Garis Hidup
Adalah Garis Ibadah
Oleh: Abu Fahmi Ahmad
Bagaian ke-1
:
Bagaimana Manusia
Sebagai Makhluk Ibadah itu Menjalani Hidupnya
Bahasan ke-1 : Manusia Memuji
dan Mensyukri Khaliq-nya
Bagi setiap pembaca surat Al-Fatihah, jika memang
merenungi dan memahami makna-makna yang hakiki, dari mulai Ta’awwudz--memohon perlindungan kepada Allah dari (tipu daya) setan
yang selalu mengajak manusia untuk berpaling dan tidak hidup berpedomankan
Al-Qur'an, sehingga menyimpang dari manhaj-Nya dan mengikuti jalan setan--hingga untuk memulai suatu perkara
kebaikan, terlebih lagi dalam membaca Kalamullah,
hendaknya dengan membaca Bismillahirrahmanirrahim.
Hal ini disebabkan setiap amalan seorang mukmin terbangkit oleh panggilan iman
dan dalam rangka memenuhi perintah Allah. Begitu pun dalam meninggalkan
larangan-Nya. Iman bagi seorang mukmin merupakan mabda’ (titik berangkat) dan ba’itsul
‘amal (pembangkit amal) dengan niat dan tujuan mencari ridla Allah dan
pahala-Nya.
Dengan demikian, seorang mukmin dalam setiap gerak
langkahnya berada dalam pengawasan Allah, karena ia memulai pekerjaan dengan
membaca Basmalah. Hal ini merupakan
dorongan intern (dari dalam jiwa dan hati), sehingga mampu mengendalikan diri
dari dorongan ekstern (luar) yang tidak baik, seperti riya’ dan sejenisnya. Namun, kalaupun ada dorongan ekstern, itupun
dalam rangka menguatkan kesungguhan dan motivasi ke arah sidqul ‘azimah (kesungguhan azam).
Oleh karena itu, setiap mukmin ketika membaca Al-hamdu Lillahi Rabbil ‘Alamin hendaknya mengingat-ingat tak terbatasnya
anugerah dan kenikmatan yang telah Allah berikan kepadanya, serta terpikirkan
olehnya ‘bagaimana cara terbaik dalam mensyukurinya?’
Rasa syukur tentu tidak cukup sekedar dengan syukur
lisan atau sekedar mengucapkan Al-hamdulillahi
rabbil ‘alamin, tapi bagaimana ia mampu mensyukuri melalui hati dan anggota
badan. Dari sini akan timbul satu tekad dalam dirinya: ‘Betapa malunya jika
saya masih saja menghiasi kehidupan ini dengan kemaksiatan, sementara tiada
henti-hentinya Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada saya.’
Ia menyadari tatkala melihat anugrah Allah itu masih
tercurah pada seorang atau dirinya, padahal dirinya tetap melakukan maksiat.
Sebenarnya hal semacam ini hanyalah sebagai Istidraj,
sebab ulama salaf mengartikan syukur itu dengan tarkul ma’ashi (meninggalkan maksiat). Sehingga seorang hamba Allah
dikatakan pandai bersyukur kepada Allah, jika ia telah sanggup meninggalkan
kemaksiatan yang kecil sekalipun. Ia tidak melihat besar kecilnya kemaksiatan
tersebut, tetapi yang ia pikirkan adalah kepada siapa kita maksiat? Kepada
Allah Rabbul ‘Alamin yang sedang kita puji inikah?
Pernyataan keyakinan terhadap Allah sebagai Rabbul ‘Alamin--Ar-Rahman Ar-Rahim, dan
Maliki Yaumiddin--memantapkan seorang hamba ketika ia membacanya dalam
surat Al-Fatihah. Ia merasa berhadapan dengan Zat Yang Maha Agung lagi
Sempurna, yang tiada suatu makhluk pun
layak menduduki tingkat rububiyah ini. Zat yang sempurna inilah yang pantas
untuk di ibadahi, tempat kita memasrahkan diri secara total, khudlu, tadzallul, patuh, dan merendah
diri hanya kepada Allah. Allah yang Rabbul
‘Alamin, Ar-Rahman Ar-Rahim, dan
Maliki Yaumiddin adalah Ilahul Haq
dan Ma’budul Mutha’ (Yang disembah
dan ditaati).
Pengakuan ini yang membuat setiap mukmin menyatakan
ikrar hariannya dengan Iyya ka na’budu wa
iyya ka nasta’in (Hanya kepada Engkaulah kami mengabdi dan hanya kepada
Engkau pula kami memohon pertolongan).
Pernyataan dalam ayat tersebut mengandung arti
kedudukan dan martabat syukur.
Dalam soal Pujian dan Syukur ini, mari kita simak
perkataan dan uraian dari syaikh al `allamah Ibnul Qayyim al jauziyah rahimahullah
berikut ini :
“Ayat ini mengandung sejumlah keistimewaan yang
tersembunyi di balik rasa syukur. Di antara keistimewaan tersebut adalah kadar
keluhuran atau kedudukan syukur--martabat syukur, dimana kedudukannya menempati
posisi tertinggi melebihi martabat ridla.
Kedudukan ridla sudah tercakup dalam makna syukur itu sendiri, karena tidak
mungkin ada ridla tanpa didahului oleh aktivitas syukur.
Disamping itu, syukur adalah sebagian dari iman.
Kesatuan iman sendiri terbagi ke dalam dua bagian, yaitu berupa syukur dan
sabar. Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bersyukur dan
mencegahnya dari kufur (ingkar nikmat). Allah pun sangat suka kepada mereka
yang bersyukur lalu menempatkannya pada kedudukan lebih mulia di antara
makhluk-Nya, serta berjanji memberi pahala dan menambah nikmat-nikmat yang
pernah diberikannya kepadanya.
Allah juga akan mengangkat derajat seorang ahli
syukur (syakirin) dengan menyandang gelar dari salah satu asma-Nya. Begitu
tinggi dan mulianya kedudukan syukur di hadapan Allah, namun ironisnya hanya
sedikit sekali hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur.
Allah
berfirman:
“Dan bersyukurlah kepada
Allah jika kamu benar-benar hanya menyembah kepada-Nya....”
“Dan bersyukur kepada-Ku dan
janganlah kamu ingkar kepada nikmat-Ku.”(Al-Baqarah: 152)
“Sesungguhnya Ibrahim adalah
seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi
patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali dia bukanlah termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Allah . (Lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat
Allah.” (An-Nahl:
120-121).
Tentang Nabi Nuh ‘Alaihissalam, Allah berfirman:
“Sesungguhnya dia (Nuh)
adalah hamba Allah yang banyak bersyukur.” (Al-Isra’: 3).
“Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut (rahim ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu
bersyukur.” (An-Nahl:17).
“Dan sembahlah
Dia dan bersyukur kepada-Nya. Hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan.”
(Al-Ankabut: 17).
“Dan Allah
memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Ali Imran: 144).
Terkadang Allah memberikan sebutan untuk syakur
(yang bersyukur) dan syakir (ahli syukur), sebagaimana Dia juluki hamba-Nya
yang pandai bersyukur dengan dua sebutan sekaligus, syakir dan syakur. Hal ini
sebagai pertanda cinta kasih kepada hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur.
Selain itu Allah Ta’ala sendiri menyampaikan rasa
terima kasih-Nya kepada hamba-Nya yang shalih. Allah berfirman:
“Dan ini
adalah balasan bagimu dan usahamu adalah disyukuri (di beri balasan).” (Ad-Dahr: 22)
Dan terhadap hamba-Nya yang bersyukur itu pun Allah
ridla, sebagaimana yang difirmankan-Nya:
“Dan jika kamu bersyukur kepada-Nya, maka Dia meridlai kesyukuranmu.” (Az-Zumar: 7).
Tidak dapat dipungkiri, kenyatan menunjukkan bahwa
sangat sedikit orang-orang yang benar-benar pandai mensyukuri nikmat
karunia-Nya. Karena itu, tidaklah mengherankan bila Allah Ta’ala kemudian
menjadikan mereka yang pandai bersyukur sebagai golongan yang diistimewakan.
Allah berfirman:
“Dan sangat sedikit hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (Saba’: 13).
Di dalam Kitab Shahih Muslim dan Bukhari diceritakan
bahwa kedua kaki Nabi Muhammad SAW sampai bengkak karena tekunnya beliau
menunaikan ibadat (shalat). Maka ketika beliau ditanya, “Ya Rasulullah adakah
ini Anda lakukan (ibadat terus menerus), padahal dosa-dosa Anda baik yang telah
lampau maupun yang akan datang telah diampuni oleh Allah Ta’ala?” Beliau
menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba-Nya yang pandai bersyukur?”
Suatu
ketika Nabi berkata kepada Mu’adz bin Jabal: “Hai Mu’adz, demi Allah aku
mencintaimu. Maka janganlah lupa engkau membaca do’a berikut ini pada setiap
akhir shalat: ‘Ya, Allah bantulah aku untuk berdzikir, bersyukur, dan beribadat
secara benar kepada-Mu.” (HR. Abu Dawud).[1] ….. Dikutip dari Kitab Madarikus Salikin, Ibnul Qayyim, jilid II, hal. 242.
Bahasan ke-2 :
Pemahaman Sebagian Kaum
Muslimin Yang Harus Diluruskan Soal Makna Ibadah
Al-’Allamah Muhammad Quthb, semoga Allah
merohmatinya, mengampuni dan menrima iman dan amalnya (atas wafatnya beliau
yang belum lama ini) – dia seorang guru besar Pendidikan Islam di Timur Tengah,
banyak beraktifitas di dunia pendidikan dan dakwah islam, di Mesir dan di Saudi
Arabia, dan di Dunia islam umumnya – ulama besar masa kini dan sekaligus pengamat
pegiat-pegiat dakwah internasional, menulis sebuah kitab berjudul Mafahim Yanbaghi An Tushahhah (Pemahaman
yang Sepatutnya Diluruskan) yang mencakup Mafhum
Laa Ilaha Ilallah dan Mafhumul
Ibadah.
Bagi pegiat dakwah tentu tidak asing lagi tentang
beliau itu, karena karya-karyanya selalu menjadi rujukkan bagi du’at mengingat kajiannya yang mendasar
mengikuti kebiasaan ulama salaf dalam mengaji permasalahan, namun pembahasannya
mengikuti metode ilmiah yang menyentuh dengan persoalan kekinian. Hal ini
nampak jelas dalam karyanya: Jahiliyah
Qarnul ‘Isyrin, Waqi’unal Mu’ashir, Syubhat Haulal Islam, Madzahib Fikriyyah
Mu’ashirah, Al-Insan Bainal Madiyah wal Islam, Manhajut Tarbiyyatul Islamiyyah,
Fin Nafsi wal Mujtama’, Al-Musytasyriqun wal Islam, Ru’yatul Islamiyah Li
Ahwalil Mu’ashirah, dan karya-karya lainnya sebagian besar telah
diterjemahkan ke berbagai bahasa dan telah banyak diterbitkan di Indonesia.
Di dalam Mafhumul Ibadah, beliau mengatakan di
antara penyim-pangan-penyimpangan paling berbahaya yang menimpa
generasi-generasi kaum Muslimin dewasa ini, setelah penyimpangan mereka dalam
memahami konsepsi Laa Ilaha Illallah,
adalah penyimpangan mereka dalam memahami konsepsi ibadah.
Pemahaman
generasi kurun pertama dari kaum Muslim tentang urusan ibadah yang sempurna,
luas, dan mendalam, sungguh sangat jauh jika dibandingkan dengan pemahaman
generasi kini yang serba sempit dan dangkal. Umat tak merasakan kejanggalan,
padahal umat telah terhempas jauh dari puncak keluhuran ke dalam jurang
kenistaan, sebagaimana kita saksikan sekarang. Wajar-wajar saja jika umat ini
kemudian tersingkir dari percaturan kepemimpinan umat manusia. Mereka
diperebutkan berbagai kepentingan, dan di seret ke sana-sini dari berbagai
penjuru bagaikan seekor mangsa diperebutkan oleh kawanan serigala lapar. Pada
saat bersamaan mereka mengetahui jalan mana yang mesti ditempuh untuk membangun
kebangkita Islam, yaitu berjuang dengan gigih menyingkirkan hal itu pada tempat
yang rendah untuk kembali kepada kedudukan yang dikehendaki Allah sebagai
“sebaik-baiknya umat yang ditampilkan di tengah-tengah manusia”.[2]
…………. Ali Imran : 110
Pemahaman yang benar tentang
konsepsi ibadah di kalangan generasi pertama kaum muslimin adalah bahwa ibadah
kepada Allah merupakan tujuan penciptaan umat manusia, sebagaimana firman-Nya:
“Dan Aku tidak menjadikan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Ayat ini mengandung
pengertian yang agung dan mendalam, serta mencakup seluruh aspek kehidupan
manusia. Al-Qur'an pun diturunkan dalam bahasa mereka agar memahami arah serta
kandungan makna pengilhaman bahasa ini dan mengerti rahasia-rahasia kefasihan
bahasanya.
Dalam aspek inilah, manusia
seharusnya benar-benar dapat merasakan keagungan Allah sehingga mereka (sebagai
hamba) mengikuti tujuan ibadah itu dengan sebaik-baiknya. Manusia harus
mendudukkan dirinya sebagai hamba Allah dan menempatkan-Nya dalam uluhiyah
dengan beribadah secara ikhlas kepada-Nya serta menghambakan diri pada-Nya.
Dengan demikian, pengertian
ibadah bukan sekedar melakukan syiar-syiar ubudiyah saja, seperti yang
dilakukan oleh kebanyakan generasi sekarang ini. Hal itu karena mereka memahami
Islam hanya kulitnya saja dan tidak dari pengertian Islam yang benar.
Syiar-syiar Ta’abudi tidak bisa mewakili makna
ibadah secara menyeluruh, yang dituntut
bagi setiap insan. Jika maksudnya demikian, lalu apa tujuan penciptaan
manusia menurut isyarat ayat tadi, yang tersimpul dalam kata ‘ibadah hanya
kepada Allah’? Bagaimana mungkin ibadah yang bermakna luas itu hanya diartikan
dengan syiar-syiar ta’abudi? Berapa banyak waktu yang dihasilkan syiar-syiar
ta’abudi yang kita lakukan sehari semalam? Sudah seberapa jauh dilakukan dan
menghabiskan waktu berapa tahun dari umur manusia? Lalu, untuk apa sisa waktu
umurnya dan sisa kemampuannya? Apakah sisa waktu dan potensi kita digunakan
untuk tujuan di luar ibadah ataukah ibadah? Bagaimana tujuan ibadah dalam ayat
tersebut dapat terwujud?[3]
Selanjutnya beliau
menyatakan, bahwa manusia tidak mungkin mewujudkan pengertian ibadah dengan
hanya melakukan syiar-syiar ta’abudi sebagaimana telah diwajibkan oleh Allah
dalam hal shalat, shaum, menunaikan zakat, dan haji.
Manusia bukanlah malaikat
dan memang tidak mungkin berubah menjadi malaikat. Sebab malaikat adalah
sejenis makhluk halus yang diciptakan Allah dari cahaya. Mereka menghabiskan
waktunya sepanjang siang dan malam tiada hentinya untuk bertasbih.
Allah berfirman:
“Dan malaikat-malaikat yang disisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa
angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu
bertasbih malam dan siang dengan tiada henti-hentinya.”
(Al-Anbiyaa’: 19-20).
Mereka tidak pernah durhaka
kepada Allah--Khaliqnya--dalam segala hal, sebagaimana firman-Nya:
“Yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa-apa yang diperintahkan.”
(At-Tahrim: 6).
Lain halnya manusia yang
diciptakan dari segenggam tanah liat dan tiupan ruh Allah, di samping
dilengkapi tuntutan kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat fisik-material
maupun psikis, juga berupaya melepaskan diri dari bahaya yang mungkin timbul
pada situasi dan kondisi tertentu.
Jelaslah bahwa manusia tidak
akan mampu beribadah kepada Allah seperti yang dilakukan oleh malaikat, yang
sepanjang siang dan malam bertasbih tiada hentinya. Tidak ada kesibukan lain
bagi malaikat selain bertasbih.
Seluruh alam bertindak
sebagai hamba, mengabdi kepada Rabbnya sesuai dengan perintah-Nya--kecuali yang
durhaka dari golongan jin dan manusia--dan menurut caranya masing-masing
sebagaimana telah digariskan oleh Allah Ta’ala:
“Dan tak ada satu pun (di alam ini) melainkan bertasbih dengan
memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.”
(Al-Israa’: 44)
“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang di
langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohon, binatang yang
melata, dan sebagaian besar manusia?” (Al-Hajj: 18)
“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih
berupa asap lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: ‘Datanglah kamu
keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa’. Keduanya
menjawab:’Kami datang dengan suka hati’.” (Fushshilat: 11)
Sebenarnya ibadah itu bisa diumpamakan sebuah garis
kehidupan. Garis dalam terminologi matematika adalah sekumpulan titik-titik.
Demikian juga ibadah, merupakan kumpulan titik-titik yang menghubungkan satu
taklif dengan taklif lain, dari satu waktu ke waktu berikutnya.
Ketika seorang hamba
melakukan shalat, misalnya, maka sebenarnya ia sedang berada pada satu titik
taklif atau sedang berhenti sejenak di satu terminal guna menambah bekal untuk
melanjutkan perjalanannya ke titik taklif lain, begitu seterusnya. Garis yang dilalui manusia itulah disebut
garis ibadah.
Hanya saja, sebagai garis
ibadah ia harus berada dalam frame yang disyaratkan Khaliqnya. Jika frame itu
berupa bidang kehidupan, maka frame itu dibentuk oleh dua variabel, yaitu
variabel kebenaran menurut tuntunan sunnah dan variabel ikhlas mengarahkan
setiap amalan lahir maupun batin kepada keridlaan Allah.
Dalam frame ini, agar
perkataan dan amalan seseorang tetap berada dalam frame ibadah, maka ia harus
melakukannya dengan benar dan ikhlas.
Frame seperti ini
dibahasakan oleh Fudlail bin ‘Iyadl rahimahullah dengan:
“Sesungguhnya amalan itu
jika dikerjakan dengan ikhlas., namun tidak dengan cara yang benar (sesuai
sunnah Rasul) maka tidak diterima amalan tersebut. Dan jika dikerjakannya
dengan benar, namun tidak dengan ikhlas juga tidak diterima. Sehingga amalan
tersebut dikerjakan dengan benar dan ikhlas. Dan ikkhlas itu menjadikannya karena Allah
dan benar itu menjadikannya di atas As-sunnah.”[4]
Jika frame itu berupa ruang
gerak manusia, maka frame itu harus dibentuk oleh tiga variabel. Sebab ruang
itu dibentuk oleh tiga sumbu (misalnya: x, y, dan z) sebagaimana aturan matematika. Dalam hal ibadah, maka frame
ruang dibatasi oleh:
a. Niat yang ikhlas
b. Kesungguhan ‘azam
c. Sesuai dengan tuntunan syariat, baik dalam perintah dan larangan
maupun dalam penghalalan dan pengharaman.
Dalam hal ini Muhammad Quthb
menegaskan bahwa ibadah yang dituntut dari hamba-hamba-Nya agar bersih dari
pengaruh syirik, maka harus memenuhi
tiga perkara:
1. Keyakinan
yang bulat bahwa Allah itu Esa dalam zat-Nya, asma’-Nya, dan sifat-Nya.
2. Mengarahkan
semua urusan kepada-Nya melalui syiar-syiar ta’abudi (ritual-ritual ibadah)
yang Allah fardlukan kepada hamba-hamba-Nya.
3. Komitmen
kepada apa-apa yang diturunkan Allah Ta’ala, berupa penghalalan, pengharaman,
menentukan bagus dan jelek, pembolehan dan larangan.[5]
Waqi’unal Mu’ashir. Hal. 34
Satu hal terlarang bagi
hamba Allah yang bertauhid secara benar adalah meninggalkan perintah Allah
karena merasa aman dari dosa, merasa senang, dan tidak menganggapnya sebagai
dosa. Hal ini bisa menjadikan pelakunya kafir.
Sufyan Ats-Tsauri berkata:
“Maka barangsiapa yang
meninggalkan (perintah) merasa senang menganggap tak berdosa dari unsur-unsur
keimanan, maka dengan itu ia bisa menjadi kafir. Dan barangsiapa yang
meninggalkannya karena bermalas-malas atau menganggap sepele dengannya, maka ia
menjadi kurang imannya dan harus dididik.”[6] Al-Wala’ wal Bara’. Hal. 27
Ketika seseorang menyatakan Iyyaka Na’budu, maka harus disertai
keyakinan bahwa Dia-lah Ma’budul Haq,
tiada selain-Nya yang patut diibadahi dan menetapkan hanya untuk Allah
satu-satunya.[7] Fathul Majid. Hal. 36
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata:
“Tidak ada kegembiraan dan
kebahagiaan yang sempurna bagi hati seseorang kecuali dalam mahabbatullah (kecintaan kepada Allah), Taqarrub
kepada-Nya dengan kecintaan. Dan tidak kokoh mahabbah-nya kecuali berpaling dari seluruh yang dicintai selain
Allah. Dan inilah hakikat Laa ilaha
illallah, yaitu millah Ibrahim Khalilullah dan seluruh para Nabi dan Rasul Shalatullah wa Salamuhu ‘Alaihim ajmai’in.”
[8] Majmu’ Fatawa. Jilid 28 hal. 32
---------------------------------------------
Bahasan ke-3 :
Iyyaka Na’budu Sebagai Konsekuensi
Pemahaman Kalimat Tauhid
Laa Ilaha Illallah
Kita mesti memahami, bahwa
dalam kalimat Laa Ilaha Illallah terdapat
pe-nafian dan penetapan (nafyan wa
itsbatan), juga loyalitas dan pelepasan diri (wala’an wa bara’an).
Orang yang bertauhid
uluhiyah sudah pasti bertauhid kepa rububiyah dan asma’ul wash shifat-Nya.
Dalam kalimat tauhid
terkandung makna wala’ (Loyal, cinta,
kemauan membela, tolong menolong, dan ikatan persaudaraan) kepada Allah,
din-Nya, kitab-Nya, sunnah Nabi-Nya, dan hamba-hamba-Nya yang shalih. Tidak ada
artinya apabila seorang menampakkan wala’-Nya
jika tidak disertai sikap Bara’.
Kepada siapa kita melakukan Bara’? Bara’ adalah berlepas diri, membenci, dan memusuhi semua makna
thaghut dan yang disembah selain Allah. Allah Ta’ala berfirman:
“Karena itu barangsiapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada
Allah, maka dia itu telah berpegang teguh dengan ikatan yang kokoh.” (Al-Baqarah: 256)
Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab mengatakan bahwa manusia tidak menjadi seorang mukmin dan beriman kepada
Allah (secara benar) kecuali dengan kufur kepada thaghut. Dalilnya adalah ayat
di atas.
Kalimat tauhid itu artinya wala’ kepada syariat Allah. Seperti
firman-Nya:
“Ikutilah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah
kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikit kamu mengambil
pelajaran (dari padanya).” (Al-A’raaf: 3)
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Din (Allah); (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.” (Ar-Rum: 30)
Setiap Mukmin yang
mentauhidkan uluhiyah Allah semestinya berlepas diri dari hukum jahiliyah.
Sebagaimana firman-Nya:
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang
lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50)
Dia juga seharusnya bara’ (berlepas diri) dari seluruh agama
selain Dinul Islam. Sebagaimana firman-Nya:
“Barangsiapa yang mencari agama selain Dinul Islam maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang rugi.” (Ali Imran: 85)
Kemudian selain dari
menampakkan wala’ dan bara’-nya, maka setiap Mukmin yang
bertauhidkan kepada uluhiyah Allah semestinya menampak-kan empat pe-nafian dan
sekaligus menyertainya dengan empat penetapan.
Empat penafikan tersebut adalah:
1. Al-Ilah (tuhan-tuhan), yaitu setiap tujuan yang
bermaksud terhadap sesuatu yang mendatngkan kebaikan atau menolak mudlarat,
lalu menjadikannya sebagaai Ilah. Misalnya ketika seseorang menganggap bahwa
nafsu, akal, dan intuisinya bisa mendatangkan manfaat atau menolak madlarat, maka
ia telah menjadikan nafsu, akal, dan intuisinya sebagai tuhan.
2. Thawaghit (jamak dari thaghut), yaitu siapa saja yang
disembah dan rela untuk disembah, dipuja, dan diikuti aturan-aturan yang
bertentangan dengan syariat samawi.
3. Andad (tandingan Allah), yaitu sesuatu yang menjauhkan
seseorang dari agama Islam. Baik berupa keluarga (anggota-anggotanya), tempat
tinggal, jabatan, maupun harta yang menjadi tandingan Allah. Sebagaimana Allah
berfirmah:
“Dan di antara manusia ada yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah, di mana mereka mencintainya seperti mereka
mencintai Allah ....” (Al-Baqarah:
165)
4. Arbab, yaitu siapa saja yang berfatwa kepadamu dengan
menyalahi Al-Haq dan kamu menaatinya. Seperti firman-Nya:
“Mereka itu menjadikan ulama-ulama mereka dan
pendeta-pendeta mereka sebagai Rabb-Rabb
(menduduki posisi rububiyah) selain Allah.” (At-Taubah: 31)
Maksudnya, ketika para
ulama, pendeta, ataupun kyai-kyai mereka mengeluarkan fatwa yang menyalahi
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya hanya berdasarkan nafsu, akal, dan intuisinya
atau membuat hukum dan undang-undang selain syariat Allah, menjadi mizan dalam
menghukumi manusia, menghalalkan yang diharamkan Allah, dan mengharamkan yang
dihalalkan Allah, maka mereka itu telah merampas hak rububiyah Allah dan
mendudukan mereka pada posisi ma’budul
mutha’ (Yang Disembah dan ditaati hukumnya).
Selain menafikan keempat
unsur yang merampas hak rububiyah dan uluhiyah Allah, maka setiap Mukmin
semestinya menetapkan empat perkara yang diyakininya, yaitu:
1. Mengarahkan
niat dan maksud hanya kepada Allah
2. Ta’zhim
dan mahabbah (pengagungan dan kecintaan) kepada Allah.
3. Takut
akan siksanya, menjauhi perbuatan maksiat, hanya mengharap ridla dan
pahala-Nya, serta memotivasi diri untuk melakukan berbagai ketaatan. Allah Ta’ala
berfirman:
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudlaratan kepadamu, maka
tidak ada yang menghilangkannya, kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki
kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan
kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamaba-Nya dan
Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yunus: 107)
4. Taqwa, yaitu membentengi diri dari murka Allah dan
hukuman-Nya dengan jalan meninggalkan syirik dan kemaksiatan, ikhlas dalam
beribadah kepada-Nya, serta mengikuti perintah-Nya sesuai dengan syariat.
Sebagaimana dikatakan Ibnu Mas’ud rahimahullah: ‘Anda mengamalkan ketaatan
kepada Allah atas dasar nur minallah,
mengharapkan pahala Allah. Dan meninggalkan maksiat kepada Allah atas dasar nur minallah, karena takut akan hukuman
Allah.’[9]
Melepaskan umat dari
belenggu kemusyrikan bukanlah perkara mudah dan tidak bisa dilakukan dengan
kerja sambilan atau dengan jalan pintas. Sebab, hal ini tidak pernah terjadi
pada perjalanan sejarah pendahulu kita.
Tanpa kerja keras, Muslimin
tidak akan mampu menampilkan nilai-nilai luhur yang dimilikinya di
tengah-tengah umat manusia, dalam menegakkan keadilan Rabbani di muka bumi, interaksi sosial yang bersih, setia memegang
ikatan janji, keberanian diri, dan kepahlawanan yang handal di medan
pertempuran, maupun pada kondisi damai.
Selain itu, umat Islam tidak
akan mampu membangun kekuatan ilmu pengetahuan dan peradabannya tanpa disertai
kerja keras,serta tidak akan terwujud jika dalam diri umat tidak tertanam suatu
keyakinan yang teguh bahwa semua yang dilakukannya adalah ibadah dan merupakan
tujuan penciptaannya sebagai mahluk Allah.
Sehingga timbul pertanyaan,
apa yang seharusnya dilakukan setiap Muslim dalam beribadah agar dirinya pantas
disebut hamba Allah, yang memang untuk itulah Allah menciptakannya?
Ibadah harus dimulai dengan
semangat ketauhidan dengan mengikrarkan Laa
Ilaha Illallah, meyakininya secara uluhiyah, rububiyah, asma dan sifat,
maupun af’al-Nya, sebab Dia-lah satu-satunya yang berhak mengandung sifat
kesempurnaan itu. Sebagaimana firman-Nya:
“Ketahuilah bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah.” (Muhammad: 19)
“Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan apapun juga.” (An-Nisaa’: 36)
Mengucapkan Laa Ilaha Illallah--sebagaiman telah
kita maklumi--bukan sekedart talaffuzh,
akan tetapi mengandung konsekuensi untuk membendung setiap bentuk penghianatan
dan agar tidak mengikuti keyakinan Murji’ah yang bertindak tidak selaras dengan
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallah 'Alaihi Wasallam.
Konsekuensi Laa Ilaha Illallah adalah menerima Islam
secara utuh dengan tingkatan komitmen masing-masing. Di antara konsekuensi itu
adalah yang berkaitan dengan pokok-pokok keimanan, seperti meyakini sifat
Wahdaniyyah Allah, ikhlas semata-mata karena Allah dalam melaksanakan ritual
ibadah tanpa riya’, dan berhukum dengan syariat Allah. Seorang hamba dikatakan
telah beriman apabila telah menegakkan ahlak-ahlak Laa Ilaha Illallah dan kewajiban-kewajiban lain yang diperintah-kan
oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sempurnalah iman seseorang apabila telah
melaksanakan hal tersebut.
Syiar-syiar ta’abudi
(ritual-ritual ibadah) adalah kewajiban yang datang setelah ikrar Laa Ilaha Illallah. Seperti telah
dipaparkan di atas, yaitu dengan mengikrarkan seluruh apa yang datang dari
Allah dan ber-iltizam dengannya.[10]
[1] Dikutip dari Kitab Madarikus Salikin, Ibnul Qayyim, jilid II, hal. 242.
[2] Ali Imran : 110
[3] Yanbaghi an Tushahhah. Hal. 173-175
[4] Al-Wala’
wal Bara’ fil Islam. Muhammad bin Sa’id Al-Qabthani. Hal. 35 dan Iqtidla’ush Shiratul Mustaqim. Ibnu
Taimiyah. Hal. 415
[5] Waqi’unal
Mu’ashir. Hal. 34
[6] Al-Wala’
wal Bara’. Hal. 27
[7] Fathul
Majid. Hal. 36
[8] Majmu’
Fatawa. Jilid 28 hal. 32
[9] Al-Wala’
wal Bara’ Fil Islam. Hal. 23-25
[10] Mafhumul
Ibadah. Muhammad Quthb. Hal. 192-193
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------