Khilafah Fil Ardl, oleh Dr. Ahmad Hasan Farhat
Penerjemah : Abu Fahmi & Ibnu Marjan
Bagian-2 : Arti kata Al Khilafah

Ar Roghib al Asfahani berkata dalam bukunya Mufradat hal 156 :
Bertanggung jawab terhadap urusannya mungkin bersama-sama dengan dia atau setelah dia. Dan al Khilafah artinya, menggantikan orang lain disebabkan ghaibnya (tidak ada di tempat) orang yang akan digantikan atau karena meninggal dunia, atau karena dia tidak mampu, ataupun sebagai penghormatan terhadap apa yang akan menggantikan.
          Abu Bakar Al Adfawi berkata dalam bukunya al Istighna’ hal 69 : “ jama’ kata (kholifah) adalah (khulafa) seperti jama’ kariimu adalah kuramaa’u. Allah subhanahu w ta’ala berfirman :
“Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh”, (QS. Al A’raaf : 69)
          Abu Jafar an Nuhan (Ustadznya) berkata : “boleh juga jama’nya adalah (khilaafun) seperti juga Kariimun, karena Ha’ adalah tambahan. Dan boleh pula (Kholaaifu) disamakan dengan Shohaafu (shohifatin). Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi” (QS. Al An’am : 165).
Kita perhatikan disini sesungguhnya paraahli tafsir tidak menyebutkan perbedaan arti antara dua bentuk (kholaaifu) dan (khulafaau’).   خلائف- خلفاء
 Tetapi nampak bagi kita perbedaan antara keduanya dari penggunaannya dalam al qur;an terhadap dua bentuk tersebut, akan kami sebutkan pada tempatnya nanti dalam pembahasan ini. Namun sebagian ulama’ nahwu dan shorof telah menyebutkan sebagian perbedaan umum antara bentuk (fu’alaau) فعلاء (fa’aailu) فعائل dan fi’aalu). فعال
Dan barangkali untuk lebih baiknya kita ketahui perbedaan antara bentuk-bentuk jama’ tersebut.
    Biasanya فعلاء (fu`alaa`)adalah jamak untuk فعيل (fa’iilun) yang merupakan sifat untuk mudzakar yang berakal, yang bermakna  فاعل (fa’il)……. Barangkali jama’nya فعيل (fa’iil) yang bukan manqus shohih ain atau mu’tal atau jama’nya فعيلة (fa’iilati) adalah فعال
 (fi’aal). Seperti dzhoriif dan dzhoriifati dan dzhiroofi dan kariima dan kiroomi dan thowiilu dan thiwalu.
          Dan wazan (fa’alaau) menunjukan karakter asli yang di antaranya adalah instink atau seperti instink, sebab dia jama’nya (fa’iilun) dan (fa’iil) sendiri menunjukan pada karakter asli. Dan ustadz Dr. Fadlil as Samaro’I berpendapat bahwa pada asalnya (fa’alaau) menunjukan pada karakter asli dan (fi’aalu) adalah untuk sifat-sifat fisik. Sebagaimana dia berpendapat perbedaan antara (fi’aalu) dan fa’aailu) yang dimaksudkan adalah kata benda seperti shohaaif (surat kabar-surat kabar) dan kolaaid (kalung-kalung). Dan segala yang diubah dari kata sifat menjadi kata benda dijama’kan pada (fa’aailu)[1]  (Lihat M’ani Al Abniyah oleh Dr. As Samaro’I hal 169-170)
          Pengarang Al Mishbahul Munir berkata pada hal 192 istahlaftuhu : “saya jadikan dia khalifah (kholifati) kadang-kadang bermakna (faa’il) dan kadang-kadang bermakna (maf’ul)

Khilafah Adam Alaihi Salam
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS. Al Baqarah : 30)
          Para jumhur ahli tafsir berpendapat bahwa maksud kata (kholifah) dalam ayat tersebut  adalah Adam Alaihi Salam, namun sebagian lain berpendapat bahwa kata (kholifah) yang dimaksud  adalah bentuk tunggal yang berarti jama’ yang maksudnya ialah (kholaaifu) (para kholifah). Atas dasar ini maksud ayat tersebut adalah Adam alaihi salam dan anak cucunya.
          Mki bin Abi Tahlib dalam bukunya Al Hidayah Fi al bulugh an Nihayah hal 27 berpendapat bahwa “kata (kholifah) dalam ayat tersebut apabila bermakna (maf’ul) maka artinya : “Sesungguhnya kami akan menjadikan para khalifah di bumi yang satu sama lain saling menggantikan, dan mereka tidak kekal”. Dan apabila bermakna (fa’ili) maka artinya : “Mereka menggantikan yang tadinya sudah ada di bumi akan tetapi telah mati. Hal itu karena ahli tafsir menyebutkan diriwayatkan bahwa bumi tadinya dihuni oleh Jin dan mereka berbuat kerusakan lantas dimusnahkan oleh Allah subhanahu wa ta‘ala.
          Atas dasar inilah khalifah bermakna menggantikan kedudukan Jin di bumi dan menempatinya setelah mereka musnah. (Tafsir seperti ini boleh diterima jika benar riwayat yang disebutkan oleh ahli tafsir tentang tinggalnya Jin di bumi sebelum Adam alaihi salam lalu dimusnahkan setelah itu, akan tetapi yang jelas hal ini tidak benar. Lihat tafsir ibnu katsir Jilid 1 halaman 108-111 dalam meneliti dan mengoreksi berita seperti itu).

Khalifah dari Allah
          Sekelompok ahli tafsir berpendapat bahwa khilafah dalam ayat tersebut di atas adalah khilafah dari Allah. Ibnu Katsir berkata tentag arti (kholifati):Sudi berkata dalam tafsirnya dari Abi Malik dan Abi Sholih dari Ibnu Abbas dan dari Murrah dari Ibnu Mas’ud dan dari salah soerang sahabat bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman kepada para malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi”. Mereka berkata : “Wahai Rabb kami apa yang akan terjadi pada khalifah tersebut ? Beliau menjawab : Dia akan memiliki keturunan yang akan membuat kerusakan di muka bumi dan mereka satu sama lain saling menghasut dan saling membunuh. Ibnu jarir  berkata :Ta’wil ayat tersbeut adalah “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah dari-Ku yang akan menggantikan Aku dalam (menegakan) hukum di tengah-tengah makhluk ciptaan-Ku di muka bumi. Dan khilafah tersebut adalah Adam dan ornag-ornag yang menggantikan kedudukannya dalam ta’at kepada-Ku dan menegakan hukum degan adil di tengah-tengah makhluk ciptaan-Ku. Adapun yang (berbuat) kerusakan dan menumpahkan darah bukan dengan cara yang hak adalah bukan para khalifah-Ku[2] .
          Abu hayyan berkata : “Para nnabi adalah khalifah-khalifah Allah di bumi-Nya. Dan Difahami terbatas pada Adam karena dia itu adalah bapaknya para khalifah, sebagaimana kabilah Qois hanya terbatas pada kabilah yang berasal dari Mudlor dan tamim,(Qurthuni berkata : Makna Al Khalifah*-Disini-dalam ucapan Ibnu MAs’ud dan Ibnu Abbas dan seluruh ahli ta’wil adalah Adam Alaihi salam dia adalah khalifah (pengganti) Allah dalam menjalankan hukum dan perintah-Nya, karena dia adalah rasul pertama di Bumi[3].
          Adapun Baidlawi dia berkomentar lain tentang Adam dan seluruh nabi bahwa mereka itu khalifah-khalifah Allah. Beliau berkata:”Al Khalifah adalah orang yang menggantikan kedudukan orang lain-Ha’ adalah untuk melebih-lebihkan-maksudnya adalah Adam Alaihi salam kerena dia adalah khalifah Allah di bumi-Nya.
          Begitu juga Allah menjadikan seluruh nabi sebagai khalifah untuk melestarikan bumi, mengatur dan menyempurnakan jiwa manusia serta menjalankan perintah-periintah-Nya di tengah-tengah mereka, bukan karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala butuh terhadap orang yang menggantikan-Nya (para nabi itu), bahkan disebabkan keterbatasan pengganti-pengganti tersebut dalam menerima perintah-Nya tanpa melalui perantara. Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak menjadikan malaikat sebagai nabi sebagaimana Dia berfirman :
“Dan kalau Kami jadikan Rasul itu malaikat, tentulah Kami jadikan Dia seorang laki-laki” (QS : Al An’am : 9).
          Tidaklah anda perhatikan bahwa para nabitatkala kemampuannya telah memuncak dan watak kepribadiannya memancarkan “cahaya” dimana “minyaknya” saja sudah bias memantulkan cahaya sekalipun tidak tersentuh oleh api, tatkala itu diutuslah malaikat kepada mereka.
          Barangsiapa telah mencapaiderajat tertinggi maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala berbicara langsung dengannya tanpa melalui perantara, sebagaimana Dia berbicara langsung dengan Musa Alaihi Salam dan Miqat, dan dengan Muhammaad Shalallohu Alaihi Wa Sallam ketika malam Mi’raj. Perbandingan yang serupa dengan itu di alam ini adalah pada tulang tatkala sudah tidak mampu menerima makanan dari daging (secara langsung) karena antara keduanya saling berjauhan, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan hikmah-Nya menjadikan tulang rawan yang sesuai dengan keduanya sebagai perantara untuk mengambil dan memberi (makanan)[4]
          Begitu juga kita lihat Ar Roghib al Ashfahani dalam mengungkapkan kata al khalifah menggantikan sebagai penghormatan kepada yang menggantikan. Berdasarkan arti ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan para wali-Nya sebagai khalifah di muka bumi. Allah berfirman :
“Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.” (QS : Faathir : 39)
“…dan Tuhanku akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain (dari) kamu”. (QS. Hud : 57)
          Adapun Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa tidak benar istilah “khalifah dari Allah”. Beliau berkata : “tidak boleh Allah memiliki khalifah (pengganti). Oleh karena itu, tatkala mereka (para sahabat Rasulullah) berkata kepada Abu Bakar As Shiddiq Rhadiallohu ‘Anhu: “Wahai khalifah Allah! Beliau menajwab: “saya Bukan khalifah Allah tapi saya adalah khalifah Rasulullah Shalallohu Alaihi Wa Sallam, cukuplah hal itu bagi diriku. Bahkan Allah Subhanahu Wa ta’ala adalah sebagai khalifah yang selain Dia”.
Nabi Shalallohu Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Ya Allah Engkau adalah penguasa dalam perjalanan dan khalifah dalam keluarga. Ya Allah lindungilah kami dalam perjalanan kami ini dan gantikanlah (kedudukan) kami dalam keluarga”.
          Hali itu karena Allah Maha Hidup, maha Menyaksikan, maha Pelindung, maha Berdiri Sendiri, maha Memelihara, maha Mengawasi dan maha Kaya dari semesta alam. Dia tidak memiliki sekutu dan penolong, tidak ada seseorang yang bisa memberikan syafaat kecuali atas ijin-Nya/ khalifah itu hanya ada tatkala yang akan digantikan itu telah tiada entah karena mati atau karena ghaib (tidak ada di tempat), dan karena orang yang digantikan itu membutuhkan orang lain supaya menggantikannya. Dinamakan khalifah” karena dia menggantikannya. Dinamakan “khalifah” karena dia menggantikan orang lain, dia berdiri di belakangnya. Seluruh makna tersebut dinafikan terhadap hak Allah subhanahu wa ta‘ala. Dia suci dari itu semua. Dia Maha Hidup, Berdiri sendiri, Maha menyaksikan, tidak mati dan tidak Ghoib. Dia maha Kaya yang memberikan rizki bukan yang diberi rizki. Memberikan rizki kepada hamba-hamba-Nya, menolong mereka, memberi petunjuk mereka, serta menghukum mereka. Dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji. Kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan di bumi dan antara keduanya.
 “Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadanya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan” (QS. Ar Rahman : 29).
“Dan Dialah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi dan Dia-lah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui”. (QS. Az Zukhruf : 84).
Tidak boleh seseorang sebagai pengganti Allah atau menempati kedudukan-Nya, karena tidak ada yang menyamai-Nya. Barangsiapa yang menjadikan kholifah bagi Allah maka ia telah musyrik (menyekutukan-Nya)[5].
Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut perlu ditinjau kembali, karena orang-orang yang membolehkan “khilafah dari Allah” itu, mereka tidak mengharuskan atas dasar kematian, atau ghoibnya atau ketidak mampuan yang akan digantikannya itu. Namum mereka membolehkan berdasarkan makna lain, yaitu seperti yang telah disyaratkan oleh Ar Raghib sebagai penghormatan kepada yang menggantikannya.
Didasarkan pada hal tersebut di atas, maka pendapat Ibnu taimiyah merupakan suatu larangan yang benar berdasarkan makna yang dia sebutkan. Sedangkan pendapat lain yang membolehkan adalah berdasarkan adalah berdasarkan makna lain yaitu sebagai penghormatan, yang selanjutnya dikatakan oleh Ar raghib: “Berdasarkan hal ini maka Allah menjadikan para wali-Nya sebagai kholifah di bumi”.
Tentang ucapan Abu Bakar Radhiallohu anhu yang dijadikan sebagai dalil oleh Ibnu taimiyah mungkin mengandung (makna) tawadlu’ karena Abu Bakar Radhiallohu ‘anhu tidak menyalahkan orang yang mengucapkan hal itu dan tidak mengatakan kepadanya bahwa hal itu adalah syirik. Dia hanya menjadikan hal itu dan memandangnya sebagai suatu hal yang berlebihan dengan dalil ucapannya : “Cukuplah hal itu bagi diriku”.
Makna kholifah tersebut telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud dan salah seorang sahabat bahkan terdapat dalam beberapa hadits Nabi. Contohnya seperti yangtelah diriwayatan oleh Ahmad dalam Musnadnya dari Tsauban-maula Rasulullah shalallohu alaihi wa sallam berkata:jika kamu melihat bendera hitam telah datang dari daerah Khurasan datanglahkepadanya karena sesungguhnya disana ada seorang kholifah Allah al Mahdi”[6].
Dan Zujaj berkata : “Boleh dikatakan bahwa kepada “para imam” adalah para kholifah Allah di bumi-Nya berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :
“Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi .”.(QS. Shaad : 26).
Terdapat pendapat-pendapat bahwa khilafah dariAlalh diperuntukan kepada para Nabi, para wali dan para imam, sedangkan selain mereka tidak. Dan khilafah tersebut bermakna : menggantikan Allah subhanahu wa ta ‘ala bersama dengan Dia sebagai penghormatan kepada yang menggantikan. Mereka itu adalah para nabi, para wali dan para imam.
Shohibul misbakhul munir telah menyebutkan riwayat pendapat sebagian mereka[7].   “tidak dikatakan : kholifatullah dengan idlofah (digabungkan) kecuali keapda Adam dan Daud karena didapat dalam nash”. Kemudian di berkat : boleh (diidlofatkan) berdasarkan Qiyas karena Allah Subhanahu wa ta‘ala menjadikan Adam dan Daud sebagai kholifah sebagaimana Dia menajadikanya sebagai sulthan (penguasa). Dan sering kita dengar : sulthanullah, jundhullah, hizbullah, khaylullah (kuda Allah). Tidak pernah didengar (disebutkan) kholifatullah bukan berarti tidak bisa dirangkai, karena ada Qiyas.
Karena dia (kata khalifah) itu berbentuk isim “nakirah”, maka bisa dimasuki “Al” untuk diubah menjadi “ma’firah”, maka dia bisa dimasuki juga oleh yang datang setelah itu (Allah misalnya) yaitu idlofah seperti seluruh “isim jinis”.
Ats Tsa’labi berpendapat dalam fiq lughoh bahwa orang Arab menggabungkan atau merangkaikan beberapa hal kepada Allah ‘Azza Wa Jalla jika hal tersebut milik Allah. Dikatakan, Baitullah (rumah Allah: ka’bah), Dhilullah (naungan Allah) dan Naqatullah (unta Allah).
Jahid berkata: segala sesuatu yang Allah idhofatkan (dirangkaikan) dengan diriNya, maka perkara tersebut telah tinggi nilainya. Contoh, hal tersebut telah Dia lakukan terhadap api. Allah berfirman “Narullahil Muqodah” artinya: Api Allah yang dinyalakan. Dan diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda kepada Utabah bin Abi Lahab: “Semoga engkau dimakan oleh anjing Allah”. Akhirnya dia dimakan singa. Hadits ini terdapat dalam Majma’uz Zawa’id VI: 19, diriwayatkan oleh Thabrani hadits Mursal.
Dalam ayat tersebut ada dua kesimpulan: pertama, bahwa singa adalah kalbun (anjing). Kedua, tidak diidhofatkan kepadaNya kecuali hal-hal bernilai tinggi, baik dalam kebaikan maupun dalam kejahatan. Dalam kebaikan misalnya: bumi Allah, kekasih Allah, pengunjung Allah. Sedangkan dalam kejahatan: misalnya, biarkan dia di dalam la’nat dan kemurkaan Allah dan kepedihan azabNya, dan menuju api (neraka) Allah dan panas neraka Saqar (neraka) Nya.[8]
Berdasarkan pendapat tersebut, manusia itu adalah khalifah Allah di bumi-Nya, dalam arti bahwa Allah menjadikan dia sebagai khalifah di bumi-Nya. Dan juga dari idhofah maf’ul yaitu yang dijadikan sebagai khalifah terhadap fa’il (Allah Swt).
Sebagai bukti terhadap makna tersebut adalah beberapa hadits Rasulullah Saw yang diantaranya diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Sa’id Al Khudhri dan Abi Hurairah ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda,
“Tidakkah Allah mengutus seorang Nabi dan tidak mengangkat seorang khalifah kecuali dia itu memiliki dua rombongan pengiring (penasihat). Satu menyuruh dan menganjurkannya mengerjakan yang ma’ruf dan yang lain menyuruh dan menganjurkannya mengerjakan yang jahat. Barangsiapa dilindungi Allah, maka terpelihara (dari kesalahan).”[9]
Dan di antaranya juga apa yang diriwayatkan oleh Ahmad di dalam musnadnya dari sebuah hadits yang panjang dari Hudzaifah Ibnul Yaman:
“Saya bertanya, wahai Rasulullah apakah setelah kebaikan ini ada kejahatan sebagaimana kejahatan sebelumnya? Beliau menjawab: ya, dia berkata: saya bertanya: apa pencegahnya wahai Rasulullah? Pedang, jawabnya. Dia berkata: saya bertanya lagi: Apakah setelah pedang tersebut masih ada lagi? Beliau menjawab: Ya, terdapat pemerintahan yang di dalamnya terdapat kejelekan serta kebobrokan yang di dalamnya terdapat kerusakan. Dia berkata: saya bertanya lagi: Kemudian apa? Beliau menjawab: akan muncul para penyeru kesesatan. Dia berkata: Saya bertanya lagi: beliau menjawab: Dan jika Allah memiliki khalifah tatkala itu di bumi sekali pun, dia mencambuk punggungmu dan mengambil hartamu maka tetaplah beriltizam kepadanya, dan jika tidak ada (tinggalkanlah golongan itu) sekalipun engkau mati dalam keadaan menggigit akar pohon.[10]






[1] Lihat Mani Al Baniyah oleh Drs. As Samaro’i hal. 165-170
[2] Tafsir Ibnu Katsir I: 100 dan Isnad ini Hasan.
[3] Tafsir Qurthubi I halaman 368.
[4] Al Baidlowi hal. 22
[5] Al Fatawa XXXV: 45
[6] (Musnad Ahmad V ; 277, Fathur Robbani XXIV : 51, dan Ibnu Majah dalam bab Fitan : 34).
[7] (al misbakhul munir hal 213)
[8] Fiqhul Lughah karya Ats Tsa’labi hal. 547-548.
[9] Bukhari XIII: 163 dalam al Ahkam
[10] Al Musnad V: 403, Fathur Rabbani XXIV: 25


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------