KAJIAN TAFSIR “TAISIRUL `ALIYYIL
QADIR LI IKHTISHAR TAFSIR IBNI KATSIR”, oleh
Abu Fahmi, di Masjid SMPIT Imam Bukhari Jatinangor, tiap Ahad maghrib..
SEKITAR AL FATIHAH MENURUT PARA
ULAMA BESAR
(Malam ke-1 dan ke-2 Kajian):
1. Pendahuluan
Ibnu
Qayyim Rahimahullah mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. menyampaikan Al-Quran
kepada para sahabat langsung dengan lafadz dan maknanya. Beliau menyampaikan
makna kepada mereka sebagaimana beliau menyampaikan lafadznya. Tidak ada
penyampaian lain, kecuali dengan cara tersebut.
Allah
Ta’ala berfirman:
“....dan tiada lain kewajiban Rasul itu, kecuali menyampaikan (amanat
Allah) dengan terang.” (An-Nuur : 54)
Ayat
di atas mengandung maksud bahwa penyampaian makna merupakan tingkat penjelasan
tertinggi. Barang siapa mengatakan bahwa beliau tidak menyampaikan makna-makna
perkataannya dan perkataan Rabbnya kepada ummat, tapi hanya menyampaikan
lafadznya dan menyerahkan pemahaman maknanya kepada mereka berdasarkan apa yang
disebutkan orang-orang itu, maka orang tersebut tidak membenarkan penyampaian
itu.[1]
Namun
yang menjadi persoalan dikalangan ulama adalah menyangkut jumlah ayat yang
ditafsirkan Nabi itu, apakah sebagian ataukah seluruhnya? Dalam hal ini DR.
Muhammad Husain Adz-Dzahabi mengatakan: “Para ulama berbeda pendapat mengenai
jumlah ayat (Al-Quran) yang telah ditafsirkan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wasallam tersebut. Ada yang berpendapat bahwa beliau telah menjelaskan makna
Al-Quran itu seluruhnya kepada para sahabat, termasuk makna semua katanya.
Pendukung paling terkemuka dari pendapat ini adalah Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah (lihat Muqaddimah
fi Ushulit Tafsir, halaman 5). Ulama-ulama lainnya berpendapat bahwa Beliau
hanya menjelaskan sedikit saja dari
makna Al-Quran itu kepada para sahabat. Pendukung-pendukung pendapat kedua ini
adalah Khuwaibi dan As-Suyuthi.”[2]
Mengenai
kedua pendapat di atas, DR. Muhammad Husein Adz-Dzahabi cenderung mengikuti
pendapat kedua, yang menyatakan bhwa Nabi menjelaskan hanya sedikit saja dari
makna Al-Quran itu kepada para sahabat, sebagaimana dapat dilihat pada
kitab-kitab hadits shahih.[3]
Rasulullah
tidak menjelaskan makna Al-quran secara keseluruhan, karena berdasarkan satu
riwayat dari Ibnu Jarir Ath-Thabari dengan sanadnya dari Ibnu Abbas
rahimahullah yang berkata:
“Tafsir menyangkut empat tema
pokok: Pertama, bagian-bagian yang diketahui oleh orang-orang yang menguasai
bahasa Arab. Kedua, tafsir yang tidak bisa dimaafkan dari seorang pun karena
kebodohannya, semuanya harus mengerti. Ketiga, tafsir yang hanya diketahui oleh
para ulama. Keempat, tafsir yang hanya diketahui Allah Ta’ala.”[4]
Selajutnya,
Muhammad husein Adz Dzahabi mengatakan: “Karena itu sudah barang tentu Nabi
tidak menafsirkan ayat-ayat yang dengan mudah dapat dipahami oleh orang-orang
yang mengerti bahsa Arab, karena Al-quran memang diturunkan dalam bahsa
tersebut; dan juga tidak menafsirkan ayat-ayat yang dengan mudah dapat dipahami
oleh orang-orang bodoh. Di samping itu, Nabi juga tidak menafsirkan tema-tema
Al-quran yang hanya diketahui Allah saja, misalnya tentang terjadinya kiamat,
hakikat ruh, dan hal-hal ghaib yang memang dirahasiakan oleh Allah kepada
Nabi-Nya itu. Namun demikian, Nabi menjelaskan, sejalan dengan perintah Allah,
beberapa hal-hal ghaib sepanjang hal-hal tersebut diperlihatkan Allah kepadanya
dan tidak diperlihatkan kepada para
sahabat. Selain itu, Nabi juga tidak menafsirkan tema-tema yang termasuk kategori
ketiga, yang diketahui oleh para ulama melalui ijtihad, seperti mengenal lafazh
mujmal, takhshishul ‘am (yang mengecualikan makna umum), lafazh taqyidul
muthlaq (yang membatasi makna mutlak dari lafazh tertentu), dan lafazh-lafazh
lainnya yang maksud dan maknanya sulit diketahui.”[5]
Namun,
jika ditanya tentang cara penafsiran yang baik, tentu jawabnya adalah
menafsirkan ayat dengan ayat Al-quran. Sebab adakalanya ayat yang disingkat,
dirinci atau diperjelas di ayat lain. Tetapi, jika tidak juga mendapatkan
pengertian dari ayat, maka kembalilah kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam, sebab Sunnah Rasul merupakan pen-syarah Al-quran dan
menjelaskannya. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
“Dan tidaklah Kami turunkan kitab kepadamu, melainkan supaya kamu
jelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan, juga untuk menjadi
petunjuk (hidayah) dan rahmat bagi kaum yang beriman.”
(An-Nahl: 64)
Oleh
karena itu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Ingatlah, sungguh padaku
telah diturunkan Al-quran dan yang serupa dengannya bersama Al-quran (maksudnya
As-Sunnah).”[6]
Namun,
jika tidak terdapat juga dalam As-Sunnah, maka kembalilah merujuk perkataan
sahabat ridlwanillah ajma’in, sebab
mereka itu lebih mengetahui yang demikian.[7]
Sahabat
yang sering disebut sebagai pendahulu ummat terbaik (salafush shalih) menurut Al-Qaslani adalah generasi pertama yang
mendalam ilmunya, mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, dan
memelihara As-Sunnah. Mereka telah dipilih Allah untuk menemani Nabi-Nya dan
menegakkan din-Nya. Mereka adalah imam-imam ummat yang diridlai Allah dan
berjuang gigih di jalan Allah. Mereka berusaha semaksimal mungkin menasihati
ummat dan memberikan hal-hal yang bermanfaat. Mereka mencurahkan seluruh kemampuannya
untuk mencari keridlaan Allah, sehingga Allah memuji mereka di dalam kitab-Nya.
Karena itu, kita wajib mengikuti apa yang mereka sampaikan, mendalami apa yang
mereka amalkan, dan memohonkan ampun buat mereka.[8]
Berkaitan
dengan pemahaman Ahlussunah dalam hal menafsirkan Al-quran yang terbaik, maka
untuk membahas surat Al-Fatihah ini pun memakai cara mereka menafsirkan
Al-quran. Dalam hal ini tafsir Ibnu Katsir sebagai rujukan utama, yang
ringkasannya telah disusun oleh Muhammad Nasib Ar-Rifa’i--salafi--dengan judul Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Li Ikhtishar Tafsir
Ibnu Katsir.
Kemudian
secara maksimal diberikan penjelasan yang berkaitan dengan realitas kehidupan
kaum Muslimin di negeri kita, dalam menyikapi Al-Fatihah ini.
Semoga
Allah memberikan petunjuk bagi kami dalam membahas tafsir Al-Fatihah, serta
memberikan pertolongan dan perlindungan-Nya dari segala kekeliruan yang
disengaja.
2. Turunnya Al-Fatihah
dan Nama-Nama Lainnya
Ibnu
Abbas, Qatadah, dan Abul Aliyah berkata, bahwa surat Al-Fatihah adalah termasuk
surat Makkiyah--diturunkan di Makkah. Abu
Hurairah, Mujahid, Atha bin Yasar, dan Az Zuhri menyatakan bahwa
Al-Fatiha diturunkan di Madinah. Sementara
ada pula mufassirin yang menyatakan diturunkan dua kali, di Makkah dan
di Madinah. Pendapat pertama lebih mendekati kemiripan berdasarkan firman
Allah:
‘Dan kami telah
mendatangkan kepadamu tujuh ayat pujian...”
Maksudnya
yang dipuji dan diulang-ulang oleh setiap Muslim minimal 17 kali dalam sehari semalam dalam sholat fardlu.
Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.[9]
Sebagaimana
surat-surat atau ayat-ayat yang turun di Makkah selalu mengandung keterangan
mengenai aqidah dan ketetapan-ketetapan, hujjah-hujjah dan perumpamaan untuk menjelaskan serta mengukuhkannya. Adapun rukun-rukun aqidah yang terbesar
adalah tauhidullah dalam ibadah
kepada-Nya, penetapan nubuwwah Rasulillah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam, pernyataan (penetapan) prinsip-prinsip tempat
kembali semua makhluk, dan darul akhirat.[10]
Sedangkan
Sayyid Quthb berkata, bahwa sesungguhnya di dalam surat ini (Al-Fatihah)
terdapat secara global menyangkut aqidah Islam, tashawwur (konsepsi) Islam,
syiar, dan pengarahan-pengarahan.[11]
Nama-nama
lain dari Al-Fatihah sebagaimana disebutkan dalam riwayat shahih adalah Ummul Kitab, Ummul Qur’an, As Sab’ul
Matsani, dan Al-quranul Azhim.
Hal itu dikuatkan juga oleh hadits shahih menurut Tirmidzi dari Abu Hurairah
rahimahullah yang mengatakan telah bersabda Rasulullah :
“Alhamdulillahirrabbil ‘Alamin: Ummul Qur’an, Ummul Kitab, Sab’ul
Matsani dan Al-quranul ‘Azhim.”
Serta
disebutkan pula nama lain, yaitu Al Hamdu
dan Ash Shalat, berdasarkan
hadits qudsi yang disampaikan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam:
”Aku membagi shalat (Al-Fatihah)
antara-Ku dan antara hamba-Ku menjadi dua bagian, maka jika hamba-Ku membaca Alhamdulillahirrabbil ‘Alamin, Allah
menjawab: ‘Hamba-Ku memuji-Ku...’.”[12]
Selain
itu juga disebut dengan nama lain seperti diriwayatkan oleh Ad-Darimi dari Abi
Sa’id dengan hadits marfu’, yaitu: “Fatihatul Kitab adalah obat dari semua
racun” dan dinamakan juga “Ar-Ruqyah”--jampi--sebagaimana diriwayatkannya,
ketika dia menjampi seorang tokoh suatu kaum dengan Al-Fatihah. Lalu berkata
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepadanya: “Dari mana dia mengetahui
bahwa Al-Fatihah itu sebagai jampi?”
Dalam riwayat disebutkan sakit orang tersebut adalah digigit binatang
berbisa.[13]
Sedangkan
Asy-Sya’bi meriwayatkan dari Ibnu Abbas rahimahullah bahwa Al-Fatihah itu
disebutnya sebagai Asasul Qur’an
(Asas Quran). Sebagaimana ia berkata: “Asasnya adalah bismillahirrahmanirrahim”. Selain itu, Sufyan bin ‘Uyainah
menyebutnya dengan Al-Waqiyah,
artinya ‘tameng’ dan Yahya bin Abi Katsir menamainya dengan Al-Kafiyah, artinya ‘memadai’, karena
Al-Fatihah ini mencakup semua ayat-ayat dalam Al-quran dan ayat-ayat lain tidak
mencakup isi Al-Fatihah. Berdasarkan sebuah hadits mursal, berkata Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam:
“Ummul Qur’an dapat menjadi
pengganti yang lainnya, tetapi yang lain tidak dapat menjadi pengganti
Al-Fatihah.”
Pada
bagian lain, Al-Fatihah juga dinamai dengan Ash
Shalah dan Al-Kanzu
(perbendaharaan), sebagaimana disebutkan Az Zamakhsyari dalam Al-kasysyaf.
3. Keutamaan Surat
Al-Fatihah
Pertama, Imam Ahmad Ibnu Hanbal rahimahullah
meriwayatkan dari Abu Hurairah rahimahullah, bahwa:
“Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam memanggil Ubai bin Ka’ab ketika ia sedang shalat di masjid.
Seusai shalat Ubai mendatangi
Rasulullah, lalu Rasulullah memegang tangan Ubai, kemudian keluar bersama-sama
dari masjid dan berkata: ‘Aku ingin engkau tidak keluar dari masjid ini sebelum
mengetahui satu surat yang tidak pernah diturunkan di dalam Taurat, tidak pula
dalam injil, dan tidak pula dalam Al-Qur'an surat yang menyamainya’. Lalu aku
perlambat jalanku, dan aku berkata pada Rasulullah: ‘Surat apakah yang engkau
janjikan tadi, ya Rasulullah?’ Lalu Rasulullah membacakan: Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin dan seterusnya, dia berkata: ‘Inilah
satu surat yang merupakan tujuh ayat yang berulang-ulang dan (sekaligus)
merupakan Al-Qur'an Al-’Azhim yang
telah disampaikan kepadaku.’[14]
Kedua, diriwayatkan dari Ali bin Abi
Thalib rahimahullah , bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Barangsiapa
yang membaca Al-Fatihah (Fatihatul Kitab), maka seakan-akan dia telah membaca
Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Furqon (Al-Qur'an).”
Ketiga, Imam Ahmad ibnu Hanbal rahimahullah
meriwayatkan dari Abi Sa’id bin Al-Mu’alla rahimahullah:
“Aku
sedang shalat lalu dipanggil Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ,aku pun
tidak dapat memenuhinya. Setelah usai
shalat, aku mendatangi beliau, lalu Rasulullah berkata: ‘Kenapa engkau
tidak segera memenuhi panggilanku?’ Aku menjawab: ‘Karena aku dalam shalat, ya
Rasulullah. Rasulullah berkata:’Bukankah Allah telah berfirman: ‘Hai
orang-orang yang beriman penuhilah panggilan Allah dan Rasulul-Nya apabila
menyeru kamu kepada apa yang menghidupkan kamu’.” Kemudian beliau berkata: ‘Aku akan
mengajarkan padamu sebesar surat di dalam Al-Qur'an sebelum engkau pergi (keluar)
dari masjid ini’. Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam akan keluar
dari masjid, beliau memegang tanganku lalu aku berkata: ‘Ya Rasulullah, Engkau
mengatakan hendak mengajarkan kepadaku sebesar-besar surat (a’zham surah) dalam
Al-Qur'an’, berkata Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam: ‘Ya, surat itu
adalah Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin dan seterusnya, ialah tujuh ayat yang
berulang, dan itulah Al-Qur'an Al-’Azhim yang telah disampaikan kepadaku’.”[15]
Demikian
pula diriwayatkan Imam Bukhari, Abu Dawud, An- Nasa’i,
dan Ibnu Majah dari berbagai jalan.
Keempat, di dalam hadits lain, Imam Muslim
dalam kitab shahih dan An-Nasa’i di
dalam kita sunnahnya dari Ibnu Abbas rahimahullah berkata:
“Pada
suatu hari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tengah duduk-duduk bersama
Jibril as., tiba-tiba Rasulullah mendengar suatu bunyi dari atas, lalu Jibril
menoleh ke atas, kemudian berkata: ‘Itu sebuah pintu telah terbuka di langit
yang mana pintu itu tidak pernah terbuka sebelumnya. Lalu dari pintu itu turun
satu Malaikat yang langsung menuju Rasulullah seraya berkata: ‘Bergembiralah
Engkau (Muhammad) mendapat dua cahaya yang aku bawakan ini, yang mana kedua
cahaya ini tidak pernah diberikan kepada Nabi-Nabi sebelummu. Kedua cahaya itu
adalah Farihatul Kitab dan ayat-ayat
penghujung surat Al-Baqarah, setiap huruf Engkau baca dari keduanya, pasti
Engkau memperolehnya.” Lafazh ini menurut An-Nasa’i.[16]
Kelima,
Imam Muslim
meriwayatkan dari Abu Hurairah rahimahullah, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wasallam bersabda:
“Barangsiapa
shalat tidak membaca di dalamnya Ummul Qur’an maka tiadalah sempurna
(shalatnya)”. Lalu dikatakan oleh Abu Hurairah: “Kami bermakmum dalam shalat
dan berkatalah Imam itu kepadaku: ‘Bacalah Al-Fatihah dalam hatimu, sebab aku
telah mendengar Rasulullah mengatakan: ‘Telah berfirman Allah ‘Azza wa Jalla: ‘
Aku bagi surat (Al-Fatihah) antara-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian,
seperduanya untuk-Ku dan seperduanya lagi untuk hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa
yang mereka minta. Apabila hamba-Ku berkata Alhamdulillahi
Rabbil 'Alamin, Allah menjawab: ‘Hambaku telah memuji-Ku’, dan apabila
hambaku berkata Arrahmaanirrahiim,
maka Allah menjawab: ‘Hamba-Ku menyanjung-Ku’, apabila hamba-Ku berkata Maaliki Yaumiddiin, Allah pun berkata:
‘Hamba-Ku memuliakan-Ku’. Apabila hamba-Ku berkata Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’iin, maka Allah pun menjawab: ‘Yang
ini seperdua untuk-Ku dan seperdua untuk hamba-Ku, bagi hambaku adalah apa yang
ia minta. Apabila hamba-Ku berkata Ihdinash
Shiraathal Mustaqiim, Shiraathalladziina an’amta ‘alaihim ghairil maghdluubi
‘alaihim wa ladl dlaalliin, maka Allah menjawab: ‘Ini semuanya untuk
hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta’.”
Demikian juga diriwayatkan An-Nasa’i.[17]
Keenam, diriwayatkan Imam Bukhari dari Abi
Sa’id al Hudri rahimahullah:
“Pada
suatu hari kami bersama-sama dalam perjalanan dan bermalam di suatu kaum.
Datang kepada kami seorang wanita (budak) dan berkata: ‘Sesungguhnya seorang
kepala kaum ini sakit dan tak seorang pun dari kami yang dapat mengobatinya,
adakah di antara tuan-tuan yang dapat mengobatinya?’ Salah seorang dari
rombongan kami berdiri dan mengikuti budak tadi. Kami tidak mengira bahwa ia
dapat menjampi. Si penderita itu dijampinya dan ternyata sembuh (atas
izin-Nya). Kepadanya diberikan hadiyah tiga puluh ekor kambing dan kepada kami
disuguhkan air susu. Ketika ia kembali, kami bertanya: ‘Apakah Engkau pandai
menjampi si sakit?’ Ia menjawab: ‘Tidak juga. Saya bukan seorang dukun mantera.
Sebenarnya saya hanya membaca surat Al-Fatihah.’ Kami katakan: ‘Kejadian ini
kami mohon jangan diberitakan kepada siapa pun sebelum mendapat fatwa dari
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam’. Setelah kami sampai di kota Madinah,
kami datangi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan kami ceritakan
kejadian tersebut. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkata: ‘Siapa yang
mengetahui kalau Al-Fatihah itu sebagai mantera (jampi), bagilah hadiah itu dan
berikan sebagian untukku’.”
Kasus
tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Dawud dari Hisyam. Di dalam beberapa riwayat dari Muslim
diterangkan bahwa sakit kepala suku (kaum) itu adalah sakit karena sengatan
binatang berbisa dan yang memanterai itu adalah Abu Sa’id Al-Hudri sendiri.
Perihal
dijadikannya ayat-ayat Al-Qur'an sebagai obat, khususnya Al-Fatihah, terjadi
perbedaan pendapat, apakah untuk mengobati rohani saja, jasmani saja, atau
keduanya. Dalam hal ini Ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan: “Adapun Al-Fatihah itu
mengandung obat buat hati (rohani), maka tidaklah ada perbedaan di kalangan
ulama.”
Penyakit yang menimpa kalbu berpokok pada
dua perkara, yaitu rusaknya ilmu dan rusaknya tujuan. Karena kerusakan
tersebut, maka timbullah dua penyakit hati yang sangat bahaya, yaitu adl dlalal (kesesatan) dan al-ghadlab (keangkara-murkaan).
‘Kesesatan’ karena rusaknya pengetahuan, sedangkan ‘keangkar-murkaan’ karena
rusaknya tujuan hidup. Kedua penyakit inilah induknya segala penyakit hati.
Maka hidayah yang bernama Shirathal
Mustaqim ( Al-Qur'an ) adalah obat dari penyakit pertama, adl-dlalal. Sedangkan pengertian yang
terkandung dalam Iyyakana’budu wa
iyyakanasta’in adalah obat dari penyakit kedua, al-ghadlab atau rusaknya tujuan hidup.
Adapun Al-Fatihah ini dapat pula
menyembuhkan penyakit-penyakit tubuh atau jasmani. Hal ini telah jelas
diterangkan dalam hadits Sa’id al-Hudri tadi. Dalam hadits tersebut dinyatakan
bahwa penyakitnya telah sembuh hanya dengan bacaan Al-Fatihah, sehingga tidak
memerlukan obat lainnya.[18]
4. Hukum
Membaca Al-Fatihah di Dalam Shalat
Perkara hukum membaca Al-Fatihah di dalam
shalat berjama’ah terbagi dalam tiga pendapat:
·
Pertama, wajib membacanya bagi Imam maupun makmum dan juga bagi
yang shalat munfarid (sendiri). Berdasarkan keumuman hadits yang berbunyi:
“Tidak (shah) shalat
seseorang bagi yang tidak membaca Al-Fatihah.”
“Barangsiapa shalat
tidak membaca Ummul Qur’an di dalamnya, maka tidaklah sempurna shalatnya.” Inilah
yang diyakini oleh Asy-Syafi’i rahimahullah.
·
Kedua, Tidak wajib atas makmum membaca Al-Fatihah dan juga
tidak wajib untuk yang lainnya, baik dalam shalat jahriyah (bacaan keras/nyaring)
maupun shalat sirriyyah (bacaan lirih/tak diperdengarkan). Hal ini berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Ibnu Hanbal di dalam Musnadnya dari
Jabir bin Abdillah, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkata:
“Barangsiapa
mempunyai Imam (shalat makmum berjamaah), maka bacaan Imam adalah bacaan
baginya juga.”
Akan tetapi hadits ini sanadnya dlaif dan
diriwayatkan Malik dari Wahab Ibnu Kaisan dari Jabir melalui perkataannya.
Hadits ini diriwayatkan dari berbagai jalan yang tidak sah sedikitpun
sumbernya.
·
Ketiga, Wajib membaca
Al-Fatihah bagi makmum dalam shalat sirriyah dan tidak wajib dalam shalat
jahriyah. Seperti dikuatkan dalam hadits shahih Muslim dari Abu Musa
al-Asy’ari, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya
Imam itu dijadikan untuk diikuti (oleh makmum), maka jika ia bertakbir, makmum
pun ikut bertakbir dan jika ia membaca (Al-Fatihah dan surat), maka makmum
hendaklah berdiam (tidak membacanya).”
Pendapat
ini juga merupakan qaul qadim Imam
Syafi’i rahimahullah[19]
dan inilah yang haq (benar) sesuai dengan firman Allah Ta’ala:
“Jika dibacakan Al-Qur'an, maka hendaklah kalian
mendengarkan-nya dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.”
Mendengar dan diam adalah perintah Allah
Ta’ala, sehingga kita dirahmati. Jika kita mendengar dan diam, maka hati
menjadi kosong dan siap untuk memahami. Apabila kita paham maknanya dan
mengamalkannya, maka Allah akan memberikan rahmat kepada kita sebagai balasan
amalan dan pemahaman kita. Adapun jika Imam membaca secara jahr dan kita juga membaca bersamanya, maka kita tidak dapat
sekaligus memahami apa yang kita baca dan dengarkan. Jika kita tidak berhasil
memahami dan juga tidak berhasil mengamalkannya, tentu kita tidak memperoleh
rahmat-Nya.[20]
5. Pokok-Pokok
Kandungan Al-Fatihah
Telah disebutkan di atas, bahwa surat
Al-Fatihah adalah induk dari Al-Qur'an keseluruhannya, karena di dalam surat
Al-Fatihah ini terdapat intisari dari isi Al-Qur'an.
Al-Qur'an diturunkan diwaktu ummat manusia
di seluruh penjuru alam ini sangat membutuhkan tuntunan dan hidayah yang akan
membawa mereka kepada ketentraman jiwa dalam segala segi hidup dan kehidupan.
Jiwa manusia tidak puas dan tidak
menginginkan keadaan yang berlaku dalam masyarakat. Di mana saja waktu itu
dunia telah dipenuhi dengan keadaan-keadaan yang tidak wajar. Itikad dan
kepercayaan yang bukan kepada Allah dan Rasul-Nya. Pemuka agama, raja-raja,
pemimpin, dan syaikh-syaikh kabilah yang memiliki kekuasaan tidak terikat
sedikitpun. Akhlak dan budi pekerti serta tindakan-tindakan yang sangat
bertentangan dengan perikemanusiaan. Seakan-akan orang telah lupa pada
ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul sebelum Muhammad
Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Maka, kedatangan Al-Qur'an adalah untuk
memenuhi tuntutan jiwa yang hendak lepas
dari belenggu kepercayaan-kepercayaan, hukum dan peraturan-peraturan,
adat istiadat atau tradisi-tradisi, serta dongeng-dongeng yang tidak selaras
lagi dengan akal dan pikiran yang selalu berkembang dan menuju pada
kesempurnaan.
Untuk memenuhi tuntutan jiwa ini,
Al-Qur'anul Karim datang dengan membawa aqaid
(keimanan), hukum-hukum dan peraturan, janji-janji dan ancaman
(peringatan), serta kisah-kisah tentang ummat-ummat terdahulu yang dapat
dijadikan pelajaran dan i’tibar agar
manusia hidup aman dan tenteram, berbahagia dunia dan akhirat.
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa isi
Al-Qur'an itu sebagai berikut:
1.
Keimanan (aqa’id)
2.
Ibadat
3.
Hukum-hukum dan peraturan-peraturan
4.
Janji dan ancaman
5.
Kisah-kisah atau cerita-cerita.
6. Mabda dan Ghayah
Bismillahirrahmanirrahim
sebagai Asas dan Mabda’
Seperti telah disebutkan, bahwa Al-Fatihah
juga memiliki nama Al-Asas, artinya
sendi atau dasar. Sebagaimana disebutkan Sufyan bin Uyainah, hal itu karena
dianggap sebagai dasar dar Al-Qur'an, sedangkan ayat Bismillahirrahmanirrahim dinyatakan sebagai dasar dari Al-Fatihah.
Dikatakan sebagai Mabda’, karena kita disunnahkan untuk memulai setiap pekerjaan yang
baik dengan membaca Basmalah dan pada
hakikatnya setiap amalan itu mempunyai titik memulai sebagai pembangkit dan
juga mempunyai titik yang dituju atau Ghayah.
Mabda’ pada hakikatnya
adalah apabila seorang mukmin hendak melakukan suatu pekerjaan baik didasarkan
pada iman atas perintah Allah dan Rasul-Nya, serta bertujuan memperoleh
ridla-Nya.
Ibnu Hibban meriwayatkan bahwa Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Setiap perbuatan
(urusan) yang penting yang tidak dimulai dengan menyebut Bismillahirrahmanirrahim, maka pekerjaan (urusan) itu tidak
mendatangkan keberkahan (terputus dari rahmat-Nya).”
Termasuk dalam perkara makan dan minum pun
disunnahkan memulainya dengan membaca Basmalah. Sebagaimana Imam Muslim meriwayatkan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah berkata kepada Umar bin Abu
Salamah (anak tirinya) :
“Sebutlah
Bismillah, makanlah dengan tangan
kananmu, dan makanlah apa yang ada di dekatmu.”
Melakukan perbuatan yang dimulai dengan
iman dan bertujuan memperoleh ridla Allah merupakan suatu perbuatan takwa.
Sebagaimana ketika Thalaq bin Hubaib ditanya seseorang: “Jika terjadi fitnah,
maka padamkanlah dengan takwa. Kalau begitu apakah takwa itu?” Ia menjawab:
“Anda melakukan ketaatan kepada Allah atas dasar nurun minallah dan mengharap tsawab
(pahala) Allah dan meninggalkan kemaksiatan kepada Allah atas dasar nurun minallah dan takut hukuman Allah.”
Setiap amalan harus mempunyai mabda’ dan
ghayah, titik mulai dan tujuan. Suatu amalan tidak dikatakan ketaatan dan
pendekatan sehingga menjadikan iman sebagai sandarannya, karena iman itulah
yang menjadi pembangkit amalannya, bukan kebiasaan atau pun hawa nafsu. Oleh
karena itu, iman sebagai mabda’ dan pahala, serta ridla Allah sebagai tujuan
(ghayah).[21]
Menyebut Bismillahirrahmanirrahim di setiap permulaan perbuatan sama dengan
menyebut asma Allah dan mengingat akan kebesaran-Nya. Menyadari kebesaran Allah
di setiap perbuatan akan berdampak besar secara kejiwaan bagi pelakunya dan
pekerjaan yang dilakukannya. Kesadaran ini tumbuh sebagai panggilan iman yang
membangkitkan seorang hamba terhadap perbuatannya atas panggilan dan perintah
Allah sebagai pembuat syari’at. Mabda’ itulah yang akan mengantarkan seorang
hamba mampu melakukan amalan secara itqan
(tekun dan baik) dan iklas dalam memperoleh ridla
dan tsawab dari Zat Yang Maha
Agung. Dalam hal ini, perkataan Thalaq bin Hubaib “Di atas cahaya Allah”
menunjukkan kepada sandaran amal dan sebab pembangkitnya.
Adapun perkataannya tentang Tarju Tsawaballab (mengharap pahala
Allah) adalah menunjukkan kepada pokok yang kedua--yaitu Ihtisab--yang
merupakan ghayah (tujuan), sehingga untuk kepentingan inilah terjadinya amalan.
7.Keutamaan
Bacaan Basmalah
Muhammad Nasib ar-Rifa’i mengatakan bahwa
berdasarkan penelitian Ibnu Katsir rahimahullah, sebagaimana dinyatakan dalam
kitab tafsirnya, maka menyangkut ayat Basmalah,
kedudukannya di dalam Al-Qur'an, baik dalam surat Al-Fatihah maupun dalam
surat-surat lain, dan juga menyangkut fadlilah
(keutamaan)-nya, adalah sebagai berikut:
Abu Dawud meriwayatkan dengan isnad
shahih dari Ibnu Abbas rahimahullah, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam tidak mengenal batas pemilahan surat, sehingga diturunkan kepadanya (Bismillahirrahmanirrahim). Dan para
ulama sepakat bahwa Basmalah ini
merupakan bagian dari ayat dari surat An-Naml, namun mereka berbeda pendapat
tentangnya: apakah ia termasuk ayat terpisah bebas di dalam permulaan setiap
surat, apakah ia hanya ada pada Al-Fatihah dan tidak terdapat pada surat
lainnya, atau bahwa ia sebagai pemisah antara surat yang satu dengan surat
lainnya? Yang palin rajih (kuat periwayatannya) adalah bahwa Basmalah merupakan pemisah
antara surat-surat. Hal ini didasarkan pada pernyataan Ibnu Abbas rahimahullah
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Bagi mereka yang berpendapat bahwa Basmalah
ini merupakan bagian ayat dari surat Al-Fatihah , maka di antara mereka ada
yang men-jahar-kan Basmalah ketika shalat dan bagi yang tidak menganggap bagian
dari Al-Fatihah, maka mereka men-sirr-kannya. Bagi yang memiliki pendapat
tersebut, sama-sama memiliki pendukung dari jamaah sahabat, telah kuat dan
tsabat menunjukkan bahwa keempat Khalifah Rasyidah, mereka men-sirr-kan
Basmalah. Demikian pula thaifah
(kelompok) dari salaf tabi’in dan khalaf dari mereka, serta madzhab Abu
Hanifah, Ats-Tsauri, dan Ibnu Hanbal. Bagi Imam Malik, ia bahkan tidak membaca
Basmalah secara jahar maupun sirr.
Ringkasnya, telah diriwayatkan dari
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan para Imam Ahlus Sunnah, bahwa
mereka bersepakat atas shahihnya riwayat yang menyatakan perlunya men-jahar
Basmalah dan juga bagi yang men-sirr-kan Basmalah. Wallahu A’lam.[22]
Dalam tafsir yang sama, Ibnu Katsir--yang
dinukil kembali oleh Muhammad Nasin ar-Rifa’i--meriwayatkan beberapa hadits
yang menunjukkan keutamaan Basmalah, antara lain:
1.
Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi
hatim rahimahullah meriwayatkan di dalam tafsirnya dengan sanadnya dari Utsman
Ibnu ‘Affan:
“Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam ditanya tentang Bismillahirrahmanirrahim . Lalu ia menjawab: ‘Ia adalah nama dari
nama-nama Allah, begitu dekatnya kalimat Basmalah ini dengan nama Allah yang
Teragung seperti dekatnya biji mata yang hitam dengan putihnya’.”
2.
Waki’ meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud
rahimahullah :
“Barangsiapa yang ingin diselamatkan
dari (siksa) Malaikat Zabaniyah yang sembilan belas itu, maka bacalah Bismillahirrahmanirrahim, maka Allah
menjadikan setiap hurufnya sebagai tameng dari masing-masing mereka”
3.
Dari hadits Bisyr bin ‘Ammarah dari
Adl-Dlahhak, Ibnu Abbas rahimahullah
berkata:
“Sesungguhnya yang pertama
diturunkan Jibril kepada Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, ketika Jibril
berkata: ‘Hai, Muhammad, bacalah
Asta’idzu bis Sami’il ‘Alimi Minasy Syaithanir-rajim, lalu bacalah Bismillahirrahmanirrahim’.”
4.
Juga diriwayatkan oleh An-nasa’i di dalam Al-Yaum wal Lailah (sehari semalam) dan
dari Ibnu Mardawaih di dalam tafsirnya dari hadits Khalid al-Hidza’ dari
Al-Hajimi dari Abi Malih bin Usamah bin ‘Umair dari ayahnya berkata:
“Ketika saya mengawal Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wasallam, lalu beliau tersandung, maka aku berkata: ‘Celaka
syaithan itu!’ Lalu Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkata: ‘Jangan Anda
berkata demikian, sebab ia (syaithan) menjadi merasa besar (busung dada)
sehingga seolah-olah ia seperti rumah, namun katakanlah Bismillahi, sehingga ia menjadi kecil bagaikan seekor lalat’. Dan
inilah yang termasuk barakah Bismillah.”[23]
Bahkan banyak terdapat riwayat lain dari
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang menyatakan bahwa Basmalah menjadi
kalimat yang mengawali doa, seperti doa masuk kamar mandi (MCK), ketika
berwudlu’, hendak makan, dan ketika hendak menyembelih hewan--bahkan sebagian
ulama mewajibkannya. Demikian juga ketika hendak melakukan hubungan badan
dengan istri ataupun suami. Sebagaimana hadits dari Bukhari-Muslim dari Ibnu
Abbas:
“Sekiranya seseorang
dari kamu, bila ingin mendekati istrinya (melakukan jima’), lalu menyebut Bismillahi
jannibnasy syaithan wa jannibisy syaithana ma razaqtana, maka syaithan
tidak dapat menggangu anak (yang dilahirkannya) selama-lamanya.”
* * *
[1] Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah, Ma’alimul Inthilaqatul Kubra, Muhammad Abdul Hadi Al
Mishri, Daar Thayyibah, 1988 hal. 32.
[2] Lihat pendapat Khuwaibi yang dikutip
As-Suyuthi dalam Al-Itqan, II, hal.
179 dan 279.
[3] Lihat Penyimpangan-Penyimpangan
Dalam Penafsiran Al-Quran, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, penerjemah Drs. Machnun Husein,
catatan ketiga, Oktober
[4] Taisirul
‘Aliyyul Qadir, Ikhtisar Tafsir Ibnu Katsir. I/ hal.3, Muhammad Nasib
ar-Rifa’i, dan lihat juga Tafsir
Ath-Thabari, I/25.
[5] Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Ikhtisar Tafsir
Ibnu Katsir. I/ hal.4 - 5
[6] HR. Abu Dawud dari Al-Miqdam bin Ma’di Karib
rahimahullah.
[7] Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Ikhtisar Tafsir
Ibnu Katsir. I/ hal.2
[8] Al-
Mufassirun Bainat Ta’wil wal Itsbat, I/18 dan lihat juga Ahlussunnah
wal Jama’ah Ma’alim Inthilaqatul Kubra, Muhammad Abdul Hadi Al-Mishri, hal.
51.
[9] Tafsir
Ibnu Katsir, I/9, Darul Fikr, 1986
[10] Aisarut
Tafasir li Kalamil ‘Aliyyil Kabir, Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi. Cet.III,
hal. 10,
Jilid I, 1990.
[11] Tafsir
Fi Zhilalil Qur’an, I, hal. 15
[12] Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Ikhtisar Tafsir
Ibnu Katsir. I/ hal.6
[13] Idem.
Hal. 9
[14] Diriwayatkan juga oleh Tirmidzi
[15] Taisirul
‘Aliyyul Qadir, Ikhtisar Tafsir Ibnu Katsir, Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, I/7.
[16] Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Ikhtisar Tafsir
Ibnu Katsir, Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, I/8
[17] Idem.
[18] Ringkasan dari Madarijus Salikin, juz I hal. 52-57
[19] Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Ikhtisar Tafsir
Ibnu Katsir, Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, I/8-9
[20] Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Ikhtisar Tafsir
Ibnu Katsir, Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, I/19
[21] At
Taqwa, Al-Ghayatul Mansyudah wad Duratul Mafqudah. Ahmad Farid. Hal. 11
[22] Taisirul
‘Aliyyul Qadir, Li Ikhtishar Tafsir Ibnu Katsir. Jilid I hal. 10-11
[23] Taisirul
‘Aliyyul Qadir. Jilid I, hal. 11
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------