Bahasan ke-4 :
Target dari Komitmen Iyyaka
Na’budu wa Iyyaka Nasta’in
Ketika seorang Mukmin
membaca ikrar:
“Sesungguhnya shalatku, nusuk-ku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah
Rabbul ‘Alamin, tiada sekutu bagi-Nya.” (Al-An’am: 162-163)
maka dia memahami bahwa
shalat dan nusuk (ritual) yang
merupakan syiar ta’abudi adalah titik tolak bagi hamba untuk melakukan ibadah
lainnya di dalam kehidupan, termasuk perkara kematian.
Mati di sini bukanlah semata
pengertian lafzhiyah, sebab mati
dalam pengertian ini adalah tidak bisa melakukan ibadah dan tidak ada lagi
kesempatan untuk memilih. Akan tetapi, yang dimaksudkan dengan kematian di
sini--sebagaimana diisyaratkan dalam ayat di atas--adalah matinya seorang hamba
tanpa mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.
Jadi, kematian seorang hamba
tanpa mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun adalah ‘kematian minimal’
baginya. Adapun ‘kematian maksimal’ adalah harus bisa mencapai puncak ibadah,
seperti mati syahid di jalan Allah untuk membela Dinullah.
Hanya dengan cara
melaksanakan ibadah secara sempurna dan menyeluruh, yang meliputi hidup dan
mati, maka tujuan penciptaan manusia akan terwujud dan sesuai dengan tuntutan
Allah.
Pemahaman ibadah semacam ini
telah menjadi asing bagi kalangan generasi sekarang yang selalu mempredikatkan
diri sebagai generasi modern atau Muslim kontemporer. Mereka menganggap
syiar-syiar ta’abbudi yang biasa mereka kerjakan sudah merupakan keseluruhan
ibadah yang dituntut dari seorang Muslim.
Seharusnya, petunjuk dalam
mendefinisikan pemahaman-pemahaman Islami adalah Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya, serta gambaran prakteknya yang benar sebagaimana dilakukan oleh
generasi awal umat ini (ridlwanullah
ajma’in) berdasarkan contoh langsung dari Rasulullah Shallallah 'Alaihi
Wasallam. Merekalah sebaik-baik generasi, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
“Sebaik-baiknya generasi
adalah pada masaku, kemudian generasi berikutnya ....” (Asy-Syaikhan)
Muhammad Quthb dalam bagian
lainnya mengatakan:
“Pada awalnya, pemahaman
kaum muslimin bahwa ibadah itu hanya terbatas pada syi’ar-syi’ar ta’abudi saja tidak membahayakan, sebab mereka tetap
tidak melakukan rukun Islam yang pertama, yaitu ikrar syahadatain. Namun kenyataannya kini telah berbeda. Dalam kehidupan
kaum muslimin dewasa ini terlihat, masalah ini telah sampai kepada tingkat yang
membahayakan. Akibatnya tatkala diberikan konsepsi yang benar tentang ibadah,
yaitu dimulai dengan ikrar syhadatain dengan menghambakan sepenuhnya kepada
Allah tanpa mempersekutukan-Nya, sebelum datangnya rukun shalat, shaum, zakat,
dan haji, menjadi sulit di tegakkan dalam kehidupan kaum muslimin dewasa ini.
Hal ini disebabkan adanya anggapan umum, bahwa siapa yang telah melakukan
syiar-syiar ta’abudi, maka ia dianggap sebagai seorang mukmin yang sempurna
imannya sekalipun kenyataannya ia tidak berhukum kepada hukum Allah. Mereka
beranggapan pelaksanaan hukum terpisah total dari ibadah, yang berarti pula
terpisah dari konteks iman. Mereka berdalih bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasalam telah bersabda:
“Jika kalian melihat seorang
terbiasa keluar masuk masjid (melakukan shalat), maka ketahuilah bahwa ia
mukmin.”[1]
Dalam hadist ini disebutkan
‘membiasakan diri ke masjid’ dan tidak disebutkan berhukum kepada syariat
Allah.
Disinilah letaknya, membahas
keimanan dengan hadist tertentu tanpa memperhatikan hadist-hadist lain yang
membahas tentang hakikat iman, atu hal-hal yang membatalkan iman, tidak akam
memberikan gambaran pengertian yang tepat dan benar yang bisa
dipertanggungjawab-kan.
Bisa jadi orang yang
membiasakan diri ke masjid, ternyata ia pelaku
kemusyrikan, bid’ah, dan khurafat yang bisa membatalkan syahadat,
membatalkan kalimat Laa ilaaha illallah,
bahkan bisa mencabut akar iman itu sendiri. Karena berhukum kepada syariat
Allah itu merupakan salah satu
konsekuensi ikrar Laa ilaaha illallah,
sebelum seseorang melakukan shalat dan keluar masuk masjid, sekalipun hal itu
tak disebutkan dalama hadits tadi.
Barangkali kita masih ingat
ketika Abu Bakar rahimahullah orang-orang murtad, padahal mereka masih
mendirikan shalat dan terbiasa ke masjid, namun tak seorang pun dapat
memberikan kesaksian tentang keimanan mereka. Mereka di perangi dan di bunuh
karena berpaling dari salah satu hukum dari sekian banyak hukum Allah, walaupun
mereka melaksanakan hukum yang lainnya. Lalu bagaimana dengan mereka yang
secara terang-terangan berpaling dari semua hukum Allah dan rela menerima hukum
selain hukum Allah?[2]
Lebih aneh lagi, kini di
antara kaum muslimin ada yang beranggapan zikir dengan cara khalwat ta’abbudiyah--yaitu menyepi dan
menjauhkan diri dari kehidupan dunia untuk mendekatkan diri kepada
Rabb-nya--adalah jalan terbaik, padahal hal ini yang menyebabkan terputusnya
hubungan dengan lingkungan sekitarnya. Tentu, hal seperti ini tidak pernah
dilakukan oleh Jilul Faridl--generasi
unik, salafush shalih tiga generasi abad pertama Islam.
Seharusnya kita berzikir
melalui berbagai macam taklif. Ketika datang taklif berjuang menghadapi musuh,
maka zikir kita adalah berjihad di jalan-Nya. Ketika datang taklif agar kita
menggauli istri dengan baik, maka zikir kita adalah mu’syarah bil ma’ruf. Ketika datang taklif mendidik keluarga, maka
kita pun mendidik mereka agar dijauhkan dari api neraka.
Begitu pula ketika datang
taklif mencari karunia Allah, maka zikir kita adalah bertebaran di muka bumi
untuk memperoleh sebagian rezeki-Nya dan demikian halnya ketika datang taklif
untuk memakmurkan bumi, maka kita pun membekali diri dengan ilmu yang bisa
mengambil manfaat dan mengeksploitasi alam bagi pemakmuran bumi, pemberdayaan
manusia dan peradabannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“.... Dia-lah yang telah menciptakan kamu dari bumi (tanah), dan
menjadikanmu pemakmurnya,...” (Huud: 61)
Bahasan ke-5 : Aspek Politik
dalam Bingkai Ibadah
Di antara kesimpulan penting dari kajian tentang
konsep ibadah adalah menjalankan berbagai jenis aktivitas dalam segala aspek
kehidupan, di samping syiar-syiar ta’abbudi. Dimulai dari kegiatan politik yang
merupakan pengawasan umat atas penguasa (pemerintah), menyampaikan nasihat
kepadanya, dan menegakkan prinsip amar
ma’ruf nahyi munkar.
Semua ini dalam rangka menegakkan pemerintahan yang
bersih dan sesuai dengan perintah Allah dan
Syari’at-Nya. Juga menegakkan keadilan Rabbani, sebagaimana yang
dikehendaki-Nya. Dengan demikian, umat dapat merasakan nikmatnya kehidupan di
bawah naungan Islam yang dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya.
Inilah makna dari ayat berikut:
“Pada hari ini telah aku sempurnakan untukmu agamamu, Kucukupkan
nikmat-Ku untukmu, dan Kuridlai Islam menjadi agamamu.” (Al-Maidah: 3)
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya,
juga ulil Amri di antara kamu, kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu
hal, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (As-Sunnah) jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisaa’: 59)
Sedangkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallan
bersabda:
“Tidaklah Allah mengutus Nabi
kepada umat sebelumku, kecuali terdapat pendukung dan sahabat yang melaksanakan
Sunnahnya dan menuruti perintahnya. Setelah mereka tiada, muncullah generasi
berikutnya yang menyalahi mereka, mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan dan
mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Maka barangsiapa yang berjihad
melawannya dengan tangannya, berarti ia beriman. Barangsiapa yang berjihad
dengan lisannya (hujjah dan bayan), maka ia beriman. Dan barangsiapaa yang
berjihad dengan hatinya, maka ia pun beriman. Namun, di luar itu semua (tidak
berjihad melawan mereka), maka ia tidak memiliki iman.”[3]
Ayat di atas menegaskan bahwa sumber kekuasaan
mutlak di dalam masyarakat Muslim adalah Allah dan Rasul-Nya. Kemudian
memerintahkan menaati Allah dan Rasul-Nya secara mutlak dalam segala hal, baik
itu berupa larangan maupun perintah yang datng dari Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya. Selanjutnya perintah untuk menaati Ulil Amri dari kalanganmu, selama
perintah itu sejalan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada ketaatan
dalam hal maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, sebab tak ada ketaatan bagi
mahluk dalam hal kemaksiatan. Rasulullah bersabda:
“Taat itu hanya pada hal yang ma’ruf.”
(Asy-Syaikhani)
Adapun hadits di atas menunjukkan bagaimana sikap
umat bila terjadi penyimpangan terhadap hukum Allah. Setiap penyimpangan harus
diperangi dengan tangan, lisan, ataupun hati untuk meluruskan kembali ketentuan
Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Serta mengaitkan langsung tindakan ini
dengan keimanan.
Tingkatan minimal dalam memerangi penyimpangan di
atas adalah dengan kebencian hati. Sebab jika tidak, maka Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallan secara tegas mengatakan bahwa iman tiada lagi
dalam hati kita.
Dengan demikian, aktivitas politik--seperti telah
dijelaskan di atas-- juga merupakan bagian dari aqidah dan ibadah, sebagaimana
dipahami oleh generasi pertama umat ini. Berikut ini kisah menarik di masa
khalifah Umar bin Khaththab rahimahullah berkuasa:
Suatu saat ketika ia sedang berkhotbah, ada seorang
sahabat (rakyatnya) mengajukan protes seraya berkata: “Hari ini kami tidak akan
taat dan patuh kepadamu, kecuali jika Anda berkenan menjelaskan kepada kami
perihal baju yang Anda pakai dari mana asalnya?”
Kisah lain menyebutkan ketika Umar Ibnu Khaththab
rahimahullah memerintahkan seorang wanita agar tidak memberatkan mahar (emas
kawin), maka wanita itu berkata: “Engkau benar-benar telah membatasi
kelonggaran, padahal Allah berfirman: ‘Kalian memberi harta yang banyak kepada
salah seorang di antara wanita itu’. Apakah Anda hendak menyulitkan orang?”
Umar pun menjawab: “Umar bersalah dan perempuan itu benar”.
Tekanan politis yang dilakukan sejak awal dinasti
Umayyah dalam kehidupan umat Islam, kemudian umat secara bertahap melalaikan
kewajibannya dan faham tasawwuf yang timbul akibat tatanan dalam kehidupan
umat, serta Murji’ah yang membatasi makna iman dengan hanya tashdiq
(membenarkan dengan hati) dan ikrar semata sebagai jaminan masuk surga adalah
merupakan faktor-faktor yang mempersempit makna ibadah--makna yang tersirat dan
tersurat dalam Iyyaka na’budu wa iyyaka
nasta’in--sebagai syiar-syiar ta’abbudi semata. Selanjutnya, Islam dianggap
sebagai agama pribadi, aktivitas individual. Pada saat itulah manusia
menjauhkan diri dari aktivitas politik Islami.
Namun, Jama’ah Muslimin tetap melakukannya, sehingga
merekalah yang berhak mendapatkan predikat
Khaira Ummah (umat terbaik), sebagaimana firman Allah:
“Kalian adalah Khaira ummah yang dilahirkan bagi manusia, kamu menyuruh
yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran serta beriman kepada Allah....” (Ali Imran: 110)
Ketika aktivitas politik dikeluarkan dari konteks
ibadah, maka lepaslah ikatan Islam yang pertama, yaitu ikatan hukum. Pada
awalnya hal ini tidak merupakan perkara yang merusak, sebab manusia yang hidup
dalam masyarakat Islam tetap berhukum kepada syariat Allah. Mereka merasa tidak
perlu mengambil hukum selain hukum-Nya sebagai undang-undang yang wajib ditaati
dan dilaksanaakan. Tetapi selanjutnya berhukum kepada syariat Allah itu
diiringi dengan berbagai penyimpangan dan tindak kezaliman yang dilakukan oleh
para pemegang kekuasaan. Hal ini menyebabkan pelaksanaan hukum tidak sempurna,
tidak lagi berjalan sebagaimana diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
yang pernah dilaksanakan salafush shalih. Maka waktu pun berjalan seiring
dengan pelaksanaan hukum yang diwarnai dengan penyimpangan dan kezaliman,
hingga sampai pada zaman modern ini ikatan Islam itu telah benar-benar hancur.
Bahkan, syariat-syariat Islam telah disingkirkan dan diganti dengan undang-undang
buatan manusia. Jelaslah bagi kita apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallan berikut ini:
“Ikatan-ikatan Islam akan
dilepaskan satu-satu. Yang pertama dilepaskan adalah ikatan hukum dan yang
terakhir adalah ikatan shalat.” (HR Imam Ahmad)
Melepaskan aktivitas politik dari konteks ibadah
tidak hanya membawa bencana dalam hal sempitnya pemahaman aqidah dan ibadah
saja, akan tetapi lebih parah lagi, secara berangsur-angsur krisis pemahaman
ini melanda segi-segi lain yang lebih luas. Sedikit demi sedikit, namun pasti
setiap amalan (di luar syariat) dilepaskan dari ikatan iman dan ibadah. Padahal
Allah telah memperingatkan:
“Hai manusia, sungguh kamu
telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Rabmu, maka kamu pasti akan
menemuinya”
(Al Insyaqaq: 6)
Aktivitas
seseorang dikatakan lepas dari kaitan iman ketika pengertian iman dibatasi pada
tasdiq dan ikrar semata. Aktivitas seseorang juga telah lepas dari konteks
ibadah. saat pengertian ibadah dibatasi pada syiar ta’abbudi saja.
Jika
hal itu terjadi pada diri seseorang, setiap amalnya tidak lagi berorientasi
pada ibadah. Amal itu dilakukan mungkin dengan tujuan sekadar mendapat
penghasilan, kepuasan, dan kepemilikan, atau mencari kemenangan dan kesuksesan,
atau sekadar kesenangan untuk memenuhi kepuasan indrawi atau kegemaran, atau
sekadar kegemaran, atau tujuan lain yang tidak berkaitan dengan iman dan ibadah
kepada Allah SWT. Akibatnya terjadilah pemisahan antara ibadah di satu pihak
dan amalan di pihak lain. Manusia pun membagi waktunya untuk beribadah dan
beramal, serta yang tak termasuk keduanya, yaitu sekadar mengisi waktu luang,
bersenang-senang, atau rekreasi. Ketiga hal itu tidak mempunyai kaitan sama
sekali. Jika seseorang melakukan yang satu, terlepaslah kedua lainnya.
Dr. Fahmi Huwaidy mengatakan:
Telah menjadi kesepakatan
kita bahwa sekularisme merupakan suatu pandangan yang tertolak dari konsepsi
Islam. Sebab, Islam merupakan asas risalah yang mengatur segala urusan umat
manusia (masyarakat) yang meliputi berbagai ragam tingkat hubungan, baik
hubungan antara manusia dan manusia, atau antara pemerintah dan rakyatnya.
Namun, dengan penolakan ini bukan berarti persoalan itu telah selesai. Sebab,
kita akan dihadapkan pada pertanyaan berikut, yakni: apa dan bagaimana formula
pemerintah tersebut?
Pertanyaan
seperti itu selalu saja muncul, terutama setelah terjadi revolusi Iran yang
menampilkan wajahnya secara khas (Negara Islam versi Syiah dengan Imamahnya)
dan setelah para ulama berperan dalam kancah politik (hukum) atau urusan
kenegaraan yang sering disebut wilayatul faqih (di Iran). Inilah persoalan yang
dianggap lebih rumit mengenai hubungan antara agama dan poltik.
Sikap
dan pemikiran “pemilahan” antara agama dan dunia telah diketahui sejak sembilan
abad yang lalu. Namun, kalaulah boleh saya katakan bahwa orang yang meletakkan
teori tentang agama dan negara adalah seorang pakar hukum Islam terkenal dari
Bagdad, yaitu Abul Hasan Al Mawardi (364-450). Dengan karya-karyanya, terutama Al Ahkamus Sulthaniyah, Al Mawardi
selalu dikenang oleh peneliti Islam dari mancanegara. Bahkan menurut saya, ada
karyanya yang lebih prinsipil, yaitu Adab
Ad Dien wa Dunya.
Saya mengenal buku tersebut tidak
secara langsung, tetapi melalui buku Taqaddum
‘Inda Mufakkiril Islam fil ‘Alamil Arabil Hadits (Kemajuan Menurut
Pandangan Pemikir Islam di Dunia Arab Modern). Buku ini ditulis oleh seorang
dosen filsafat dan pemikiran Arab di Universitas Yordan, Dr. Fahmi Jad’an, pada
1979.
Dalam
buku tersebut, Fahmi Jad’an mengatakan bahwa teori Al Mawardi bergerak di antara
dua kutub, yakni Allah dan manusia, dunia dan akhirat, serta bumi dan langit.
Al Mawardi tidak melahirkan suatu pemikiran, tetapi hanya mengungkapkan unsur
keadilan (Anashirul Mu’adalah) dan
keseimbangan (tawazun). Penjelasan
tersebut selaras dengan apa yang terdapat dalam Alquran dan Assunnah.
Dalam
bukunya, Mawardi mengatakan:
Dengan menegakkan agama
(baca Al Islam), kebahagiaan akan terwujud.
Untuk
memperbaiki dunia, menurutnya ada enam syarat yang diperlukan, yaitu:
1. Agama
dan keyakinan yang benar-benar diamalkan.
2. Kekuasaan
yang kuat , yakni kekuasaan Ad Dien, yang tidak akan sirna, kecuali jika
hukum-hukumnya diubah atau panji-panjinya dimusnahkan.
3. Undang-undang
yang berfungsi menciptakan keadilan.
4. Hak
sipil yang berfungsi menciptakan keamanan.
5. Sistem
ekonomi yang berfungsi memeratakan kesejahteraan materi.
6. Sumber
daya manusia yang berwawasan (Insaniyah Mustaqbaliyah) yang berfungsi membuka
pintu harapan dan cita-cita di masa datang.
Uraian
tersebut diperkuat oleh dalil Alquran dan Assunnah, antara lain:
“Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi… (Al Qashash: 77).
Firman
Allah SWT:
“Maka apabila kamu telah
selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang
lain) dan hanya kepada Rabmulah hendaknya kamu berharap” (Al Insyirah: 7-8).
Sabda
Rasulullah SAW:
”Bukanlah yang terbaik di
antara kamu orang yang meninggalkan dunia untuk akhirat atau akhirat untuk dunia.
Yang paling baik di antara kamu adalah orang yang mengambil ini dan ini (dunia
dan akhirat)”
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------