TAFSIR AL FATIHAH BAG. KE-5 (01/5)
ISLAM JALAN LURUS
5.1 Memohon Petunjuk ke Jalan yang Lurus
Ketika pujian dan sanjungan dipersembahkan kepada Allah Ta’ala, memang sudah seharusnya pujian ditujukan sebelum permintaan diajukan sebagaimana disebutkan dalam hadis qudsi sebagai berikut: “Maka setengahnya untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku adalah apa-apa yang ia minta”. Ini merupakan kesempurnaan keadaan orang yang meminta agar ia menyanjung dan memuji Yang Dimintanya, baru kemudian meminta yang diperlukannya.
Adapun kebutuhan orang-orang yang beriman itu adalah sebagaimana yang difirmankanNya: “Tunjukilah kami ke jalan(Mu) yang lurus”. Dalam ayat ini terdapat dalil yang menganjurkan kita ber-tawassul melalui sifat-sifat Allah dan melalui amal shalih.
Sebelum seseorang meminta jalan yang lurus (Shiratul Mustaqim), ia terlebih dahulu memuji Allah dan menyanjung-Nya serta memuliakan sifat-sifatNya, Rabbil ‘Alamin’ Ar Rahman, Ar Rahim, Maliki Yaumididin, kemudian mengesakan-Nya dengan ibadah dan Isti’anah (dalam beribadah dan memohon pertolongan). Realisasi pernyataan Iyyaaka Na’budu Wa Iyyaaka Nasta’iin melalui ketaatan dan amal shalih serta mensyukuri segala anugerah dan kenikmatanNya menjadi tawassul yang disyariatkan dalam meminta petunjuk ke jalan yang lurus dari Allah yang kesempurnaanNya terncermin dalam Rububiyah dan asma serta sifatNya. Shiratul Mustaqim (Jalan Lurus) yang diminta orang-orang mukmin kepada Allah itu tidak lain Al Islam yang terbebas dari tambahan dan kekurangan, bersih dari setiap bid’ah dan hurafat.[1]
Jalan ini jalan terdekat (pintas) menuju kecintaan Allah dan ridla-Nya, melaksanakan apa yang Dia perintahkan kepada hambaNya.
Shiratal Mustaqim adalah jalan satu-satunya yang ditempuh oleh seluruh rasul Allah. Jalan-jalan lainnya di luar itu adalah menyimpang, sesat dan menyesatkan. Mengingat pentingnya jalan ini, banyak ayat yang menyifati jalan itu dengan sifat yang terpuji, yaitu Istiqamah (lurus), seperti firmanNya: “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Al Fatihah: 6). Sifat istiqamah ini membuahkan hasil sebagai cahaya yang mampu mengenali seluruh jalan yang ada (selainnya).
Di dalam hadis Ibnu Mas’ud ra dikatakan:
“Rasulullah SAW menggoreskan dengan tangannya sebuah garis, lalu dia mengatakan:’Ini adalah jalan Allah yang lurus’. Dan kemudian dia menggoreskan lagi beberapa garis pada sebelah kanannya dan kirinya, lalu dia berkata: ‘Jalan-jalan ini adalah jalan yang ditempuh syaitan dan kepadanyalah syaitan itu mengajak’. Kemudian dia membaca ayat:
‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (lainnya), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa’ (Al An’am: 153)”.[2]
Telah disebutkan bahwa permohonan memperoleh jalan yang lurus, yang didahului dengan pujian, sanjungan, dan pengagungan kepada Dzat Yang Diminta, juga didahului oleh amal saleh yang tercermin dalam ayat Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamiin hingga ayat Iyyaaka Na’budu Wa Iyyaaka Nasta’iin, menjadi dalil yang membolehkan seorang mukmin bertawasul melalui keimanan dan amal salehnya.
Kita perhatikan, misalnya, ketika Nabi Yunus ditelan seekor ikan Hut (hiu?). Nabi Yunus tidak memperoleh tawasul dari Allah kecuali dengan mentauhidkan-Nya, mensucikan-Nya, dan mengakui kesalahan dan dosa yang disebutkannya sebagai ‘menzalimi dirinya sendiri’. Oleh karena itu, pernyataan dosa dan penyesalan terhadap apa yang diperbuatnya adalah untuk memperoleh pengampunan dari-Nya. Sementara, dia tahu bahwa taubat merupakan induk dari amal saleh yang diterima Allah sebagai sarana menuju maghfirah (ampunan). Perhatikan apa yang dilakukan Nabi Yunus dalam bertawasul untuk memperoleh keselamatan dan ampunan dari Allah: “Tidak ada Ilah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sungguh aku termasuk orang-orang yang menzalimi” ( ).
Begitu pula Adam dan Hawa ketika melakukan kesalahan dan dosa. Mereka berdua, ketika mengharap ampunan dari Allah, mendahulukan pengakuan dosa dan penyesalannya atas kezaliman pada dirinya. Pernyataan ini mereka jadikan sebagai wasilah memperoleh pengampunan-Nya. Allah berfirman:
“Mereka berdua berdoa: ‘Ya Rabb kami, kami telah menzalimi diri kami, dan jika Engkau tidak mengampuni dan menyayangi kami, tentu kami akan tergolong orang-orang yang merugi’” ( ).
Tidak diragukan lagi bahwa iman kepada Allah dan Rasulullah merupakan inti amal saleh. Setelah itu, mereka menyampaikan (menyebutkan) amal saleh yang pernah diperbuatnya kepada Allah. Segeralah mereka menyebutkan segala yang menjadi hajat mereka untuk meminta ampunan. Lalu mereka berdoa: “…Ya Rabb kami, maka ampunilah kami atasd dosa-dosa kami, dan hapuskanlah kejelekan-kejelekan kami,dan wafatkanlah kami bersama orang-orang yang baik”( ).
5.2 Tawasul Masyru’ dan Tawasul Bid’ah
Sebelumnya telah disebutkan beberapa contoh tawasul Masyru’ (tawasul yang disyariatkan), yaitu melalui keimanan kepada Allah dan RasulNya, amal saleh, dan pernyataan kesalahan dan penyesalannya, sebelum menyampaikan hajatnya (misalnya, memohon ampunan) kepada Allah SWT).
Untuk lebih jelasnya, kami ingin menukil keterangan tentang tawasul ini dari salah seorang pakar aqidah dari ulama Ahlus Sunah Wal Jama’ah, yaitu Dr. Ibrahim Muhammad bin Abdullah Buraikan, penulis kitab Al Madkhal Lidirasah al Islamiyah ‘ala Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Beliau mengatakan bahwa kata ‘tawasul’ dalam bahasa Arab berarti taqarrub atau mendekatkan diri. Misalnya yang difirmankan Allah:
“…Mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka…” (Al Isra: 57).
Maksudnya, jalan yang dapat mendekatkan mereka kepada Rabb mereka. Dengan pengertian ini, tawasul dibagi dua, yaitu
Pertama, tawasul masyru’ (disyariatkan), yaitu taqarrub kepada Allah dengan cara yang dicintai dan diridlai Allah, misalnya dengan ibadah-wajib dan sunat, baik berupa perkataan maupun perbuatan atau keyakinan.
Kedua, tawasul ghair masyru’ (tidak disyariatkan), yaitu taqarrub kepada Allah dengan cara yang tidak dicintai dan diridlai, baik dengan perkataan, perbuatan, maupun keyakinan. Inilah yang disebut dengan tawasul bid’ah.
Yang dimaksud di sini adalah taqarrub kepada Allah dengan serangkaian doa yang dapat dikabulkan. Dengan batasan ini, tawasul bid’ah mempunyai beberapa jenis, yaitu:
1. Tawasul kepada Allah dengan berdoa dan memohon pertolongan kepada orang yang telah mati atau gaib atau semacamnya. Ini digolongkan sebagai syirik besar yang bertentangan dengan tauhid, dan menyebabkan pelakunya keluar dari Islam.
2. Tawasul kepada Allah dengan melakukan berbagai ketaatan pada kuburan orang yang telah mati, misalnya, mendirikan bangunan di atas kuburan itu, atau menutupnya (sejenis tenda?), atau berdoa di atasnya, atau semacamnya. Ini digolongkan ke dalam syirik kecil.
3. Tawasul kepada Allah dengan memanfaatkan kedudukan orang-orang tertentu yang saleh di sisi Allah. Ini diharamkan oleh ajaran Islam sebab perbuatan seseorang hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri di sisi Allah. Allah berfirman: “Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh apa-apa selain dari apa yang telah diusahakannya” (An Najm: 39). Rasulullah bersabda: “Bila anak cucu Adam telah mati maka terputuslah amalnya, kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang dapat dimanfaatkan, anak saleh yang selalu mendoakannya” (Muttafaq ‘alaih).
Jadi kedudukan mulia seseorang yang saleh di sisi Allah hanya bermanfaat baginya sendiri, tidak bagi orang lain. Kesalahan besar menganalogikan Allah dengan manusia. Jika dalam hubungan sesama manusia kita sering menggunakan perantara karena adanya manfaat tertentu yang diperoleh sang objek atau sang perantara, kepada Allah hal itu tidak dibutuhkan. Untuk memperoleh keridlaan Allah, seorang hanba tidak perlu menggunakan jasa perantara. Sebaliknya, seorang perantara tidak akan berguna untuk mencegah kemurkaan Allah SWT.
Itulah sebabnya para sahabat tidak pernah bertawasul kepada Allah dengan memanfaatkan kedudukan Rasulullah di sisi-Nya. Mereka justru memohon kepada Al Abbas untuk mendoakan mereka – dalam suatu musibah – kepada Allah. Andaikan tawasul setelah wafatnya beliau dibolehkan, tentulah tawasul melalui beliau – karena kedudukannya yang tinggi dan mulia – lebih patut untuk diperbolehkan. Diperbolehkannya tawasul kepada Allah dengan memanfaatkan kedudukan terhormat orang-orang saleh di sisi Allah, seperti yang banyak dilakukan orang-orang, biasanya dilegitimasi oleh kecenderungan menganalogikan Allah dengan mahluk lain.
Adapun mengenai hadis tentang orang buta yang berkata kepada Rasulullah: “Ya Allah, aku bertawasul denganmu, wahai Muhammad, kepada Rabbmu” adalah hadis yang berisi permohonan kepada Rasulullah untuk mendoakannya. Itulah sebabnya Rasulullah berkata kepada orang tersebut: “Allahumma syaffi’hu fii… (Ya Allah, beri syafaatlah kepadanya karenaku). Ini pun dengan asumsi bahwa hadis tersebut adalah shahih sebab sebenarnya sanad hadis ini munqathi’ (terputus). Selain itu, riwayat berikut ini juga maudlu’:
“Bertawasullah kamu dengan kedudukanku karena kedudukanku di sisi Allah amatlah besar “ (Hadis Maudlu’).
Perkara tersebut dinyatakan oleh Ibnu Jauzi, Ibnu Taimiyah, dan Asy Syaukani, serta para ulama Ahlus Sunnah. Jadi, jelaslah haram hukumnya berdoa dengan berkata: “Aku bermohon kepadaMu, ya Allah, dengan kedudukan si Fulan…”.
4. Tawasul dengan Dzat orang-orang saleh. Misalnya, ungkapan sebagian mereka: “Aku bermohon kepadaMu, ya Allah, dengan Muhammad.” Lafaz ini jelas bid’ah, dan karenanya haram. Ia mengandung banyak makna yang semuanya batil dan bertentangan dengan syariat:
a. Tawasul dengan kedudukan seseorang di sisi Allah.
b. Dengan lafaz itu ia ingin bersumpah kepada Allah, sedangkan bersumpah dengan selain Allah adalah haram dan dan termasuk syirik kecil.
c. Ia ingin membuat perantara antara Allah dengan hamba-hamba-Nya dalam mendatangkan manfaat atau menolak mudlarat. Ini adalah syirik besar yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam. Allah berfirman tentang kaum musyrik:
“Tiadalah kami menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” (Az Zumar: 3).
d. Dengan lafaz ini, dia bermaksud memohon berkah, Ini juga hukumnya haram karena selain mengandung ketiga unsur sebelumnya, ia juga tidak diperintahkan oleh syariat Islam (laisa masyru’) . Para sahabat dan tabi’in serta generasi setelah mereka juga tidak pernah melakukannya. Ini semua menunjukkan bahwa perbuatan ini adalah bid’ah (perbuatan yang diada- adakan tanpa contoh dari sunnah sebelumnya atau perintah syariat). Perhatikan sabda Rasulullah:
“Barangsiapa yang mendatangkan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami ini yang tidak bersumber darinya maka itu pasti tertolak.” (Muttafaq ‘Alaih)
“Jauhilah menciptakan sesuatu yang baru (urusan agama) karena semua yang baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (Muttafaq ‘Alaih)
Setelah mengetahui hukum-hukum yang terkait dengan tawasul bid’ah, wajib bagi kita mengetahui tawasul masyru’ (disyariatkan). Ada beberapa jenis tawasul masyru’ ini, yaitu:
1. Tawasul kepada Allah dengan nama-nama dan sifat-sifatNya. Allah berfirman:
“Dan kepunyaan Allahlah nama-nama yang baik, maka serulah Ia dengan nama-nama itu” (Al A’raf: 180).
(Misalnya, ketika memohon rezeki, sebelum kita menyampaikan keinginan kita, sebutlah salah satu asma Allah, “Ya, Razzaq…”, “Ya Ghaniyyu…” pent.).
Jadi, waktu berdoa, seorang hamba menyebut terlebih dahulu nama-nama Allah yang sesuai dengan permintaannya. Misalnya, menyebut nama Ar Rahman saat memohon rahmat-Nya, menyebut Al Ghaffar saat memohon ampunan, dan seterusnya.
2. Tawasul kepada Allah dengan iman dan tauhid. FirmanNya:
“Ya Rabb kami, kami telah beriman pada apa yang telah Engkau turunkan, dan telah kami ikuti Rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)” (Al Imran: 53).
Maka dia misalkan mengatakan: “Aku memohon kepada-Mu, ya Allah, dengan keimananku…”
3. Tawasul kepada Allah dengan amal saleh di mana seorang hamba memohon kepada Allah dengan menyebutkan amalnya yang paling baik, seperti shalat, puasa, membaca Al Quran, meninggalkan yang haram, dan semacamnya. Dalilnya adalah kisah tiga pemuda yang mengadakan perjalanan jauh lalu kemalaman di sebuah gua, sehingga terpaksa bermalam di sana. Namun batu besar menutup pintu gua itu, sehingga ketiga pemuda dari petunjuknya.
Seorang Muslim juga harus lebih memperhatikan doa-doa yang bersumber dari Al Quran dan As Sunnah karena doa-doa itu akan lebih mudah dikabulkan, lebih jauh dari haram, dan –tentu saja-mendapatkan pahala dari Allah. Doa-doa itu telah dihimpun oleh para ulama dalam berbagai kitab mereka. Misalnya mengenai kitab Al Adzkar (Al Nawawi), Tuhfafudz Dzakirin (Asy Syaukani), Al Wabilush shaeb (Ibnul Qayyim), Al Kalimuth Thayib (Ibnu Taimiyah), Nazlul Abrar (Shiddiq Hasan Khan), dan masih banyak lagi. Selain itu, seorang Muslim juga harus memperhatikan riwayat yang shahih dari doa-doa Rasulullah SAW.
Tentang tawassul ini disarankan kiranya pembaca bisa membaca buku Tawassul karya Syaikh Nashiruddin Al Abani, lalu Tabarruk Masyru wa Ghairu Masyru’ karya Dr. Ali Nafayyi’ Al ‘Alyani. Keduanya diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Al Kautsar, Jakarta.
5.3 Jalan yang Lurus itu adalah Islam
Syaikh Abu Bakar Al Jazairi di dalam kitab tafsirnya, Aisarut Tafasir li Kalamil ‘Aliyyil Kabir, mengatakan:
Makna Ash shirath adalah jalan yang menghubungkan kepada keridlaan-Mu dan surga-Mu, yaitu Islam untuk-Mu. Sedang makna al Mustaqim adalah yang tiada condong di dalamnya dari alhaq dan tidak pula menyimpang dari petunjuk.
Hidayah itu ada dua: Pertama, Hidayah Bayan dan Irsyad, yaitu yang dituntut dari pemilik ilmu (ulama) sehingga mereka menerangkan bagi penanyanya jalan-jalan kebaikan dan membimbing serta mengarahkan kepada jalan tersebut. Kedua adalah hidayah taufiq kepada I’tiqadul Haq (keyakinan yang benar), komitmen padanya dalam keyakinan, perkataan dan perbuatan. Hal ini tentu tidak bisa dituntut kecuali hanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antaranya adalah permintaan (doa) ini, ihdinash shirathal mustaqim, dan membenarkan hidayah pertama, yaitu hidayah Al Bayan, sebagaimana firman Allah: “Wa innaka Latahdi ila shirathim mustaqim”. Adapun membenarkan hidayah kedua adalah firman Allah: “Innaka la tahdi man ahbabta”. Allah menetapkan hidayah al Bayan bagi Nabi SAW dan meniadakan hidayah taufiq baginya, yaitu hidayah qalbiyah al-bathiniyah.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan:
Shirathal Mustaqim ialah mengikuti tuntutan Allah dan Rasulullah SAW. Juga bisa bermakna kitab Allah sebagaimana diriwayatkan Ali ra yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “As Shiratahl Mustaqim. Kitabullah”. Juga berarti Islam sebagai agama Allah yang tidak akan diterima selain darinya.
An Nuwas bin Sam’an ra mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Allah memberikan perumpamaan suatu jalan yang lurus, sedang di kanan-kirinya terdapat dinding (pagar) dan di pagar itu terdapat pintu-pintu terbuka, pada tiap pintu terdapat tabir yang menutupi pintu tersebut, sedang di depan jalan ada suara yang menyeru, “Hai manusia, masuklah ke jalan ini dan jangan berbelok dan di atas jalan ada seruan, bila ada orang yang akan membukan pintu diperingatkan: Celaka Anda, jangan membuka, sungguh jika Anda membuka pasti akan masuk. Shirath adalah Islam, dan pagar itu batas-batas hukum Allah, sedangkan pintu yang terbuka itu adalah (perkara-perkara) yang diharamkan Allah. Dan seruan di depan jalan itu ialah Kitab Allah; adapun seruan di atas shirath itu adalah seruan nasihat dalam hati setiap orang muslim.[3]
Jika seorang ditanya, mengapa seorang mukmin harus meminta hidayah, padahal dia bershalat itu artinya hidayat? Jawabnya, “seorang membutuhkan hidayat itu pada setiap saat dan dalam segala kondisi kepada Allah untuk bisa terus terpimpin oleh hidayah Allah itu karena itulah Allah menunjukkan jalan kepadanya supaya memohon kepada Allah untuk mendapatkan hidayat taufiq dan pimpinan-Nya. Maka seorang yang bahagia hanyalah orang yang selalu mendapat taufiq hidayat.
Allah Taala berfirman,
Hai orang yang beriman, berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya. (An Nisa: 136)
Orang yang beriman diperintahkan Allah untuk beriman, tentu ini dimaksudkan agar terus tetap memelihara keimanannya dan menjalankan semua perintah dan menjauhi larangan, jangan terputus di tengah jalan, yakni istaqamah hingga ajal menjemputnya.
5.4 Istiqamah dalam Menetapi Jalan Lurus (Islam)
Jalan lurus (Islam) adalah jalan yang apabila ditempuh oleh setiap kaum muslimin akan membawanya kepada Persatuan (ijtima’) dan kesatuan (i’tilaf) karena komitmennya terhadap manhaj Allah yang berdiri tegak di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW.
Hal ini sebagaimana difirmankan Allah berikut ini,
Inilah jalan-Ku (Din-Ku) yang lurus. Maka ikutilah ia, dan jangan mengikuti jalan0jalan yang lain, niscaya kalian akan terpisah jauh dari jalan-Nya. Demikianlah diperintahkan Allah kepadamu supaya kamu bertaqwa. (Al An’am: 153)
Aban bin Utsman berkata, seseorang bertanya kepada Ibnu Mas’ud ra: Apakah shiratahal Mustaqim itu? Ibnu Mas’ud menjawab, Rasulullah telah meninggalkan kita di atas jalan ini, sedang ujungnya di surga. Sedangkan di sebelah kanan dan kirinya ada jalan-jalan lain, padanya terdapat orang-orang yang menyeru kepada jalan tersebut, maka siapa yang mengikuti jalan yang di sebelah kanan atau kiri masuklah ia ke neraka, dan siapa yang tetap di atas jalan yang lurus sampailah ia ke surga. Kemudian Ibnu Mas’ud membaca ayat surat Al An’am ini.
Ibnu Abbas ra berkata bahwa ayat ini (Al An’am 153) dan ayat An Aqimuddina walas tatafarraqu fihi adalah perintah Allah kepada kaum muslimin (mukminin) untuk bersatu (berjamaah) dan jangan bercerai-berai, dan menerangkan bahwa umat-umat dahulu telah binasa karena perselisihan, pertentangan dalam agama Allah.
1 komentar:
salamullah 'alaik, ustad mohon izin mengkopi, terimakasih. jazakallah ahsanal jaza.
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------