4.4  Iyyaka Na’budu Sebagai Konsekuensi Pemahaman Kalimat Tauhid
       Laa Ilaha Illallah
            Kita mesti memahami, bahwa dalam kalimat Laa Ilaha Illallah terdapat pe-nafian dan penetapan (nafyan wa itsbatan), juga loyalitas dan pelepasan diri (wala’an wa bara’an).
            Orang yang bertauhid uluhiyah sudah pasti bertauhid kepa rububiyah dan asma’ul wash shifat-Nya.
            Dalam kalimat tauhid terkandung makna wala’ (Loyal, cinta, kemauan membela, tolong menolong, dan ikatan persaudaraan) kepada Allah, din-Nya, kitab-Nya, sunnah Nabi-Nya, dan hamba-hamba-Nya yang shalih. Tidak ada artinya apabila seorang menampakkan wala’-Nya jika tidak disertai sikap Bara’.
            Kepada siapa kita melakukan Bara’? Bara’ adalah berlepas diri, membenci, dan memusuhi semua makna thaghut dan yang disembah selain Allah. Allah Ta’ala berfirman:
            “Karena itu barangsiapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia itu telah berpegang teguh dengan ikatan yang kokoh.” (Al-Baqarah: 256)
            Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan bahwa manusia tidak menjadi seorang mukmin dan beriman kepada Allah (secara benar) kecuali dengan kufur kepada thaghut. Dalilnya adalah ayat di atas.
            Kalimat tauhid itu artinya wala’ kepada syariat Allah. Seperti firman-Nya: 
            “Ikutilah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikit kamu mengambil pelajaran (dari padanya).” (Al-A’raaf: 3)
            “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Din (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Rum: 30)
            Setiap Mukmin yang mentauhidkan uluhiyah Allah semestinya berlepas diri dari hukum jahiliyah. Sebagaimana firman-Nya:
            “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50)
            Dia juga seharusnya bara’ (berlepas diri) dari seluruh agama selain Dinul Islam. Sebagaimana firman-Nya:
            “Barangsiapa yang mencari agama selain Dinul Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang rugi.” (Ali Imran: 85)
            Kemudian selain dari menampakkan wala’ dan bara’-nya, maka setiap Mukmin yang bertauhidkan kepada uluhiyah Allah semestinya menampak-kan empat pe-nafian dan sekaligus menyertainya dengan empat penetapan.
            Empat penafikan  tersebut adalah:
1.    Al-Ilah (tuhan-tuhan), yaitu setiap tujuan yang bermaksud terhadap sesuatu yang mendatngkan kebaikan atau menolak mudlarat, lalu menjadikannya sebagaai Ilah. Misalnya ketika seseorang menganggap bahwa nafsu, akal, dan intuisinya bisa mendatangkan manfaat atau menolak madlarat, maka ia telah menjadikan nafsu, akal, dan intuisinya sebagai tuhan.
2.    Thawaghit (jamak dari thaghut), yaitu siapa saja yang disembah dan rela untuk disembah, dipuja, dan diikuti aturan-aturan yang bertentangan dengan syariat samawi.
3.    Andad (tandingan Allah), yaitu sesuatu yang menjauhkan seseorang dari agama Islam. Baik berupa keluarga (anggota-anggotanya), tempat tinggal, jabatan, maupun harta yang menjadi tandingan Allah. Sebagaimana Allah berfirmah:
      “Dan di antara manusia ada yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, di mana mereka mencintainya seperti mereka mencintai Allah ....”
(Al-Baqarah: 165)
4.    Arbab, yaitu siapa saja yang berfatwa kepadamu dengan menyalahi Al-Haq dan kamu menaatinya. Seperti firman-Nya:
      “Mereka itu menjadikan ulama-ulama mereka dan pendeta-pendeta mereka sebagai Rabb-Rabb  (menduduki posisi rububiyah) selain Allah.”
(At-Taubah: 31)
            Maksudnya, ketika para ulama, pendeta, ataupun kyai-kyai mereka mengeluarkan fatwa yang menyalahi Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya hanya berdasarkan nafsu, akal, dan intuisinya atau membuat hukum dan undang-undang selain syariat Allah, menjadi mizan dalam menghukumi manusia, menghalalkan yang diharamkan Allah, dan mengharamkan yang dihalalkan Allah, maka mereka itu telah merampas hak rububiyah Allah dan mendudukan mereka pada posisi ma’budul mutha’ (Yang Disembah dan ditaati hukumnya).
            Selain menafikan keempat unsur yang merampas hak rububiyah dan uluhiyah Allah, maka setiap Mukmin semestinya menetapkan empat perkara yang diyakininya, yaitu:
1.    Mengarahkan niat dan maksud hanya kepada Allah
2.    Ta’zhim dan mahabbah (pengagungan dan kecintaan) kepada Allah.
3.    Takut akan siksanya, menjauhi perbuatan maksiat, hanya mengharap ridla dan pahala-Nya, serta memotivasi diri untuk melakukan berbagai ketaatan. Allah Ta’ala berfirman:                     
      “Jika Allah menimpakan sesuatu kemudlaratan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya, kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamaba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yunus: 107)
4.    Taqwa, yaitu membentengi diri dari murka Allah dan hukuman-Nya dengan jalan meninggalkan syirik dan kemaksiatan, ikhlas dalam beribadah kepada-Nya, serta mengikuti perintah-Nya sesuai dengan syariat. Sebagaimana dikatakan Ibnu Mas’ud rahimahullah: ‘Anda mengamalkan ketaatan kepada Allah atas dasar nur minallah, mengharapkan pahala Allah. Dan meninggalkan maksiat kepada Allah atas dasar nur minallah, karena takut akan hukuman Allah.’[1]
            Melepaskan umat dari belenggu kemusyrikan bukanlah perkara mudah dan tidak bisa dilakukan dengan kerja sambilan atau dengan jalan pintas. Sebab, hal ini tidak pernah terjadi pada perjalanan sejarah pendahulu kita.
            Tanpa kerja keras, Muslimin tidak akan mampu menampilkan nilai-nilai luhur yang dimilikinya di tengah-tengah umat manusia, dalam menegakkan keadilan Rabbani di muka bumi, interaksi sosial yang bersih, setia memegang ikatan janji, keberanian diri, dan kepahlawanan yang handal di medan pertempuran, maupun pada kondisi damai.
            Selain itu, umat Islam tidak akan mampu membangun kekuatan ilmu pengetahuan dan peradabannya tanpa disertai kerja keras,serta tidak akan terwujud jika dalam diri umat tidak tertanam suatu keyakinan yang teguh bahwa semua yang dilakukannya adalah ibadah dan merupakan tujuan penciptaannya sebagai mahluk Allah.
            Sehingga timbul pertanyaan, apa yang seharusnya dilakukan setiap Muslim dalam beribadah agar dirinya pantas disebut hamba Allah, yang memang untuk itulah Allah menciptakannya?
            Ibadah harus dimulai dengan semangat ketauhidan dengan mengikrarkan Laa Ilaha Illallah, meyakininya secara uluhiyah, rububiyah, asma dan sifat, maupun af’al-Nya, sebab Dia-lah satu-satunya yang berhak mengandung sifat kesempurnaan itu. Sebagaimana firman-Nya:
            “Ketahuilah bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah.” (Muhammad: 19)
            “Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan apapun juga.” (An-Nisaa’: 36)

            Mengucapkan Laa Ilaha Illallah--sebagaiman telah kita maklumi--bukan sekedart talaffuzh, akan tetapi mengandung konsekuensi untuk membendung setiap bentuk penghianatan dan agar tidak mengikuti keyakinan Murji’ah yang bertindak tidak selaras dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallah 'Alaihi Wasallam.
            Konsekuensi Laa Ilaha Illallah adalah menerima Islam secara utuh dengan tingkatan komitmen masing-masing. Di antara konsekuensi itu adalah yang berkaitan dengan pokok-pokok keimanan, seperti meyakini sifat Wahdaniyyah Allah, ikhlas semata-mata karena Allah dalam melaksanakan ritual ibadah tanpa riya’, dan berhukum dengan syariat Allah. Seorang hamba dikatakan telah beriman apabila telah menegakkan ahlak-ahlak Laa Ilaha Illallah dan kewajiban-kewajiban lain yang diperintah-kan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sempurnalah iman seseorang apabila telah melaksanakan hal tersebut.
            Syiar-syiar ta’abudi (ritual-ritual ibadah) adalah kewajiban yang datang setelah ikrar Laa Ilaha Illallah. Seperti telah dipaparkan di atas, yaitu dengan mengikrarkan seluruh apa yang datang dari Allah dan ber-iltizam dengannya.[2]

4.5  Target dari Komitmen Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in
            Ketika seorang Mukmin membaca ikrar:
            “Sesungguhnya shalatku, nusuk-ku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah Rabbul ‘Alamin, tiada sekutu bagi-Nya.” (Al-An’am: 162-163)
maka dia memahami bahwa shalat dan nusuk (ritual) yang merupakan syiar ta’abudi adalah titik tolak bagi hamba untuk melakukan ibadah lainnya di dalam kehidupan, termasuk perkara kematian.
            Mati di sini bukanlah semata pengertian lafzhiyah, sebab mati dalam pengertian ini adalah tidak bisa melakukan ibadah dan tidak ada lagi kesempatan untuk memilih. Akan tetapi, yang dimaksudkan dengan kematian di sini--sebagaimana diisyaratkan dalam ayat di atas--adalah matinya seorang hamba tanpa mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.
            Jadi, kematian seorang hamba tanpa mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun adalah ‘kematian minimal’ baginya. Adapun ‘kematian maksimal’ adalah harus bisa mencapai puncak ibadah, seperti mati syahid di jalan Allah untuk membela Dinullah.
            Hanya dengan cara melaksanakan ibadah secara sempurna dan menyeluruh, yang meliputi hidup dan mati, maka tujuan penciptaan manusia akan terwujud dan sesuai dengan tuntutan Allah.
            Pemahaman ibadah semacam ini telah menjadi asing bagi kalangan generasi sekarang yang selalu mempredikatkan diri sebagai generasi modern atau Muslim kontemporer. Mereka menganggap syiar-syiar ta’abbudi yang biasa mereka kerjakan sudah merupakan keseluruhan ibadah yang dituntut dari seorang Muslim.
            Seharusnya, petunjuk dalam mendefinisikan pemahaman-pemahaman Islami adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta gambaran prakteknya yang benar sebagaimana dilakukan oleh generasi awal umat ini (ridlwanullah ajma’in) berdasarkan contoh langsung dari Rasulullah Shallallah 'Alaihi Wasallam. Merekalah sebaik-baik generasi, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
            “Sebaik-baiknya generasi adalah pada masaku, kemudian generasi berikutnya ....” (Asy-Syaikhan)
            Muhammad Quthb dalam bagian lainnya mengatakan:
            “Pada awalnya, pemahaman kaum muslimin bahwa ibadah itu hanya terbatas pada syi’ar-syi’ar ta’abudi saja tidak membahayakan, sebab mereka tetap tidak melakukan rukun Islam yang pertama, yaitu ikrar syahadatain. Namun kenyataannya kini telah berbeda. Dalam kehidupan kaum muslimin dewasa ini terlihat, masalah ini telah sampai kepada tingkat yang membahayakan. Akibatnya tatkala diberikan konsepsi yang benar tentang ibadah, yaitu dimulai dengan ikrar syhadatain dengan menghambakan sepenuhnya kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya, sebelum datangnya rukun shalat, shaum, zakat, dan haji, menjadi sulit di tegakkan dalam kehidupan kaum muslimin dewasa ini. Hal ini disebabkan adanya anggapan umum, bahwa siapa yang telah melakukan syiar-syiar ta’abudi, maka ia dianggap sebagai seorang mukmin yang sempurna imannya sekalipun kenyataannya ia tidak berhukum kepada hukum Allah. Mereka beranggapan pelaksanaan hukum terpisah total dari ibadah, yang berarti pula terpisah dari konteks iman. Mereka berdalih bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam telah bersabda:
            “Jika kalian melihat seorang terbiasa keluar masuk masjid (melakukan shalat), maka ketahuilah bahwa ia mukmin.”[3] 
            Dalam hadist ini disebutkan ‘membiasakan diri ke masjid’ dan tidak disebutkan berhukum kepada syariat Allah.
            Disinilah letaknya, membahas keimanan dengan hadist tertentu tanpa memperhatikan hadist-hadist lain yang membahas tentang hakikat iman, atu hal-hal yang membatalkan iman, tidak akam memberikan gambaran pengertian yang tepat dan benar yang bisa dipertanggungjawab-kan.
            Bisa jadi orang yang membiasakan diri ke masjid, ternyata ia pelaku  kemusyrikan, bid’ah, dan khurafat yang bisa membatalkan syahadat, membatalkan kalimat Laa ilaaha illallah, bahkan bisa mencabut akar iman itu sendiri. Karena berhukum kepada syariat Allah itu merupakan  salah satu konsekuensi ikrar Laa ilaaha illallah, sebelum seseorang melakukan shalat dan keluar masuk masjid, sekalipun hal itu tak disebutkan dalama hadits tadi.
            Barangkali kita masih ingat ketika Abu Bakar rahimahullah orang-orang murtad, padahal mereka masih mendirikan shalat dan terbiasa ke masjid, namun tak seorang pun dapat memberikan kesaksian tentang keimanan mereka. Mereka di perangi dan di bunuh karena berpaling dari salah satu hukum dari sekian banyak hukum Allah, walaupun mereka melaksanakan hukum yang lainnya. Lalu bagaimana dengan mereka yang secara terang-terangan berpaling dari semua hukum Allah dan rela menerima hukum selain hukum Allah?[4]
            Lebih aneh lagi, kini di antara kaum muslimin ada yang beranggapan zikir dengan cara khalwat ta’abbudiyah--yaitu menyepi dan menjauhkan diri dari kehidupan dunia untuk mendekatkan diri kepada Rabb-nya--adalah jalan terbaik, padahal hal ini yang menyebabkan terputusnya hubungan dengan lingkungan sekitarnya. Tentu, hal seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Jilul Faridl--generasi unik, salafush shalih tiga generasi abad pertama Islam.
            Seharusnya kita berzikir melalui berbagai macam taklif. Ketika datang taklif berjuang menghadapi musuh, maka zikir kita adalah berjihad di jalan-Nya. Ketika datang taklif agar kita menggauli istri dengan baik, maka zikir kita adalah mu’syarah bil ma’ruf. Ketika datang taklif mendidik keluarga, maka kita pun mendidik mereka agar dijauhkan dari api neraka.
            Begitu pula ketika datang taklif mencari karunia Allah, maka zikir kita adalah bertebaran di muka bumi untuk memperoleh sebagian rezeki-Nya dan demikian halnya ketika datang taklif untuk memakmurkan bumi, maka kita pun membekali diri dengan ilmu yang bisa mengambil manfaat dan mengeksploitasi alam bagi pemakmuran bumi, pemberdayaan manusia dan peradabannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
            “.... Dia-lah yang telah menciptakan kamu dari bumi (tanah), dan menjadikanmu  pemakmurnya,...” (Huud: 61)

4.6  Aspek Politik dalam Bingkai Ibadah
            Di antara kesimpulan penting dari kajian tentang konsep ibadah adalah menjalankan berbagai jenis aktivitas dalam segala aspek kehidupan, di samping syiar-syiar ta’abbudi. Dimulai dari kegiatan politik yang merupakan pengawasan umat atas penguasa (pemerintah), menyampaikan nasihat kepadanya, dan menegakkan prinsip amar ma’ruf nahyi munkar.
            Semua ini dalam rangka menegakkan pemerintahan yang bersih dan sesuai dengan perintah Allah dan Syari’at-Nya. Juga menegakkan keadilan Rabbani, sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Dengan demikian, umat dapat merasakan nikmatnya kehidupan di bawah naungan Islam yang dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya.
Inilah makna dari ayat berikut:
            “Pada hari ini telah aku sempurnakan untukmu agamamu, Kucukupkan nikmat-Ku untukmu, dan Kuridlai Islam menjadi agamamu.”  (Al-Maidah: 3)
            “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, juga ulil Amri di antara kamu, kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (As-Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisaa’: 59)
Sedangkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallan bersabda:
            “Tidaklah Allah mengutus Nabi kepada umat sebelumku, kecuali terdapat pendukung dan sahabat yang melaksanakan Sunnahnya dan menuruti perintahnya. Setelah mereka tiada, muncullah generasi berikutnya yang menyalahi mereka, mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Maka barangsiapa yang berjihad melawannya dengan tangannya, berarti ia beriman. Barangsiapa yang berjihad dengan lisannya (hujjah dan bayan), maka ia beriman. Dan barangsiapaa yang berjihad dengan hatinya, maka ia pun beriman. Namun, di luar itu semua (tidak berjihad melawan mereka), maka ia tidak memiliki iman.”[5]
            Ayat di atas menegaskan bahwa sumber kekuasaan mutlak di dalam masyarakat Muslim adalah Allah dan Rasul-Nya. Kemudian memerintahkan menaati Allah dan Rasul-Nya secara mutlak dalam segala hal, baik itu berupa larangan maupun perintah yang datng dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Selanjutnya perintah untuk menaati Ulil Amri dari kalanganmu, selama perintah itu sejalan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada ketaatan dalam hal maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, sebab tak ada ketaatan bagi mahluk dalam hal kemaksiatan. Rasulullah bersabda:
            “Taat itu hanya pada hal yang ma’ruf.” (Asy-Syaikhani)
            Adapun hadits di atas menunjukkan bagaimana sikap umat bila terjadi penyimpangan terhadap hukum Allah. Setiap penyimpangan harus diperangi dengan tangan, lisan, ataupun hati untuk meluruskan kembali ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Serta mengaitkan langsung tindakan ini dengan keimanan.
            Tingkatan minimal dalam memerangi penyimpangan di atas adalah dengan kebencian hati. Sebab jika tidak, maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallan secara tegas mengatakan bahwa iman tiada lagi dalam hati kita.
            Dengan demikian, aktivitas politik--seperti telah dijelaskan di atas-- juga merupakan bagian dari aqidah dan ibadah, sebagaimana dipahami oleh generasi pertama umat ini. Berikut ini kisah menarik di masa khalifah Umar bin Khaththab rahimahullah berkuasa:
            Suatu saat ketika ia sedang berkhotbah, ada seorang sahabat (rakyatnya) mengajukan protes seraya berkata: “Hari ini kami tidak akan taat dan patuh kepadamu, kecuali jika Anda berkenan menjelaskan kepada kami perihal baju yang Anda pakai dari mana asalnya?”
            Kisah lain menyebutkan ketika Umar Ibnu Khaththab rahimahullah memerintahkan seorang wanita agar tidak memberatkan mahar (emas kawin), maka wanita itu berkata: “Engkau benar-benar telah membatasi kelonggaran, padahal Allah berfirman: ‘Kalian memberi harta yang banyak kepada salah seorang di antara wanita itu’. Apakah Anda hendak menyulitkan orang?” Umar pun menjawab: “Umar bersalah dan perempuan itu benar”.
            Tekanan politis yang dilakukan sejak awal dinasti Umayyah dalam kehidupan umat Islam, kemudian umat secara bertahap melalaikan kewajibannya dan faham tasawwuf yang timbul akibat tatanan dalam kehidupan umat, serta Murji’ah yang membatasi makna iman dengan hanya tashdiq (membenarkan dengan hati) dan ikrar semata sebagai jaminan masuk surga adalah merupakan faktor-faktor yang mempersempit makna ibadah--makna yang tersirat dan tersurat dalam Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in--sebagai syiar-syiar ta’abbudi semata. Selanjutnya, Islam dianggap sebagai agama pribadi, aktivitas individual. Pada saat itulah manusia menjauhkan diri dari aktivitas politik Islami. Namun, Jama’ah Muslimin tetap melakukannya, sehingga merekalah yang berhak mendapatkan predikat Khaira Ummah (umat terbaik), sebagaimana firman Allah:
            “Kalian adalah Khaira ummah yang dilahirkan bagi manusia, kamu menyuruh yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran serta beriman kepada Allah....” (Ali Imran: 110)
            Ketika aktivitas politik dikeluarkan dari konteks ibadah, maka lepaslah ikatan Islam yang pertama, yaitu ikatan hukum. Pada awalnya hal ini tidak merupakan perkara yang merusak, sebab manusia yang hidup dalam masyarakat Islam tetap berhukum kepada syariat Allah. Mereka merasa tidak perlu mengambil hukum selain hukum-Nya sebagai undang-undang yang wajib ditaati dan dilaksanaakan. Tetapi selanjutnya berhukum kepada syariat Allah itu diiringi dengan berbagai penyimpangan dan tindak kezaliman yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan. Hal ini menyebabkan pelaksanaan hukum tidak sempurna, tidak lagi berjalan sebagaimana diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan yang pernah dilaksanakan salafush shalih. Maka waktu pun berjalan seiring dengan pelaksanaan hukum yang diwarnai dengan penyimpangan dan kezaliman, hingga sampai pada zaman modern ini ikatan Islam itu telah benar-benar hancur. Bahkan, syariat-syariat Islam telah disingkirkan dan diganti dengan undang-undang buatan manusia. Jelaslah bagi kita apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallan berikut ini:
            “Ikatan-ikatan Islam akan dilepaskan satu-satu. Yang pertama dilepaskan adalah ikatan hukum dan yang terakhir adalah ikatan shalat.” (HR Imam Ahmad)
            Melepaskan aktivitas politik dari konteks ibadah tidak hanya membawa bencana dalam hal sempitnya pemahaman aqidah dan ibadah saja, akan tetapi lebih parah lagi, secara berangsur-angsur krisis pemahaman ini melanda segi-segi lain yang lebih luas. Sedikit demi sedikit, namun pasti setiap amalan (di luar syariat) dilepaskan dari ikatan iman dan ibadah. Padahal Allah telah memperingatkan:
            “Hai manusia, sungguh kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Rabmu, maka kamu pasti akan menemuinya” (Al Insyaqaq: 6)
            Aktivitas seseorang dikatakan lepas dari kaitan iman ketika pengertian iman dibatasi pada tasdiq dan ikrar semata. Aktivitas seseorang juga telah lepas dari konteks ibadah. saat pengertian ibadah dibatasi pada syiar ta’abbudi saja.
            Jika hal itu terjadi pada diri seseorang, setiap amalnya tidak lagi berorientasi pada ibadah. Amal itu dilakukan mungkin dengan tujuan sekadar mendapat penghasilan, kepuasan, dan kepemilikan, atau mencari kemenangan dan kesuksesan, atau sekadar kesenangan untuk memenuhi kepuasan indrawi atau kegemaran, atau sekadar kegemaran, atau tujuan lain yang tidak berkaitan dengan iman dan ibadah kepada Allah SWT. Akibatnya terjadilah pemisahan antara ibadah di satu pihak dan amalan di pihak lain. Manusia pun membagi waktunya untuk beribadah dan beramal, serta yang tak termasuk keduanya, yaitu sekadar mengisi waktu luang, bersenang-senang, atau rekreasi. Ketiga hal itu tidak mempunyai kaitan sama sekali. Jika seseorang melakukan yang satu, terlepaslah kedua lainnya.
            Dr. Fahmi Huwaidy mengatakan:
Telah menjadi kesepakatan kita bahwa sekularisme merupakan suatu pandangan yang tertolak dari konsepsi Islam. Sebab, Islam merupakan asas risalah yang mengatur segala urusan umat manusia (masyarakat) yang meliputi berbagai ragam tingkat hubungan, baik hubungan antara manusia dan manusia, atau antara pemerintah dan rakyatnya. Namun, dengan penolakan ini bukan berarti persoalan itu telah selesai. Sebab, kita akan dihadapkan pada pertanyaan berikut, yakni: apa dan bagaimana formula pemerintah tersebut?
Pertanyaan seperti itu selalu saja muncul, terutama setelah terjadi revolusi Iran yang menampilkan wajahnya secara khas (Negara Islam versi Syiah dengan Imamahnya) dan setelah para ulama berperan dalam kancah politik (hukum) atau urusan kenegaraan yang sering disebut wilayatul faqih (di Iran). Inilah persoalan yang dianggap lebih rumit mengenai hubungan antara agama dan poltik.
            Sikap dan pemikiran “pemilahan” antara agama dan dunia telah diketahui sejak sembilan abad yang lalu. Namun, kalaulah boleh saya katakan bahwa orang yang meletakkan teori tentang agama dan negara adalah seorang pakar hukum Islam terkenal dari Bagdad, yaitu Abul Hasan Al Mawardi (364-450). Dengan karya-karyanya, terutama Al Ahkamus Sulthaniyah, Al Mawardi selalu dikenang oleh peneliti Islam dari mancanegara. Bahkan menurut saya, ada karyanya yang lebih prinsipil, yaitu Adab Ad Dien wa Dunya.
            Saya mengenal buku tersebut tidak secara langsung, tetapi melalui buku Taqaddum ‘Inda Mufakkiril Islam fil ‘Alamil Arabil Hadits (Kemajuan Menurut Pandangan Pemikir Islam di Dunia Arab Modern). Buku ini ditulis oleh seorang dosen filsafat dan pemikiran Arab di Universitas Yordan, Dr. Fahmi Jad’an, pada 1979.
            Dalam buku tersebut, Fahmi Jad’an mengatakan bahwa teori Al Mawardi bergerak di antara dua kutub, yakni Allah dan manusia, dunia dan akhirat, serta bumi dan langit. Al Mawardi tidak melahirkan suatu pemikiran, tetapi hanya mengungkapkan unsur keadilan (Anashirul Mu’adalah) dan keseimbangan (tawazun). Penjelasan tersebut selaras dengan apa yang terdapat dalam Alquran dan Assunnah.
            Dalam bukunya, Mawardi mengatakan:
Dengan menegakkan agama (baca Al Islam), kebahagiaan akan terwujud.
            Untuk memperbaiki dunia, menurutnya ada enam syarat yang diperlukan, yaitu:
1.    Agama dan keyakinan yang benar-benar diamalkan.
2.    Kekuasaan yang kuat , yakni kekuasaan Ad Dien, yang tidak akan sirna, kecuali jika hukum-hukumnya diubah atau panji-panjinya dimusnahkan.
3.    Undang-undang yang berfungsi menciptakan keadilan.
4.    Hak sipil yang berfungsi menciptakan keamanan.
5.    Sistem ekonomi yang berfungsi memeratakan kesejahteraan materi.
6.    Sumber daya manusia yang berwawasan (Insaniyah Mustaqbaliyah) yang berfungsi membuka pintu harapan dan cita-cita di masa datang.
Uraian tersebut diperkuat oleh dalil Alquran dan Assunnah, antara lain:
            “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi… (Al Qashash: 77).
Firman Allah SWT:
            “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain) dan hanya kepada Rabmulah hendaknya kamu berharap” (Al Insyirah: 7-8).
Sabda Rasulullah SAW:
            ”Bukanlah yang terbaik di antara kamu orang yang meninggalkan dunia untuk akhirat atau akhirat untuk dunia. Yang paling baik di antara kamu adalah orang yang mengambil ini dan ini (dunia dan akhirat)”




[1]  Al-Wala’ wal Bara’ Fil Islam. Hal. 23-25
[2]  Mafhumul Ibadah. Muhammad Quthb. Hal. 192-193
[3]  HR Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi. Menurut Syaikh Al-Albani hadist ini sanadnya        lemah. Lihat Dlaiful Jami’ Ash-Shagir, I: 84.
[4]  Mafhumul Ibadah. Halaman 196-197
[5]  HR Muslim


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------