PBB Ciptakan Perang Panjang di Libya

Serangan pasukan koalisi AS, Inggris dan Prancis ke Libya makin menampakkan apa sebenarnya tujuan utama invasi militer ketiga negara itu ke Libya, sekaligus menunjukkan sikap bias mereka dalam melihat konflik dalam negeri di negara-negara Arab.
PBB, sebagai organisasi perserikatan bangsa-bangsa, lagi-lagi termakan oleh tipu muslihat AS, Inggris dan Prancis untuk mendapatkan restu dari ambisi mereka mengganti rezim di Libya dengan rezim yang tunduk patuh pada perintah Barat.

Pengamat politik Timur Tengah dari Institute for Policy Studies and the Transnational Institute di Amsterdam Phyllis Bennis, dalam analisanya yang dimuat situs Al-Jazeera mengulas situasi terkini di Libya dan sikap dunia Arab yang ambigu dalam menyikapi konflik dalam negeri Libya.
Bennis yang juga penulis buku "Calling the Shots: How Washington Dominates Today's United Nation" juga memprediksi sejauh mana agresi militer Barat di Libya akan mempengaruhi situasi negara-negara Arab yang sedang menghadapi perlawanan dari rakyatnya sendiri dan berapa lama perang di Libya akan berlangsung.
Bennis menulis, meski mendapat restu dari PBB, aksi militer Barat ke Libya makin kehilangan kredibilitasnya. Dalam dua hari serangan udara yang dilakukan koalisi Prancis, Inggris dan AS, menuai kecaman publik yang makin meluas, termasuk dari Liga Arab yang semula mendukung aksi tersebut.
Aksi militer itu berawal dari usulan "zona larangan terbang" di Libya dengan dalih untuk mencegah pemimpin Libya Muammar Gaddafi membunuh lebih banyak lagi rakyat yang melakukan perlawanan terhadap dirinya.
Salah satu alasan banyak pihak yang mendukung "zona larangan terbang" adalah kekhawatiran jika Gaddafi berhasil menghentikan "revolusi" rakyat Libya dan tetap berkuasa, maka ia akan menjadi pesan bagi diktator Arab lainnya, yaitu pesan yang isinya "Gunakan kekuatan semaksimal mungkin, dan kalian akan tetap berkuasa."


Ternyata, lanjut Bennis, yang terjadi justru kebalikannya. Setelah PBB merestui "zona larangan terbang" di Libya dan merilis resolusi untuk menggunakan kekuatan militer, dan setelah AS, Inggris dan Prancis mengerahkan pesawat tempur dan kapa-kapal perangnya untuk menggempur Libya, rezim Arab lainnya malah menggunakan kekuatannya untuk menghentikan gerakan demokrasi dari kalangan akar rumput.
Ironisnya, AS memberikan dukungan pada diktator-diktator Arab itu untuk menggunakan kekerasan, sementara AS dan sekutunya berupaya menjatuhkan Gaddafi yang mereka anggap diktator. Jelas, terlihat betapa biasnya kebijakan yang diambil AS dan koalisinya.
Di Yaman, dalam sebuah aksi protes yang berakhir bentrok, 52 orang pengunjuk rasa tewas dan 200 orang lainnya luka-luka. Dalam bentrokan itu, aparat keamanan Presiden Ali Abdullah Saleh--presiden boneka AS--disokong oleh pasukan AS.
Insiden itu merupakan insiden paling berdarah sepanjang aksi gerakan rakyat Yaman yang sudah berlangsung satu bulan ini. Anehnya lagi, Presiden AS Barack Obama dengan entengnya "mengutuk keras" insiden tersebut dan menyerukan Presiden Saleh untuk "membiarkan aksi-aksi demonstrasi berlangsung dengan damai." Obama seolah menutup mata keterlibatan negaranya--meski secara tak langsung--dalam bentrokan itu.
Insiden berdarah itu berbuntut pada pengunduran diri sejumlah pejabat pemerintahan Saleh. Tapi tidak ada pembicaraan untuk menuntut pertanggungjawaban Saleh--presiden yang didukung AS--atas peristiwa tersebut, tidak ada larangan bepergian terhadap Saleh atau pembekuan aset-asetnya, bahkan tidak ada wacana untuk menghambat bantuan finansial dan militer pada Yaman atas nama perang melawan teror, seperti yang dilakukan terhadap pemimpin Libya, Gaddafi.
Hal yang sama terjadi di Bahrain, sekutu AS lainnya di dunia Arab. Dalam aksi protes antipemerintah di Bahrain, 13 warga sipil tewas di tangan pasukan pemerintah. Bahkan pada pertengahan Maret, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab mengerahkan 1.500 bantuan tentara ke Bahrain untuk melindungi kekuasaan raja Bahrain. Sejak itu, 63 warga sipil yang melakukan aksi protes dilaporkan hilang.
Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton memang mengatakan bahwa keamanan saja tidak akan memecahkan persoalan di Bahrain. Ia juga menolak tindak kekerasan dan menyerukan proses politik untuk menyelesaikan konflik.
Tapi, Clinton sama sekali tidak mengeluarkan pernyataan bahwa pasukan asing harus meninggalkan Bahrain, apalagi menyerukan "zona larangan terbang" di Bahrain, atau aksi militer untuk menghentikan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan Bahrain demi menjaga kelanggengan kekuasaan raja Bahrain.
Legalitas Versus Legitimasi
Bennis menyatakan, AS, Inggris dan Prancis sangat bergantung pada dukungan Liga Arab, dan dukungan itu menjadi syarat penting untuk melakukan intervensi militernya ke Libya


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------