1.4  Memohon Perlindungan Kepada Allah dari Bisikan Setan
           
Mengingat kuatnya tekad setan dan sekutunya yang tidak akan menyerah dan mengendorkan semangatnya sedikitpun untuk menyimpangkan manusia dan menyesatkan mereka, maka tepat kiranya jika Allah mensyari’atkan kepada kita untuk memohon perlindungan kepada-Nya dari bisikan setan.
           
Hal ini mengingat bahwa setan itu dapat berubah bentuk, bahkan dapat menyusup masuk ke dalam jiwa manusia, serta menyerangnya dari dalam. Sehingga terdapat manusia yang berperilaku merusak dan selalu membuat keonaran sebagaimana lazaimnya perbuatan setan.
           
Satu hal yang penting kita yakini, bahwa dengan diciptakannya setan, maka Allah ingin melihat hamba-hambanya yang taat dan yang maksiat kepada-Nya. Inilah salah satu tujuan diciptakannya iblis la’natullah.
           
Imam Baihaqi di dalam kitanya Al-Asma’ dan Abdullah bin Ahmad di dalam Zawaid-nya meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:
            “Sesungguhnya, seandainya Allah tidak menghendaki dimaksiati, tentu Ia tidak menciptakan iblis.”[1]

Di dalam hadis yang lain, Rasulullah bersabda:
                        “Tidaklah di antara kalian terdapat seorang pun, kecuali disertakan pendampingnya dari Jin. Mereka bertanya: ‘Apakah Anda juga, ya Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘Aku juga, hanya saja Allah Ta’ala menolongku atasnya, sehingga ia menjadi Muslim, maka ia pun tak memerintahku kecuali kebaikan’.”[2]

Imam An-Nasa’i meriwayatkan dari Aisyah ra. :
                        “Tidak seorang pun dari kalian kecuali bersamanya ada setan. Mereka bertanya: Dan apakah Anda juga, ya Rasulullah? Beliau menjawab: Juga Aku, hanya saja Allah menolongku darinya, sehingga ia menjadi Muslim.” [3]
           
           
Sejak anak keturunan Adam dilahirkan, ketika itu pula setan telah menunggu di samping ibu anak tersebut untuk sengaja mengganggunya. Hal ini berdasarkan satu riwayat Imam Bukhari berikut:
                        “Tiada seorangpun dari bani Adam yang dilahirkan kecuali setan mencucuknya (menyentuhnya) ketika dilahirkan, sehingga ia menangis (berteriak atau bersuara) dengan jelas akibat cucukan tersebut kecuali Maryam dan Puteranya.”[4]
           
           
Bahkan setan dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui aliran darah, sebagaimana Rasulullah bersabda:
                        “Sesungguhnya setan berjalan pada ibnu Adam (manusia) mengikuti tempat peredaran darah.”[5]
           
           
Oleh karena itu, manusia jangan berharap bisa terhindar dari godaan setan/iblis sekalipun dalam keadaan tidur. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam  bersabda:
                        “Setan mengikat tengkuk leher setiap kalian ketika tidur dengan tiga ikatan. Setiap tali mengikat pada tempatnya, Anda mempunyai cukup waktu (panjang), maka tidurlah (dengan nyenyak).Jika ia terjaga lalu berdzikir kepada Allah (membaca doa bangun tidur), maka lepaslah satu ikatan. Kemudian jika ia (melanjutkan) dengan wudlu’, maka lepaslah sati ikatan (lagi). Maka, jika ia kemudian menegakkan shalat, terlepaslah tiga tali pengikatnya. Sehingga ia (memulai hidup) pada pagi harinya dengan giat dan baik jiwanya. Namun jika tidak, maka ia menjadi buruk dirinya dan pemalas.[6]
           
           
Oleh karena itu, Rasulullah mensyari’atkan kepada setiap Muslim yang bangun tidur dan hendak mengambil air wudlu’, hendaklah ia mendahuluinya dengan memasukkan air ke dalam hidungnya, lalu dikeluarkan lagi. Rasulullah bersabda:
                        “Jika seseorang bangun dari tidurnya, lalu ia berwudlu’, maka hendaklah ia menghirup air ke dalam hidungnya dan dikeluarkannya kembali sampai tiga kali, karena setan bermalam di atas batang hidungnya.”[7]
           
           
Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada kita, hamba-hamba-Nya yang beriman, agar senantiasa melindungkan diri kepada-Nya dari segala bentuk godaan setan. Firman Allah Ta’ala :
                        “Dan apabila kamu terkena gangguan syaithan, maka berlindunglah kepada Allah, sungguh Allah Maha Mendengar lagi Mengetahui.”
            (Al-A’raaf : 200)
                        “Katakanlah: ‘Ya Rabb, aku berlindung kepada-Mu dari gangguan syaithan dan aku berlindung kepada-Mu jangan sampai syaithan hadir di dekat kami.” (Al-Mukminun: 97-98)

Bahkan secara langsung Allah memerintahkan kepada bani Adam untuk tidak terperdaya oleh setan, sebagaimana ia telah menggelincirkan Adam dan Hawa. Allah berfirman:
                        “Hai anak Adam, janganlah kamu tertipu oleh bisikan syaithan, sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ayah-bundamu dari surga.”
            (Al-A’raaf: 27)
           
           
Pada pembahasan di awal bab ini, telah dipaparkan bagaimana perangai setan dan tekadnya untuk menyesatkan manusia tanpa kecuali. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa setan itu memang benar-benar musuh yang nyata, pantang menyerah, dan memperoleh legalitas penangguhan waktu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah berfirman dengan tegas:
                        “Sesungguhnya syaithan itu musuhmu, maka hadapilah sebagi musuh, ia mengajak golongannya supaya menjadi ahli neraka Sa’ir.” (Fathir: 6)
           
Oleh karena itu, jangan coba-coba bermesraan, menjalin hubungan sebagai teman, pelindung ataupun penasihat dengan iblis, sebab yang demikian itu hanyalah akan membuat setan itu sombong dan merasa agung di sisimu. Padahal ia adalah musuh Allah dan Rasul-Nya, serta penghalang utama dakwa Al-Haq pada setiap Rasul Allah yang diutus ke muka bumi. Seperti terdapat dalam Firman-Nya:
                        “Apakah kamu akan menjadikan iblis dan anak cucunya sebagai walimu (pimpinan, kawan, penasihat, pelindung) selain Aku, padahal mereka itu musuh bagimu?” (Al-Kahfi: 50)
           
Hanya mereka (manusia) yang diselamatkan oleh Allah saja yang akan terhindar dari penyesatan setan. Allah berfirman:
                        “Demi kemuliaan-Mu aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecua para hamba-Mu yang Engkau selamatkan.” (Al-Hijr: 39-40)
           
Di dalam tafsir Ibnu Katsir  diterangkan bahwa kata Syaithan bisa berasal dari kata syathana yang artinya jauh dari tabi’at manusia dan perilakunya dari kebaikan. Bisa juga berasal dari kata syatha yang artinya terbakar, sebab ia terbuat dari api yang tabi’atnya membakar.[8]

1.5  Perintah Membaca Isti’adzah
            Di antara para mufassir berbeda pendapat tentang kapan disyariatkan membaca ta’awwudz (A’udzubillahi minasy syaithanirrajim). Ibnu Katsir mengatakan bahwa setidaknya ada tiga pendapat tentang hal itu:
1.    Setelah membaca Al-Quran.  Hal ini berdasarkan zhahir ayat:  

“qara’ta” dianggap fi’il madli, kata kerja bentuk lampau. Juga dimaksudkan untuk mencegah rasa ujub seseorang pada dirinya setelah selesai melakukan ibadah (membaca Al-Quran).
2.    Sebelum dan sesudah membaca Al-Quran.
3.    Jumhur ulama berpendapat sebelum membaca Al-Quran, yaitu untuk menolak bisikan setan. Makna “idza qara’ta” adalah “idza aradtal qira’ah” (jika Anda hendak membaca), sebagaimana halnya kata “idza quntum ilash shalati”, artinya “idza aradtal   qiyam ilash shalah”, jika Anda hendak mendirikan shalat, maka basuhlah mukamu... atau berwudlu’lebih dahulu.

Perintah membaca ta’awwudz ini berdasarkan firman Allah:
                        “Jika Anda membaca Al-Quran, hendaknya meminta perlindungan Allah dari gangguan syaithan yang terkutuk. Sesungguhnya syaithan itu tidak kuasa untuk mengganggu (mempengaruhi) orang yang beriman dan orang yang berserah diri kepada Rabb mereka. Sesungguhnya kekuasaan syaithan itu hanya pada orang-orang yang berwali kepadanya dan terhadap mereka yang mempersekutukan Allah.” (An-Nahl: 39-41)             
           
           
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abi Sa’id al-Hudri bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam jika berdiri mengerjakan shalat malam, maka dia memulai shalatnya dan bertakbir seraya membaca “Subhanakallahumma wa bihamdika, wa tabarakasmuka, wa ta’ala jadduka wa laa ilaaha  ghairuka, kemudian diteruskan dengan membaca laa ilaaha illallah sebanyak tiga kali dan membaca a’udzubillahissami’ul ‘alim minasy syauthanirrajim, min hamzihi, wa nafkhihi wa naftsihi.
           
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ahlussunah yang empat dari riwayat Ja’far bin Sulaiman dari Ali bin Ali ar-Rifa’i al-Yasykuri. Sedangkan Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini adalah yang termasyhur dalam perkara ta’awwudz.[9]                                                  
           
Makna “aku berlindung kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk” adalah meminta perlindungan kepada Allah agar dijauhkan dari setan yang terkutuk, agar kiranya tidak memberikan mudarat padaku terhadap din-ku dan duniaku atau menghalangi dari perbuatan yang Engkau perintahkan untukku dan menganjurkan untuk melanggar larangan-Mu.
           
Setan tidak bisa dicegah atau dihalang-halangi oleh manusia sesuper apapun, kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala . Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada kita untuk isti’adzah dari setan. Wallahu a’lam.

1.6  Hukum Membaca Isti’adzah (Ta’awwudz)
           
Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum membaca ta’awwudz adalah mustahabbah (sunah) dan bukan wajib,  berdosa jika ditinggalkan.
           
Ibnu Sirin berkata, “jika Anda membaca ta’awwudz sekali seumur hidup, maka telah cukup menggugurkan wajibnya. Sebab Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sangat memelihara perbuatan ini dan ta’awwudz membuat setan lari terbirit-birit. Oleh karena berkaitan dengan kaidah ushul, tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib kedudukannya.”
            Adapun apakah dibacanya dengan jahar atau dengan sirr, menurut Imam Syafi’i adalah sama saja.[10]

Nasihat ‘Ulama:
           
Ahmad Farid dalam bukunya Taqwa[11], memberikan sembilan perkara yang dapat menolong hamba Allah untuk taat kepada-Nya, sehingga ia terjaga dari bisikan-bisikan setan. Kesembilan perkara tersebut adalah:
1.    Memohon perlindungan kepada Allah. Seperti firman Allah:                       “Dan jika syaithan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah . Sesungguhnya, Dia-lah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”  (Fush Shilat: 36)

      Sulaiman bin Shuradin berkata: “Ketika saya duduk bersama Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan ada dua orang lagi yang saling berjauhan, lalu salah satu di antara mereka merah wajahnya dan naik darah, kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
      ‘Sesungguhnya akan aku ajarkan satu kalimat, seandainya kalimat tersebut dibacanya niscaya sirnalah (kemarahan) yang dia dapati. Seandainya ia mengucapkan a’udzubillahi minasy syaithanir rajim, maka sirnalah kemarahan yang ia dapati’.”[12]
2.    Membaca surat Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Nas, karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah bersabda:
      “Tidak ada perlindungan yang terbaik bagi manusia selain dengan (membaca)nya (yaitu surat Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Nas)”.[13]
3.    Membaca ayat Kursi menjelang tidur, seperti terdapat dalam hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dari Abu Hurairah ra. :
      “Maka barangsiapa yang menjelang tidurnya membaca ayat tersebut (ayat Kursi), baginya tak terlepas dari penjagaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan syaithan tak kuasa mendekatinya.”[14]
4.    Membaca surat Al-Baqarah sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam:
      “Sesungguhnya rumah yang di dalamnya dibacakan  Al-Quran surat Al-Baqarah, maka tidak masuk setan ke dalamnya.”[15]
5.    Membaca ayat-ayat terakhir dari surat Al-Baqarah, seperti hadist dari Ibnu Mas’ud Al Anshari, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
      “Barangsiapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah di malam hari, maka akan terhindar (dari bantuan syaithan).”[16]
6.    Membaca kalimat La ilaha illallahu wahdahu la syarikalahu lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai’in qadir sebanyak seratus kali. Barangsiapa membacanya pada suatu hari, maka baginya terlindung dari syaithan pada hari itu hingga sorenya.
7.    Banyak berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebab seorang hamba melindungi dirinya dari syaithan dengan berdzikir kepada Allah.
8.    Berwudlu’ dan mengerjakan shalat. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “perkara ini telah teruji kebenarannya, tanpa perlu pengujian dalil lagi.”
9.    Memelihara sikap berlebih-lebihan dalam pandangan, pembicaraan, makanan, dan pergaulan sesama manusia, karena syaithan hanya dapat menguasai anak-cucu Adam dan memperoleh apa yang diinginkannya melalui empat pintu masuk tersebut.[17]
           
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Jin dapat merubah bentuknyamenjadi manusia dan binatang, sehingga mereka terkadang berwujud ular, kalajengking, unta, sapi, kambing, keledai, bighal, kuda, dan juga dalam bentuk burung serta bentuk bani Adam (manusia) ketika setan mendatangi Quraisy dalam wujud Suraqah bin Malik saat mereka hendak pergi perang menuju Badr.”
            Allah Ta’ala berfirman:
                        “Dan ketika syaithan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan:’Tidak ada seorang manusia pun yang dapat menang terhadap kamu pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu ...” (Al-Anfal: 48) 
           
           
Dalam riwayat yang lain, setan berubah bentuk seperti seorang Syaikh dari Najd, yaitu ketika ikut menghadiri konferensi kafir Quraisy di Darun Nadwah, yang hendak memutuskan sikap mereka untuk menghentikan dakwah Rasulullah dan sekaligus menentukan apakah dengan membunuh, memenjarakan, atau mengusirnya. Hal ini diceritakan Allah dalam surat Al-Anfal ayat 30.[18]
           
Seorang Syaikh dari Mesir, seorang sufi, suatu hari pernah berwasiat kepada khadimnya (pembantu) dan berkata: “Jika saya mati, Anda tak perlu mengundang orang untuk memandikan mayatku, sebab nanti aku akan datang untuk memandikan diriku sendiri.” Kesombongan ini didengar oleh setan maka ia pun mengatur strategi untuk menjerumuskan khadim tersebut dalam perbuatan syirik. Maka ketika Syaikh itu meninggal, si khadim tersebut  benar-benar melihat seorang berbentuk Syaikh (sebenarnya setan yang menyerupainya), dan ia pun yakin bahwa yang masuk itu adalah Syaikhnya dan memandikan dirinya sendiri. Namun ketika Syaikh (palsu) itu selesai memandikan dirinya, tiba-tiba raib menghilang dari pandangan khadim.
           
Dalam peristiwa ini, pertama setan telah berhasil menyesatkan si mayit, seraya berkata: “Kamu datang dan memandikan dirimu.” Kedua, ketika Syaikh meninggal setan datang dalam bentuk dirinya untuk menyesatkan orang yang hidup ( dalam hal ini khadim yang percaya kepada ucapan  Syaikh ketika masih hidup). Sehingga sesatlah sebagaimana setan telah menyesatkan mayit sebelumnya.[19]
 ***


[1]  Zawaiduz Zuhud, hal. 296.
[2]  Muslim dengan Syarah Nawawi, juz 17 hal. 157
[3]  Shahih An-Nasa’i, kitab 10 Wanita, Bab Cemburu, No. 3669.
[4]  Fathul Bari. Juz 6 Kitab Mulainya Penciptaan dan Muslim dalam Bab Al Fadlail juz 15.
[5]  Fathul Bari. Juz 4 Kitab I’tikaf dan Muslim , Kitab As Salam, juz 15.
[6]  Fathul Bari. Juz 6 Kitab Mulainya Penciptaan dan Muslim dalam Kitab Shalat bagi Musafir, Juz 6.
[7] Fathul Bari. Juz 6 Kitab Mulainya Penciptaan dan Muslim dalam Juz 3 Kitab Thaharah.
[8]  Lihat Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Ikhtisar Tafsir Ibnu Katsir,  Muhammad Nasib ar-Rifa’i, I/10; Maktabah al-Ma’arif Riyadl.
[9]  Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Ikhtishar Tafsir Ibnu Katsir, I/9-10
[10]  Ibnu Katsir. Hal. 10
[11]  Hakikat Taqwa dan Mutiaranya yang Terpendam, Terjemahan Abu Fahmi dan Ibnu Marjan, Wala’ Press, 1995, hal. 77-80
[12]  HR. Bukhari, X/518-519, Bab Adab; Muslim,XVI/163 Bab Al Birr Wash Shilah;
dan Abu Dawud No. 4759.
[13]  Lihat HR. An-Nasa’i VIII/251; Ahmad III/417 ; shahih menurut Al-Albani.
[14]  Fathul Bari, Juz 5 Kitab Al Wakalah, hal. 2311.
[15]  HR. Muslim,VI/86 dan Tirmidzi XI/10, tentang Pahala membaca Al-Quran  menurut lafadznya.
[16]  HR. Bukhari, IX/50, Fadlilah Al-Quran; Muslim, VI/91-92, Shalat Musafirin; Tirmidzi, X/12, Pahala Al-Quran.
[17]  Tafsir Al-Mu’awwidzatain, Ibnu Qayyim, hal. 82-87
[18]  Majmu’ Fatawa, XIX/45.
[19]  Majmu’ Fatawa, XI/288.


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------