TAFSIR AL FATIHAH KE-4 (01/4)
IYYAKA NA`BUDU WA IYYAKA NASTA`IIN
4.1  Mengabdi Hanya Kepada Allah
            Bagi setiap pembaca surat Al-Fatihah, jika memang merenungi dan memahami makna-makna yang hakiki, dari mulai Ta’awwudz--memohon perlindungan kepada Allah dari (tipu daya) setan yang selalu mengajak manusia untuk berpaling dan tidak hidup berpedomankan Al-Qur'an, sehingga menyimpang dari manhaj-Nya dan mengikuti jalan setan--hingga untuk memulai suatu perkara kebaikan, terlebih lagi dalam membaca Kalamullah, hendaknya dengan membaca Bismillahirrahmanirrahim. Hal ini disebabkan setiap amalan seorang mukmin terbangkit oleh panggilan iman dan dalam rangka memenuhi perintah Allah. Begitu pun dalam meninggalkan larangan-Nya. Iman bagi seorang mukmin merupakan mabda’ (titik berangkat) dan ba’itsul ‘amal (pembangkit amal) dengan niat dan tujuan mencari ridla Allah dan pahala-Nya.
            Dengan demikian, seorang mukmin dalam setiap gerak langkahnya berada dalam pengawasan Allah, karena ia memulai pekerjaan dengan membaca Basmalah. Hal ini merupakan dorongan intern (dari dalam jiwa dan hati), sehingga mampu mengendalikan diri dari dorongan ekstern (luar) yang tidak baik, seperti riya’ dan sejenisnya. Namun, kalaupun ada dorongan ekstern, itupun dalam rangka menguatkan kesungguhan dan motivasi ke arah sidqul ‘azimah (kesungguhan azam).
            Oleh karena itu, setiap mukmin ketika membaca Al-hamdu Lillahi Rabbil ‘Alamin  hendaknya mengingat-ingat tak terbatasnya anugerah dan kenikmatan yang telah Allah berikan kepadanya, serta terpikirkan olehnya ‘bagaimana cara terbaik dalam mensyukurinya?’
            Rasa syukur tentu tidak cukup sekedar dengan syukur lisan atau sekedar mengucapkan Al-hamdulillahi rabbil ‘alamin, tapi bagaimana ia mampu mensyukuri melalui hati dan anggota badan. Dari sini akan timbul satu tekad dalam dirinya: ‘Betapa malunya jika saya masih saja menghiasi kehidupan ini dengan kemaksiatan, sementara tiada henti-hentinya Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada saya.’
            Ia menyadari tatkala melihat anugrah Allah itu masih tercurah pada seorang atau dirinya, padahal dirinya tetap melakukan maksiat. Sebenarnya hal semacam ini hanyalah sebagai Istidraj, sebab ulama salaf mengartikan syukur itu dengan tarkul ma’ashi (meninggalkan maksiat). Sehingga seorang hamba Allah dikatakan pandai bersyukur kepada Allah, jika ia telah sanggup meninggalkan kemaksiatan yang kecil sekalipun. Ia tidak melihat besar kecilnya kemaksiatan tersebut, tetapi yang ia pikirkan adalah kepada siapa kita maksiat? Kepada Allah Rabbul ‘Alamin yang sedang kita puji inikah?
            Pernyataan keyakinan terhadap Allah sebagai Rabbul ‘Alamin--Ar-Rahman Ar-Rahim, dan Maliki Yaumiddin--memantapkan seorang hamba ketika ia membacanya dalam surat Al-Fatihah. Ia merasa berhadapan dengan Zat Yang Maha Agung lagi Sempurna, yang tiada suatu makhluk  pun layak menduduki tingkat rububiyah ini. Zat yang sempurna inilah yang pantas untuk di ibadahi, tempat kita memasrahkan diri secara total, khudlu, tadzallul, patuh, dan merendah diri hanya kepada Allah. Allah yang Rabbul ‘Alamin, Ar-Rahman Ar-Rahim, dan Maliki Yaumiddin adalah Ilahul Haq dan Ma’budul Mutha’ (Yang disembah dan ditaati).
            Pengakuan ini yang membuat setiap mukmin menyatakan ikrar hariannya dengan Iyya ka na’budu wa iyya ka nasta’in (Hanya kepada Engkaulah kami mengabdi dan hanya kepada Engkau pula kami memohon pertolongan).
            Pernyataan dalam ayat tersebut mengandung arti kedudukan dan martabat syukur.

4.2 Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in Menurut Ibnul Qayyim Al-Jauziyah
            Ayat ini mengandung sejumlah keistimewaan yang tersembunyi di balik rasa syukur. Di antara keistimewaan tersebut adalah kadar keluhuran atau kedudukan syukur--martabat syukur, dimana kedudukannya menempati posisi tertinggi melebihi martabat ridla. Kedudukan ridla sudah tercakup dalam makna syukur itu sendiri, karena tidak mungkin ada ridla tanpa didahului oleh aktivitas syukur.
            Disamping itu, syukur adalah sebagian dari iman. Kesatuan iman sendiri terbagi ke dalam dua bagian, yaitu berupa syukur dan sabar. Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bersyukur dan mencegahnya dari kufur (ingkar nikmat). Allah pun sangat suka kepada mereka yang bersyukur lalu menempatkannya pada kedudukan lebih mulia di antara makhluk-Nya, serta berjanji memberi pahala dan menambah nikmat-nikmat yang pernah diberikannya kepadanya.
            Allah juga akan mengangkat derajat seorang ahli syukur (syakirin) dengan menyandang gelar dari salah satu asma-Nya. Begitu tinggi dan mulianya kedudukan syukur di hadapan Allah, namun ironisnya hanya sedikit sekali hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur.
            Allah berfirman:
            “Dan bersyukurlah kepada Allah jika kamu benar-benar hanya menyembah kepada-Nya....” (                              )
            “Dan bersyukur kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada nikmat-Ku.”(Al-Baqarah: 152) 
            “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi  patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah . (Lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah.” (An-Nahl: 120-121).
Tentang Nabi Nuh ‘Alaihissalam, Allah berfirman:
            “Sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba Allah yang banyak bersyukur.” (Al-Isra’: 3).
            “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut (rahim ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur.” (An-Nahl:17).
            “Dan sembahlah Dia dan bersyukur kepada-Nya. Hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan.” (Al-Ankabut: 17).     
            “Dan Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Ali Imran: 144).
            Terkadang Allah memberikan sebutan untuk syakur (yang bersyukur) dan syakir (ahli syukur), sebagaimana Dia juluki hamba-Nya yang pandai bersyukur dengan dua sebutan sekaligus, syakir dan syakur. Hal ini sebagai pertanda cinta kasih kepada hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur.
            Selain itu Allah Ta’ala sendiri menyampaikan rasa terima kasih-Nya kepada hamba-Nya yang shalih. Allah berfirman:
            “Dan ini adalah balasan bagimu dan usahamu adalah disyukuri (di beri balasan).” (Ad-Dahr: 22)
            Dan terhadap hamba-Nya yang bersyukur itu pun Allah ridla, sebagaimana yang difirmankan-Nya:
            “Dan jika kamu bersyukur kepada-Nya, maka Dia meridlai kesyukuranmu.” (Az-Zumar: 7).
            Tidak dapat dipungkiri, kenyatan menunjukkan bahwa sangat sedikit orang-orang yang benar-benar pandai mensyukuri nikmat karunia-Nya. Karena itu, tidaklah mengherankan bila Allah Ta’ala kemudian menjadikan mereka yang pandai bersyukur sebagai golongan yang diistimewakan. Allah berfirman:
            “Dan sangat sedikit hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (Saba’: 13).

            Di dalam Kitab Shahih Muslim dan Bukhari diceritakan bahwa kedua kaki Nabi Muhammad SAW sampai bengkak karena tekunnya beliau menunaikan ibadat (shalat). Maka ketika beliau ditanya, “Ya Rasulullah adakah ini Anda lakukan (ibadat terus menerus), padahal dosa-dosa Anda baik yang telah lampau maupun yang akan datang telah diampuni oleh Allah Ta’ala?” Beliau menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba-Nya yang pandai bersyukur?”
            Suatu ketika Nabi berkata kepada Mu’adz bin Jabal: “Hai Mu’adz, demi Allah aku mencintaimu. Maka janganlah lupa engkau membaca do’a berikut ini pada setiap akhir shalat: ‘Ya, Allah bantulah aku untuk berdzikir, bersyukur, dan beribadat secara benar kepada-Mu.” (HR. Abu Dawud).[1]

4.3 Kesalahan Sebagian Besar Kaum Muslimin dalam Memahami Makna Ibadah         
            Al-’Allamah Muhammad Quthb, ulama besar masa kini dan sekaligus pengamat pegiat-pegiat dakwah internasional, menulis sebuah kitab berjudul Mafahim Yanbaghi An Tushahhah (Pemahaman yang Sepatutnya Diluruskan) yang mencakup Mafhum Laa Ilaha Ilallah dan Mafhumul Ibadah.
            Bagi pegiat dakwah tentu tidak asing lagi tentang beliau itu, karena karya-karyanya selalu menjadi rujukkan bagi du’at mengingat kajiannya yang mendasar mengikuti kebiasaan ulama salaf dalam mengaji permasalahan, namun pembahasannya mengikuti metode ilmiah yang menyentuh dengan persoalan kekinian. Hal ini nampak jelas dalam karyanya: Jahiliyah Qarnul ‘Isyrin, Waqi’unal Mu’ashir, Syubhat Haulal Islam, Madzahib Fikriyyah Mu’ashirah, Al-Insan Bainal Madiyah wal Islam, Manhajut Tarbiyyatul Islamiyyah, Fin Nafsi wal Mujtama’, Al-Musytasyriqun wal Islam, Ru’yatul Islamiyah Li Ahwalil Mu’ashirah, dan karya-karya lainnya sebagian besar telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan telah banyak diterbitkan di Indonesia.
            Di dalam  Mafhumul Ibadah, beliau mengatakan di antara penyim-pangan-penyimpangan paling berbahaya yang menimpa generasi-generasi kaum Muslimin dewasa ini, setelah penyimpangan mereka dalam memahami konsepsi Laa Ilaha Illallah, adalah penyimpangan mereka dalam memahami konsepsi ibadah.
            Pemahaman generasi kurun pertama dari kaum Muslim tentang urusan ibadah yang sempurna, luas, dan mendalam, sungguh sangat jauh jika dibandingkan dengan pemahaman generasi kini yang serba sempit dan dangkal. Umat tak merasakan kejanggalan, padahal umat telah terhempas jauh dari puncak keluhuran ke dalam jurang kenistaan, sebagaimana kita saksikan sekarang. Wajar-wajar saja jika umat ini kemudian tersingkir dari percaturan kepemimpinan umat manusia. Mereka diperebutkan berbagai kepentingan, dan di seret ke sana-sini dari berbagai penjuru bagaikan seekor mangsa diperebutkan oleh kawanan serigala lapar. Pada saat bersamaan mereka mengetahui jalan mana yang mesti ditempuh untuk membangun kebangkita Islam, yaitu berjuang dengan gigih menyingkirkan hal itu pada tempat yang rendah untuk kembali kepada kedudukan yang dikehendaki Allah sebagai “sebaik-baiknya umat yang ditampilkan di tengah-tengah manusia”.[2]
            Pemahaman yang benar tentang konsepsi ibadah di kalangan generasi pertama kaum muslimin adalah bahwa ibadah kepada Allah merupakan tujuan penciptaan umat manusia, sebagaimana firman-Nya:
            “Dan Aku tidak menjadikan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
            Ayat ini mengandung pengertian yang agung dan mendalam, serta mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Al-Qur'an pun diturunkan dalam bahasa mereka agar memahami arah serta kandungan makna pengilhaman bahasa ini dan mengerti rahasia-rahasia kefasihan bahasanya.
            Dalam aspek inilah, manusia seharusnya benar-benar dapat merasakan keagungan Allah sehingga mereka (sebagai hamba) mengikuti tujuan ibadah itu dengan sebaik-baiknya. Manusia harus mendudukkan dirinya sebagai hamba Allah dan menempatkan-Nya dalam uluhiyah dengan beribadah secara ikhlas kepada-Nya serta menghambakan diri pada-Nya.
            Dengan demikian, pengertian ibadah bukan sekedar melakukan syiar-syiar ubudiyah saja, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan generasi sekarang ini. Hal itu karena mereka memahami Islam hanya kulitnya saja dan tidak dari pengertian Islam yang benar.
            Syiar-syiar Ta’abudi tidak bisa mewakili makna ibadah secara menyeluruh, yang dituntut  bagi setiap insan. Jika maksudnya demikian, lalu apa tujuan penciptaan manusia menurut isyarat ayat tadi, yang tersimpul dalam kata ‘ibadah hanya kepada Allah’? Bagaimana mungkin ibadah yang bermakna luas itu hanya diartikan dengan syiar-syiar ta’abudi? Berapa banyak waktu yang dihasilkan syiar-syiar ta’abudi yang kita lakukan sehari semalam? Sudah seberapa jauh dilakukan dan menghabiskan waktu berapa tahun dari umur manusia? Lalu, untuk apa sisa waktu umurnya dan sisa kemampuannya? Apakah sisa waktu dan potensi kita digunakan untuk tujuan di luar ibadah ataukah ibadah? Bagaimana tujuan ibadah dalam ayat tersebut dapat terwujud?[3]
            Selanjutnya beliau menyatakan, bahwa manusia tidak mungkin mewujudkan pengertian ibadah dengan hanya melakukan syiar-syiar ta’abudi sebagaimana telah diwajibkan oleh Allah dalam hal shalat, shaum, menunaikan zakat, dan haji.
            Manusia bukanlah malaikat dan memang tidak mungkin berubah menjadi malaikat. Sebab malaikat adalah sejenis makhluk halus yang diciptakan Allah dari cahaya. Mereka menghabiskan waktunya sepanjang siang dan malam tiada hentinya untuk bertasbih.
            Allah berfirman:
            “Dan malaikat-malaikat yang disisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang dengan tiada henti-hentinya.” 
(Al-Anbiyaa’: 19-20).
            Mereka tidak pernah durhaka kepada Allah--Khaliqnya--dalam segala hal, sebagaimana firman-Nya:
            “Yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa-apa yang  diperintahkan.”
(At-Tahrim: 6).
            Lain halnya manusia yang diciptakan dari segenggam tanah liat dan tiupan ruh Allah, di samping dilengkapi tuntutan kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat fisik-material maupun psikis, juga berupaya melepaskan diri dari bahaya yang mungkin timbul pada situasi dan kondisi tertentu.
            Jelaslah bahwa manusia tidak akan mampu beribadah kepada Allah seperti yang dilakukan oleh malaikat, yang sepanjang siang dan malam bertasbih tiada hentinya. Tidak ada kesibukan lain bagi malaikat selain bertasbih.
            Seluruh alam bertindak sebagai hamba, mengabdi kepada Rabbnya sesuai dengan perintah-Nya--kecuali yang durhaka dari golongan jin dan manusia--dan menurut caranya masing-masing sebagaimana telah digariskan oleh Allah Ta’ala:
            “Dan tak ada satu pun (di alam ini) melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.”
(Al-Israa’: 44)
            “Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohon, binatang yang melata, dan sebagaian besar manusia?”  (Al-Hajj: 18)
            “Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih berupa asap lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: ‘Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa’. Keduanya menjawab:’Kami datang dengan suka hati’.” (Fushshilat: 11)
            Sebenarnya  ibadah itu bisa diumpamakan sebuah garis kehidupan. Garis dalam terminologi matematika adalah sekumpulan titik-titik. Demikian juga ibadah, merupakan kumpulan titik-titik yang menghubungkan satu taklif dengan taklif lain, dari satu waktu ke waktu berikutnya.
            Ketika seorang hamba melakukan shalat, misalnya, maka sebenarnya ia sedang berada pada satu titik taklif atau sedang berhenti sejenak di satu terminal guna menambah bekal untuk melanjutkan perjalanannya ke titik taklif lain, begitu seterusnya.  Garis yang dilalui manusia itulah disebut garis ibadah.
            Hanya saja, sebagai garis ibadah ia harus berada dalam frame yang disyaratkan Khaliqnya. Jika frame itu berupa bidang kehidupan, maka frame itu dibentuk oleh dua variabel, yaitu variabel kebenaran menurut tuntunan sunnah dan variabel ikhlas mengarahkan setiap amalan lahir maupun batin kepada keridlaan Allah.
            Dalam frame ini, agar perkataan dan amalan seseorang tetap berada dalam frame ibadah, maka ia harus melakukannya dengan benar dan ikhlas.
Frame seperti ini dibahasakan oleh Fudlail bin ‘Iyadl rahimahullah dengan:   
            “Sesungguhnya amalan itu jika dikerjakan dengan ikhlas., namun tidak dengan cara yang benar (sesuai sunnah Rasul) maka tidak diterima amalan tersebut. Dan jika dikerjakannya dengan benar, namun tidak dengan ikhlas juga tidak diterima. Sehingga amalan tersebut dikerjakan dengan benar dan ikhlas. Dan ikkhlas itu menjadikannya karena Allah dan benar itu menjadikannya di atas As-sunnah.”[4]
            Jika frame itu berupa ruang gerak manusia, maka frame itu harus dibentuk oleh tiga variabel. Sebab ruang itu dibentuk oleh tiga sumbu  (misalnya: x, y, dan z) sebagaimana aturan matematika. Dalam hal ibadah, maka frame ruang dibatasi oleh:
a. Niat yang ikhlas
b. Kesungguhan ‘azam
c. Sesuai dengan tuntunan syariat, baik dalam perintah dan larangan maupun dalam penghalalan dan pengharaman.
            Dalam hal ini Muhammad Quthb menegaskan bahwa ibadah yang dituntut dari hamba-hamba-Nya agar bersih dari pengaruh syirik, maka   harus memenuhi tiga perkara:
1.    Keyakinan yang bulat bahwa Allah itu Esa dalam zat-Nya, asma’-Nya, dan sifat-Nya.
2.    Mengarahkan semua urusan kepada-Nya melalui syiar-syiar ta’abudi (ritual-ritual ibadah) yang Allah fardlukan kepada hamba-hamba-Nya.
3.    Komitmen kepada apa-apa yang diturunkan Allah Ta’ala, berupa penghalalan, pengharaman, menentukan bagus dan jelek, pembolehan dan larangan.[5]
            Satu hal terlarang bagi hamba Allah yang bertauhid secara benar adalah meninggalkan perintah Allah karena merasa aman dari dosa, merasa senang, dan tidak menganggapnya sebagai dosa. Hal ini bisa menjadikan pelakunya kafir.
            Sufyan Ats-Tsauri berkata:
            “Maka barangsiapa yang meninggalkan (perintah) merasa senang menganggap tak berdosa dari unsur-unsur keimanan, maka dengan itu ia bisa menjadi kafir. Dan barangsiapa yang meninggalkannya karena bermalas-malas atau menganggap sepele dengannya, maka ia menjadi kurang imannya dan harus dididik.”[6]
            Ketika seseorang menyatakan Iyyaka Na’budu, maka harus disertai keyakinan bahwa Dia-lah Ma’budul Haq, tiada selain-Nya yang patut diibadahi dan menetapkan hanya untuk Allah satu-satunya.[7]
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
            “Tidak ada kegembiraan dan kebahagiaan yang sempurna bagi hati seseorang kecuali dalam mahabbatullah (kecintaan kepada Allah), Taqarrub  kepada-Nya dengan kecintaan. Dan tidak kokoh mahabbah-nya kecuali berpaling dari seluruh yang dicintai selain Allah. Dan inilah hakikat Laa ilaha illallah, yaitu millah Ibrahim Khalilullah dan seluruh para Nabi dan Rasul Shalatullah wa Salamuhu ‘Alaihim ajmai’in.” [8]


[1]   Dikutip dari Kitab Madarikus Salikin, Ibnul Qayyim, jilid II, hal. 242.
[2]  Ali Imran : 110
[3] Yanbaghi an Tushahhah. Hal. 173-175
[4]  Al-Wala’ wal Bara’ fil Islam. Muhammad bin Sa’id Al-Qabthani. Hal. 35 dan Iqtidla’ush Shiratul Mustaqim. Ibnu Taimiyah. Hal. 415
[5]  Waqi’unal Mu’ashir. Hal. 34
[6]  Al-Wala’ wal Bara’. Hal. 27
[7]  Fathul Majid. Hal. 36
[8]  Majmu’ Fatawa. Jilid 28  hal. 32


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------