9 June, 2011Posted in: Warta, OKEZONE.COM

PRO-KONTRA HUKUM HORMAT BENDERA
Tanbihun – Pro kontra hukum hormat bendera atau upacara bendera menghangat lagi, pendapat pertama menghukumi syirik dengan landasan fatwa sejumlah ulama Saudi Arabia yang bernaung dalam Lembaga Tetap Pengkajian Ilmiah dan Riset Fatwa (Lajnah ad Daimah li al Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al Ifta) telah mengeluarkan fatwa dengan judul ‘Hukum Menyanyikan Lagu Kebangsaan dan Hormat Bendera’, tertanggal 26 Desember 2003.

Pendapat Yang Mengharamkan (IKUTI FATWA-NYA DI BAWAH)

Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa tidak diperbolehkan bagi seorang muslim berdiri untuk memberi hormat kepada bendera dan lagu kebangsaan dengan alasan:
Lajnah Daimah menilai bahwa memberi hormat kepada bendera termasuk perbuatan bid’ah yang harus diingkari. Aktivitas tersebut juga tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW ataupun pada masa Khulafa’ ar-Rasyidun.

Menghormati bendera negara juga bertentangan dengan tauhid yang wajib sempurna dan keikhlasan di dalam mengagungkan hanya kepada Allah semata.
Menghormati bendera merupakan sarana menuju kesyirikan. Keempat, penghormatan terhadap bendera juga merupakan bentuk penyerupaan terhadap orang-orang kafir, mentaklid (mengikuti) tradisi mereka yang jelek serta menyamai mereka dalam sikap berlebihan terhadap para pemimpin dan protokoler-protokoler resmi. Padahal, Rasulullah SAW melarang kita berlaku sama seperti mereka atau menyerupai mereka.
Yang mendukung pendapat ini dinataranya ; Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Kebudayaan, KH Cholil Ridwan,HTI,dan JAT.

Pendapat Yang Membolehkan (LIHAT FATWA ULAMA SUNNAH DARI MESIR, DI BAWAH)

Ketua MUI lainnya, KH Amidhan. Menurut Amidhan, hormat kepada bendera hukumnya mubah (tidak apa-apa) karena hanya sebatas unsur seremonial.
“Kalau menganggap bendera memiliki magis atau power sehingga kita hormat, maka itu haram. Tapi kan selama ini hormat kepada bendera hanya seremonial saja,” kata Amidhan menjawab pernyataan okezone.

Ketua Majelis Ulama dan Pondok Pesantren se Indonesia, KH Noer Muhammad Iskandar SQ, kurang sependapat jika hormat ke bendera termasuk dalam kategori haram. Sebab, menghormati bendera bukan berarti menyekutukan Tuhan.
“Semua itu tergantung niat dan tafsirannya. Kalau kita hormat bendera lalu menangis karena ingat para pejuang leluhur kita, masa itu haram?” kata Nur Iskandar kepada okezone, Selasa (22/3/2011).

Menurut dia, bendera adalah simbol pemersatu bangsa dan bukan sarana untuk disucikan. Namun, pada hakikatnya, menghormati bendera adalah wujud menghormati para pejuang yang sudah memerdekakan Indonesia. Sumber : okezone.com


Published: 16 Juni 2011

السؤال : ما حكم الوقوف لتحية العلم ؟

Pertanyaan, “Apa hukum berdiri untuk hormat bendera?”

الجواب : لا حرج, ولا علاقة له بالدين ولا يعارض الإسلام في الشيء وليس هذا تعبدا, أنت لا تقف للعلم عبادة له, إنما هذا رمز يجب على الناس احترامه, وهذا من أمور الدنيا وليس مرادا لذاته. إنما يمثل شيئا يعني هذه القطعة من القماش لا تعظم لذاتها

Jawaban Syaikh Usamah al Qushi [salah seorang ulama ahli sunnah di kota Kairo Mesir], “Tidak masalah. Hormat bendera itu tidak berkaitan dengan agama dan sedikit pun tidak bertentangan dengan Islam. Hormat bendera bukanlah perkara ibadah. Anda tidaklah berdiri dalam hormat bendera karena beribadah kepada bendera. Bendera hanyalah simbol yang wajib dihormati oleh warna negara. Hormat bendera adalah bagian dari perkara dunia. Hormat bendera itu bukanlah hormat kepada selembar kain. Kain di sini hanyalah mewakili sesuatu. Artinya selembar kain bendera itu tidaklah dihormati karena kainnya.
وكانت الراية موجودة على عهد رسولنا صلى الله عليه وسلم و كان لها احترام
Bendera itu sudah ada di masa Rasulullah dan juga dihormati.
نعم لم يكن احترام بنفس الصورة التي نحن نفعلها اليوم لأن الدنيا, مظاهر الحياة الدنيوية تختلف من عصر إلى عصر ومن مكان إلى مكان. التعظيم والاحترام كان له طريقة مختلفة
Memang, bendera tidaklah dihormati dengan cara penghormatan yang kita lakukan saat ini karena perkara dunia itu berbeda antara satu zaman dengan zaman berikutnya, antara satu tempat dengan tempat yang lain. Jadi cara menghormati sesuatu itu wajar saja jika berbeda.
فكانت الراية فقط في حالة الحرب وكانت ترفع كرمز للعزة ورمز للإباء والصمود يعني طال ما هذه الراية مرفوعة فمعنى أن الجيش صامد وثابت, سقوط الراية كان يعني انهيار الحالة الروح المعنوية يعني لو استطعنا أن نسقط راية العدو أو نسقط أو نقتل شخص الذي يحمل الراية هذا يبث روح الهزيمة في جوش الآخر ونفس شيء في جيشنا فكانت الراية يحرص الجيش على أن تبقى هذه الراية مرفوعة و خفاقة طوال المعركة والعدو يحرص على قتل حامل الراية كما يحرص على قتل قائد الجيش يعني هذا مراد هدف
Di masa silam bendera hanya dikibarkan saat perang saja. Ketika itu bendera dikibarkan sebagai simbol kemuliaan, kemuliaan dan ketidaktundukan terhadap musuh. Artinya selama bendera berkibar tinggi berarti pasukan masih eksis dan gagah. Jatuhnya bendera berarti hancurnya spirit pasukan. Sehingga jika kita mampu menjatuhkan bendera musuh, menjatuhkan atau membunuh orang yang memegang bendera musuh maka spirit kekalahan akan menyebar di tengah-tengah pasukan musuh. Hal yang sama juga akan dialami oleh pasukan kaum muslimin. Oleh karena itu pihak musuh berupaya agar bendera tetap berkibar tinggi selama peperangan berlangsung. Musuh sangat antusias untuk membunuh orang yang membawa bendera sebagaimana berantusias untuk membunuh panglima perang. Dengan kata lain, bendera adalah salah satu target dan sasaran musuh.

وبالتالي احترام الراية ورفعها وكونها تخفق هذا أمر له أصول حتى في زمان النبي الكريم صلى الله عليه وسلم. فتحية العلم ليست محرمة.
Jadi hormat bendera, mengerek dan mengibarkannya adalah perkara yang memiliki landasan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kesimpulannya, hormat bendera bukanlah hal yang haram.
يقول السائل : ما حكم الوقوف لتحية العلم حيث إن بعض الشيوخ الجزائريين امتنعوا من هذا الأمر فكانت مشكلة في الجزائر ؟
Pertanyaan, “Apa hukum berdiri untuk hormat bendera karena sebagian ulama di Al Jazair menolak untuk menghormati bendera dan ini menyebabkan mereka mendapatkan masalah?
الجواب : كلنا قلنا نحرم تحية العلم في مرحلة من المراحل في حياتنا الدينية, نظرا لقصر فهمنا وقلة علمنا.
Jawaban Syaikh Usamah al Qushi, “Semua kita pernah mengharamkan hormat bendera pada salah satu fase kehidupan beragama kita mengingat kedangkalan pemahaman dan terbatasnya ilmu kita.
فقلنا نقول إنما الوقوف خشوعا يكون لله وحده لا شريك له وهذا صحيح, الوقوف خشوعا تدينا عبادة, هذا لا يكون لله إلا لله رب العالمين
Kami katakan bahwa berdiri dengan penuh penghinaan diri  (tadzallul)  hanya boleh untuk Allah semata, tanpa selainnya. Ini adalah keyakinan yang benar. Berdiri dengan penuh penghinaan diri, dalam rangka beribadah dan menghambakan diri hanya boleh untuk Allah rabb semesta alam.
لا يصح أن نقف خاشعين تعبدا ولا حتى لرسولنا صلى الله عليه وسلم ولا لمشايخنا ولا لآبائنا تعبدا
Kita tidak diperbolehkan untuk berdiri dengan penuh penghinaan diri dan dalam rangka menghambakan diri bahkan untuk Rasulullah,  apalagi sekedar guru ataupun orang tua. Ingat yang tidak boleh adalah berdiri dalam rangka menghambakan diri.
أما احتراما لا، فهذا أمر من أمر الدنيا لا دخل له بالدين لا من قريب ولا من بعيد ولا يعتبر عبادة ولا يعتبر تدينا وبالتالي مثل هذا هو من العادات وليس من العبادات وعليه لا شيء فيه إن شاء الله
Sedangkan berdiri menghormat itu lain. Berdiri menghormat itu termasuk urusan dunia dan sama sekali tidak terkait dengan agama, tidak dinilai sebagai ibadah dan agama.
Sehingga perkara semacam ini termasuk perkara non ibadah [yang pada dasarnya diperbolehkan, pent], bukan termasuk perkara ibadah mahdhah. Berdasarkan hal itu maka berdiri hormat bendera insya Allah tidaklah mengapa”.


NB:
Terima kasih yang tulus kami ucapkan kepada saudara kami, Yahya Ainain salah seorang pembaca www.ustadzaris.com yang sukarela mentranskrip fatwa Syaikh Usamah al Qushi untuk kami terjemahkan dan kami terbitan di web ini. Jazahullahu ahsanal jaza’.


PENGIBARAN BENDERA MERAH PUTIH UNTUK HARI-HARI BESAR NASIONAL,  TERKHUSUS HUT RI
Posted on by Admin Blog Sunniy Salafy

Al Ustadz Afifudin As Sidawi
Perlu dipahami bahwa kita tidak mengingkari keberadaan bendera di sebuah Negara, karena hal itu ada pada masa Rasulullah, demikian pula masalah warna bendera, pada dasarnya tidak mengapa selama tidak ada padanya hal-hal yang melanggar syar’i seperti gambar bernyawa, simbol-simbol khusus orang kafir dan sebagainya.

Di zaman Rasulullah bendera Beliau ada yang berwarna putih adapula yang berwarna hitam, dari Ibnu Abbas Beliau berkata: “Dahulu bendera Rasulullah berwarna hitam.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dengan sanad hasan.) Dalam riwayat At Tirmidzi disebutkan “Bendera Beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam berwarna putih.”

Dengan dasar ini, maka kami mengakui keberadaan bendera merah putih untuk negeri kita yang tercinta NKRI. Namun, kita perlu menengok sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam dalam masalah bendera ini, apa fungsi dan kegunaannya?

Dalam banyak riwayat di sebutkan bahwa bendera ini difungsikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam untuk berjihad fisabilillah melawan orang-orang kafir, orang yang menelaah sejarah beliau akan dapat memastikan hal ini, bahkan kalau kita melihat dalam sejarah, mereka (para shahabat) mempertahankan bendera itu sampai titik darah penghabisan, sedikitpun tidak membiarkan bendera itu jatuh ketanah walaupun harus mengorbankan jiwa raga mereka. Berikut ini saya bawakan beberapa riwayat yang menjelaskan masalah ini.

Dari Sahl bin Sa’id, bahwasanya Rasulullah pada waktu perang khoibar bersabda :

َلأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُحِبُّ الله َوَرَسُوْلَهُ وَيُحِبُّهُ الله ُوَرَسُوْلُهُ يَفْتَحُ الله ُعَلَى يَدَيْهِ

“Sungguh besok aku akan berikan bendera ini kepada seorang yang cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan dicintai Allahkdan rasul-Nya, Allahkakan menangkan melalui kedua tanganya” (muttafaq ‘alaih)

Dalam lanjutan riwayat di atas disebutkan bahwa para Shahabat sampai begadang malam membicarakan, siapakah gerangan yang bakal diserahi bendera? Bahkan mereka semua berkeinginan untuk mendapatkannya, dan ternyata yang mendapatkannya adalah Ali bin Ali Tholib. Riwayat ini jelas menunjukkan bahwa bendera tersebut untuk kepentingan Jihad fisabilillah.

Juga dalam riwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya dari Abdullah bin Ja’far disebutkan, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam mengutus pasukan perang dan menunjuk Zaid bin Harits sebagai panglima, beliau bersabda: “Bila Zaid terbunuh maka panglima kalian adalah Ja’far, bia dia terbunuh maka panglima kalian adalah Abdullah bin Rawahah.” Pasukan pun berhadapan dengan musuh, panglima Zaid pun memegang bendera, beliau berperang hingga terbunuh, kemudian bendera perang diambil oleh Ja’far, beliau berperang hingga terbunuh, kemudian bendera diambil oleh Abdullah bin Rawahah, beliau berperang hingga terbunuh, lalu bendera dipegang oleh Kholid bin Walid, maka Allah menangkan melalui tangannya. (lihat: ‘ Jami’us Shahih ‘ 3/246-247, karya Syaikh Muqbil dan beliau menshahihkan riwayat ini.)

Lihatlah! Bagaimana para panglima tadi mempertahankan bendera, tidak dia lepas sedikit pun hingga dia terbunuh.

Inilah fungsi bendera di masa itu, dan inilah yang kita baca dalam sejarah perjuangan NKRI, para pejuang-pejuang kita dengan gigihnya mempertahankan bendera merah putih sampai titik darah penghabisan, itu semua mereka lakukan untuk melawan kebringasan para penjajah kafir di masa itu, maka fungsikanlah bendera ini sebagaimana mestinya!!!

Adapun pemasangan bendera dalam rangka peringatan hari besar nasional, maka tidak pernah kita lihat dilakukan di zaman Rasulullah karena tidak ada dalam bimbingan beliau peringatan-peringatan seperti itu sebagaimana yang kita uraikan dalam pembahasan sebelumnya.
وخير الهدي هدي محمد
“Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah.”
Demikianlah apa yang bisa kami tulis, sebenarnya masih banyak perkara yang tidak bisa ditaati karena adanya larangan dalam agama Islam seperti PEMILU, dan lainnya. Insya’ Allah bila ada kesempatan kami akan berusaha melanjutkannya. Semoga Allah memberi hidayah kita semua ke jalan yang diridloiNya. Amin …..
[Dinukil dari malzamah Al Ustadz Muhammad Afifudin As Sidawi berjudul Memperingati 17 Agustus Antara Ketaatan dan kemaksiatan]

 

Oleh: Al Lajnah Ad Daimah lil Ifta

Pertanyaan:
Apakah boleh berdiri untuk lagu kebangsaan dan hormat kepada bendera ?

Jawab:
Tidak boleh bagi seorang muslim berdiri untuk memberi hormat kepada bendera dan lagu kebangsaan. Ini termasuk perbuatan bid’ah yang harus diingkari dan tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam ataupun pada masa al-Khulafa’ ar-Rasyidun Radiyallahu ‘anhum.
Sikap ini juga bertentangan dengan tauhid yang wajib sempurna dan keikhlasan didalam mengagungkan hanya kepada Allah semata serta merupakan sarana menuju kesyirikan.
Di samping itu, ia juga merupakan bentuk penyerupaan terhadap orang-orang kafir, mentaklid (mengikuti) tradisi mereka yang jelek serta menyamai mereka dalam sikap berlebihan terhadap para pemimpin dan protokoler-protokoler resmi. Padahal, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita berlaku sama seperti mereka atau menyerupai mereka. Wa billahi at-Taufiq, wa shallaallhu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘alihi wa shahbihi wa sallam.

[Dinukil dari Kumpulan fatwa al Lajnah ad Daimah li al Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al Ifta, Lembaga tetap pengkajian ilmiah dan riset fatwa Saudi Arabia, halaman 149. Dikumpulkan dalam Al Fatawa Asy Syari’iyyah fi Al Masa’il Al ‘Ashriyyah min Fatawa Ulama’ Al Balad Al Haram oleh Khalid Al Juraisiy]

Sumber:


Tepuk Tangan dan Siulan Saja Disebut Ibadah,
Apalagi Hormat Bendera
Voa Islam.com, 14 juni 2011
Oleh: Abu Izzudin
         
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Yang kepada-Nya semata kita bertawakkal. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah yang menjadi teladan dalam berIslam, juga kepada keluarga dan para sahabatnya.
Allah Azza Wa Jalla berfirman :
وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ
"Tidaklah shalat (ibadah) mereka (kaum musyrik) di sekitar Baitullah itu, kecuali hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu". (QS Al Anfal 35)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda
 لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيةٍ
 “Bukanlah golongan kami, mereka yang mengajak kepada Fanaitisme (Golongan)",.
(HR. Abu Dawud)
مَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَدْعُو عَصَبِيَّةً أَوْ يَنْصُرُ عَصَبِيَّةً فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
"Barangsiapa yang berperang dengan slogan primordialisme, mendakwahkan (mengajak dan menyerukan) fanatisme golongan atau membantu menegakkan kepentingan fanatisme, lalu ia mati  maka ia mati dalam keadaan jahiliyah". (HR. Muslim)

Lalu marilah kita bandingkan antara tepuk tangan dan siulan dengan upacara bendera dan segala pernik-perniknya.

Penanaman Nasionalisme dalam penghormatan bendera dan upacara  adalah dakwah Jahiliyyah sebagaimana hadits di atas.
Mengheningkan cipta adalah tasyabbuh (menyerupai) dengan ibadahnya agama Hindu, Budha dan Kristen. Sedangkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam melarang keras meniru upacara agama lain.
Di antara bunyi syair lagu Indonesia Raya adalah : "Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya UNTUK INDONESIA RAYA = syair ini telah membatalkan pernyataan kita setiap shalat : "Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku, HANYALAH UNTUK ALLAH RABB SEMESTA INI"
Dalam lagu Berkibarlah Benderaku terdapat syair "Siapa berani menurunkan engkau, serentak rakyatmu membela …. " Apakah ini bukan kalimat syirik ? 
Padahal Rasulullah bersabda dalam hadits shahih:
      واِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سُخْطِ اللهِ لاَ يُلْقِى لَهاَ بَالاً فيَهْوِى بِهاَ فِى جَهَنَّمَ
“Ada seseorang yang mengucapkan suatu kalimat yang dimurkai Allah, sedangkan ia mengucapkannya tanpa tujuan yang jelas, tetapi disebabkan kalimat itu Allah Melmparkannya ke dalam neraka jahannam.” (Muttafq Alaih). Na’udzu billah
Di antara bunyi syair lagu Wajib “Padamu Negeri” adalah : “Bagimu Negeri JIWA RAGA KAMI” : ini adalah seruan jahiliyyah dan bertentangan dengan syahadat kita dan bisa menggugurkan ke Islaman pengucapnya. Padahal Allah Azza Wa Jalla berfirman  :
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ  لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah: sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)." (QS Al An’am 162 – 163)
Dalam Tafsir Ibnu Katsir juz 4/52 disebutkan : “Orang-orang Musyrik Quraisy mengelilingi Ka’bah dengan telanjang tanpa sehelai benang pun sambil bersiul-siul dan bertepuk tangan”. Dan ini oleh Allah disebut shalatnya kaum musyrik. Maka kalau sambil telanjang, tepuk-tepuk tangan dan siulan saja oleh Allah disebut "shalat" karena di situ ada makna pengagungan dan ketundukan kepada Latta, Uzza dan Manath, walaupun dalam bentuk yang mungkin aneh bagi kita, apalagi penghormatan bendera yang di dalamnya ada tujuan pengagungan terhadap bendera, bahkan rela mati demi Sang Saka Merah Putih tersebut. Apa bedanya dengan orang Jahiiyyah dulu?

Berikut ini tafsir Al Anfal 35 versi Departemen Agama : "Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu". Seterusnya Allah Subhanahu wa Ta'ala menerangkan sebab-sebab mereka tidak berhak menguasai Baitullah, dan daerah haram, yaitu karena mereka dalam waktu beribadat, mengerjakan tawaf mereka bertelanjang dan bersiul-siul serta bertepuk tangan. 

روى عن إبن عباس رضى الله عنهما: كانت قريش تطوف بالبيت عراة تصفر وتصفق
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu : “Orang-orang Quraisy mengitari Baitullah dalam keadaan telanjang, bertepuk tangan dan bersiul-siul”. (HR. Ibnu Abi Hatim dari Ibnu 'Abbas)

Dan diriwayatkan juga dari beliau :
وروى عنه: أن الرجال والنساء منهم كانوا يطوفون عراة مشبكين بين أصابعهم يصفرون منها ويصفقون
“Bahwa orang-orang Quraisy itu baik laki-laki maupun perempuan, mengelilingi Kakbah dalam keadaan telanjang. Mereka saling berbimbingan tangan, bersiul-siul dan bertepuk tangan”. (HR. Ibnu Abi Hatim dari Ibnu 'Abbas)

Manakah yg lebih sakral dan lebih pantas disebut sebagai ibadah : tepuk tangan dan siulan atau upacara bendera dengan segala tata tertib nya?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa makna ibadah adalah: “Ketundukan, ketergantungan, kepatuhan, merasa takut dengan hukuman yg akan ditimpakan, menyerah pasrah, mencintai dan merasa kehilangan manakala tidak ada di dekatnya.” BUKANKAH INI SEMUA YANG AKAN DITANAMKAN KEPADA RAKYAT INDONESIA TERHADAP BENDERA DAN TANAH AIRNYA DALAM SETIAP UPACARA DAN PENGHORMATAN BENDERA?

Dalam Syarah Kitab Tauhid, disebutkan :
تفسير العبادة، وهي: التذلل والخضوع للمعبود خوفاً ورجاء ومحبة وتعظيماً    القول المفيد على كتاب التوحيد -
Tafsir dari Ibadah adalah : “Merendahkan diri dan tunduk patuh kepada yang diibadahi, dengan disertai rasa takut (akan hukuman), kecintaan yg dalam dan penghormatan serta pengagungan kepadanya " (Al Qaul Al mufid ‘Ala kitab Tauhid juz 1 hal 320)

Untuk lebih memperjelas makna IBADAH, berikut tambahan saya: Allah Azza Wa Jalla berfirman (artinya): “Mereka (Yahudi dan Nasrani) menjadikan orang-orang 'alim dan rahib-rahib (pendeta) mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allâh”. (QS At Taubah 31)

Apakah yang dimaksud menjadikan orang-orang 'alim dan rahid-rahib sebagai tuhan-tuhan selain Allâh? Apakah mereka sujud, menyembah kepada orang-orang 'alim dan rahib-rahib itu seperti orang-orang musyrik menyembah berhala?
Al-Imam Ibnu Katsir telah menjelaskan masalah ini dengan sebuah hadits dari jalur Al-Imâm Ahmad, At-Tirmidzî dan Ibnu Jarîr; yaitu hadits yang mengisahkan kedatangan 'Adi bin Hâtim ke Madînah dalam rangka kunjungannya yang pertama kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. -- ketika itu 'Adî masih beragama Nasrani -- dan memakai kalung salib dari perak. Maka Rasûlullâh saw. pun membacakan ayat ini (Surah At-Taubah (9) : 31) di hadapan 'Adî bin Hâtim : “Mereka (Yahûdi dan Nasrani) menjadikan orang-orang 'alim dan rahib-rahib (pendeta) mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allâh”. (QS At Taubah 31)

'Adî bin Hâtim segera menyanggah dengan mengatakan: “Sesungguhnya mereka tidak pernah ber'ibâdah (menyembah) kepada orang-orang 'alim dan para pendeta”.

Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pun segera menjawab: “Sesungguhnya orang-orang 'alim dan para pendeta itu mengharamkan sesuatu yang halal terhadap mereka dan menghalalkan sesuatu yang haram, maka mereka pun menta'atinya. Demikian itulah penyembahan (ibadah) mereka kepada orang-orang 'alim dan para pendeta itu”. (Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz II hal.348)

Mereka memang tidak melakukan sujud kepada para pendeta atau orang-orang 'alim mereka, akan tetapi mereka mentaati para pendeta dan orang-orang 'alim itu sedemikian rupa hingga hukum halal-haram bagi mereka adalah menurut aturan pendeta dan orang 'alim tersebut, bukan menurut Allah. Inilah pengertian atau makna 'ibadah yang sesungguhnya; yaitu : “Ta'at (patuh) dan merendahkan diri”, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Bukankah sikap pemerintah terhadap mereka yang menolak menghormat bendera atau menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan alasan Nasionalisme atau berbagai alasan lain yang mengada-ada sudah sangat nyata menunjukkan betapa bendera dan lagu kebangsaan dikultuskan sedemikian tingginya bahkan melebihi Rasulullah?

Pernahkah pemerintah ini sedemikian gusar melihat orang yang tidak puasa, tidak shalat atau tidak membayar zakat seperti gusarnya mereka melihat orang tidak mau hormat bendera?

Apakah mereka sebegitu gusar manakala lafadz "Allah" diinjak-injak oleh Ahmad Dhani atau saat Lia Eden mengaku sebagai Nabi, atau Ahmadiyyah menodai Islam? Bukankah bendera Merah Putih, Indonesia Raya dan simbol-simbol lainnya, lebih mereka junjung tinggi dan mereka hormati dibanding Allah dan Rasul-Nya.

Di NKRI ini seseorang bisa bebas menghina Allah, Rasulullah dan Dien Al Islam, tapi mereka  tidak boleh sama sekali menghina Merah Putih atau Garuda Pancasila. Hukuman penjara telah menanti Allahu Musta'aan.

Sikap represif pemerintah terhadap mereka yang tidak mau hormat bendera atau ikut upaca bendera, semakin menunjukkan bahwa ini bukan sekedar masalah sepele, tapi ini soal IMAN dan AQIDAH.

Masihkah kita ragu bahwa musuh-musuh Allah  sudah mengobok-obok aqidah dan iman kita serta mengancam syahadat anak istri dan keluarga kita?

CATATAN PENTING:
Bukan hukum tepuk tangannya atau bersiul  yang kita masalahkan, tetapi pengagungan sesuatu selain Allah dengan cara bertepuk tangan dan bersiul. Bukan hanya tepuk tangan yang bisa disebut ibadah, bahkan kedipan mata seorang pendeta Barshisha yang merupakan isyarat ketundukan dan kepatuhan kepada iblis, sudah menyebabkannya murtad. Silahkan antum baca Tafsir surah Al Hasyr ayat 16
 كَمَثَلِ الشَّيْطَانِ إِذْ قَالَ لِلْإِنْسَانِ اكْفُرْ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّي بَرِيءٌ مِنْكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ
“Seperti (bujukan) shaitan ketika dia berkata kepada manusia: "Kafirlah kamu", maka tatkala manusia itu telah kafir, maka ia berkata: "Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta Alam." (QS. Al Hasyr 16)

Apakah Lalu Berarti Mengedipkan Mata Hukumnya Haram?
Yang sedang saya bahas di sini adalah bahwa ibadah bukan hanya rukuk sujud, bahkan tepuk tangan, kedipan mata, desiran hati pun bisa menjadi ibadah jika itu dimaksudkan sebagai pengagungan, kepatuhan, ketundukan dan ketaatan mutlak kepada sesuatu. Wallahu Ta'ala a'lam. [PurWD/voa-islam.com]

 
Kesimpulan :

Kesimpulan :

1.    Ketaatan kepada manusia hanya dalam perkara yang ma'ruf (yang tidak ada larangan dalam syariat).
2.    Peringatan2/ ulang tahun adalah ritual bid'ah, atau setidaknya adalah suatu bentuk tasyabbuh.
3.    Upacara2 yang memiliki tuntunan, "rukun2" tertentu adalah suatu bentuk bid'ah dan atau tasyabbuh bil kuffar.
4.    Upacara menyerupai bentuk ibadah (padahal tak ada dalam syariat Islam)
5.    Tidak boleh Ta'dhim terhadap makhluk (bendera, dll) hingga sedemikian rupa (hormat, khidmat/khusuk, dll).
6.    Merendahkan diri dan tawadlu` serta khudlu` hanya diperbolehkan kepada Allah saja, bukan untuk yang selain-Nya, baik untuk benda hidup maupun benda tidak hidup, dari golongan manusia, jin atau pun jamadi.
7.    Esensi upacara mingguan, umumnya di sekolah-sekolah di lakukan pada hari Senin, adalah sebagai ajang taushiyah kepada anak-anak didik dan guru-guru yang mengikuti upacara, disamping penyampaian pengumuman-pengumuman penting, dan penegakan disiplin tata tertib dan aturan-aturan di sekolah, baik untuk guru atau murid. Disana pula perlunya adanya “sanksi” (yang bersifat mendidik bukan menghukum)  bagi yang melanggar tata tertib sekolah dan disiplin lainnya.
8.    Hal ini telah biasa dilakukan juga oleh sekolah-sekolah Islam umumnya dan Islam Terpadu (SDIT-SMPIT-SMAIT) dan pondok pesantren, termasuk kami lakukan di SDIT-SMPIT Imam Bukhari.
9.    Dan sudah pasti di depan peserta upacara terdapat tiang bendera NKRI, yang selalu berkibar, bahkan siang dan malam, terik matahari maupun hujan deras…. Itulah esensi kita dalam memposisikan Bendera Negara. Tidak lebih dari itu, apalagi untuk dipuja, diagungkan (ta`zhim) atau sampai meneteskan air mata bagi para pengibarnya ….. (Seperti di Paskibrata, tim-nya harus melalui sejumlah saringat dan doktrin-doktrin yang ketat, berjenjang-jenjang, dari kecamatan sampai tin gkat Nasional, yang semuanya mengarah kepada pensucian bendera, pengagungan, dan perendahan diri terhadapnya) itu bisa jatuh syirik, karena telah terjadi “tadzallul” (penghinaan diri) kepada bendera serta mensakralkannya, penghambaan diri kepada Dzat yang selain Allah subhanahu wa Ta`ala.
10.    Bela negera, tidak semata melalui “poenghormatan” kepada symbol Negara, namun justru melalui pendidikan anak bangsa, dengan didikan Islam yang sempurna – ruhnya, akalnya dan jasmaninya – (dengan kurikulum integrated, yang pada semua pelajaran dimasukkan nilai-nilai Islam, cuktur dan peradaban Islami), termasuk dengan menanamkan pendidikan adab dan akhlak, bagaimana sebagai warga Negara yang baik, sebagaimana halnya menjadi muslim dan mukmin yang baik.
11.    Muslim adalah setiap orang (islam) yang membuat muslim lainnya selamat dari gangguan lisannya dan tangannya. Dan sekolah-sekolah Islam, fullday maupun boarding atau pesantren semua mendidik anak-anak didiknya untuk selalu beradab terhadap Allah, Rasul-Nya, Kitabnya, terhadap diri, sesame muslim, sesame kerabat, sesame saudaranya, sesame teman-temannya, terhadap tamu-tamunya, terhadap tetangganya, adab makan minum, adab tidur, menengok yang sakit, ta`ziyah kepada yang meninggal, mendoakan yang bersin, dll. Disamping juga menanamkan akhlak jujur, amanat, adil, itsar, lapang dada, toleransi (tasamuh yang benar), su`u zhan terhadap diri, dalam berbicara, sabar, dermawan, dll, serta menjelaskan larangan-larangan terhadap akhlak-akhlak tercela seperti dusta, zhalim, kikir, khianat, sombong, ta`jub terhadap diri, dll.
12.    Adakah semua ini terdapat di dalam pelajaran PAI sekolah-sekolah negeri ? Kalaulah ada pastilah sangat terbatas ….   Belum lagi kajian-kajian Aqidah Islam, Srioh Nabawi, Al Qur’an dan al Hadits, Fiqh sunnah  (ibadah dan Mu`amalah) …

13.    Semua ini membuat SDIT – SMPIT atau pesantren-pesantren, mensikapi Bendera atau upacara-upacara lainnya, sederhana saja, tak berlebih-lebihan sampai harus dipuji dan diagungkan bahkan sampai merendahkan diri terhadapnya. Namun, bendera atau lambang Negara yang lain-nya, diposisikan sebagai “Simbol” yang diyakini eksistensinya, guna membedakan dengan simbol-simbol negera lainnya.
14.    Menaikkan dan menurunkan bendera pada hari-hari tertentu, semuanya harus dipandang dari sisi dunia (amalan ghair mahdloh: mengikuti kaidah; selama tidak ada dalil yang melarangnya dengan tegas, maka hukumnya mubah, boleh-boleh saja dilakukan),  tentu tanpa harus ada ritual-ritual yang dibuat-buat, diada-adakan, sehingga jatuh pada bid`ah, dan dapat masuk kedalam jurang syirik.
15.    Jadi hakikinya, bukanlah bendera yang dipermasalahkan, karena di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam-pun ada panji2 dalam peperangan, negara Saudi-pun juga punya bendera, akan tetapi ta'dhim yang demikian (seperti yang terjadi dalam upacara) adalah terlarang. Hal yang serupa adalah ta'dhimnya suatu kaum di daerah jawa terhadap keris atau alat yang lain. Yang dengannya dilakukan ritual khusus yang hanya untuk sekedar meletakkannya saja harus dengan diarak oleh sekelompok orang, kemudian cara membawanya, cara membersihkannya, dll yang kemudian ma'ruf bagi kita bahwa "upacara" seperti ini menggiring ke perangkap penodaan Tauhid.... ! Kesyirikan !
16.    Belum lagi, di dalamnya tidak luput dari ikhtilath (bercampur baur laki2 dan perempuan), yang dibarengi dengan berbagai “kemungkaran lainnya” yang sifatnya “turunan” dari ritual upacara bendera tersebut, mungkin saja ada nyanyian-nyanyian, music, sikap berlebihan dan pemborosan, waktu, tenaga maupun materi.
17.    Percayalah, bahwa kami termasuk golongan Ahlus sunnah wal Jama`ah, yang selalu mena`ati pemerintah (penguasa) dalam hal-hal yang ma`ruf, dan tidak mena`ati  kepada hal-hal yang munkar kepada siapa saja, baik penguasa maupun manusia lainnya,  tidak akan melakukan makar-makar, pembrontakan kepada pemerintah yang sah, demo-demo yang cenderung destruktif, menghujat atau mencaci para pemimpin, bahkan kami akan selalu mendo`akan para pemimpin (yang muslim) agar selalu berdiri di atas al Haq, membelanya, dan membenci kebatilan dan pelaku-pelakunya. Ulama-ulama as Sunnah telah benyak member nasihat kepada para penguasa, pemimpin dan ummat pada umumnya, langsung maupun tidak langsung, seperti banyaknya situs-situs atau blogg di internet : situs / webset para Masyayikh, para `ulama dan para Ustadz, baik berbahasa Arab, Inggris maupun Indonesia.  Kami kira ini semua sehartusnya menjadi rujukan bagi pemimpin kita yang muslim dalam bersikap maupun bertindak, agar tidak gegabah, sebab selama mereka sebagai muslim, maka seharusnya dalam bertutur kata dan bertindak haruslah mendahulkuinya dengan ilmu.
18.    Pemerintah harus mengetahui banyak tentang bahayanya musuh Negara dan musuh kaum muslimin, di negeri kita ini subur aliran-aliran dan paham sesat yang sangat membahayakan masa depan negara dan kaum muslimin maupun warga Negara lainnya (non Islam) sebut saja: Ada LDII (justru ini yang dilndungi pemerintah, padahal prinsip pahamnya mengkafirkan golongan di luar mereka), Jama`ah Ahmadiyah, Syi`ah Rafidlah, NII KW IX, Jama`ah-Jama`ah Takfiri (yang mengkafirkan kaum muslimin di luar jama`ahnya), aliran-aliran garis keras yang menghalalkan darah, harta dan kehormatan kelompom di luarnya (baik dari kalangan Islam maupun non Islam), munculnya Nabi-Nabi palsu dan kesesatan-kesesatan lainnya.

Jatinangor, 20 Juli 2011.
Lajnah Pendidikan Yayasan Mafaza Indonesia-Jarinangor
Demikian, Semoga bermanfaat. Allahu a'lam bishshowab.
Wassalamu 'ala nabiyyina Muhammadin wa `ala alihi wa shahbihi ajmaiin.
 
 
 
 
 
 







0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------