HAKIKAT TAQWA, BAG-7 : CARA MENCAPAI TAQWA.
Prof. Dr. Ahmad Farid, Penerj: Abu Fahmi Ahmad.
BAB III : CARA MENCAPAI TAQWA.
          Bab ini tidak bisa diselami kecuali oleh jiwa yang memiliki keutamaan dan kemuliaan tinggi, yaitu yang tidak pernah tentram dengan kerendahan, dan tidak menjual murah kedudukannya yang tinggi. Kami mencoba menerangkan tentang kemuliaan taqwa dan kerinduan hati kepada hal tersebut. Ada seorang berkata : “Demi Allah, bagaimana saya bisa menggapai mutiara yang berharga ini, dan sampai kepada tingkatan yang mulia.
          Sesungguhnya orang mukmin itu, jika dirangsang denga perbuatan baik, maka bangkitlah keinginan untuk melakuakannya, dan jika ditakut-takuti dengan perbuatan buruk, maka dia pun berusaha menghindarinya. Dan tidak ada kebaikan pada orang yang manakala dicegah (dari perbuatan terlarang), dia tidak menghindarinya, dan manakala diperintah (dengan perbuatan baik), tidak terbangkit keinginannya untuk melakukan perintah tersebut.
          Imam Al Ghazali rahimahullah berkata :
          “Keutamaan jiwa seorang mukmin, hanya ada manakala ditegakkan di atas ketaqwaan, yaitu denga kemauan keras ia tinggalkan setiap bentuk kemaksiatan, dan memelihara jiwa dari setiap penyimpangan. Jika Anda melakukan yang demikian, niscaya Anda menjadi taqwa kepada Allah (takut dengan sebenar-benarnya), melalui kedua mata, lisan, perut, kelamin dan seluruh anggota tubuh. Berarti, Anda telah mengendaliknda denga kendali taqwa.”
          Bab ini memerlukan syarah (penjelasan) yang panjang. Adapun yang perlu saya tekankan di sini adalah :.
“Barangsiapa yang ingin bertaqwa kepada Allah, hendaklah memelihara lima anggota badan, sebab inilah yang pokok, yaitu sepasang mata, telinga, lisan, hati dan perut. Berupaya keras untuk memelihara kelimanya dari setiap kemadharatan yang ia takuti, anatara lain berupa kemaksiatan dan perkara haram, penyimpangan, dan berlebih-lebihan (boros) dalam yang halal. Jika dia berhasil menjaga kelima anggota badan tersebut, maka seluruh sendi (tubuh)nya cukup bisa diharapkan (untuk baik), dan jadilah dia sebagai penegak taqwa kepada Allah Ta’ala secara menyuluruh.” (Minhajul ‘Abidin, 76-77)
          Jika Anda bertanya : “ Bagaimana saya bisa menjaga seluruh anggota badan yang lima dari maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ? Dan bagaimana saya bisa mengendalikannya dengan ketaatan kepada Allah?.
          Saya katakan : “Dari pertanyaan Anda, akan saya himpun bebrapa topik yang dapat menerangkan dan bisa kita jadikan jalan untuk menempuh ketaqwaan. Allah lah pemberi taufiq kepada kita semua.”
          Tentang hal ini, yaitu faktor yang dapat membantu mencapai ketaqwaan, saya ringkas dalam lima perkara :
1.  Mahabbatullah, kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Allah-lah yang menguasai hati seorang hamba. Ia mampu menanggalkan kecintaan hamba terhadap segala sesuatu (selain-Nya) sehingga rela berkorba dalam menempuh (jalan ketaqwaan).
2.  Hati Anda harus dapat merasakan adanya pengawasan Allah dan malu kepada-Nya dengan sebenar-benar malu.
3.   Anda harus mengetahui segala sesuatu yang ada di jalan maksiat, dan akibat yang ditimbulkannya berupa kerusakan-kerusakan dan penyakit-penyakit.
4.  Anda harus mengetahui bagaimana menundukkan hawa nafsu dan menaati Maula (Allah Subhanahu wa Ta’ala)
5.  Hendaknya Anda mengetahui tipu daya – tipu daya syaithan berikut ranjau-ranjaunya, dan hendaklah waspada dari bisikan dan tipu muslihatnya.
Kelima faktor yang dapat membantu mencapai ketaqwaan tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut :
1.1         Mahabbatullah ‘Azza wa Jalla
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata :
“Mahabbah itu ibarat pohon (kecintaan) dalam hati, akarnya adalah merendahkan diri di hadapan Dzat Yang dicintai-Nya, bentengnya adalah ma’rifah kepada-Nya, rantingnya adalah rasa takut kepada (siksa) Nya, daunnya adalah rasa malu terhadap-Nya, buah yang dihasilkannya adalah taat kepada-Nya, dan bahan penyiramnya adalah dzikir kepada-Nya. Kapan saja, jika amalan-amalan tersebut berkurang, maka berkurang pulalah mahabbahnya kepada Allah).” (Raudhatul Muhibbin, 409, Darush Shafa)
    Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
    “Mahabbatullah Subhanahu wa Ta’ala itu memiliki dua tingkatan :
Yang pertama : yang bersifat fardhu dalam menetapinya, yauitu kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang mewajibkan dirinya mencintai perkara yang fardhu, yang Allah wajibkan kepadanya, membenci perkara-perkara yang Allah haramkan kepadanya. Mahabbah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyampaikan perintah dan larangan-Nya, mendahulukan mahabbah kepadanya daripada kepada dirinya sendiri dan anggota keluarganya, ridho terhadap perkara Al Islam yang ia sampaikan dari Allah. Juga mahabbah kepada para Rasul serta orang-orang yang mengikutinya secara baik dan  menyeluruh karena Allah semata, dan membenci orang-orang kafir dan pendurhaka secara menyeluruh karena Allah pula. Inilah tolak ukur iman yang wajib dilakukan oleh seorang hamba, dan barangsiapa melalaikan perkara ini, maka berkuranglah imannya, sesuai dengan kadar yang dia lalaikan tersebut.
     Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“ Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An Nisaa : 65)
          Demikianlah, mahabbah wajib yang dimiliki seseorang akan berkurang manakala dia melalaikan hal tersebut, sebab mahabbah wajib itu menuntut seseorang untuk melakukan perbuatan wajib dan meninggalkan perbuatan yang dilarang-Nya.
Yang kedua : Tingkatan mahabbah para pendahulu ummat yang benar-benar dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala (Assabiqunal Muqarrabun), yaitu mereka yang meningkatkan derajat mahabbah sampai ke tingkat mencintai dan menaati perkara-perkara yang sunnah (nawafil), tidak menyukai hal-hal yang makruh dalam segala bentuknya, dan sampai ke derajat ridha terhadap taqdir dan qadha-Nya, meskipun berupa musibah yang menyakitkan dirinya. Dan inilah keutamaan yang disunnahkan kepadanya. Dan di dalam shahih Bukhari dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
من عادى لي وليا فقد آذنته بالحرب، وما تقرب إلي عبدى بشيء أحب إلي مما افترضت عليه ، ولا يزال عبدى يتقرب إلي بالنوافل حتى أُحبه ، فإذا أحببتُه كنتُ سمْعَهُ الذي يسمع به، وبصره الذى يبصر به ، ويده التى يبطش بها ، ورجله التى يمشى بها, ولئن سألَنِى لأعطينه، ولئن استعاذنى لأُعيذنه.....
”Barangsiapa memusuhi kekasih-Ku, maka telah Aku nyatakan perang terhadapnya. Hamba-Ku tidaklah mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku senatiasa mendekatka diri kepada-Ku dengan ibadah sunnah sehingga Aku mencintainya. Dan apabila Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dia pergunakan untuk mendengar, penglihatannya yang dia pergunakan untuk melihat, tangannya yang dia pergunakan untuk menindak dengan keras, kakinya yang dia pergunakan untuk berjalan. Dan jika dia mohon kepada-Ku akan Aku beri dia, dan apabila dia mohon perlindungan kepada-Ku akan Aku lindungi dia.” (HR Bukhari, XI : 341)
          Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : ‘Andaikan dalam mahabbah itu tidak terdapat apapun, kecuali sesuatu yang dapat menyelamatkannya dari adzab Allah, maka sepatutnya, seorang hamba tidak perlu meminta balasan sedikitpun untuk selama-lamanya.’ Sebagian ulama ditanya : ‘Di mana anda bisa menemukan di dalam Al Quran yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah tidak menyiksa hamba yang mencintai-Nya?’ Maka ia menjawab, dalam firman-Nya :
وقالت اليهود والنصارى نحن أبناء الله وأحبّاؤه قل فلم يعذبكم بذنوبكم
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya". Katakanlah: "Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu? ..." (QS Al Maidah : 18)

Faktor – faktor yang Mendatangkan Mahabbah :
1.     Membaca Al Qur an dengan tadabbur (penghayatan) dan memahami makna-maknanya.
2.     Taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu dengan mengerjakan amalan sunnah setelah mengerjakan amalan wajib.
3.     Selalu berdzikir kepada-Nya melalui hati dan lisan.
4.     Mengutamakan cinta kepada Allah daripada cinta kepada dirinya sendiri, di saat bergejolaknya hawa nafsu.
5.     Menelaah Asma’ dan Sifat Allah, serta memahami makna-maknanya.
6.     Mengingat-ingat kenikmatan Allah dan kebaikan-Nya kepada hamba, sebab hati manusia itu, --naluri-nya—mencintai orang yang berbuat baik kepadanya dan membenci orang yang berbuat jelek kepadanya.
7.     Berkhalwat(menyendiri dari manusia dan mendekat kepada Allah, ed) dengan-Nya di saat Allah turun ke langit bumi, dan saat lain yang diizinkan-Nya, yaitu ketika Dia berfirman : “Adakah yang meminta kepada-Ku, adakah yang bertaubat kepada-Ku, dan adakah yang memohon ampun kepada-Ku ...”  (Hadits turunnya Allah, riwayat Bukhari, XII:464, Tauhid;Muslim,VI:38-39;Tirmidzi,XIII:30, Ad Da’awat;Abu Dawud,1301,Ash Shalah)
8.     Duduk dan berteman dengan Shadiqun (orang yang senantiasa berada dalam kebenaran, ed), lalu mengambil manfaat dari tutur kata mereka yang baik tersebut.
9.     Menjauhi syahwat maupun syubhat yang dapat terjauhnya hati dari Allah.
10.   Memikirkan ciptaan Allah yang menunjukkan kesempurnaan-Nya, sebab hati memiliki sifat bawaan untuk mencintai Yang Maha Sempurna, dan kalangan Salaf lebih banyak mencurahkan olah fikir daripada ibadah badaniyah.
11.   Selalu mengingat apa-apa yang disebutkan dalam Al Kitab dan as Sunnah, tentang keadaan orang mukmin yang akan melihat Allah secara langsung di dalam surga kelak dan kunjungan mereka kepada-Nya, dan berkumpulnya mereka pada hari di mana terdapat kenikmatan tambahan.
Tidak diragukan lagi, bahwa kesibukan dalam melakukan hal-hal yang dapat mendatangkan mahabbah kepada Allah, merupakan kesibukan hati dalam rangka menaati Allah dan menjauhi maksiat kepada-Nya. Apabila mahabbah telah mencapai kesempurnaannya, maka keadaannya seperti dikatakan dalam syair :
Anda maksiat kepada Allah,
sementara Anda mengaku mencintai-Nya
Anda menyanjung-Nya,
namun Anda berlaku menjelekkan-Nya
Andaikan cintamu itu benar-benar jujur,
tentu kamu menaati-Nya
Sesungguhnya bukti seseorang itu mencintai sesuatu,
adalah dengan menaatinya

Jika pintu mahabbah telah terbuka untuk hamba, dan dia memasuki istana-Nya yang megah, tentu dia akan melaukukan ketaatan-ketaatan untuk menarik hati pemilik istana, sehingga dia akan memperoleh kebahagiaan final di dalamnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وجُعِلَتْ قُرَّةُ عينِى في الصلاة    
“Dan Permata Hati (penyejuk mata) ku ditempatkan dalam sholat.” (HR Ahmad, III:128, Nasa’i, VII:61, Bab Menggauli Istri; Hakim,II:160, Bab Nikah; Shahih menurut syarat muslim; dan disepakati oleh Adz Dzahabi  dan shahih menurut Al Albani di dalam Ash Shahihah, no 1809)
Itulah sebabnya, mengapa ketika beliau shalat, kedua betisnya sampai bengkak dan kedua telapak kakinya memar. Di Antara shahabat ada yang bertanya kepadanya tentang hal ini, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

أفلا أكون عبدا شكورا
“Apakah aku tidak boleh menjadi seorang hamba yang pandai bersyukur?.” (HR Bukhari, III/!4, Bab Tahajjud;Ibnu Majah,1419)
Jelaslah bahwa mahabbatullah termasuk penyebab utama yang mendatangkan ketaqwaan hamba, seperti yang dikatakan oleh penyair :
وَكُنْ لِرَبِّكَ ذا حُبٍّ لِتَخْدِمَهُ – إن المُحِبِّيْنَ لِلأ حباب خُدَّامٌ
Karena cintamu kepada Rabb, jadikanlah dirimu sebagai khadam-nya,
Sesungguhnya orang yang mencintai sesuatu, ia menjadi pelayan bagi yang dicintainya.
Sudah sepatutnya, bahwa setiap hamba yang mencintai Allah, dia menjadikan dirinya sebagai khadam (pelayan)-Nya, menaati perintah-Nya, tidak maksiat kepada-Nya. Sebagian orang shalih berkata : “ Sungguh, aku merasa tidak baik bermaksiat kepada Allah.” Artinya, bahwa anggota badannya tidak sampai melakukan kemaksiatan, karena rasa cinta untuk menaati-Nya dan membenci kemaksiatan. Sebagaimana sering dinasihatkan oleh  sebagian salafush sholih kepada putra-putrinya :
“Biasakanlah dirimu untuk mencintai Allah dan menaati-Nya, sebab orang muttaqin itu menyatukan anggota badan mereka dengan ketaatan, sehingga merasa kesepian bila tidak bersama dengannya. Jika mereka diperintah oleh orang-orang terkutuk untuk melakukan kemaksiatan, maka kemaksiatan tersebut melewatinya dengan rasa malu, dan mereka pun menghindari-Nya.”
          Maka dari itu, selayaknya kita memohon kepada Allah Yang Maha Kaya lagi Maha Mulia, agar menganugerahkan kepada kita sifat mahabbatullah yang bisa mendatangkan karunia dan rahmat-Nya.


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------