Memohon
Perlindungan Kepada Allah dari Bisikan Setan
Mengingat
kuatnya tekad setan dan sekutunya yang tidak akan menyerah dan mengendorkan
semangatnya sedikitpun untuk menyimpangkan manusia dan menyesatkan mereka, maka
tepat kiranya jika Allah mensyari’atkan kepada kita untuk memohon perlindungan
kepada-Nya dari bisikan setan.
Hal
ini mengingat bahwa setan itu dapat berubah bentuk, bahkan dapat menyusup masuk
ke dalam jiwa manusia, serta menyerangnya dari dalam. Sehingga terdapat manusia
yang berperilaku merusak dan selalu membuat keonaran sebagaimana lazaimnya
perbuatan setan.
Satu
hal yang penting kita yakini, bahwa dengan diciptakannya setan, maka Allah
ingin melihat hamba-hambanya yang taat dan yang maksiat kepada-Nya. Inilah
salah satu tujuan diciptakannya iblis la’natullah.
Imam
Baihaqi di dalam kitanya Al-Asma’ dan
Abdullah bin Ahmad di dalam Zawaid-nya
meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:
“Sesungguhnya,
seandainya Allah tidak menghendaki dimaksiati, tentu Ia tidak menciptakan iblis.”[1]
Di
dalam hadis yang lain, Rasulullah bersabda:
“Tidaklah di antara
kalian terdapat seorang pun, kecuali disertakan pendampingnya dari Jin. Mereka
bertanya: ‘Apakah Anda juga, ya Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘Aku juga, hanya
saja Allah Ta’ala menolongku atasnya, sehingga ia menjadi Muslim, maka ia pun
tak memerintahku kecuali kebaikan’.”[2]
Imam
An-Nasa’i meriwayatkan dari Aisyah ra. :
“Tidak seorang pun
dari kalian kecuali bersamanya ada setan. Mereka bertanya: Dan apakah Anda
juga, ya Rasulullah? Beliau menjawab: Juga Aku, hanya saja Allah menolongku
darinya, sehingga ia menjadi Muslim.”
[3]
Sejak
anak keturunan Adam dilahirkan, ketika itu pula setan telah menunggu di samping
ibu anak tersebut untuk sengaja mengganggunya. Hal ini berdasarkan satu riwayat
Imam Bukhari berikut:
“Tiada seorangpun
dari bani Adam yang dilahirkan kecuali setan mencucuknya (menyentuhnya) ketika
dilahirkan, sehingga ia menangis (berteriak atau bersuara) dengan jelas akibat
cucukan tersebut kecuali Maryam dan Puteranya.”[4]
Bahkan
setan dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui aliran darah, sebagaimana
Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya setan berjalan pada
ibnu Adam (manusia) mengikuti tempat peredaran darah.”[5]
Oleh karena itu, manusia jangan
berharap bisa terhindar dari godaan setan/iblis sekalipun dalam keadaan tidur.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
bersabda:
“Setan mengikat tengkuk leher setiap
kalian ketika tidur dengan tiga ikatan. Setiap tali mengikat pada tempatnya,
Anda mempunyai cukup waktu (panjang), maka tidurlah (dengan nyenyak).Jika ia
terjaga lalu berdzikir kepada Allah (membaca doa bangun tidur), maka lepaslah
satu ikatan. Kemudian jika ia (melanjutkan) dengan wudlu’, maka lepaslah sati
ikatan (lagi). Maka, jika ia kemudian menegakkan shalat, terlepaslah tiga tali
pengikatnya. Sehingga ia (memulai hidup) pada pagi harinya dengan giat dan baik
jiwanya. Namun jika tidak, maka ia menjadi buruk dirinya dan pemalas.”[6]
Oleh
karena itu, Rasulullah mensyari’atkan kepada setiap Muslim yang bangun tidur
dan hendak mengambil air wudlu’, hendaklah ia mendahuluinya dengan memasukkan
air ke dalam hidungnya, lalu dikeluarkan lagi. Rasulullah bersabda:
“Jika
seseorang bangun dari tidurnya, lalu ia berwudlu’, maka hendaklah ia menghirup
air ke dalam hidungnya dan dikeluarkannya kembali sampai tiga kali, karena
setan bermalam di atas batang hidungnya.”[7]
Allah
Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada kita, hamba-hamba-Nya yang beriman,
agar senantiasa melindungkan diri kepada-Nya dari segala bentuk godaan setan.
Firman
Allah Ta’ala :
“Dan
apabila kamu terkena gangguan syaithan, maka berlindunglah kepada Allah,
sungguh Allah Maha Mendengar lagi Mengetahui.”
(Al-A’raaf : 200)
“Katakanlah:
‘Ya Rabb, aku berlindung kepada-Mu dari gangguan syaithan dan aku berlindung
kepada-Mu jangan sampai syaithan hadir di dekat kami.” (Al-Mukminun: 97-98)
Bahkan secara langsung Allah
memerintahkan kepada bani Adam untuk tidak terperdaya oleh setan, sebagaimana
ia telah menggelincirkan Adam dan Hawa. Allah berfirman:
“Hai
anak Adam, janganlah kamu tertipu oleh bisikan syaithan, sebagaimana ia telah
mengeluarkan kedua ayah-bundamu dari surga.”
(Al-A’raaf: 27)
Pada
pembahasan di awal bab ini, telah dipaparkan bagaimana perangai setan dan
tekadnya untuk menyesatkan manusia tanpa kecuali. Hal ini menunjukkan kepada
kita bahwa setan itu memang benar-benar musuh yang nyata, pantang menyerah, dan
memperoleh legalitas penangguhan waktu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah
berfirman dengan tegas:
“Sesungguhnya syaithan
itu musuhmu, maka hadapilah sebagi musuh, ia mengajak golongannya supaya
menjadi ahli neraka Sa’ir.” (Fathir:
6)
Oleh
karena itu, jangan coba-coba bermesraan, menjalin hubungan sebagai teman,
pelindung ataupun penasihat dengan iblis, sebab yang demikian itu hanyalah akan
membuat setan itu sombong dan merasa agung di sisimu. Padahal ia adalah musuh
Allah dan Rasul-Nya, serta penghalang utama dakwa Al-Haq pada setiap Rasul
Allah yang diutus ke muka bumi. Seperti terdapat dalam Firman-Nya:
“Apakah
kamu akan menjadikan iblis dan anak cucunya sebagai walimu (pimpinan, kawan,
penasihat, pelindung) selain Aku, padahal mereka itu musuh bagimu?” (Al-Kahfi: 50)
Hanya mereka (manusia) yang
diselamatkan oleh Allah saja yang akan terhindar dari penyesatan setan. Allah
berfirman:
“Demi
kemuliaan-Mu aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecua para hamba-Mu yang
Engkau selamatkan.” (Al-Hijr:
39-40)
Di
dalam tafsir Ibnu Katsir diterangkan
bahwa kata Syaithan bisa berasal dari
kata syathana yang artinya jauh dari
tabi’at manusia dan perilakunya dari kebaikan. Bisa juga berasal dari kata syatha yang artinya terbakar, sebab ia
terbuat dari api yang tabi’atnya membakar.[8]
Perintah
Membaca Isti’adzah
Di
antara para mufassir berbeda pendapat tentang kapan disyariatkan membaca ta’awwudz (A’udzubillahi minasy
syaithanirrajim). Ibnu Katsir mengatakan bahwa setidaknya ada tiga pendapat
tentang hal itu:
1. Setelah membaca
Al-Quran. Hal ini berdasarkan zhahir
ayat:
“qara’ta”
dianggap fi’il
madli, kata kerja bentuk lampau. Juga dimaksudkan untuk mencegah rasa ujub
seseorang pada dirinya setelah selesai melakukan ibadah (membaca Al-Quran).
2. Sebelum dan
sesudah membaca Al-Quran.
3. Jumhur ulama
berpendapat sebelum membaca Al-Quran, yaitu untuk menolak bisikan setan. Makna “idza qara’ta” adalah “idza aradtal qira’ah” (jika Anda hendak
membaca), sebagaimana halnya kata “idza
quntum ilash shalati”, artinya “idza
aradtal qiyam ilash shalah”, jika
Anda hendak mendirikan shalat, maka basuhlah mukamu... atau berwudlu’lebih
dahulu.
Perintah
membaca ta’awwudz ini berdasarkan firman Allah:
“Jika
Anda membaca Al-Quran, hendaknya meminta perlindungan Allah dari gangguan
syaithan yang terkutuk. Sesungguhnya syaithan itu tidak kuasa untuk mengganggu
(mempengaruhi) orang yang beriman dan orang yang berserah diri kepada Rabb
mereka. Sesungguhnya kekuasaan syaithan itu hanya pada orang-orang yang berwali
kepadanya dan terhadap mereka yang mempersekutukan Allah.” (An-Nahl: 39-41)
Imam
Ahmad meriwayatkan dari Abi Sa’id al-Hudri bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam jika berdiri mengerjakan shalat malam, maka dia memulai shalatnya dan
bertakbir seraya membaca “Subhanakallahumma
wa bihamdika, wa tabarakasmuka, wa ta’ala jadduka wa laa ilaaha ghairuka, kemudian diteruskan dengan
membaca laa ilaaha illallah sebanyak
tiga kali dan membaca a’udzubillahissami’ul
‘alim minasy syauthanirrajim, min hamzihi, wa nafkhihi wa naftsihi.
Hadits
ini diriwayatkan pula oleh Ahlussunah yang empat dari riwayat Ja’far bin
Sulaiman dari Ali bin Ali ar-Rifa’i al-Yasykuri. Sedangkan Imam Tirmidzi
mengatakan hadits ini adalah yang termasyhur dalam perkara ta’awwudz.[9]
Makna
“aku berlindung kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk” adalah meminta
perlindungan kepada Allah agar dijauhkan dari setan yang terkutuk, agar kiranya
tidak memberikan mudarat padaku terhadap din-ku dan duniaku atau menghalangi
dari perbuatan yang Engkau perintahkan untukku dan menganjurkan untuk melanggar
larangan-Mu.
Setan
tidak bisa dicegah atau dihalang-halangi oleh manusia sesuper apapun, kecuali
Allah Subhanahu wa Ta'ala . Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada kita
untuk isti’adzah dari setan. Wallahu a’lam.
Hukum
Membaca Isti’adzah (Ta’awwudz)
Jumhur
ulama mengatakan bahwa hukum membaca ta’awwudz adalah mustahabbah (sunah)
dan bukan wajib yang menjadi berdosa jika ditinggalkan.
Ibnu
Sirin berkata, “jika Anda membaca ta’awwudz sekali seumur hidup, maka telah
cukup menggugurkan wajibnya. Sebab Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
sangat memelihara perbuatan ini dan ta’awwudz membuat setan lari
terbirit-birit. Oleh karena berkaitan dengan kaidah ushul, tidak sempurna suatu
kewajiban kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib kedudukannya.”
Adapun
apakah dibacanya dengan jahar atau
dengan sirr, menurut Imam Syafi’i
adalah sama saja.[10]
Nasihat
‘Ulama:
Ahmad
Farid dalam bukunya Taqwa[11],
memberikan sembilan perkara yang dapat menolong hamba Allah untuk taat
kepada-Nya, sehingga ia terjaga dari bisikan-bisikan setan. Kesembilan perkara
tersebut adalah:
1.
Memohon perlindungan kepada Allah. Seperti firman
Allah: “Dan
jika syaithan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan
kepada Allah . Sesungguhnya, Dia-lah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fush Shilat: 36)
Sulaiman
bin Shuradin berkata: “Ketika saya duduk bersama Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wasallam dan ada dua orang lagi yang saling berjauhan, lalu salah satu di
antara mereka merah wajahnya dan naik darah, kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wasallam bersabda:
‘Sesungguhnya
akan aku ajarkan satu kalimat, seandainya kalimat tersebut dibacanya niscaya
sirnalah (kemarahan) yang dia dapati. Seandainya ia mengucapkan a’udzubillahi minasy syaithanir rajim,
maka sirnalah kemarahan yang ia dapati’.”[12]
2.
Membaca surat Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Nas, karena
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah bersabda:
“Tidak ada
perlindungan yang terbaik bagi manusia selain dengan (membaca)nya (yaitu surat
Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Nas)”.[13]
3.
Membaca ayat Kursi menjelang tidur, seperti terdapat
dalam hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dari Abu Hurairah ra. :
“Maka
barangsiapa yang menjelang tidurnya membaca ayat tersebut (ayat Kursi), baginya
tak terlepas dari penjagaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan syaithan tak kuasa
mendekatinya.”[14]
4.
Membaca surat Al-Baqarah sebagaimana sabda Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wasallam:
“Sesungguhnya
rumah yang di dalamnya dibacakan
Al-Quran surat Al-Baqarah, maka tidak masuk setan ke dalamnya.”[15]
5.
Membaca ayat-ayat terakhir dari surat Al-Baqarah,
seperti hadist dari Ibnu Mas’ud Al Anshari, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam bersabda:
“Barangsiapa
yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah di malam hari, maka akan
terhindar (dari bantuan syaithan).”[16]
6.
Membaca kalimat La
ilaha illallahu wahdahu la syarikalahu lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala
kulli syai’in qadir sebanyak seratus kali. Barangsiapa membacanya pada
suatu hari, maka baginya terlindung dari syaithan pada hari itu hingga sorenya.
7.
Banyak berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala,
sebab seorang hamba melindungi dirinya dari syaithan dengan berdzikir kepada
Allah.
8.
Berwudlu’ dan mengerjakan shalat. Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata, “perkara ini telah teruji kebenarannya, tanpa perlu
pengujian dalil lagi.”
9.
Memelihara sikap berlebih-lebihan dalam pandangan,
pembicaraan, makanan, dan pergaulan sesama manusia, karena syaithan hanya dapat
menguasai anak-cucu Adam dan memperoleh apa yang diinginkannya melalui empat
pintu masuk tersebut.[17]
Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata: “Jin dapat merubah bentuknyamenjadi manusia dan
binatang, sehingga mereka terkadang berwujud ular, kalajengking, unta, sapi,
kambing, keledai, bighal, kuda, dan juga dalam bentuk burung serta bentuk bani
Adam (manusia) ketika setan mendatangi Quraisy dalam wujud Suraqah bin Malik
saat mereka hendak pergi perang menuju Badr.”
Allah
Ta’ala berfirman:
“Dan
ketika syaithan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan
mengatakan:’Tidak ada seorang manusia pun yang dapat menang terhadap kamu pada
hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu ...” (Al-Anfal: 48)
Dalam
riwayat yang lain, setan berubah bentuk seperti seorang Syaikh dari Najd, yaitu
ketika ikut menghadiri konferensi kafir Quraisy di Darun Nadwah, yang hendak
memutuskan sikap mereka untuk menghentikan dakwah Rasulullah dan sekaligus
menentukan apakah dengan membunuh, memenjarakan, atau mengusirnya. Hal ini
diceritakan Allah dalam surat Al-Anfal ayat 30.[18]
Seorang
Syaikh dari Mesir, seorang sufi, suatu hari pernah berwasiat kepada khadimnya
(pembantu) dan berkata: “Jika saya mati, Anda tak perlu mengundang orang untuk
memandikan mayatku, sebab nanti aku akan datang untuk memandikan diriku
sendiri.” Kesombongan ini didengar oleh setan maka ia pun mengatur strategi
untuk menjerumuskan khadim tersebut dalam perbuatan syirik. Maka ketika Syaikh
itu meninggal, si khadim tersebut benar-benar
melihat seorang berbentuk Syaikh (sebenarnya setan yang menyerupainya), dan ia
pun yakin bahwa yang masuk itu adalah Syaikhnya dan memandikan dirinya sendiri.
Namun ketika Syaikh (palsu) itu selesai memandikan dirinya, tiba-tiba raib
menghilang dari pandangan khadim.
Dalam
peristiwa ini, pertama setan telah berhasil menyesatkan si mayit, seraya
berkata: “Kamu datang dan memandikan dirimu.” Kedua, ketika Syaikh meninggal
setan datang dalam bentuk dirinya untuk menyesatkan orang yang hidup ( dalam
hal ini khadim yang percaya kepada ucapan
Syaikh ketika masih hidup). Sehingga sesatlah sebagaimana setan telah
menyesatkan mayit sebelumnya.[19]
***
[1] Zawaiduz
Zuhud, hal. 296.
[2] Muslim dengan Syarah Nawawi, juz 17 hal. 157
[3] Shahih An-Nasa’i, kitab 10 Wanita, Bab
Cemburu, No. 3669.
[4] Fathul
Bari. Juz 6 Kitab Mulainya Penciptaan dan Muslim dalam Bab Al Fadlail juz 15.
[5] Fathul
Bari. Juz 4 Kitab I’tikaf dan Muslim
, Kitab As Salam, juz 15.
[6] Fathul
Bari. Juz 6 Kitab Mulainya Penciptaan dan Muslim dalam Kitab Shalat bagi Musafir, Juz 6.
[7] Fathul Bari. Juz 6 Kitab Mulainya
Penciptaan dan Muslim dalam Juz 3
Kitab Thaharah.
[8] Lihat Taisirul
‘Aliyyul Qadir, Ikhtisar Tafsir Ibnu Katsir, Muhammad Nasib ar-Rifa’i, I/10; Maktabah
al-Ma’arif Riyadl.
[9] Taisirul
‘Aliyyul Qadir, Ikhtishar Tafsir Ibnu Katsir, I/9-10
[10] Ibnu Katsir. Hal. 10
[11] Hakikat
Taqwa dan Mutiaranya yang Terpendam, Terjemahan Abu Fahmi dan Ibnu Marjan,
Wala’ Press, 1995, hal. 77-80
[12] HR.
Bukhari, X/518-519, Bab Adab; Muslim,XVI/163
Bab Al Birr Wash Shilah;
dan Abu Dawud No.
4759.
[13] Lihat HR. An-Nasa’i VIII/251; Ahmad III/417 ;
shahih menurut Al-Albani.
[14] Fathul Bari,
Juz 5 Kitab Al Wakalah, hal. 2311.
[15] HR. Muslim,VI/86 dan Tirmidzi XI/10, tentang
Pahala membaca Al-Quran menurut
lafadznya.
[16] HR. Bukhari, IX/50, Fadlilah Al-Quran;
Muslim, VI/91-92, Shalat Musafirin; Tirmidzi, X/12, Pahala Al-Quran.
[17] Tafsir
Al-Mu’awwidzatain, Ibnu Qayyim, hal. 82-87
[18] Majmu’ Fatawa, XIX/45.
[19] Majmu’ Fatawa, XI/288.
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------