BAGIAN KE-1 (ARAHAN KE-1 – KE-5)
9 LANGKAH MENGARAHKAN INSTING BIOLOGIS ANAK
Oleh : Dr. Syaikh Muhammad Nur Suwaid; penerj. Abu Fahmi Ahmad-Imam Bukhari Jatinangor

Pendahuluan
          Islam sangat memperhatikan pertumbuhan manusia secara proporsional dan seimbang, yaitu pertumbuhan yang terintegrasi dengan tabiat dan fitrah yang Allah ciptakan padanya. Jadi, salah satu ciri khas Islam adalah keseimbangan (tawazun) dalam segala sesuatu tanpa kurang ataupun lebih.
          Tujuan Allah menciptakan insting adalah untuk melestarikan seluruh makhluq hidup, termasuk manusia. Khusus untuk insting manusia, Allah menetapkan waktu produktifnya agar dapat melahirkan keturunan. Dalam syari’at Islam, usia produktif tersebut disebut usia taklif. Artinya, setelah menginjak usia ini, seorang anak bertanggung jawab atas segala tingkah lakunya, dan kelak amal-amal perbuatannya akan diperhitungkan.
          Agar insting biologis anak tetap berjalan dengan tenang dan tidak bergejolak serta tidak menyimpang dari perilaku yang benar, Islam mengayomi anak itu dengan jalan memberinya peraturan. Peraturan tersebut berupa perintah dan larangan sehingga insting biologisnya senantiasa terbimbing, seimbang dan tidak menyimpang.
          Lalu, bagaimanakah bentuk peraturan dan pendidikan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam mengarahkan insting biologis anak? Peraturan dan pendidikan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tersebut diharapkan dapat diikuti oleh para orang tua dalam memelihara anak-anak mereka dari penyimpangan biologis sehingga fitrah anak-anak mereka tetap suci, bersih, dam tidak terkontaminasi oleh limbah-limbah jahiliyah.

Pertama:
Anak Harus Minta Izin Sebelum Masuk ke Kamar Orang Tuanya

          Anak banyak tinggal dalam lingkungan rumah, dengan mudah ia berpindah dari satu ruangan ke ruangan yang lain, dan minta izin di setiap waktu merupakan sesuatu yang terasa sulit dan berat baginya. Oleh karena itu, Al-Qur’an membuat peraturan meminta izin untuk anak kecil, secara bertahap. Pertama, Al-Qur’an membatasinya pada tiga waktu yang sangat sensitive, yiatu sebelum shalat Subuh, waktu istirahat di siang hari, dan sesudah shalat Isya’. Sebagaimana kita ketahui, waktu-waktu ini adalah waktu istirahat bagi kedua orang tua dalam kamar tidur. Karena itu, menjelang usia baligh, seorang anak wajib meminta izin setiap kali akan masuk ke kamar orang tuanya jika kedua orang tuanya berada di dalam kamar.
          Mari, sejenak kita simak petunjuk Al-Qur’an yang secara spesifik menjelaskan persoalan yang sangat penting dalam perspektif syari’at ini.
Allah berfirman:
 “ Hai orang-orang beriman, hendaklah budak-budak (laki-laki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh diantara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu sebelum shalat Subuh, ketika kamu meninggalkan pakaian (luar)-mu di tengah hari, dan sesudah shalat Isya. Itulah tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu itu). Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain). Demikianlah, Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha  Bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS. An-Nur: 58-59)

Dalam ketiga waktu ini, pembantu dan anak-anak yang sudah bisa membedakan (antara perempuan yang cantik dan tidak), kendati belum baligh, harus meminta izin, supaya mereka tidak melihat aurat keluarga mereka. Sayangnya, etika ini sering diabaikan banyak orang tanpa memperhatikan efek-efek kejiwaan, jasmaniah, dan moralitasnya, dengan anggapan keliru bahwa pembantu tidak tertarik melihat aurat majikannya, dan anak-anak yang belum baligh tidak peka terhadap pandangan seperti itu. Padahal para psikolog hari ini, setelah berkembang pesatnya ilmu-ilmu jiwa, menetapkan bahwa pemandangan yang disaksikan anak dimasa kecilnya akan menimbulkan dampak dalam seluruh rangkaian kehidupannya, dan tidak jarang ia terkena penyakit kejiwaan dan penyakit jasmaniah yang sangat sulit disembuhkan.[1]
Apakah Anda, para orang tua, menginginkan anak-anak Anda terkena penyakit seperti itu?
Mengapa ini bisa terjadi? Ini karena orang tua tidak membiasakan anak-anak meminta izin sebelum masuk kamar orang tua dalam ketiga waktu tersebut, yaitu disaat aurat mereka terbuka. Padahal, etika ini sudah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti diriwayatkan oleh Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad.[2]
Anas radliyallahu ‘anhu berkata, “Aku pernah menjadi pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Suatu ketika, aku masuk ke kamarnya tanpa meminta izin terlebih dahulu. Suatu hari ketika aku dating, beliau berkata, ‘Nak, hal seperti itu telah engkau lakukan sebelumnya. Janganlah engkau masuk sebelum meminta izin.”    

          Oleh karena itu, setiap waktu, para orang tua harus selalu menutup aurat dihadapan anak-anak mereka. Hal ini membantu anak-anak dalam menjalani dorongan insting biologis mereka secara alami, tanpa gejolak. Maka, hendaklah kita hati-hati dan waspada, dan marilah kita camkan seruan Allah dan rasul-Nya yang akan mengantarkan kita kepada keselamatan.

Hukum Anak-Anak yang Belum Bisa Membedakan Sesuatu
          Anak lelaki kecil yang belum bisa membedakan elok tidaknya tubuh perempuan, begitu pula anak perempuan yang belum tampak pada dirinya tanda-tanda baligh, mempunyai hukum tersendiri sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut ini:
 “Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau anak-anak mereka, atau anak-anak suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau anak-anak saudara laki-laki mereka, atau anak-anak saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” (An-Nur:31)

          ‘Aisyah radliyallahu ‘anha pernah didatangi beberapa anak laki-laki kecil dan melihat pakaiannya. ‘Atha berkata, “Saya dan Abid bin Umair pernah mendatangi ‘Aisyah, sedang beliau duduk di dalam tenda besar. Saya bertanya, ‘Apa hijab beliau ketika itu?’ Katanya, ‘(Beliau) berada dalam kemah buatan Turki yang mempunyai penutup yang membatasi antara kami dan dia.’ Katanya, ‘Tetapi saya melihatnya mengenakan pakaian yang dicelup dengan warna kuning, dan ketika itu saya masih kanak-kanak.”’ [3]

Kedua:
Membiasakan Anak Menundukkan Pandangannya dan Menjaga Auratnya

          Penglihatan merupakan “jendela” bagi anak untuk mengamati dunia luar. Hal-hal yang terlihat oleh matanya akan segera mengkristal dalam jiwa dan memorinya. Kalau ia terbiasa menundukkan pandangannya dari aurat keluarganya dan aurat orang lain karena dirinya selalu merasa dalam pengawasan Allah, hal itu akan memberikan kelezatan iman dalam hatinya, seperti dilakukan seorang anak kecil yang shalih, Abdullah At-Tasturi. Sebelum tidur, Abdullah At-Tasturi selalu mengulang bisikan nuraninya yang menyatakan, “Allah pasti menyaksikan perbuatanku, Allah pasti melihatku, Allah pasti bersamaku.”
          Terkadang anak-anak bersikap acuh tak acuh, pura-pura lupa, dan membiarkan hawa nafsu menguasai dirinya dalam waktu-waktu tertentu, sehingga dengan bebas melepaskan pandangannya kepada gadis-gadis dengan penuh syahwat. Dalam hal seperti ini, apakah yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”
          Diriwayatkan oleh Bukhari, Tirmidzi dan Abu Dawud dari Abdullah bin Abbas, ia berkata:
 “Al-Fadl-u bin Abbas pernah dibonceng oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian seorang perempuan dari Khats’am datang meminta fatwa kepada beliau . Al-Fadl-u memandangi perempuan itu, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memalingkan wajahnya ke arah lain.”

          Ahmad meriwayatkan dari Al-Fadl-u bin Abbas, ia berkata, “Saya pernah dibonceng Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari Jama’ ke Mina. Ditengah perjalanan, seorang Arab Badwi membonceng anak perempuannya yang cantik, seraya berjalan berpapasan dengan kami. Saya memandangi anak perempuan itu, tetapu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihatku dan memalingkan wajahku dari wajahnya. Saya kembali memandanginya, tetapi lagi-lagi beliau memalingkan wajahku dari wajahnya. Hal itu beliau lakukan sampai tiga kali, namun saya tetap saja memandanginya. Beliau tak henti-hentinya mengucapkan talbiyah sampai melempar Jumrah Aqabah.”[4] 
         
Zanjuyah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallahu’anhuma, ia berkata, “Al-Fadl-lu bin Abbas pernah dibonceng Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam secara memalingkan wajahnya dengan tangan beliau dan berkata, ‘Wahai anak saudaraku, sesungguhnya hari ini apabila seseorang memejamkan pandangannya serta memelihara kemaluan dan lisannya, niscaya dosanya akan diampuni.’” [5]  
          Menurut riwayat Ibnu Jarir dalam Tahdzibul-Atsar bahwa Abbas berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Mengapa engkau palingkan wajah anak pamanmu?” Rasulullah menjawab, “Karena aku melihat pemuda dan pemudi. Aku khawatir kalau-kalau syetan masuk diantara keduanya.” [6]
         
Dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu, ia berkata, “Al-Fadl-lu pernah dibonceng Rasulullah, lalu beliau didatangi seorang perempuan dari Khats’am meminta fatwa. Al-Fadl-lu memandanginya dan perempuan itupun membalas pandangannya, maka Rasulullah memalingkan wajah Al-Fadl-lu dengan tangannya ke arah lain. Perempuan itu berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya ibadah haji difardlukan oleh Allah atas hamba-hambaNya, tetapi bapakku sudah lanjut usia dan tidak bisa lagi duduk diatas tunggangannya. Lalu, apakah aku boleh menghajikannya?’ Beliau menjawab, ‘Tentu saja boleh.” (H.R. Ibnu Khuzaimah, dalam Shahih-nya VI:343; dan diriwayatkan pula oleh Bukhari dan Muslim)
         
Jadi, seorang anak harus dibiasakan menundukkan pandangannya, agar insting biologisnya tidak segera matang sebelum waktunya, sebab hal itu bisa menimbulkan bahaya atau madlarat, baik yang bersifat jasmaniah dan kejiwaan, maupun yang bersifat kemasyarakatan atau moralitas. Dalam konteks ini, Syaikh Abdul Hamid Kisyk –dalam khutbahnya- mengutip ucapan seorang ilmuwan Jerman ihwal pentingnya menundukkan pandangan, yang menurutnya, hal itu adalah satu-satunya obat yang paling efektif meredam gejolak insting biologis. Beliau berkata, “Saya sudah mempelajari seksologi berikut terapi seks. Akhirnya, saya temukan bahwa tidak ada obat yang paling ampuh dan mujarab selain dari firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad shallallau ‘alaihi wasallam.”. Ayat tersebut adalah:
 “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (An-nur:30)
         
Perihal menutup aurat, seorang anak mulai dibiasakan ketika pertama kali disuruh mengerjakan shalat. Pakaian shalatnya harus menutupi aurat sehingga dari kecil shalatnya sudah benar. Selanjutnya, anak-anak –laki-laki atau perempuan- akan tumbuh dalam kegemaran menutup aurat. Jadi anak laki-laki hendaknya memakai pakaian yang menutupi auratnya, begitu pula anak perempuan, ditambah dengan membiasakannya memakai hijab (jilbab). Dengan demikian, mereka tumbuh dengan baik, shalih, terdidik jiwanya, mulia akhlaknya, dan kokoh imannya.

          Ketiga:          
Memisahkan Tempat Tidurnya

          Ini merupakan rukun paling asasi dalam mengarahkan insting biologis anak dan merupakan upaya membendung pengaruh buruk dari gejolak seksualnya. Sistem ini tidak kita temukan dalam undang-undang atau peraturan-peraturan manapun di dunia ini. Ini adalah peraturan yang sangat cermat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mendidik anak dan memperhatikan pertumbuhannya. Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad hasan bahwa  Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 “Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka sudah berumur tujuh tahun. Pukullah jika mereka meninggalkannya kalau mereka sudah berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.”
          Hakim meriwayatkan dalam Mustadrak-nya I:120; katanya, shahih menurut syarat Muslim dan diakui oleh Adz-Dzahabi:
          “Apabila anak-anakmu sudah berumur tujuh tahun, pisahkan tempat tidur mereka, dan apabila sudah berumur sepuluh tahun, pukullah jika mereka meninggalkan shalat.” (Daruquthni juga meriwayatkan,I:230)
         
Jadi pemisahan ini dimulai pada usia sepuluh tahun, tatkala dorongan seksual mulai tumbuh. Tetapi bagaimana cara pemisahan tempat tidur itu? Caranya ialah dengan melarang dua orang anak tidur dengan memakai selembar selimut. Tidak apa-apa mereka tidur diatas satu dipan atau satu kasur dengan memakai dua selimut yang berbeda. Namun sebaiknya, mereka dijauhkan antara satu dengan yang lain [yakni, dengan dipan yang berbeda atau kamar yang berbeda-ed]
         
Al-Allamah Syaikh Waliyullah Ad-Dahlawi berkata:
“Alasan diperintahkannya memisahkan tempat tidur itu ialah masa-masa menjelang pubertas sehingga kemungkinan munculnya nafsu seksual sangat besar. Maka, sebelum bencana terjadi, lebih baik dicegah terlebih dahulu.” [7]
Tidur di atas satu kasur dengan memakai selembar selimut menyebabkan dorongan seksual anak cepat tumbuh dan bergejolak dengan hebat. Tidak mengherankan kalau anda menjumpai penyimpangan dan abnormalitas seks pada anak-anak akibat dibiarkan tidur dibawah selembar selimut. Sayangnya, persoalan yang menghancurkan anak-anak tidak berdosa ini sering tidak disadari oleh kedua orang tua. Ini disebabkan ketidakpedulian mereka terhadap keadaan anak-anak mereka dan pelanggaran mereka atas perintah-perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasul yang tidak pernah berbicara menurut selera hawa nafsunya, melainkan semata-mata berdasarkan wahyu dari Allah. Beliau dengan tegas telah memerintahkan pemisahan tempat tidur bagi anak-anak. Coba anda bandingkan antara petunjuk Nabawi yang indah ini dengan system pendidikan Timur dan Barat!

Keempat:
Menyuruh Anak Tidur di Atas Lambung Kanannya dan Melarangnya Tidur Tengkurap

          Mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni tidur di atas lambung kanan, akan menghindarkan anak dari gejolak dan dorongan seksual. Sementara itu, tidur dengan posisi tengkurap oleh beliau diidentikkan cara tidurnya syaithan. Tidur dengan posisi tengkurap menyebabkan banyaknya terjadi gesekan pada alat vital sehingga membangkitkan nafsu birahi. Oleh karena itu, jika orang tua melihat anak-anaknya tidur dalam posisi tengkurap hendaknya mengubah posisi mereka dengan lambung kanan dibawah. Sebab, tidur tengkurap banyak mengundang penyakit-penyakit jasmani, dan para dokter pun tanpa kecuali menasihatkan supaya jangan tidur dengan posisi demikian.

Kelima:
Menjauhkan  Anak dari Ikhtilath (Percampur-Bauran) dan Hal-Hal yang Membangkitkan Nafsu

          Bertolak dari kaidah yang menyatakan “dengan kebalikannya ciri khas sesuatu itu bisa tampak”, maka berikut ini akan kami paparkan kepada Anda tentang ikhtilath yang sudah membudaya di Eropa dan negara-negara Barat lainnya berikut akibat buruknya pada anak-anak, laki-laki dan perempuan. Ikhtilath merupakan suatu hal yang membuat ngeri orang-orang yang masih memiliki hati yang bersih dan nurani yang jernih. Budaya Eropa yang telah memperlihatkan kegagalan dan kebobrokannya itu sengaja kami angkat sebagai peringatan bagi kaum muslimin yang berjiwa lemah, yang begitu terpesona dan kagum dengan segala hal yang datang dari sana, sementara telinga mereka begitu alergi mendengar ceramah atau khutbah-khutbah di masjid yang memperingatkan bahaya wabah budaya ikhtilath.
         
Guru besar Ahmad Muzh-hir Al Azhamah, sebagaimana dituturkan oleh Syaikh Wahbi Sulaiman Al-Fawaji, ketika melakukan perjalanan ilmiah ke Belgia, mengunjungi sebuah sekolah dasar yang seluruh muridnya adalah perempuan. Ketika beliau bertanya kepada kepala sekolah, ‘mengapa pada jenjang ini siswa dan siswi tidak dicampur, kepala sekolah itu menjawab, ‘Kami menyadari bahaya campur-baur, sekalipun pada jenjang sekolah dasar.”
          Jika anda kurang meyakini pada ucapan di atas, silakan Anda periksa data-data di bawah ini:
         
Dalam buku Kenakalan Generasi Baru, hakim Ben Landusi menulis, “Anak-anak di Amerika mengalami pubertas sebelum waktunya, dan pada usia yang sangat dini, dorongan seksual mereka sudah demikian besar.”
         
Selanjutnya, ia mengemukakan sampel, yang terdiri dari 312 anak perempuan. Dari sampel ini diketahui, bahwa sebanyak 225 dari anak-anak perempuan itu sudah mengalami pubertas dan gejala-gejala dorongan seksual mereka sudah sangat kentara, ketika usia mereka baru berkisar antara sebelas dan tiga belas tahun. Padahal, hal tersebut biasanya baru dialami oleh anak perempuan kalau sudah berusia delapan belas tahun atau lebih.
         
Dalam buku Undang-Undang Seks, DR. A. Howker menulis, “Bukanlah suatu hal yang aneh dan janggal-kalau anak perempuan yang baru berusia tujuh atau delapan tahun berpacaran dengan anak-anak sebayanya; barangkali mereka bahkan sudah melakukan perbuatan keji. Seorang anak perempuan yang baru berusia tujuh tahun dan berasal dari keluarga terpandang melakukan perbuatan keji dengan saudara laki-lakinya dan beberapa orang teman. Sementara itu, lima orang anak yang terdiri dari dua orang perempuan dan tiga laki-laki yang berdekatan rumah didapati sudah pernah melakukan hubungan badan antara satu dan lainnya. Bahkan, mereka mempengaruhi anak-anak yang lain, dan usia tertinggi di antara mereka sepuluh tahun. Ada lagi seorang gadis yang baru berusia sembilan tahun, yang kelihatannya diawasi dengan ketat, ternyata telah menjalin hubungan cinta dengan beberapa orang anak laki-laki!”
         
Menurut laporan dokter dari kota Baltimore, di kota itu dalam setahun sebanyak seribu kasus lebih yang telah diajukan ke pengadilan; semuanya berkaitan dengan tindak perkosaan anak-anak dibawah usia dua belas tahun.
         
Landusi memperkirakan bahwa sebanyak 45% dari murid-murid sekolah sudah pernah melakukan hubungan badan sebelum menyelesaikan masa pendidikan; dan prosentase ini meningkat pada jenjang perguruan tinggi. Menurutnya, murid laki-laki di sekolah menengah lebih rendah insting seksualnya dibandingkan murid perempuan. Anak perempuan lebih agresif dan menggebu-gebu, sedang anak laki-laki hanya tunduk dan menurut. [8]
         
Sungguh menyedihkan serta memprihatinkan, banyak negara Islam dengan latah mengikuti budaya percampur-bauran antara laki-laki dan anak perempuan (dalam sistem pendidikan dan sebagainya), padahal ini jelas-jelas sebuah konspirasi untuk merusak masyarakat dan memperlemah generasinya.  



[1] Fi Zilalil Qur’an, XVIII:123
[2] Dari hadits 807.
[3] Dikeluarkan oleh Abdur-Razzaq dalam karangannya, V:76. Habiburrahman Al-A’zhmi berkata menambahkan, “Bukhari mengeluarkannya tanpa kata-kata “dan ketika itu saya masih kanak-kanak”.
[4] Al-Kanzu, V:188 dan 204. Dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dalam shahihnya IV:261
[5] Al-Musnad, I:211
[6] H.R Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, IV:260, dan Abu Ya’la dalam Musnadnya, I:264
[7] Hujjatullah Al-Balighah, I:186
[8] Al-Mar’atul Muslimah, halaman 243.


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------