TAFSIR AL FATIHAH BAG. KE-5 (03/5)
ISLAM JALAN LURUS
5.7  Kebencian Ulama Salaf terhadap Bid’ah dan Pelakunya
            Sufyan Ats Tsauri ra berkata bahwa iblis lebih menyukai perbuatan bid’ah daripada maksiat sebab maksiat lebih bisa diharapkan taubatnya, sedangkan bid’ah sulit diharapkan taubatnya.
            Imam As Suyuthi mengatakan, Abdullah bin Muhairiz pernah berkata bahwa agama itu hilang se sunnah demi sunnah sebagimana seuatas tali hilang kekukatannya sedikit demi sedikit karena perbuatan bid’ah.
Mu’adz bin Jabal pernah berkata,
“Sesungguhnya sepeninggalku nanti banyak sekali terjadi fitnah pada saat harta benda melimpah, Al Quran dibuka bagi seluruh manusia sehingga baik wanita, anak-anak maupun lelaki membacanya. Lalu ada seorang yang berkata, “Aku telah membaca Al Quran, tetapi aku tidak dapat mengikutinya.” Demi Allah, aku akan melaksanakan al Quran di lingkungan mereka. Semoga aku  mengikutinya. Kemudian ia berkata, Aku telah membaca Al Quran, tetapi aku tidak dapat mengikutinya.” Dan aku telah melaksanakan al Quran di lingkungan mereka, tetapi aku tidak mampu mengikutinya. Sungguh aku akan hadir ke tempat shalat di rumahku. Kemudian orang itu hadir di tempat shalat di rumahnya, tetapi dia tidak mampu juga mengikutinya (segala perkara yang telah di tentukan Al Quran).” Kemudian dia berkata lagi: , “Aku telah membaca Al Quran, tetapi aku tidak dapat mengikutinya. Dan aku telah datang ke tempat shalat di rumahku, tetapi juga tak mampu aku mengikutinya. Demi Allah, aku akan mendatangkan sesuatu yang baru yang tidak mereka dapati di dalam Al Quran dan tidak pernah mereka dengar dari Rasulullah SAW. Semoga kau dapat mengikutinya.” Oleh karena itu berhati-hatilah dengan apa yang dibawanya karena apa yang dibawanya itu merupakan kesesatan”.

Abdullah Ibnu Mas’ud berkata,
“sederhana dalam sunnah adalah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam masalah bid’ah.”
            Al Auza’i berkata,
“Tabahlah hatimu atas as Sunnah. Tegaklah kamu di mana kaum itu tegak. Berkatalah dengan kata apa yang mereka katakan. Tahanlah dirimu terhadap apa yang mereka menahan diri terhadapnya, dan berjalanlah di atas jalan para ulama salaf yang saleh. Sebab segala yang dapat mereka jalani, kamu pun akan dapat menjalaninya.”
           
Imam Syafi’i rahimullah berkata,
“Siapa saja yang mengadakan kebagusan (perkara baru dalam agama) maka dia telah membuat syariat.”

5.8 Setiap Bid’ah itu Kesesatan Sekalipun Manusia Menganggapnya sebagai Hasanah
            Salim Al Hilali, dalam bukunya Al Bid’ah Wa Atsaruhas Sayyi’ Fil Ummah, mengatakan, “Pembagian bid’ah kepada hasanah dan qabihah atau mahmudah dan madzmumah adalah pembagian yang tidak memiliki sandaran dalam syariat. Sebagaimana hal ini memiliki asal sandaran jika kenyataannya ketegasan Al Quran dan hadis-hadis shahih ditolak. Keterangan ini dijelaskan sebagai berikut:
1.    Allah telah membimbingmu bahwa yang termasuk ushul din haruslah diyakini dan tidak sah iman seseorang kecuali dengannya. Din ini telah lengkap dan sempurna, serta tugas manusia hanya menerapkan dan melaksanakannya.[1]
2.    Rasulullah diutus sebagai rahmat bagi alam, untuk menegakkan risalah. Dia pun telah menyampaikan risalah itu tanpa dikurangi atau dilebihkan. Dia telah mengerjakan itu semua secara sempurna karena mengharap ridla dariNya. Allah menyaksikan kebenaran baginya. Begitu pula orang-orang mukmin, cukuplah Allah menjadi saksi.
Rasulullah bersabda:
“Aku tidak meninggalkan sedikit pun dari apa yang Allah perintahkan kecuali    benar-benar aku telah memerintahkan kepadamu dengannya, dan tidak sedikit pun apa yang Allah larang kepadamu kecuali benar-benar aku melarangnya.”
3.    Musuh-musuh pun telah bersaksi atas kesempurnaan risalah Islam ini. Mereka tidak dapat menyembunyikan kesaksian ini, kesempurnaan nizham Islam (nizham rabbani), syamil, dan kamil, tidak meninggalkan perkara kecil dan besar dalam seluruh aspek kehidupan. Seorang Yahudi berkata kepada Salman ra, “Sungguh nabimu telah mengajarkan kepadamu segala sesuatu hingga masalah kotoran.” Lalu Salman ra berkata, “Benar, kami dilarang buang hajat menghadap kiblat, hajat besar maupun kecil, kami dilarang cebok dengan tangan kanan, dilarang menggunakan batu kurang dari tiga kali, dan dilarang cebok dengan sobekan kain (tumbuh-tumbuhan) atau tulang.” (HR Muslim dan Ashhabus Sunan dan Ahmad).
4.    Sesungguhnya membuat hukum itu adalah hak Allah dan tidak ada hak manusia sedikitpun. Dan tentu apabila dibolehkan menambah di dalam Islam, boleh juga mengurangi. Oleh karena itu, Rasulullah melarang kita menambah-nambah dalam perkara agama. Dia bersabda:
“Jika aku telah mengeluarkan sebuah hadis, janganlah kamu sekali-kali menambahkan kepadaku.” (HR Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani, silsilah hadis shahih, 346).
5.    Pelaku bid’ah telah mengangkat dirinya setingkat dengan pembuat syari’at Al Hakim (Allah SWT). Imam Ahmad berkata, “Pokok As Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan yang dilakukan para sahabat, mengikuti mereka, dan meninggalkan bid’ah dan bid’ah itu kesesatan”. Selain itu Imam Darul Hijrah,  Imam ilmu dan petunjuk, berkata, “Siapa yang membuat bid’ah, satu bid’ah pun, karena menganggapnya sebagai hasanah, dia benar-benar telah mendakwakan Muhammad SAW telah mengkhianati risalah, sebab Allah dalam Surat Al Maidah ayat 3.”[1]

            Ibnu Mas’ud berkata:
Jadilah kamu pengikut As Sunnah dan janganlah kamu melakukan bid’ah sebab kamu telah cukup (dengan As Sunnah). (HR Thabrani)
Di samping itu,
1.    Allah SWT disembah hanya dengan apa yang disyari’atkan, tidak dengan hawa nafsu, tradisi, dan bid’ah.
2.    Bid’ah dapat mematikan sunnah.
3.    Bid’ah adalah penyebab malapetaka (Al Halak)
4.    Bid’ah mengantarkan kita kepada kekafiran sebab pelakunya mengangkat dirinya sebagai pembuat hukum, sedangkan Allah dianggap sebagai tandingannya.
5.    Bid’ah membuka pintu perselisihan dan permusuhan serta kebencian yang merupakan pintu kesesatan. Mereka yang merintis satu jalan keburukan (terlebih lagi bid’ah), baginya dosa hingga hari kiamat tanpa dikurangi sedikitpun.
6.    Menyedikitkan perkara bid’ah saja dapat mengantarkan kita kepada fasik dan maksiat. Contoh ketika Khawarij melawan Ahlus Sunnah, para sahabat di bawah pimpinan Ali ra. memerangi mereka.
7.    Amal saleh hanya benar jika diikuti dengan niat baik pula. Niat baik saja tidak bisa mengubah kebatilan menjadi kebenaran.
8.    Menambahkan kebaikan bukanlah kebaikan sebab kebaikan yang ditambah-tambah berakibat keburukan. Sebuah perkara yang ditambah-tambah akan overdosis, lalu akan berbalik menjadi lawan. Sikap berani yang berlebihan akan menjadikan kita beringas dan jika dikurangi akan menjadi pengecut. Sifat derma jika dilebih-lebihkan bisa menjadi israf dan ibdzar, dan jika dikurangi bisa menjadi kikir dan bakhil. Sebab itu, Ibnu Umar ra. mengingkari seorang bid’ah ketika ada seorang bersin, lalu mengucapkan, Alhamdulillah wash shalatu was salam ‘ala Rasulillah. Segera Ibnu Umar berkata, jika seseorang bersin, bacalah Alhamdulillah. Tidak perlu berkata: “Bershalawatlah kepada Rasul”  (HR Tirmidzi dan Hakim).
            Lalu bagaimana ahlu bid’ah yang menjadi makmum dalam shalat berjama’ah tidak mengucapkan Amin bersama imam sebelum dia membaca rabbigfirli? Tentu ini lebih bid’ah daripada mengucapkan shalawat kepada Nabi ketika ia bersin. Ini termasuk bid’ah haqiqiyah karena tak ada asal perintahnya dan pelaksanaannya (dalam menambah rabbighfirli). Perintah membaca amin ada, tetapi jika dibaca tidak pada waktu setelah imam usai membaca wa ladl dlallin, ini termasuk bid’ah idlafiyyah.[1] Wallahu a’lam.

5.9  Bantahan Terhadap Orang yang Menyebutkan Adanya Bid’ah Hasanah
            Sebagian besar kaum Muslimin yang mengakui adanya bid’ah hasanah paling tidak berdasarkan beberapa hadits atau atsar sahabat, dan yang paling masyhur dijadikan sandaran antara lain:
1.    Perkataan Ibnu Mas’ud ra yang menyatakan:
Apa-apa yang menurut kaum Muslimin bagus, menurut Allah juga bagus, dan apa-apa yang menurut kaum muslimin jelek, menurut Allah jelek juga.
      Hadits ini tidak sah untuk dikatakan marfu’ (sampai pada Nabi), tetapi merupakan perkataan Ibnu Mas’ud ra. Menurut Al ‘Ajalwani, sanadnya jatuh dan lebih tepat mauquf pada Ibnu Mas’ud.[2]
      Berkata As Sakhawi di dalam Al Maqashidul Hasanah, ia berderajat mauquf hasan. Ia juga berpendapat bahwa hadits itu tidak bisa dikatakan marfu’, tetapi hanya berderajat mauquf pada Ibnu Mas’ud ra. Oleh karena itu, hadits yang tidak sah derajat marfu’nya tidak boleh dijadikan hujjah karena bertentangan dengan hadits-hadits shahih tentangnya yang  berderajat qath’i, yaitu hadits Al ‘Irbadl bin Sariyah: Kullu Bid’ah dlalalah.
2.    Perkataan Umar Ibnu Khaththab ra:
Senikmat-nikmat bid’ah  adalah ini (maksudnya shalat tarawih berjama’ah di masjid)
                        Ucapan Umar ini membuat kekhususan dalil umum dari hadits Nabi SAW: Kullu bid’atin dlalah. Hujjah ini tertolak sebab shalat tarawih malan ramadlan itu masyru’ah berdasarkan nash Nabi SAW. Antara lain riwayat Jabir bin Abdillah ra. yang menyatakan Rasulullah SAW shalat malam ramadhan delapan raka’at dan witir satu raka’at.. Juga hadis-hadis lainnya yang sejenis dalam bab shalat malam dan witir. Dan shalat berjama’ah juga masyuru’ah, sebab Rasulullah SAW melakukan shalat malam tarawih bersama sahabat sampai tiga malam. Adapun beliau meninggalkannya pada malam berikutnya dikarenakan takut dianggap wajib oleh para sahabat. Dan ini didukung oleh riwayat dari Aisyah ra. yang dikeluarkan oleh Asy Syaikhan (Bukhari-Muslim).[3]     
            Tentang perkataan Umar ra. ini, maka Dr. Ibrahim Muhammad bin Abdullah Al Buraikan mengatakan bahwa makna bid’ah yang terdapat di dalam perkataan Umar ra. dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.    Ucapan itu ditujukan kepada mereka yang mengingkari atau menolak sunah tarawih yang sudah ada sejak Rasulullah di mana beliau melakukannya lalu meninggalkannya karena khawatir akan menjadi kewajiban. Ucapan Umar ini sama dengan ucapan Anda terhadap seseorang yang berbeda dengan Anda, lalu Anda mengatakan, “Kalau ini dianggap munkar maka saya adalah pelaku munkar ini”. Yang ingin Anda katakan adalah bahwa Anda akan tetap berpegang teguh dengan hal itu.
2.    Ucapan ini bisa diberlakukan untuk shalat sunat tarawih karena ia pernah ditinggalkan lalu dilaksanakan kembali. Ia dianggap sesuatu yang baru kaena ia belum pernah dilaksanakan secara berjama’ah setelah Rasulullah wafat. Dengan demikian, ucapan Umar Ibnu Khattab ra berlaku untuk makna bahasa bid’ah secara harfiah dan bukan dalam makna syariat. Sedangkan yang tercela adalah bid’ah dalam pengrtian syariat. Atas dasar penjelasan ini, pembagian bid’ah menjadi bid’h hasanah dan bid’ah sayyi’ah, atau bid’ah mubah, haram, wajib, makruh, sunah, menjadi batal hukumnya.
     Bahaya bid’ah sesungguhnya terletak pada peluang merubah wajah agama. Oleh karena itu, membuka pintu bid’ah merupakan isyarat datangnya bahaya perubahan dan penggantian syariat Islam. Dalam bahaya inilah orang-orang Yahudi dan Nsrani terjebak di mana mereka mengubah, mengganti, dan menyimpangkan agama mereka.[4]
     Atas dasar itu, kaum salaf memperingatkan kita dari bahaya bid’ah dan para pelakunya dengan berbagai cara, antara lain:
a. Larangan mendengarkan bid’ah. Abdur Razaq menceritakan dari Mu’ammar bahwa beliau berkata, “Suatu ketika Thawus sedang duduk dan di sisinya anaknya duduk bersamanya, lalu datanglah seorang laki-laki dari Mu’tazilah dan berbicara tentang suatu masalah. Thawus segera memasukkan jari-jari tangannya ke telinga serta berkata,’Wahai anakku, masukkan pula kedua jari telunjuk ke telingamu agar kamu tidak mendengar sedikit pun perkataannya karena sesungguhnya hati itu lemah. Wahai anakku, bersikap benarlah.’ Ia terus mengulang-ulang perkataan itu sampai laki-laki dari Mu’tazilah itu pergi.”
b.  Meninggalkan pelaku bid’ah dan tidak bergaul dengan mereka. Isa bin Ali Adl Adlbi berkata, “Ada seorang yang duduk bersama kami dan berbeda pendapat dengan Ibrahim An Nakha’i, kemudian sampailah berita pada Ibrahim bahwa orang tersebut dari golongan Murji’ah. Lalu Ibrahim berkata kepadanya, “Jika engkau nanti meninggalkan kami, janganlah engkau kembali lagi.”
c. Menyebarkan hal ihwal pelaku bid’ah kepada orang banyak agar mereka meninggalkannya. Muhammad bin Dawud Al Haddai berkata, “Saya berkata kepada Sufyan bin Uyainah, sesungguhnya orang ini (Ibrahim bin Abi Yahya) telah berbicara tentang qadla dan qadar. Lalu Sufyan berkata, “Terangkanlah ihwal orang ini kepada orang banyak dan bermohonlah kepada Allah agar Ia menjadikanmu dalam keadaan baik.”
d. Menjelaskan bahaya bid’ah kepada kaum muslim, Sufyan Ats Tsauri berkata, “Iblis lebih menyukai bid’ah daripada maksiat karena orang bisa bertobat dari maksiat tetapi dari bid’ah tidak.”
e. Tidak menshalati jenazah pelaku bid’ah. Mu’amal bin Ismail berkata, “Ketika Abdul Azis meninggal, aku ikut mengantar jenazahnya sampai pintu Shafa. Orang-orang pun berdiri bershaf-shaf, kemudian Sufyan Ats Tsauri datang untuk membubarkan shaf-shaf. Sementara orang-orang hanya tercengang menyaksikan jenazah itu tidak dishalati. Ia dituduh menganut kepercayaan kaum Murji’ah.”
f.  Dibolehkan mengumpat pelaku bid’ah. Dari Al A’masy dari Ibrahim berkata, “Tiada yang dianggap ghibah bagi pelaku bid’ah.” Katsir bin Abi Sahal berkata, “Dikatakan, tiada kehormatan bagi pelaku hawa nafsu.” Al Fudlail berkata, “Siapa yang masuk ke rumah pelaku bid’ah, tiada kehormatan baginya.”[5]
3.  Menggunakan dalil Man sanna fil Islam sunnatan hasanatan... tanpa diteruskan hingga akhir hadis (HR Muslim, Nasa’i, Ahmad, dan Darimi, serta lainnya). Padahal yang dimaksud sunnatan hasanatan ialah jalan yang masyru’ah yang mendapat pahala baginya dan pahala dari orang yang mengikuti setelahnya. Sebenarnya yang dimaksud sunnatan hasanatan bagi pelaku bid’ah justru sunnnatan sayyi’atan, baik dari segi haqiqiyahnya maupun idlafiyahnya. Sama halnya mereka membaca wailun lil mushallin tidak diteruskan pada ayat berikutnya atau ayat laa taqrabush shalaah tidak berlanjut sampai wa antum sukara.
            Dari keterangan diatas, jelaslah bagi kita, khususnya kaum muslim yang menyalahgunakan Al-Fatihah. Maksud Shiratun Mustaqiim adalah Islam dan jalan yang ditempuh  Rasulullah SAW serta para sahabatnya dan salafush shalih. Kita wajib mengikuti mereka walau harus bersusah payah. Mereka itu Al-Jama’ah.
Rasulullah bersabda:
            “Siapa yang ingin mencium bau surga hendaklah ia mengikuti jama’ah. Karena sesungguhnya, syaithan itu bersama orang yang menyendiri. Dan syaithan itu menjauh dari dua orang”. (HR. Tirmidzi)
            “Tangan Allah bersama jama’ah dan syaithan itu bersama-sama orang yang menyelisihi jamaah”. (HR Thabrani dari ‘Arfajah)
Firman Allah Ta’ala:
            “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (Shaad: 26)
            “Apa yang datang padamu dari Rasul, terimalah. Dan apa yang dilarangnya, tinggalkanlah”. (Al-Hasyr:7)
            “Dan bahwa yang Kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus. Ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan lain, karena jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan kepadamu agar kamu bertakwa”. (Al-An’am: 153)
            “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku. Niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. (Ali Imran: 31)
Rasulullah bersabda:
            Aku nasihatkan kalian agar bertakwa kepada Allah, dengarkanlah dan taatilah pemimpinmu meskipun dia seorang budak Habasyah. Sebab, sesungguhnya orang yang hidup sepeninggalku akan banyak melihat perselisihan. Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk. Berpegang teguhlah kalian pada sunnahku sekuat-kuatnya. Waspadalah kalian dari perkara baru. Sebab setiap perkara baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah itu sesat. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi dari ‘Irbadl bin sariyah)

            Semoga kiranya kaum Muslim yang rajin menegakkan shalat menjadi sadar dan hendaknya mau memahami secara baik kandungan Al-Fatihah.
* * *





[1] Al Bid’ah wa Atsaruhas Sayyi’ fil Ummah, hal. 16-18
[2] Kasyful Khufa 2, Hafizh Ibnu Abdul Hadi. Hal. 263
[3] Lihat Al Bid’ah wa Atsaruhas Sayyi’ fil Ummah, Salim Al-Hilali, hal. 2122
[4] Pengantar Studi Aqidah Islam, Pen. Al Manaar, Jakarta, hal. 71-72
[5] Pengantar studi Aqidah Islam, h. 70-71


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------