ISLAM AKAN HILANG DI TANGAN EMPAT
KELOMPOK MANUSIA,
oleh Abu Fahmi, Mahad Imam Bukhari Jatinangor
Mukadimah:
قال الله تعالى في كتابه الكريم : إنما يخشى الله
من عباده العلماء
وعن ابن مسعود رضي الله عنه قال : قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم : مَامِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللهُ فِيْ أُمَّةِ قَبْلِيْ
إِلاَّ كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّوْنَ وَ أَصْحَاب يَأْخُذُوْنَ
بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُوْنَ بِأَمْرِهِ ، ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ
خُلُوْفٌ ، يَقُوْلُوْنَ مَالاَ يَفْعَلُوْنَ ويَفْعَلُوْنَ مَا لاَ يُؤْمَرُوْنَ
، فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ
وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ
بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإِيْمَانِ حَبَّةُ
خَرْدلٍ. رواه مسلم.
Tak
seorangpun dari Nabi yang Allah utus pada ummat sebelum ku kecuali baginya
terdapat HAWARIYYUN dan ASHHAB dari ummat nya: Mereka mengambil sunnahnya dan
mengikuti perintah nya. Kemudian setelah mereka datanglah (ummat) silih
berganti:
Mereka itu mengatakan sesuatu (kebenaran, ilmu) yang tidak mereka lakukan,
dan mengerjakan banyak hal (dianggap agama) padahal mereka itu tidak
diperintahkan (oleh pembuat Syari`at). Maka siapa saja yang berjihad
melawan mereka dengan tangan nya, dia itu sebagai mukmin. Siapa yang berjihad
melawan mereka dengan lisannya, maka dia pun sebagai mukmin., Dan siapa yang
berjihad melawan mereka dengan hatinya, maka dia pun sebagai mukmin. Dan
dibelakang itu semua, maka tak sedikitpun iman yang tertinggal padanya (jika
tidak mau berjihad dengan tangan atau lisan atau hatinya)" HR Muslim
Allah
berfirman dalam QS an Nahl : 116:
116. Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah Tiadalah beruntung. An Nahl : 116.
Mengadakan
kebohongan terhadap Allah merupakan perkara yang membahayakan dan besar
resikonya ( dosanya ), karena hal itu termasuk melanggar aspek uluhiyyah dan
berlaku zhalim terhadap Allah Azza wa jalla. Ini juga berarti menyesatkan
hamba-hamba dan menghalangi mereka dari dien yang haq.
Allah
Ta’ala berfirman :
Firman
Allah dalam QS Al An`am: 144:
….Apakah
kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu? Maka siapakah yang lebih
zalim daripada orang-orang yang membuat-buat Dusta terhadap Allah untuk
menyesatkan manusia tanpa pengetahuan ?" Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim. QS Al An`am: 144.
Dari
Umar bin Khattab ra berkata:
“Hendaklah
kalian mendalami ilmu sebelum anda menjadi tua” (Ta’liq Bukhari, 1/165; Ad
Darimi, 1/7; Ibnu ‘Abdi Barr, 186; Al Khotib al Badhdady dalam “al faqih wal
mutafaqqah”, 2/78).
Ibnu
Hajar menyebutkan banyak perkataan ulama tentang makna perkataan Umar bin
Khattab -qabla an tasuuduu-.
Antara
lain perkataan Abi ‘Ubaid al Qasim bin Salam, rahimahullah, ketika ia berkata:
“Pelajarilah olehmu ilmu mumpung kamu masih kecil sebelum kamu manjadi kuat
(dewasa)” (Fathul Bari: 1/166).
Perkataan
ini adalah cocok dengan terjemah Bukhari rahimahullah ketika ia mengomentari
perkataan Umar bin Khattab ra: (ba’da an tasuuduu) para sahabat nabi saw telah
belajar pada usia mereka telah dewasa” (Fathul Bari: 1/165).
Ibnu
Hajar berkata: Komentar Bukhari tentang perkataan Umar bin Khattab -ba’da an
tasuuduu- tidak lain adalah untuk menerangkan agar tidak terjadi salah paham
bagi siapapun dari kalimat tersebut: bahwa usia dewasa itu menghalangi untuk
bertafaqquh (menuntut ilmu agama). Yang dimaksud oleh Umar bin Khattab hanyalah
menjadi salah satu sebab terhalangnya semangat ilmu” (Idem, 1/166).
Dan
dari Abdullah bin Mas’ud ra berkata:
“Jadilah
anda seorang ‘alim atau penuntut ilmu dan janganlah anda menjadi orang yang
mengekor (tanpa ilmu) di antara itu” (Jaami’ Bayan ‘ilm wa fadllihi, oleh Ibnu
‘Abdi Barr: makna “al Imma’ah” adalah tidak mampu berpikir, yaitu mengikuti
cara berpikir orang lain. “ha” di sini sebagai mubalaghah” (Lihat An Nihayah fi
Gharib al hadist, 1/67).
Dan dari
Kamil bin Ziyad: hawa Ali bin Abi Thalib ra berkata kepadanya: Hai Kamil,
sesungguhnya hati ini adalah penampung muatan, maka sebaik-baik muatan isilah
hati itu dengan kabaikan-kebaikan. Dan manusia ada tiga golongan: ‘alim
rabbihi, mengajarkan jalan keselamatan, rakyat jembel (yaitu yang) mengikuti
setiap orang yang bersuara (mengeluarkan pendapat), tidak meneranginya dengan
cahaya ilmu, dan tidak berlingdung kepada sandaran yang bisa dijadikan
pegangan” (Jaami bayan ‘l ilm wa fadl-lihi, oleh Ibnu Abdi Barr: 1/29, lihat Al
I’tisham, 2/358).
HIDUP
PERLU TUNTUNAN DAN PANUTAN:
Berkata
Sahal bin Abdullah rahimahullah :
كُلُّ فِعْلٍ يَفْعَلُهُ العَبْدُ بِغَيْرِ اقْتِدَاءٍ – طَاعَة كَانَ
أَوْ مَعْصِيَة – فَهُوَ عِيْشُ النَّفْس.
وَكلّ فعل يفعله العبد بِالاِقْتِدَاء : فَهُوَ
عَذَابٌ عَلَى النَّفْسِ.
Setiap pekerjaan yang dilakukan seorang hamba TANPA MENGACU PADA TUNTUNAN
(Rasulullah saw) – baik dalam ketaatan maupunn kemaksiatan – maka (ketahuilah)
dia itu sedang menghidupkan nafsunya (berbuat menurutkan nafsu). Dan setiap
perbuatan hamba yang dilakukan dengan TUNTUNAN, maka ketahuilah dia itu sedang
MENYIKSA (MEMENJARAKAN) Nafsunya.
Dan berkata Ahmad bin Abil Hawari rahimahullah :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً بِلاَ اتِّبَاع السُّنَّة ، فَبَاطِلُ عَمَلُهُ.
Siapa saja melakukan satu perbuatan
TANPA MENGIKUTI SUNNAH, maka BATIL-LAH amal perbuatannya (sia-sia belaka)
Ibnu Qayyim
rahimahullah berkata
وَمَنْ فَارَقَ الدَّلِيْلَ ضَلَّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ. وَلاَ
دَلِيْل إِلَى الله وَالْجَنَّةِ سِوَى الْكِتَاب وَالسُّنَّةِ . وَكُلُّ طَرِيْقٍ
لَمْ يُصْحِبُهَا دَلِيْل القرآن والسُّنَّة فَهيَ مِنْ طُرُقِ الْجَحِيْمِ
وَالشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. والعلم : ماقامه الدليل. والنافع منه : ما جاء به
الرسول. (مدارج السالكين 2: 466-469).
Siapa yang
memisahkan dalil (dari perbuatannya) maka sesatlah dia dari jalan lurus. Dan
tidak ada dalil menuju Allah dan Surga selain Kitab dan as Sunnah. Dan setiap
jalan yang tidak didukung dalil al Qur’an dan as Sunnah, maka dia itu jalan
Neraka dan Syaithan yang terkutuk. (Madarijus salikin,2: 466-469, diringkas)
ILMU BERMANFAAT DAN ILMU TAK BERMANFAAT
Allah
berfirman dalam Surat ar Ruum ayat 6 dan 7 :
6.
(sebagai) janji yang sebenarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi
janjinya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
7.
Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka
tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai. QS Ar Rum : 6-7
Syaikh
Mohammad Sholih Ibn Utsaimin rahimahullah mengatakan (Lihat Buku Kitabul
`Ilmi),
العلم هو :
علم ماأنزل الله ورسوله من البينات والهدى ، وعليه يقع الثناء في القرآن والسنة،
وأما العلوم الأخرى غير العلم الشرعي: فإن أعان على طاعة الله وعلى نصر دينه
وانتفع به عباد الله فهو علم خير ونافع، وإلا فهو علم شر وغير نافع. (الشيخ محمد صالح ابن عثيمين، كتاب العلم)
bahwa yang
dinamakan dengan ilmu (menggunakan alafazh al `ilmu,… isim ma`rifat,
definitive) adalah ilmu yang Allah turunkan dan (juga oleh) Rasul Nya, yaitu
berupa al bayyinat dan al huda - penjelasan-penjelasan kebenaran dan petunjuk
-, yang atasnya layak memperoleh sanjungan baik di dalam al Quran maupun as
Sunnah….. Adapun ILMU-ILMU LAIN SELAIN ILMU
SYAR`IY, maka apabila mampu membantu (meningkatkan kesholihan) dalam
ketaatannya kepada Allah, dan dalam membela agamanya, dan member manfaat banyak
pada khalayak manusia… maka ILMU UMUM ini menjadi KHOIR dan NAFI` (Baik dan
bermanfaat)…. Dan Jika tidak demikian, maka Ilmu ini menjadi SYARR dan GAIR
NAFI` (Buruk, jahat dan dak bermnafaat).
Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
“Ilmu
itu yang di atasnya tegak suatu dalil, dan ilmu yang manfa’at adalah yang
datang dari sisi rasulullah saw” (Majmu’ Fatawa: 13/136).
Di dalam
kesempatan lain, dia juga mengatakan;
“Ilmu
yang terpuji, adalah ilmu yang di atasnya didukung oleh dalil Kitab dan sunnah,
(yaitu) ilmu yang diwarisinya dari para Nabi. (Majmu’ Fatawa: 11/396-397).
Katanya
lagi:
“Kebaikan,
kebahagiaan, kesempurnaan dan kebajikan, secara garis besar terbagi menjadi dua
jenis: Ilmu yang manfa’at dan amalan shaleh. Dan Allah telah mengutus Muhammad
saw karena keutamaan yang demikian, yaitu petunjuk dan din yang haq” (Majmu’
Fatawa: 19/169-170).
Telah
disebutkan di dalam Al Qur’an, satu petunjuk adanya ilmu yang tidak
bermanfa’at. FirmanNya:
“Maka
berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan
tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan
mereka..” (An Najm: 29-30).
“Mereka
hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang
(kehidupan akhirat) adalah lalai” (Ar Ruum: 7).
“Maka
tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan
membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada
pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Alah yang selalu mereka
perolok-olokkan itu. (Al Mu’min: 83).
Dan
Rasulullah berdo’a kepada Rabbnya, agar menganugrahkan kepadanya ilmu yang
bermanfa’at. Dan beliau saw berlindung
kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfa’at.
Dari Abi
Hurairah ra berkata: Rasulullah saw berdo’a:
“Ya
Allah berikanlah manfa’at kepadaku dengan ilmu yang aku ketahui, dan berilah
aku ilmu yang memberi manfa’at kepadaku, dan tambahilah aku ilmu” (HR Turmudzi,
3599, hadits hasan. Ibnu Majah, 251; dishohihkan oleh Syekh Al Bany, Lihat
shahih sunan Ibnu Majah, 1/47).
Dari Abi
Hurairah pula, bahwa Rasulullah berdo’a:
“Ya
Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak memberi manfa’at, dan dari
do’a yang tiada Engkau dengar, dari hati yang tidak pernah takut (kepadaMu),
dan dari diri yang tidak pernah kenyang” (HR Imam Ahmad, 2/340, 365, 451; Abu
Daud, 1548; Nasa’i 8/263, 284; Ibnu
Majah, 3837; Al Hakim, 1/104, 534; dishohihkan menurut Adz Dzahabi, dan Al
Baihaqy di dalam asma was sifat, halaman 44, disohihkan oleh Syekh Al Bany,
lihat shahih Ibnu Majah, 1/47).
Keutamaan Ilmu dan Perhatian Terhadapnya:
a. Keterangan dari Al Qur’an
Allah
telah memuji para ulama dan menyanjung mereka di dalam banyak tempat di dalam
Kitab-Nya. Di antaranya adalah firman Allah sebagai berikut:
“Allah
menyatakan bahwasanya tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang
menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). Tak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan
Dia. Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Ali Imran: 18).
Berkata
Ibnu Katsir: Ayat ini adalah kekhususan menunjukkan agungnya kedudukan ulama
(Tafsir Al Qur’an ‘l Azhim, 1/353).
Berkata
Imam Qurthubi: Di dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu
dan terhormatnya kedudukan ulama serta kemuliaan mereka. Maka jika terdapat
satu mahluk-Nya yang lebih mulia kedudukannya daripada ulama maka Allah
menggandengkan nama mereka dengan nama-Nya, dan nama-nama malaikat-Nya, seperti
Dia menggandengkan nama ulama. (Lihat Jaami Liahkam ‘l qur’an, 4/41).
Berkata
Ibnu Qayyim rahimahullah:
“Dan di
dalam kandungan syahadat ilahiyyah tersebut, terdapat sanjungan terhadap ahli
ilmu yang menyatakan kebenarannya dengan syahadat itu (karena ilmu) dan
keadilan mereka”. (At Tafsir al Qiim, hal. 199).
Dan di
antara ayat-ayat yang menunjukkan pujian terhadap ahli ilmu, adalah firman
Allah:
“Dan
perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tiada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (Al Ankabut: 43).
Berkata
Ibnu Katsir:
“Arti
ayat ini, adalah: “Tiada seorangpun yang memahaminya dan mentadabburinya
kecuali orang-orang yang rasikh (dalam) ilmunya, yang berfikir cemerlang”
(Tafsir Ibnu Katsir: 3/414).
Imam
Qurthubi berkata:
“(Wa maa
ya’qiluha) artinya: Tidaklah bisa memahaminya; (lllaa ‘l ‘aalimun) artinya:
orang-orang yang berilmu tentang Allah”. (Al Jaami’ Li ahkamil Qur’an: 13/346).
Berkata
As Sa’ady: “(maa ya’qiluha) artinya memahami dan mentadabburinya, dan
menerapkannya atas perumpamaan baginya dan mengikatkan ke dalam hati. (illa ‘l
‘aalimun) artinya kecuali ahli ilmu al haqiqi, yang ilmunya sampai ke lubuk
hatinya.
Dan ini
pujian bagi yang diumpamakan ayat ini, dan mendorong untuk mentadabburi nya dan
memahaminya. Juga pujian bagi yang memahami (memikirkannya). Inilah titel yang
dimiliki oleh ahli ilmu, dan tidak layak bagi yang tidak berilmu” (Taisir ‘l
Karim ‘l Rahman: 6/89).
Dan
Allah SWT telah menjelaskan bahwa ulama itu adalah mereka yang benar-benar
takut kepada Allah. FirmanNya:
“Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama” (Fathir: 28).
Dalam
menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir berkata:
“Hanya
ulamalah yang benar-benar takut kepada-Nya, karena mereka benar-benar ma’rifah
kepada-Nya. Sebab manakala tingkat ma’rifah itu sampai kepada tingkat mengenali
keagungan-Nya, ke Maha Kuasa dan ke Maha Mengetahui-Nya, Dialah yang disifati
dingan sifat kesempurnaan, yang disifati pula dengan nama-nama baik (Asma’ul
Husna) manakala ma’rifah kepadaNya itu telah sempurna, sedang berilmu
tentang-Nya lebih mendorong ulama itu semakin takut kepada-Nya” (Tafsir Al
Qur’anul Azhim: 3/553)l.
Kemudian
ia menyebut beberapa perkataan salafush sholih dalam menafsirkan ayat tersebut.
Di antaranya adalah perkataan Ibnu Abbas ra katanya: Orang yang ‘alim terhadap
Allah yang Maha Rahman, dari hamba-hamba-Nya yang tidak mensekutukan-Nya,
mengaharamkan apa yang diharamkan-Nya, memelihara washiat-Nya, dan meyakini
bahwasanya Dia itu akan dijumpainya dan Dia pula yang akan menghisab
amalan-amalannya. (Idem, Ibnu Katsir).
Berkata
Al Qurthubi:
“Maksud
ulama dalam ayat itu adalah ulama yang takut akan kekuasaan-Nya, maka siapa
yang mengetahui bahwa Dia Azza wa Jalla itu Maha Kuasa, ia pun yakin akan
siksaan dan hukuman-Nya bagi siapa yang maksiat kepada-Nya” (Al Jaami’ Li
ahkamil Qur’an: 14/243).
Dan
berkata As Sa’ady:
“Maka
setiap orang yang berilmu tentang Allah,
ia lebih banyak takut kepada-Nya, memelihara dari perbuatan maksiat,
mempersiapkan pertemuan dengan Zat Yang ditakutinya itu. Ini adalah dalil yang
menunjukkan keutamaan ilmu, sebab dengan ilmu seseorang terpanggil kepada
khasyatillah (takut kepada Allah)” (Taisir ‘l Karim ‘r Rahman fi tafsir Kalam
al Manan: 6/318).
Maka ilmu yang manfa’at berpengaruh kepada rasa
takut dan menjadi penyebab bertambahnya ketaqwaan dan taqarrub kepada Allah.
(yaitu) merupakan tujuan Allah dalam menciptakan makhlukNya.
Dan
Allah Ta’ala berfirman:
“Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.. (Al Mujadalah: 11).
Berkata
Al Qurthubi:
“Artinya
dalam hal memperoleh pahala di akherat, dalam memperoleh karomah (kemuliaan) di
dunia. Sehingga orang mu’min diangkat derajatnya lebih tinggi dari orang yang
tak beriman, dan orang yang berilmu pengetahuan di atas orang yang tak berilmu”
(Al Jaami’ Li ahkamil Qur’an: 17/299).
Ayat ini
memberikan petunjuk yang kuat terhadap keutamaan ilmu. Bahwa Allah Ta’ala
memerintahkan nabi-Nya saw agar selalu memohon tambahan ilmu, firman-Nya:
“Dan
katakanlah: Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” (Thaha: 114).
Berkata
Al Qurthubi:
“Andaikata
ada sesuatu yang lebih mulia kedudukannya dari ilmu tentu Allah memerintahkan
nabi-Nya saw untuk meminta tambahan dari sesuatu itu, sebagaimana Allah
memerintahkannya untuk meminta tambahan ilmu itu” (Al Jaami’ Li ahkamil Qur’an:
4/14).
b. Penjelasan dari As Sunnah:
Dari
Mu’awiyyah ra, katanya: Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa
dikehendaki Allah akan beroleh kebaikan, diberinya pemahaman (ilmu) dalam
agama” (HR Bukhori di dalam Kitab al ‘ilmu, 1/25-26, 4/49, 8/149. Muslim di
dalam kitab Zakat, lihat 3/95, 6/53,54. Imam Ahmad 4/92-101, Turmudzi, dan Ibnu
Majah, hadits ini dishohihkan menurut Al Bani di dalam serial hadits shohihnya,
3/191-194).
Di dalam
hadits ini: menetapkan kebaikan bagi orang tafaqquh (memahami dan mendalami
ilmu agama. Dan hal ini tidaklah terjadi semata-mata dengan pencarian, bahkan
bagi orang yang dibukakan Allah untuk memperolehnya” (Fathul Bari: 1/164).
Berkata
Imam Nawawi:
“Di
dalam hadits ini terdapat fadhilah ilmu, tafaqquh fid dien dan dorongan
tehadapnya, oleh sebab itu (tafaqquh fid dien) sebagai pemandu ke arah taqwa
kepada Allah SWT. (Shohih Muslim, syarah Nawawi: 7/128).
Dari Abu
Darda’ ra, katanya: Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa
yang melintas jalan untuk menjuntut ilmu, Allah akan membuka jalan baginya
tempat berlalu menuju syurga. dan sesungguhnya malaikat meletakkan kedua
sayapnya sebagai bukti kerelaanya terhadap penuntut ilmu. Dan sesungguhnya
orang yang ‘alim itu akan dimintakan ampunan baginya oleh penduduk langit dan
bumi, juga oleh ikan Yu yang berada di dalam air. Dan sesungguhnya keutamaan
ilmu dibanding dengan seorang yang rajin beribadah (ritual) itu ibarat
kelebihan bulan pada malam badar (bulan purnama) terhadap seluruh bintang. Dan
sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi. Dan
sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, namun mereka
itu mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambil warisan itu (ilmu) berarti ia
memperoleh limpahan kesempurnaan” (HR Abu Daud, 3641, Ibnu Majah 233, Turmudzi
2835, dishohihkan oleh Al Bany, Lihat shohih sunan Abu Daud 2/694, shohih Ibnu
Majah 1/43, shohih Sunan Turmudzi 2/342).
Ibnu
Jama’ah berkata:
“Ketahuilah bahwasanya tidak ada tingkatan di
atas tingkatan dimana malaikat dan lainnya sibuk memintakan ampunan dan do’a
kepada (penuntut ilmu), dan atasnya dinaungi malaikat dengan bentangan kedua
sayapnya” (Tadzkirah As Saami’ wal mutakallim fi adab ‘l ‘Aalim wal muta’allim,
hal. 8).
Hadits
tesebut mengandung kabar gembira dan keindahan besar bagi penuntut ilmu, dan
menerangkan kemampuan yang dimiliki oleh ulama dan kedudukannya yang tinggi.
Ini jelas menunjukkan keutamaan ilmu, ketinggian martabatnya dan kedudukannya
yang luhur lagi terhormat.
Dari Abu
Hurairah ra katanya: Rasululah saw bersabda:
“Jika
manusia mati, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: orang yang banyak
sedekah jariyah, meninggalkan anak shaleh yang mendo’akan kepadanya, atau ilmu
yang manfa’at” (HR Muslim di dalam Kitab al Washiyyah nomor 1631, Abu Daud
2880, Turmudzi 1376, Imam Ahmad 2/372, Bukhori nomor 380.
Dan
dalam riwayat lain Abi Qatadah ra dikatakan:
“Sebaik-baik
yang ditinggalkan seseorang setelah matinya adalah tiga perkara: anak shaleh
yang mendo’akan kepadanya, sedekah jariyah yang pahalanya mengalir kepadanya,
dan ilmu yang dikerjakan oleh orang lain setelah sepeniggalnya” (Ibnu Majah di
dalam Al Muqaddimah 241, disohihkan oleh Syekh Al Bany, lihat sohih sunan Ibnu
Majah, 1/46).
Berkata
Imam Nawawi rahimahullah: Di dalam hadits tersebut terdapat dalil yang
menunjukkan sahnya harta yang diwakafkan dan besarnya pahala darinya, juga
menjelaskan keutamaan ilmu dan dorongan untuk memperbanyak memperolehnya, dan
keinginan yang kuat untuk mendapat warisannya dengan cara belajar. Dan
bahwasanya yang diharapkan dari (hadits ini) adalah memilih ilmu-ilmu yang
manfa’at (Shohih Muslim, Syarah Nawawi: 11/85).
c. Penjelasan dari perkataan-perkataan salafush sholih
Dari
Umar bin Khattab ra berkata:
“Hendaklah
kalian mendalami ilmu sebelum anda menjadi tua” (Ta’liq Bukhari, 1/165; Ad
Darimi, 1/7; Ibnu ‘Abdi Barr, 186; Al Khotib al Badhdady dalam “al faqih wal
mutafaqqah”, 2/78).
Ibnu
Hajar menyebutkan banyak perkataan ulama tentang makna perkataan Umar bin
Khattab -qabla an tasuuduu-.
Antara
lain perkataan Abi ‘Ubaid al Qasim bin Salam, rahimahullah, ketika ia berkata:
“Pelajarilah olehmu ilmu mumpung kamu masih kecil sebelum kamu manjadi kuat
(dewasa)” (Fathul Bari: 1/166).
Perkataan
ini adalah cocok dengan terjemah Bukhari rahimahullah ketika ia mengomentari
perkataan Umar bin Khattab ra: (ba’da an tasuuduu) para sahabat nabi saw telah
belajar pada usia mereka telah dewasa” (Fathul Bari: 1/165).
Ibnu
Hajar berkata: Komentar Bukhari tentang perkataan Umar bin Khattab -ba’da an
tasuuduu- tidak lain adalah untuk menerangkan agar tidak terjadi salah paham
bagi siapapun dari kalimat tersebut: bahwa usia dewasa itu menghalangi untuk
bertafaqquh (menuntut ilmu agama). Yang dimaksud oleh Umar bin Khattab hanyalah
menjadi salah satu sebab terhalangnya semangat ilmu” (Idem, 1/166).
Dan dari
Abdullah bin Mas’ud ra berkata:
“Jadilah
anda seorang ‘alim atau penuntut ilmu dan janganlah anda menjadi orang yang
mengekor (tanpa ilmu) di antara itu” (Jaami’ Bayan ‘ilm wa fadllihi, oleh Ibnu
‘Abdi Barr: makna “al Imma’ah” adalah tidak mampu berpikir, yaitu mengikuti
cara berpikir orang lain. “ha” di sini sebagai mubalaghah” (Lihat An Nihayah fi
Gharib al hadist, 1/67).
Dan dari
Kamil bin Ziyad: hawa Ali bin Abi Thalib ra berkata kepadanya: Hai Kamil,
sesungguhnya hati ini adalah penampung muatan, maka sebaik-baik muatan isilah
hati itu dengan kabaikan-kebaikan. Dan manusia ada tiga golongan: ‘alim
rabbihi, mengajarkan jalan keselamatan, rakyat jembel (yaitu yang) mengikuti
setiap orang yang bersuara (mengeluarkan pendapat), tidak meneranginya dengan
cahaya ilmu, dan tidak berlingdung kepada sandaran yang bisa dijadikan
pegangan” (Jaami bayan ‘l ilm wa fadl-lihi, oleh Ibnu Abdi Barr: 1/29, lihat Al
I’tisham, 2/358).
MEWASPADAI 4 KELOMPOK MANUSIA PENGHANCUR ISLAM:
ولما جاء الحق زهق الباطل
، ولما جاء الإسلام ذهب الكفر .
وذهاب الإسلام على يد أربعة أصناف من الناس، :
صنف لا يعملون بما يعلمون – وصنف يعملون بما لا يعلمون –
وهذان الصنفان فتنة لكل مفتون، فالأول العالم الفاجر ، والثاني العابد
الجاهل ، والناس يقتدون بعلمائهم وعبادهم، فإذا كان العلماء فجرة ، والعباد جهلة ،
عمت المصيبة بهما، وعظمة الفتنة على العامة والخاصة ، فليحذر العبد من هؤلاء ، ولا
يخالف فوله فعله (سورة الصف آية 2)
والصنف الثالث : الذين لا علم لهم ولا عمل ، وإنما كالأنعام
السائمة كما قال الله تعالى :
(أم
تحسب أن أكثرهم يسمعون أو يعقلون ، إن هم إلا كالأنعام بل هم أضلّ سبيلا) الفرقان
: 44.
والصنف الرابع : الذين يمنعون الناس من العلم والعمل ، ويثبطونهم
عهمها, وهؤلاء هم نواب إبليس في الأرض ، وهم أضر على الناس من شياطين الجن. وهؤلاء
كالسباع الضارية، ومن قبلهم كالأنعام السائمة. . (الشيخ محمد إبراهيم التويجري)
Syaikh
Mohammad Ibrahim at Tuwaijiri, hafizhahullah,
dalam kitabnya Mausu`ah Fiqh al Quluub, mengatakan “Apabila al Haq
datang maka sirnalah kebatilan, dan apabila Islam datang maka menyinkirlah
kekufuran…
HILANGNYA
ISLAM itu berada di (Empat) Tangan
kelompok manusia:
(1)Kelompok
orang-orang yang tidak mengerjakan apa-apa yang telah mereka ketahui ilmunya
(sebut saja `ALIM FAJIR, orang pintar yang durjana), (2)Kelompok orang-orang
yang mengerjakan banyak hal (termasuk yg disangkakan sebagai ibadah) tetapi
tidak ada ilmu yang mereka jadikan dasar (sdebut saja dengan istilah `ABID
JAHIL, ahli inbadah yang jahil alias bodoh hanya taqlid saja, meniru tanpa
bertanya)……………… Padahal dalam kehidupan bermasyarakat ini, kita memerlukan
sosok `ulama` dan ahli ahli ibadah … namun bagaimana jadinya apabila kedua
sosok panutan ummat itu telah berlumuran dengan masalah penyimpangan ? ….
Pastilsah musibah silih berganti akan menimpa kita… (sebagaimana yg kita
saksiskan di negeri ini…. Seperti yg dipertontonkan oleh para pemimpin dan
penguasa negeri ini, baik dari kalangan eksekutif, legeslatif, maupun
yudikatif… juga pengusaha-pengusaha Ribawi …. Simak firman Allah dalam QS ash
shoff: 2…
(3).
Kelompok ketiga adalah Kelompok orang yang berilmu dan tak beramal….. kelompok
ini ibarat kawaan binatang ternak, bahkan kata Allah lebih sesat dari binatang,
Firman Allah QS Al Furqan: 44.
(4).
Adapun kelompok keempat, yang kalah
parahnya, adalah kumpulan orang yang (sengaja) menolak dan menghalang-halangi
manusia dari (menunutut) ilmu dan dari (mengamalkan Ilmu). Kelompok itu
ibaratnya seperti binatang buas yang siap menerkam mangsanya – yg salah maupun
yg benar -…. Bahkan mereka itu berkedudukan sebagai Wakil-wakil Iblis di muka
bumi, dan sangat membahayakan manusia lain, bahkan lebih bahaya dar ipada Setan
dan Jin..
BAGAIMANA 4
KELOMPOK ITU APABILA BERTENGGER DI PUNCAK KEKUASAAN ?
TUNGGU SAJA
BERBAGAI MUSIBAH DAN FITNAH AKAN DATANG SILIH BERGANTI…
1 komentar:
Kelompok yang menyerupai perjuangan rasul tapi ujungnya untuk kepentingan individu ..tidak jelas sitemnya
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------