau SAW mendo’akan Abdullah. Tahnik sebaiknya dilakukan oleh ayahnya, atau ulama, kerabat yang dipandang shahih, tetangga, teman yang telah diketahui kemuliaa akhlaknya. Kebiasaan dinegeri kita, karena kurma bukan merupakan buah domestik kita, maka kita sering menggantinya dengan madu.

Menyusuinya sampai 2 tahun jika ingin menyempurnakan penyusuannya (QS 2: 233)



0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------