Bag-3 : Antara Khulafaa` dan Khalaa`if

Tugas Kehalifahan Adam
Abu Hayan berkata, tugas kekhalifahan ada dua: pertama, menegakkan hukum secara benar dan adil. Kedua, melestarikan bumi, menanam, memetik dan mengatur irigasi.
Itulah secara global yang disebutkan para ulama dan ahli tafsir terhadap makna khilafah di bumi.
Dalam pembahasan berikut akan kami soroti istilah “khilafah di bumi” pada penelitian kami terhadap lafazh tersebut dapat membantu dalam menentukan maksud dan arti serta membebaskan ma’nanya dari berbagai pengaburan.

Khalifah Secara Umum
Apabila kita perhatikan firman Allah SWT;
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (al Baqarah: 30)
Maka kita dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.    Sesungguhnya khilafah dalam ayat tersebut adalah merupakan tugas positif yang dibebankan kepada Adam dan anak cucunya di bumi ini. Kami telah condong bahwa khalifah di – sini – bermakna “fa’il” bukan bermakna “maf’ul”. Seandainya makna maf’ul maka maknanya tidaklah sesuai dengan apa yang dikatakan oleh malaikat “Mengapa Engkau tidak hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau.
Sebagaimana Allah membantah mereka dengan firman-Nya: Dia berfirman: “Sesungguhnya Aku tahu apa yang tidak kamu ketahui.
Ini menunjukkan kejahilan malaikat terhadap tabi’at manusia tersebut dan ketidaktahuan mereka terhadap hikmah dijadikannya sebagai khalifah. Hanya saja Allah mengungkapkan kepada mereka tentang sesuatu dari tabi’at manusia tersebut dan kemampuannya untuk belajar dan memperoleh pengetahuan yang diberikan melalui akal dan indera sebagai suatu kebaikannya. Maka Allah mengajarkan kepadanya seluruh nama-nama (benda-benda) yang tidak diketahui oleh malaikat.
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!”
“Mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
“Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka Nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka Nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?” (al Baqarah: 31-33)
Begitu juga diungkapkan kepada mereka tentang kemampuan manusia untuk ta’at dan maksiat sebagai akibat dari kehendak dan pilihan yang telah Allah berikan kepadanya. Maka Allah menempatkan dia di surga dan mengawinkannya dan memperselisihkan keduanya untuk makan segala makanannya secara bebas dimana saja yang dikehendaki, kecuali satu, Dia melarang mendekati sebuah pohon yang telah diharamkan. Tapi mereka terjerumus dalam larangan tersebut atas bujuk rayu setan.
“Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang zalim.
“Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu[38] dan dikeluarkan dari Keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.” (al Baqarah: 34-35)
Kehidupan di bumi ini adalah kesempatan ujian supaya mausia menampakkan berbagai potensi yang tersembunyi yang ada pada dirinya, dan supaya meningkatkan diri dalam proses kesempurnaannya dengan beribadah kepada Allah di tengah-tengah tugas melestarikan bumi yang di sana dia dijadikan khalifah, dan yang disana pula dia harus memperhatikan syarat-syarat orang yang dijadikan sebagai khilafah supaya terwujud sifat perbaikan pada bumi.
Oleh karena manusia punya kemampuan untuk memperbaiki dan merusak, maka harus siap untuk memikul seluruh tugas-tugas dan tanggung jawabnya  sebagai ni’mat ikhtiyar (pilihan) yang merupakan suatu kelebihan yang Allah berikan kepadanya.
“Kami berfirman: "Turunlah kamu semuanya dari surga itu! kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati".
“Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (al Baqarah: 38-39)
Maka khilafah berdasarkan hal ini: adalah ibadah kepatuhan kepada Allah, memuji dan mensucikanNya, serta memperbaiki dan melestarikan bumi. Hal ini adalah kebalikan dari pendapat dan gambaran para malaikat. Tidaklah mengurangi arti (khilafah) apa yang diperhatikan manusia, kadang-kadang menimbulkan kerusakan-kerusakan parsial. Hal itu diakibatkan oleh tabiat pertentangan antara kebaikan dan kejahatan, dan khilafah itu sendiri mengandung fungsi pengobatan atau perbaikan terhadap kefasadan/kerusakan tersebut.
2.    Sesungguhnya khilafah tersebut adalah: pengangkatan khalifah dari Allah swt untuk manusia di bumi ini sebagai suatu penghormatan kepadanya.
Sebagaimana tercantum dalam firman Allah swt;
“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (al Isra: 70)
Kita perhatikan dalam ayat tersebut bahwa kemuliaan tersebut untuk anak cucu Adam berdasarkan jenis mereka dan kelebihan bagi mereka adalah untuk mengutamakan (mengistimewakan) mereka atas kebanyakan makhuk ciptaan Allah yang bermacam-macam. Hal itu dengan membawa mereka di daratan dan di lautan di atas kendaraan yang mereka naiki, dan dengan memberi rizki mereka yang baik, dan termasuk dalam hal ini adalah segala yang ditundukkan oleh Allah untuk manusia di alam ini, dan Dia jadikan di bawah kekuasaannya (manusia).
Kelebihan dan kemuliaan tersebut mulanya bagi manusia secara keseluruhan, namun dengan adanya kelompok-kelompok manusia yang menyimpang dalam suluk dan pemikirannya, akhirnya manusia yang mulia itu jumlahnya lebih sedikit dibanding makhluk-makhluk yang lain, sebagaimana firman Allah;
“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (al A;raf: 179)
Jadi, khalifah itu untuk manusia yang diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, dan Allah lebihkan dalam jalan kehidupannya atas makhluk-makhluklainnya, dan yang Allah ambil perjanjian terhadapnya dan Dia ciptakan (secara fitrah) dalam keadaan bertauhid kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya;
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (QS. Al A’raf: 172)
Jika ada kelompok dari manusia yang berpaling dari tugas tersebut atau menyimpang dalam pelaksanaannya, hal ini tidaklah menodai (mengurangi arti) kekhilafahan manusia dan persiapannya serta kemuliaannya. Sebab, kemuliaan tersebut berdasarkan jenis bukan berdasarkan setiap pribadi dalam jenis tersebut. sebagai buktinya adalah firman Allah;
“Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka. (QS. Fathir: 39)
Dan kita perhatikan dalam ayat tersebut bahwa ayat tersebut ditujukan kepada manusia secara umum, dan Allah menjadikan mereka “khalifah-khalifah di muka bumi” yang sebagian mereka mengganti sebagian yang lain, dan di antara mereka ada yang keluar dari ketaatan Robnya dan kafir dari petunjuk yang telah diturunkan kepadanya, dan kekafiran tersebut sekali-kali tidak akan memberikan faedah sedikit pun kepada orang-orang kafir tersebut bahkan menambah kemurkaan Allah kepada mereka dari kerugian di dunia dan akhirat.
Dan kekafiran tersebut yang kadang-kadang muncul dari sebagian manusia pada asalnya tidak bertentangan dengan prinsip kekhilafahan manusia di muka bumi.
Dan macam khilafah tersebut adalah khilafah secara umum untuk manusia secara keseluruhan.

Khilafah (khala’if)
Telah kita ketahui dari pembicaraan kita mengenai khilafah dalam artian secara umum bahwa khilafah semacam itu mencakup seluruh jenis manusia, baik yang beriman maupun yang kafir. Hanya saja sunnatullah berlaku yaitu membinasakan orang-orang yang kafir dan mengganti mereka dengan orang-orang yang lain (tidak seperti orang-orang kafir). Sebagaimana firman Allah;
“Dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini”. (QS. Muhammad: 38)
“Jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu apa (amanat) yang aku diutus (untuk menyampaikan)nya kepadamu. dan Tuhanku akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain (dari) kamu; dan kamu tidak dapat membuat mudharat kepada-Nya sedikitpun. Sesungguhnya Tuhanku adalah Maha pemelihara segala sesuatu.” (QS. Hud: 57)
“Dan Tuhanmu Maha Kaya lagi mempunyai rahmat. jika Dia menghendaki niscaya Dia memusnahkan kamu dan menggantimu dengan siapa yang dikehendaki-Nya setelah kamu (musnah), sebagaimana Dia telah menjadikan kamu dari keturunan orang-orang lain. (QS. Al An’am: 133)
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan hak[784]? jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan mengganti(mu) dengan makhluk yang baru.” (QS. Ibrahim: 19)
Berdasarkan hal tersebut (kata khola’if) dalam Al qur’an dipergunakan untuk ummat yang menggantikan ummat yang telah dibinasakan oleh Allah. Hal itu sebagaimana dalam firman Allah;
“Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.” (QS. Yunus: 14)
Dan sebelum ayat tersebut adalah ayat sebagai berikut;
“Dan Sesungguhnya Kami telah membinasakan umat-umat sebelum kamu, ketika mereka berbuat kezaliman, Padahal Rasul-rasul mereka telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, tetapi mereka sekali-kali tidak hendak beriman. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat dosa.” (QS. Yunus: 13)
Jadi jelaslah bahwa Allah menjadikan mereka khalifah-khalifah setelah orang-orang yang zhalim dan berbuat dosa sebelum mereka dibinasakan.
At Thabari berkata mengenai ayat tersebut: kemudian Kami jadikan kamu wahai manusia khalifah-khalifah setelah ummat tersebut yang telah Kami binasakan ketika mereka berbuat kezhaliman. Kamu menggantikan mereka di bumi, dan kamu berada di sana setelah mereka. (Supaya kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat), Dia berkata: Supaya Rabb kamu memperhatikan mana amalmu dibandingkan dengan amal ummat-ummat yang telah dibinasakan sebelum kamu karena dosa dan kekafiran terhadap Rabb mereka. Apakah kamu berbuat seperti mereka (jika demikian), maka kamu berhak menerima balasan seperti mereka, apakah kamu menyalahi jalan mereka dengan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, meyakini hari kebangkitan setelah mati, maka kamu berhak memperoleh pahala yang banyak dari Rabbmu.[1]
Sebagaimana khilafah itu diberikan kepada suatu ummat setelah ummat yang lain (ummat sebelumnya) setelah kafir dan berpaling dari jalan petunjuk, begitu dalam ummat yang satu dimana orang-orang mukmin menggantikan orang-orang kafir setelah mereka dibinasakan oleh Allah karena dosa-dosa mereka.
Hal itu sebagaimana dalam perihal kaum Nuh as, dimana Allah berfirman:
“Lalu mereka mendustakan Nuh, Maka Kami selamatkan Dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu.” (QS. Yunus: 73)
Begitulah, kita lihat bahwa shigah (bentuk) “khola’if” yang pada asalnya adalah sebagai sifat untuk manusia yang sebagian mereka menggantikan sebagian yang lain dipergunakan oleh al qur’an secara khusus dan dijadikan untuk ummat-ummat yang beriman yang menggantikan ummat-ummat kafir setelah dibinasakan oleh Allah karena dosa-dosa mereka.
Dan shighoh tersebut memberika indikasi bahwa ummat-ummat yang menggantikan suluk dan jalan kehidupannya harus berbeda dengan ummat yang digantikan, sebagaimana yang telah disitir dalam ayat yang telah lalu (QS. Hud: 57).

Khilafah (Khulafa’)
Kalau ayat-ayat yang lalu datang dalam bentuk jama’ khola’if sebagai indikasi biasanya orang-orang kafir dan pengangkatan orang-orang mukmin sebagai khalifah setelah mereka, maka ayat-ayat khalifah turun dalam bentuk jama’ “khulafa” untuk menggantikan ummat yang beriman setelah habis masanya. Hal itu sebagaimana ucapan Hud as, di dalam Al Quran kepada kaumnya ‘Ad:
“Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan kepadamu? dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al A’raf: 69)
Maksud dari kalimat ‘dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh’ adalah orang-orang mukmin dari kaum Nuh yang telah menggantikan orang-orang kafir yang telah dibinasakan oleh Allah dengan angin taufan berdasarkan ayat sebelumnya:
“Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan Dia dan orang-orang yang bersamanya dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya).” “QS. Al A’raf: 64)
Kemudian Allah berfirman:
“Dan (kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?" (QS. Al A’rof: 65)
Shigoh khulafa’ juga digunakan terhadap kaum Sholeh as, Tsamud, sebagaimana dalam firman Allah:
“Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (QS. Al A’rof: 74)
Maksud dari kalimat ‘Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum 'Aad’ adalah orang-orang mukmin dari kaum Hud yang telah menggantikan orang-orang kafir yang telah dibinasakan oleh Allah berdasarkan ayat sebelumnya yaitu perihal Huud dan kaumnya:
“Maka Kami selamatkan Hud beserta orang-orang yang bersamanya dengan rahmat yang besar dari Kami, dan Kami tumpas orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, dan Tiadalah mereka orang-orang yang beriman.” (QS. Al A’raf: 72)
“Dan (kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka shaleh.” (QS. Al A’raf: 73)
Begitulah kita lihat shigot kata ‘khola’if’ dipergunakan dalam pewarisan zaman ummat kafir yang telah dibinasakan Allah yang mana ummat yang menggantikan harus berbeda dari ummat yang digantikan dalam jalan kehidupan dan suluknya. Dan shigoh ‘khulafa’ dipergunakan dalam pewarisan dien yang baik dan benar karena dia datang setelah ummat yang baik. Hal ini berma’na bahwa ummat yang menggantikan harus mencontoh dan mengikuti jejak langkah ummat yang digantikan. begitu juga kita perharikan bahwa shighoh ‘khulafa’ menunjukkan pada karakter pribadi yang dijadikan khalifah oleh Allah sebagaimana perihal segala sesuatu yang dijama’kan pada wazan ‘fu’ala’ yang telah kami jelaskan sebelumnya. Bahwa di samping sifat dan karakter tersebut yang telah mencalonkan mereka sebagai kholifah yang baik terdapat juga suatu isyarat tentang kekuatan badan dan fisik yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka. Sebagaimana Dia berfirman mengenai kaum ‘Ad:
“Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al A’raf: 69)
Kelebihan kekuatan tubuh  dan perawatan tersebut merupakan kekuatan fisik di samping karakter pribadi merupakan yang terkandung dalam shighoh ‘khulafa’. Hal yang serupa terdapat dalam perihal Tsamud kaum Sholeh:
“Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (QS. Al A’rof: 74)
Penempatan diri dan kemampuan untuk berdaya upaya di bumi, tidak lain hanyalah suatu isyarat yang jelas tentang ciri kekuatan fisik di samping karakter pribadi yang dipahami dari shighoh ‘khulafa’.
Kemudian Dia mengingatkan kedua kaum tersebut dengan karakteristik dan ciri-ciri tersebut menjadi motifator kepada khilafah yang baik, sebagaimana firman-Nya terhadap kaum ‘Ad:
“Ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Dan terhadap kaum Tsamud:
“Dan ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu meraja lela du muka bumi membuat kerusakan.”
Dan juga dapat ditarik kesimpulan bahwa kekuatan fisik dan kemampuan untuk melestarikan bumi bukanlah merupakan tujuan dari khilafah. Namun hanyalah merupakan washilah untuk kehidupan yang telah Allah berikan kepada manusia untuk membantunya dalam memikul tugas khalifah yang telah Allah bebankan kepadanya, yaitu beriltizam terhadap yang telah Allah syari’atkan kepada manusia dan berjalan di atas petunjuk-Nya yang mana akan melahirkan kebaikan dan kebahagiaan bagi manusia baik di dunia dan di akhirat.





[1] At Thabari XI: 94


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------