TAFSIR AL FATIHAH BAG. KE-5 (02/5)
ISLAM JALAN LURUS
5.5 Islam Jalan Yang diTempuh Para Nabi, Shalihin dan Syuhada’
            Telah kita katakan bahwa Islam sebagai Dinul haq, Din samawi satu-satunya yang diturunkan oleh Allah SWT melalui rasul-rasulNya adalah tidak sekedar mengatur hubungan manusia dengan Rabbnya, hubungan vertikal saja, namun lebih merupakan nizhamu hayah (sistem kehidupan) yang mengatur seluruh aktifitas manusia, dari mulai hubungannya dengan rabbnya, hubungan sesama manusia, mengatur urusan sosial kemasyarakatan, pendidikan dan mempersiapkan generasi, juga urusan politik dan ketatanegaraan. Namun semua itu harus ditegakkan di atas pondasi yang kokoh, yaitu aqidah Islam yang murni dan terbebas dari hurofat dan bid’ah.
            Islam adalah taslim, penyerahan diri secara total kepada Khalik yang menurunkan Islam ini. Sebagai hamba-hambaNya yang muslim dan mukmin, maka mereka dituntut untuk menyerahkan diri mereka secara total. Memasrahkan seluruh persoalan mereka, baik yang penting maupun remeh, sepenuhnya kepa Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang dengan penyerahan total itu, sehingga tidak ada lagi tersisa apapun dalam diri mereka, baik konsepsi maupun kesadaran, motivasi dan tindakan, suka maupun tak suka, yang tidak ditundukan kepada Allah dan tidak rela atas hukum dan keputusanNya, penyerahan total yang tak tergoyahkan yang dfisertai keikhlasan sepenuhnya. Perhatikan firman Allah:
“Wahai orang-orang yang briman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al Baqarah: 208)
            Mengapa orang yang beriman masih saja diseru dan terus diseru untuk masuk Islam secara total, memasrahkan diri mereka secara total bulat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala? Karena, memang masih banyak dari orang yang beriman itu enggan, tidak mau memasrahkan dirinya secara penuh, sehingga masih ada bagian-bagian tersisa pada diri mereka, baik pola pikir maupun pemahaman keislamannya, prilaku maupun kesadarannya, yang tidak diserahkan kepada Allah SWT. Sebab masih ada jalan-jalan setan yang diikuti, mereka masih menurutkan hawa nafsunya, masih tunduk dan bertahkim kepada akalnya dan mendahulukannya daripada nash-nash Kitabullah dan Sunnah RasuNya. Padahal, apa-apa yang mereka ikuti itu dan jalan yang mereka titi itu adalah jalan setan, jalannya musuh-musuh Allah dan Islam.
Sayyid Quthb berkata:
“Panggilan ini secara khusus ditujukan kepada orang-orang yang beriman saja. Itu dikarenakan masih adanya orang-orang yang bimbang dan ragu dalam menjalankan ketaatan mereka, baiok secaara terang-terangan maupun tersamar—suatu hal yang wajar di tengah-tengah masyarakat yang memiliki keyakinan teguh dan keikhlasan penuh. Itu merupakan seruan yang setiap saat ditujukan kepada orang-orang yang briman, agar mereka ikhlas dan tulus, serta menyelaraskan kata hati dan arah kesadaran mereka dengan irodat Allah atas diri mereka, selaras dengan bimbin gan nabi dan agama mereka tanpa ada sedikitpun keragu-raguan.
      Begitu seorang muslim menyambut seruan itu dalam bentuknya yang demikian, berarti mereka telah memasuki dunia yang seluruhnya damai dan penuh penyerahan diri—sutatu alam yang seluruhnya penuh keyakinan dan kepercayaan diri, tulus dan pasrah, tiada bimbang dan ragu, tiada pembangkangan maupun kesesatan. Damai bersama jiwa dan hati nurani. Damai bersama akal dan rasio. Damai bersama umat manusia dan kehidupan. Damai di langit… damai di bumi”. [1]
            Dalam ayat ini Allah menegaskan “Janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan”. Langkah atau jalan yang ditempuh Syaithan adalah bukan jalan lurus, karena setiap jalan syaithan akan membawa kepada pertikaian dan permusuhan sesama manusia, menyesatkan dan menyimpangkan dari Syirathal Mustaqim, menjauhkan diri dari Manhaj Rabbani dan petujuk-petunjuk As sunnah.
            Shirathal Mustaqim yang Allah perintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang periman untuk diikutinya sekalipun menuntut segala kemampuan optimal dari kita, pada hakekatnya adalah membawa kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, karena di dalam nya tak ada tipuan dan kepalsuan, tidak ada syakk dan keraguan, tidak bengkok dan menyesatkan.
            Jalan lurus ini terbimbing oleh dua wahyu: Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dalam kapasitasnya sebagai seorang Rasul utusan Allah, maka Muhammnad SAW bukanlah termasuk orang yang menyimpang atau sesat. Sebab dia itu tidak berkata kecuali berdasarkan petunjuk wahyu. Dia tidak memerintah dan tidak melarang dalam perkara agama, menurutkan nafsunya atau kehendak intuisinya, akan tetapi dengan wahyu yang Allah wahyukan padanya.
            Allah berfirman:
            “kawanmu(Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lai hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”. (An Najm: 2-4).
            Pada diri Rasulullah telah diberikan wahyu berupa Al Quran dan yang semisal dengannya yang menyertainya, yaitu As Sunnah. Kedua sumber hukum inilah yang beliau tinggalkan kepada umatnya untuk meniti jalan lurus, yang tiada akan menyesatkan selama-lamanya bagi mereka yang komitmen sepenuhnya memegang kuat-kuat keduanya.
            Kenikmatan, kelezatan, dan kebahagiaan hakiki di dunia dan di akhirat hanya akan diperoleh hamba-hambaNya yang memasrahkan total seluruh jiwa raganya kepada Al Islam sebagai wujud kecintaan mereka kepada Allah dan taqarrub kepadaNya. Hal ini hanya mungkin jika hamba itu memalingkan dari seluruh kecintaan dan kepasrahan kepada selainNya.
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
‘Tidak ada kegembiraan dan kelezatan yang sempurna bagi hati hamba kecuali dalam kecintaan kepada Allah dan taqarrub kepadaNya sebagai bukti kecintaanNya. Dan kecintaan ini tidak mungkin terhujam dalam hatinya kecuali jika ia berpaling dari seluruh kecintaan kepada selainNya. Dan inilah hakikat Laa Ilaaha Illallah, yaitu millah Ibrahim khalilullah dan seluruh para nabi dan rasul, shalawatullah Wa Salamuhu Ajama’iin”. [2]
            Kepasrahan total yang dikatakan Sayyid Quthb dalam menafsirkan “masuklah ke dalam Islam secara total”, sejalan dengan upaya memperoleh kelezatan dan kegembiraan sempurna menurut Ibnu Taimiyah. Dan ini tidak mungkin dilakukan kecuali jika hamba itu benar-benar telah memalingkan diri dari seluruh jalan syaitan atau memalingkan dari semua kecintaannya kepada selain Allah SAW.
            Di dalam kitab tafsirnya, Sayyid Quthb mengatakan (di dalam pendahuluannya): “Hidup di bawah naungan Al Quran itu nikmat”. Tentu kenikmatan ini hanya bisa dirasakan bagi mereka yang memasrahkan total seluruh jiwa raganya kepada bimbingan Kitabullah ini yang tiada keraguan di dalamnya, tiada kecongkakan, kekeliruan, dan kesesatan.
            Sayyid Quthb mengatakan:
Pancaran pertama yang dipantulkan ke dalam hati oleh kedamaian seperti ini (muslim kaffah) adalah pancaran yang memantulkan kelurusan konsepsinya tentang Allah. Kemudian pancaran cahayanya membentuk satu keyakinan bahwa Allah itu Ilah yang Maha Tunggal. Kepada-Nya seorang Muslim menghadapkan diri tanpa banyak bertanya, dan dari-Nya pula ia memperoleh ketentraman kalbu. Dengan demikian, jalan tidak lagi bercabang, tujuan tiada lagi beraneka ragam, dan tidak lagi terpental dari satu Tuhan ke Tuhan lain seperti yang ada pada sistem keberhalaan. Ia adalah Rabb yang Maha Tunggal, yang kepada-Nya manusia menghadapkan diri dengan penuh keyakinan, kepercayaan, kejelasan, dan kecenderungan.[3]
            Kiranya pantas jika Allah SWT. mengabarkan bahwa Shirathal Mustaqim itu jalan yang ditempuh para nabi, siddiqun, shalihun, dan syuhada. Jalan mereka yang telah Allah berikan kenikmatan kepada mereka, nikmat dunia dan akhirat, bahagia di dunia dan di akhirat.
Allah berfirman:
Yaitu jalan orang-orang yang Engkai beri nikmat atas mereka.
(Al Fatihah: 7)
Siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.
(An Nisa: 69)
            Adl Dlahak dari Ibnu Abbas ra. mengatakan Shirathalladzina an ‘amta ‘alaihim, yaitu dengan menaati-Mu, beribadah kepada-Mu, dari kalangan Malaikat-Mu, para Nabi-Mu, orang-orang shiddiq, syuhada’ dan orang-orang shalih. Hal ini sejalan dengan firman Allah
Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah. [4]

            Jika Allah menyebutkan tentang siapa-siapa mereka yang telah Allah anugrahkan nikmat, seperti nabi, sebab semua nabi dan rasul diutus ke muka bumi untuk urusan yang sama, membawa satu misi, yaitu “menyeru uman manusia agar mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT, dan tiada menyekutukanNya dengan sesuatu apapun”, dan mereka itu membawa Din Al Islam, satu-satunya Din yang diterima di sisiNya dan menolak pengakuan sementara manusia terhadap din-din selain Islam.
“Sesungguhnya din (yang diridlai) Allah hanyalah Islam…”
(Ali Imran: 19).
“Barang siapa mencari din selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (din tersebut), dan di akhirat kelak ia termasuk orang yang rugi” (Ali Imran: 85).
            Jika Allah memerintahkan kita untuk beribadah hanya kepada Allah, dan menjauhkan sesembahan-sesembahan (pengabdian lain) selain Allah 9Thagut dalam segala maknanya), tidak lain agar manusia dapat mempertahankan fitrahnya, terhindar dari kerusakan fitrah.
            Muhammad Abdul Hadi Al Misri mengatakan: “Ketika fitrah mayoritas manusia sudah rusak, dan ketika manusia menjadi mahkluk yang paling banyak menentang/membantah (Al Kahfi: 54), maka saat itulah syaitan menghiasi amal buruk manusia sehingga tampak bagus dan indah. Syaithan pun mencampur adukan antara yang hak dan yang batil serta mengilhami manusia dengan berbagai perilaku buruk, sehingga mereka bertahan dengan kebatilannya.
“Tetapi orang-orang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian itu mereka dapat melenyapkan yang hak” (Al Kahfi: 56).
Betapa herannya anak Adam ketika fitrahnya menjadi rusak, mata hatinya menjadi gelap, dan akalnya menjadi sesat. Lantas ia melihat kebenaran sebagai kebatilan. Atau ia menyimpang sama sekali sehingga tak mampu melihat mana yang hak dan mana yang batil. Hal ini dijelaskan Allah dalam firmanNya:
            “…MakaAllah menyesatan siapa yang dikehendakiNya, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan Dialah yang Mahakuasa serta Mahabijaksana” (Ibrahim 4)
            “…barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendaoat petunjuk, dan barang siapa yang disesatkanNya, maka kamu tak akan mendaptkan seorang pemimpin pun yang mampu memberi petunjuk kepadanya” (Al Kahfi: 17).
            Orang-orang kafir berselisih di antara sesamanya. Mereka terpecah belah menjadi bermacam-macam golongan, berbeda dalam tingkat kekufuran, kesesatan, kebingungan, dan penyimpangan dari jalan yang lurus (Shirotul mustaqim, akibat meniti jalan-jalan syaithan)…” [5]
            Adapun ketika Allah memasukkan Shiddiqun, Syuhada’ dan Shalihun, dari golongan yang Allah beri kenikmatan, adalh karena komitmen mereka meniti jalan lurus yang ditempuh para nabi dan rasul Allah itu dengan pengorbanan terbesar mereka, penyerahan total terhadap Manhaj para nabi dan menjadikan Islam sebagai nizham kehidupan. Dan di antara mereka itu adalah mereka yang disebut Rasullah sebagai “tiga generasi terbaik abad ini”(tiga generasi Salafush shalih), yaitu para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in. kemudian generasi berikutya, yang disebutnya sebagai salafiyyun (pengikut salafush shalih, yang menetapi Manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah).
            Islam pernah terselamatkan dari fitnah besar oleh Abu Bakar Ashshiddiq ketika sebagian kaum muslimin pada masanya tidak mau membayar zakat, memisahkan antara kewajiban shalat dan zakat, lalu mereka diperanginya sebagai golongan murtad (kembali kafir setelah mereka beriman). Lalu, ketika Islam difitnah golongan ahlul bid’ah yang menyatakan “Al Quran itu makhluk”, tampillah Imam Ahmad ibnu Hanbal rahimahullah membantah dan menyerang, walau risiko yang mesti ia hadapi sangat besar, demi menyelamatkan kaum muslimin dari murtad.
            Tentang para sahabat ridlwanullah ‘alaihim ajma’un, imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra:
Siapa yang hendak menjadikan teladan, teladanilah para sahabat Rasulullah SAW. Mereka itu paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit neka-nekonya, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Mereka adalah kaum yang dipilih Allah untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan Dien-Nya. Karena itu, hendaklah kalian mengenali keutamaan jasa-jasa mereka dan ikutilah jejak mereka. Sebab, mereka senantiasa berada di atas jalan (Allah) yang lurus.
Pantas jika Rasul mensifati mereka itu sebagai generasi terbaik umat dan melarang kit untuk mencaci maki mereka dengan alasan apapun.
            Diriwayatkan daari Abi Sa’id Al Hudri ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Janganlah kamu mencaci maki sahabat-sahabatku. Demi Allah yang diriku ada di tangan-Nya, seandainya salah seorang di antara kamu membelanjakan emas (menginfaqkannya) sebesar gunung Uhud, nilainya tidak satu mud yang diinfaqkan mereka (para sahabat), bahkan setengahnya pun tidak.

            Dalam hadits lain yang diriwayatkan Iman Tirmidzi dari Ibnu Mughaffal ra, “Saya mendengar Rasulullah bersabda: Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah mengenai para sahabatku. Janganlah kamu menjadikan mereka sebagai sasaran sepeninggalku nanti. Barang siapa mencintai mereka karena mencintai aku, maka aku mencintai mereka. Barang siapa membenci mereka karena membenci aku, maka aku membenci mereka. Barang siapa menyakiti mereka, ia menyakitiku, ia menyakiti Allah. Barang siapa menyakiti Allah, ia akan mendapat siksaan dari Allah. Barang siapa disiksa Allah, ia tidak akan lolos.
            Kemauan mereka untuk (mengkaji) Al Quran sangatlah besar, sementara Rasulullah SAW berada di tengah-tengah mereka. Beliaulah yang mengajarkan takwil-takwil, pengertian, dan makna Al Quran sebagaimana beliau mengajarkan lafazh-lafazhnya. Karena itu, tidak mungkin pada sahabat bergeser pada yang lain; pun tidak mungkin hati mereka tergerak untuk mengetahuinya. Oleh karena itu, para ulama salah dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki kesepakatan tentang sikap terhadap generasi pendahulu umat (sahabat khususnya) dan tabi’in serta tabi’it tabi’in, yaitu antara lain “menghindari pembicaraan yang tidak baik dan tidak perlu berkenaan dengan para pendahulu umat ini”.
            Betapa indahnya ucapan yang dinukil oleh Ibnu Taimiyah dari Ibnu Abbas ra: Allah memerintahkan untuk memintakan ampunan bagi sahabat-sahabat Nabi SAW, sementara Dia mengetahui bahwa mereka saling berperang.[6] Karena alasan ini, Imam Malik mewajibkan umat Ialam keluar dari kota yang di dalamnya terdapat cercaan terhadap para sahabat Nabi telah meluas. Jika seseorang tidak keluar dari kota yang kondisinya seperti itu, pada dasarnya ia menetap di suatu negara yang tidak memiliki kebenaran dan tidak mungkin lagi mengubahnya. Padahal di negara lain kebenaran masih tegak atau kemungkaran masih bisa dihilangkan. Ia berkata, tidak patut bagi seorang yang menetap di bumi yang tidak mengenal kebenaran dan di dalamnya terdapat cercaan terhadap para pendahulu (salafush shalih).[7]
            Malik bin Anas ra berkata: “Barang siapa yang di dalam hatinya tersimpan kebencian terhadap salah seorang dari sahabat Nabi, maka dia benar-benar terkena dengan apa yang dimaksud dengan ayat ini (maksudnya ayat 29 surat Al Fath).”
            Sufyan Ats Tsauri ra berkata: “Barang siapa yang mengutamakan Ali dari Abu Bakar dan Umar, berarti ia telah mencela dan meremehkan mereka.”
            Abul Hasan Al Baghawi berkata: “Sikap pemutusan hubungan, pelepasan diri dan memusuhi pelaku bid’ah dan seorang yang selalu mencari perselisihan adalah berkenaan dengan perkara-perkara yang pokok (ushul). Adapun perbedaan pendapat dalam perkara-perkara furu’iyah yang terjadi di antara ulama merupakan rahmat yang dengan perbedaan pendapat itu Allah menghendaki agar tidak menjadi kesempitan bagi orang-orang mukmin dalam agamanya.
            Jika melihat seseorang memperturutkan hawa nafsunya dan mengerjakan bid’ah dengan yakin serta menghina as Sunnah, seorang muslim wajib menjauhi orang itu, berlepas diri darinya, dan meninggalkannya dalam keadaan hidup atau mati. Oleh sebab itu, jika bertemu dengan orang seperti itu, jangan mengucapkan salam dan jangan memenuhi undangannya.[8]
            Syaikh Muhamad Abu Zahrah menuturkan, perselisihan yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah berpangkal dari persoalan pemilihan khalifah. Siapakah yang berwenang memilih khalifah? Apakah hanya penduduk Madinah, sedangkan orang lain selain mereka hanya mengikuti? Atau seluruh umat manusia (Islam) di setiap tempat mempunyai hak untuk memilih?[9]
            Rasa percaya kepada para pendahulu umat Islam mengantarkan umat Islam kepada keyakinan bahwa semua sahabat Nabi itu benar. Masalah yang timbul di antara mereka berpangkal pada usaha mereka untuk melestarikan agama Islam. Umat Islam harus menjaga hak mereka dan tidak boleh mengultuskan salah seorang di antara  mereka karena sikap pengultusan hanya akan merugikan sahabat yang dikultuskan dan umat Islam sendiri.
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, bahwa orang-orang berbeda pendapat mengenai apa yang terjadi di antara Ali dan Mu’awiyah, Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Apakah mereka semua benar atau salah seorang saja yang benar? Berakar pada masalah ushul, dalam masalah furu’ hanya ada satu kebenaran bagi Allah dan mujtahid diperintahkan mencarinya. Jika benar, ia memperoleh dua pahala dan jika salah ia memperoleh satu pahala. Inilah pendapat mayoritas  As Syafi’I, Madzhab Malik, dan al Laits.
            Selanjutnya ia berpesan agar kita tidak mempersalahkan perselisihan di antara sahabat Nabi dan tidak mencari-cari siapakah yang salah dan siapakah yang benar. Al Mawarzi bercerita, pada suatu hari Yakub mendatangi Imam Ahmad sebagai utusan khalifah. Ia bertanya tentang perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah. Imam Ahmad menjawab bahwa ia hanya mengetahui bahwa kedua-duanya baik. Kemudian ditanyakan pula tentang Thalhah, Ali, dan Aisyah. Imam Ahmad menjawab, “Siapa gerangan aku ini? Rasanya aku tidak layak berbicara soal ini sehingga berani mengomentari perselisihan di antara mereka. Jika ada suatu masalah timbul di antara mereka, hanya Allah yang mengetahuinya”.
            Firman Allah,
Itu adalah umat  yang lalu, baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.
(Al Baqarah: 134)
            Di dalam kitab tarikhnya, Ath Thabari meriwayatkan bahwa Harun Ar Rasyid bertanya kepada Abdullah bin Mush’ab tentang orang-orang yang mencela Utsman. Abdullah bin Mush’ab menjawab, “Ya, Amirul Mukminin. Ada orang-orang yang mencelanya, ada orang yang membelanya. Mereka yang mencela Utsman telah terpisah darinya, yaitu orang Syi’ah dan Khawarij. Mereka yang memihak Utsman adalah Ahlul Jama’ah hingga sekarang.” Mendengar jawaban seperti itu, Ar Rasyid berkata,”Kalau begitu, saya tidak akan bertanya tentang hal itu lagi.
            Ibnu Taimiyah juga memaparkan dengan rinci dan cermat bantahannya terhadap kaum Rafidlah yang menuduh Abu Bakar, Umar, dan Utsman sebagai pencari dunia dan kekuasaan. Juga anggapan bahwa Ali tidak pernah memberikan kedudukan kepada salah seorang kerabatnya. Ia tidak mengatakan bahwa kaum Rafidlah tidak bisa menetapkan keimanan dan keadilan Ali serta menganggapnya sebagai penghuni surga bila hal yang sama tidak dinisbatkan kepada Abu Bakar dan Umar. Pada masa pemerintahan Abu Bakar, tidak ada seorang muslim pun yang dibunuh. Yang diperangi hanyalah orang-orang murtad dan kafir. Ketika ajalnya sudah dekat, Abu Bakar mewasiatkan kekuasaannya kepada seorang sahabat yang perkasa, dipercaya, jenius (Umar bin Khaththab), bukan kepada kerabat atau keturunannya. Ia memperluas wilayah Islam. Jika Rafidlah mengatakan bahwa  semua itu dilakukan untuk mencari dunia dan kekuasaan, siapapun bisa mengatakan bahwa Ali juga hanya mencari dunia dan kekuasaan. Ali berperang hanya di dalam wilayahnya, tidak berperang melawan orang-orang kafir, dan tidak membuka satu kota pun.
            Selanjutnya ia berkata, “Menurut Ahlus Sunnah, ahlul Badr itu masuk surga, demikian juga ummul Mukminin. Tidak disyaratkan bahwa mereka bersih dan dosa. Bisa saja di antara mereka berdosa besar atau kecil dan kemudian bertobat. Hal ini disepakati oleh umat Islam. Dosa besar bisa dihapus dengan kebajikan yang lebih besar atau dengan musibah.”
            Sabda Nabi SAW,
Apabila disebutkan sahabatku, maka tahanlah dirimu
(HR Thabrani dalam Al Kabir)
            Fitnah dapat menimbulkan peperangan dan saling membunuh. Oleh karena itu, fitnah harus dihindari. Fitnah adalah perkataan yang samar yang belum tampak kebenarannya, sehingga tidak bisa diketahui kelompok mana yang salah dan yang benar, khususnya dalam masalah politik dan pemerintahan. Menurut Ibnu Hajar, arti fitnah menurut syari’at adalah apa yang timbul dari perselisihan memperebutkan hak milik sehingga tidak diketahui yang hak dan yang batil.[10]
            Semoga Allah menjadikan kita tetap mengikuti ajaran yang benar dan murni, meramaikan dan menghidupkan sunnah Rasulullah SAW, menjauhkan kita dari seluruh perbuatan bid’ah serta menurutkan hawa nafsu, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan.

5.6 Shirathal Mustaqim (Jalan Lurus atau Islam) Longsor dan Runtuh oleh Perbuatan Ahlul Bid’ah
            Bid’ah secara etimologi dapat bermakna, menciptakan sesuatu yang tidak ada contoh sebelumnya. Bisa juga bermakna lelah, letih, atau lesu. Orang Arab mengatakan, “Unta itu letih manakala berhenti nongkrong di tengah jalan.” Keletihan itu bisa terjadi karena cacat atau pincang atau sebab lain.
            Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian bid’ah secara terminologi (syari’ah). Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa bid’ah itu menciptakan perkara baru yang bertentangan dengan as Sunnah. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa bid’ah itu berlaku umum, yaitu meliputi semua hal-hal baru yang diadakan setelah masa Rasulullah SAW, baik yang terpuji maupun yang tercela.
            Namun, yang terbaik, terlengkap, dan paling tegas dalam pengambilan makna bid’ah adalah yang dikatakan Imam Asy Syathibi berikut:
Bid’ah adalah jalan yang ditempuh atau diciptakan (yang asalnya tidak ada) dalam ad Din yang menempati kedudukan setingkat dengan As Syari’ah, yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri dengan Allah, dan tidak tegak di atasnya dalil syar’I yang shahih, baik asalnya maupun sifat (perbuatannya).[11]
            Dengan adanya kalimat “dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah”, dikeluarkanlah segala perkara baru yang bersifat duniawi, seperti mobil, kapal laut, pesawat terbang, mimbar untuk pidato, menhimpun kitab, dan yang sejenis itu semua. Sebab, perkara-perkara baru yang kita sebut itu termasuk Wasail Masyru’ah (media atau sarana yang disyariatkan; dibenarkan secara syari’ah), sebab mengantarkan kepada apa yang disyari’atkan secara nash. Perkara-perkara baru seperti inilah yang menerima pembagian kepada hukum yang lima (wajib, haram, sunnah, mubah, dan makruh) dan tidak bisa dimasukkan ke dalam istilah bid’ah diniyyah. Sebab-sebab perkara wasail masyru’ah ini berkaitan dengan qawa’idah ushul (kaidah-kaidah ushul) sebagaimana dikatakan, “tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya, ia menjadi wajib”. Hal ini tidak seperti yang dikatakan oleh Al ‘Izz bin Abdul Salam dalam pembagian bid’ah diniyyah kepada lima pembagian.[12]
            Oleh karena itu, membagi bid’ah menjadi bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), atau bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah bukan saja tidak benar karena tidak ada rujukan yang benar, juga mempunyai implikasi buruk bagi umat Islam. Sebab, menjadi sulit membedakan istilah bid’ah secara bahasa dan secara syari’at. Padahal jika kita berbicara soal hadits bid’ah, ini harus dipahami secara terminologi syari’ah, tidak dengan etimologi bahasa.
            Hal ini berarti kata “Kullu bid’atin Dlalalah” (                              ) meliputi batasan bid’ah yang digariskan Imam Asy Syarthibi tersebut. Bukan dalam pengertian umum yang di-takhshish, hanya perkara yang bertentangan dengan as Sunnah. Mereka benar memberikan contoh secara bahasa bahwa pesawat terbang dan membuat mimbar adalah perbuatan baik (hasanah dan terpuji), namun mereka keliru memasukkan perkara wasail (media dan sarana) masyru’ah ini ke dalam bid’ah terpuji atau hasanah. Kalau yang demikian dimasukkan ke dalam bid’ah hasanah akan timbul persoalan baru. Sebab perkara seperti ini, pada masa Rasulullah SAW belum ada dan tidak terjadi. Kini, hal itu banyak sekali muncul, diciptakan, dan diadakan serta terjadi di mana-mana.
            Nanti orang berpikir, jika menciptakan kendaraan saja termasuk bid’ah hasanah, apalagi membuat perkara baru seperti menciptakan kalimat “shalawat pada Nabi” versi baru, berdzikir dengan cara baru, membaca Al Quran beramai-ramai dengan suara keras, membuat penerangan dengan pelita di atas kuburan, berdiam diri beberapa hari membaca Al Quran di atasya, dll. Apakah ini bukan bid’ah hasanah, karena yang dibaca itu kalamullah dan dzikir kepada Allah? Kita menjadi sulit membedakan perkara baru yang berkaitan dengan media atau sarana yang disyari’atkan dan mana yang termasuk bid’ah.
            Bid’ah yang diisyaratkan Imam Asyathibi adalah menyangkut Ushul ad-Din (pokok-pokok agama), sedangkan perkara wasail (media atau sarana) masyru’ah itu berkaitan dengan qawa’idul ushul (kaidah ushul).
            Lalu bagaimana yang sebenarnya?
            Berkaitan dengan ushulud din, dalam beribadah yang disyari’atkan haruslah ada ”perintahnya” dan disertai “tuntutan dan sifat melakukannya”. Ada perintah dari Allah atau Rasul-Nya, dan ada contoh pelaksanaannya dari Rasulullah SAW. Jika suatu amalan tidak ada perintahnya, baik dari Allah maupun dari Rasul, dan juga tidak ada contoh pelaksanaan dari Rasul, amalan tersebut dimasukkan ke dalam bid’ah haqiqiyah. Jika amalan itu ada perintahnya, dari Allah atau Rasulullah, tetapi dalam pelaksanaannya tidak sejalan dengan As Sunnah, amalan ini disebut dengan bid’ah idlafiyyah.
            Kaum muslimin yang membagi tauhid menjadi tauhid rububiyah, tauhid mulkiyah, dan tauhid uluhiyyah termasuk ke dalam bid’ah haqiqiyah. Sebab, tidak tegak padanya dalil syar’i, dari Al Qur’an maupun As Sunnah, juga pernyataan ulama-ulama salaf generasi ketiga terbaik pendahulu umat.
            Membangun benteng (bangunan) di atas kuburan, atau memberi penerangan dengan pelita,  atau mendirikan masjid di atasnya, termasuk bid’ah haqiqiyah. Sebab, ada nash yang  melarangnya, dan Nabi SAW maupun para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in tidak pernah melakukannya.
            Dzikir, shalawat kepada Nabi, atau membaca ayat-ayat Allah adalah perintah dari Allah dan Rasul-Nya. Namun, jika dalam pelaksanaannya menyimpang dari tuntutan As Sunnah, tergolong kepada bid’ah idlafiyah. Misalnya, melakukannya dengan beramai-ramai menyatukan suara, mengambil waktu dan tempat tertentu. Hal ini seperti yang dilakukan Ibnu Mas’ud ra ketika ia mengusir jama’ah halaqah dzikir di Masjid Kufah. Jama’ah yang dipimpin seorang syaikh itu membaca kalimat tahlil 100 kali, kalimat tahmid 100 kali, kalimat tasbih 100 kali, disertai dengan media yang tidak disyari’atkan (wasail laisa masyru’), yaitu dengan  kerikil untuk menghitung jumlah masing-masing dzikir, lalu melakukannya beramai-ramai menyatukan suara bacaan. Amalan ini bisa jadi bid’ah haqiqiyah jika perintah jumlah dzikir itu tidak disyari’atkan karena tidak ada nash yang mendukungnya.[13]
            Padahal dzikir yang masyru’ adalah membaca tasbih, tahmid, dan takbir masing-masing sebanyak 33 kali, serta ditutup dengan sekali membaca kalimat la ilaaha illallah wahdahu la syarikalahu lahul mulku wa lahul hamdu yuhyi wa yumitu wa huwa ‘ala kulli syai’in qadir. Genaplah 100 kali. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
            Aku memohon kepada Allah yang Maha Besar, yang tak ada Ilah kecuali Dia. Yang senantiasa hidup, lagi yang mengurus segala sesuatu dengan sendirinya, dan aku bertaubat kepada-Nya.
(HR Abu Dawud dan Tirmidzi dari Bilal Ibnu Yasar) [14]
            Siapa yang bertasbih sesudah shalat (setiap shalat) 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 33 kali; jumlah semuanya 99 kali, dan kemudia dia sempurnakan menjadi seratus kali dengan membaca: Tiada Tuhan kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nyalah pemerintahan (kekuasaan), dan bagi-Nyalah pujian dan Dia atas segala sesuatu Maha berkuasa. Niscaya diampuni segala dosanya oleh Allah walaupun dosanya sebanyak buih laut.
(HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi dari Abu Hurairah ra)[15]
            Di riwayat lain, dalam melakukan bacaan dzikir tersebut, dihitung dengan bilangan jari-jari. Cukup dengan itu, tidak perlu mencari wasilah lain, seperti jagung, kerikil, atau untaian tasbih. Sebab, penggunaan jari-jari itu adalah wasilah masyru’ (bukan bid’ah hasanah), sedangkan penggunaan alat lain merupakan bid’ah idlafiyah, dan bukan bid’ah hasanah. Itupun selama perintah dzikir itu ada.
            Tentu ada beberapa dzikir ma’tsur, berdasarkan hadits yang shahih, berikut tuntutannya. Ada juga dzikir masyru’ yang hanya dibaca pada waktu tertentu. Misalnya, setelah shalat fajar dan maghrib. Atau doa pagi hari dan sore hari, atau doa dan dzikir menjelang tidur, dan doa lain yang seluruhnya tentu disyari’atkan.
            Bid’ah haqiqiyah lainnya adalah mengadakan pesta ulang tahun, maulid Nabi SAW, peringatan Isra’ Mi’raj, dalam bertawassul dengan kedudukan Nabi SAW, melalui makam orang saleh yang dianggap keramat, amalan asyura, menyalakan api pada bulan nishfu sya’ban, atau melakukan ibadah tertentu berkaitan dengan itu.[16] Hanya saja Imam Suyuthi masih menggunakan ta’rif bahasa, karena adanya sebutan bid’ah mahmudah dan madzmumah.
            Dr. Ibrahim Muhammad Abdullah Al Buraikan mengatakan:
“Bid’ah itu terbagi dalam dua bagian:
1.    Bid’ah Haqiqiyah, yaitu sesuatu yang baru diadakan dan dianggap bagian dari agama dalam hal asal perintah dan bentuk pelaksanaannya. Misalnya, berjalan mengelilingi kuburan atau memberi lampu atau sejenisnya.
2.    Bid’ah Idlafiyah, yaitu sesuatu yang baru diadakan dan dianggap bagian dari agama hanya dalam hal bentuk pelaksanaannya tanpa asal perintah. Misalnya, melakukan dzikir secara berjama’ah dengan satu suara. Perintah dzikir memang ada dalam agama, tetapi bentuk pelaksanaan seperti ini tidak ada dasarnya.
       Kedua bid’ah ini sama-sama tercela dalam Islam. Rasulullah menyatakan itu dan mengingatkan kita bahayanya terhadap agama dalam berbagai sabdanya:
       Siapa yang mengadakan sesuatu dalam urusan (din) kami ini, dan itu bukan bagian darinya, ia pasti tertolak.
       Setiap bid’ah itu merupakan kesesatan. Dan setiap kesesatan itu pasti masuk ke neraka (Hadits panjang dari ‘Irbadl bin Sariyah ra riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi).
       Hati-hatilah (jangan kamu lakukan) terhadap sesuatu yang baru kamu adakan sendiri. Karena setiap bid’ah itu adalah kesesatan dan kesesatan itu pasti masuk neraka.   Aku akan berada di haudl (telaga di surga) dan berkumpullah banyak orang di sekitarku. Lalu aku berkata: Ya Rabbku, mereka itu sahabat-sahabatku. Lalu Allah berkata: Sesungguhnya Engkau tidak mengetahui yang mereka ada-adakan setelahmu. (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu Mas’ud ra)
            Jelaslah, pelaku bid’ah itu tidak berjalan di atas petunjuk dan jalan yang lurus. Padahal mereka setiap hari lebih dari 17 kali membaca Ihdinash shirathal Mustaqim, juga A’udzubillahi minasy syaithanirrajim. Mereka tidak merasa dalam kesesatan, bahkan merasa berjalan di atas petunjuk. Sehingga, wajar jika mereka susah diharapkan taubatnya karena tidak merasa salah dan tidak melakukan bid’ah.
            Pantas pula jika Iblis lebih suka kepada pelaku bid’ah daripada pelaku maksiat. Setiap orang yang maksiat, ada kemungkinan bertaubat, menyesali kemaksiatannya. Akan tetapi, pelaku bid’ah tidak merasakan kesesatan pada dirinya, seakan-akan mereka berada di dalam petunjuk dan jalan lurus. Untuk apa harus bertaubat? Bukankah kami hanya melakukan bid’ah hasanah atau mahmudah? Itulah yang ada dalam benak mereka.
            Di sinilah berbahayanya membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah yang disertai pemahaman yang keliru karena tidak bis membedakan antara wasial masyru’ah dan bid’ah.


[1] Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, ayat 208 Surat Al-Baqarah: Dipersilahkan baca tafsir ayat ini dengan judul Hidup Damai di Bawah Islam, GIP. Penerjemah Abu Fahmi.
[2] Majmu’ Fatawa, Juz 28, h. 32.
[3] Lihat Tafsir ayat 208 Surat Al-Baqarah
[4] Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, I/16
[5] Manhaj dan Aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah;pen. Abu fahmi; hal. 33-34.
[6] Minhajul I’tidal 64, sanadnya dlaif. Ia menunjukkan perintah istighfar ini berdasarkan surat Al-Hasyr 10.
[7] Al-Intiqa’, Ibnu Abdil Bar, 36
[8] Al Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘Anil Ibtida’, Imam Jalaluddin As Suyuthi.
[9] Tarikh madzahib Islamiyah,1/7
[10] Fathul Bari,13/31. Lihat juga Minhajus Sunnah fil Alaqah Bainal Hakim wal Mahkum,
DR. Yahya Ismail, hal.
[11] Al-I’tisham,Imam Asy-Syathibi,I/37, Dar al Ma’rifah, Beirut
[12] Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anaam,2/172-174, Dar al Kutubul ‘Ilmiyyah, Beirut. Lihat juga Al-Bid’ah wa Atsaruhas Sayyi’ fil Ummah, Salim al Hilali dan Al Kutubul Islamiyah, Amman Yordan, hal. 5-6
[13] Inti dari hadits riwayat Ad-Darimi
[14] Tuhfatudz Dzakirin,259
[15] Subulus Salam, I/271
[16] Mengenai perkara ini dan contoh-contoh bid’ah lainnya, baca juga keterangan Imam As Suyuthi dalam Al Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘Anil Ibtida’ yang ditahqiq oleh Dr. Isa Asyur atau Abdul Qadir Al Arnaut.


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------