AHLUSSUNNAH WAL JAMA`AH, MA`ALIM INTHILAQATUL KUBRA
OLEH SYAIKH MUHAMMAD ABDUL HADI AL MISHRI
Penerjemah : Abu Fahmi Ahmad dan Ibnu Marjan, 1992 , updated Februari 2012
Bagian-4
PASAL 2
DEFINISI-DEFINISI PENTING
Definisi Sunnah
As-Sunnah, menurut bahasa Arab, adalah ath-thariqah, yang berarti metode, kebiasaan, perjalanan hidup, atau perilaku, baik terpuji maupun tercela. Kata tersebut berasal dari kata as-sunan yang bersinonim dengan ath-thariq (berarti “jalan”)

Dalam sebuah hadits disebutkan:
“Barangsiapa melakukan sunnah yang baik dalam Islam, maka selain memperoleh pahala bagi dirinya, juga mendapat tambahan pahala dari orang yang mengamalkan sesudahnya, dengan tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka. Dan barangsiapa melakukan sunnah yang jelek dalam Islam, maka selain memperoleh dosa bagi dirinya, juga mendapat tambahan dosa dari orang yang melakukan sesudahnya, dengan tanpa mengurangi sedikit pun dosa mereka.” (HR. Muslim)

Al-Qadli Iyadl berkata bahwa Nabi Saw pernah bersabda:
          “Sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah orang sebelum kamu.”
Tulisan……..dalam kalimat hadits di atas jika dibaca sananun berarti “jalan” atau ‘metode”. Adapun jika dibaca sununun atau sanunun –keduanya merupakan bentuk jamak dari sunnah- maka artinya “perjalanan hidup”.[1]
Menurut Ibnul Atsir, “Kata sunnah dengan segala variasinya disebutkan berulang-ulang dengan hadits, yang srti asalnya adalah `perjalanan hidup` dan `perilaku`.” (An Nihayah 2:409).
Adapun pengertian sunnah dalam istilah syara`, menurut para Ahli Hadits, adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Saw, yang berupa perkataa, perbuatan, ketetapan, karakter, akhlak, ataupun perilaku, baik sebelum maupun sesudah diangkat menjadi nabi. Dalam hal ini pengertian sunnah, menurut sebagian mereka, sama dengan hadits.[2]

Menurut Ahli Ushul, “Sunnah ialah sesuatu yang dinukil dari Nabi Saw secara khusus. Ia tidak ada nashnya dalam Al Qur`an, tetapi dinyatakan oleh Nabi Saw dan sekaligus merupakan penjelasan awal dari isi Al Qur`an.” (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat 4:47).
Adapun menurut Fuqaha, “Sunnah itu berarti ketetapan dari abi Saw yang bukan fardhu dan bukan wajib.” (Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, hlm.31)

Setelah timbulnya perpecahan dari menyebarnya berbagai bid`ah serta aliran nafsu, maka sunnnah digunakan sebagai lambing pembeda antara Ahli Sunnah dan ahli bid`ah. Jika dikatakan si Fulan Ahli Sunnah atau mengikuti sunnah, maka ia adalah kebalikan dari ahli bid`ah. Disebutkan si Fulan itu “mengikuti sunnah” apabila ia beramal sesuai dengan yang diamalkan Nabi Saw (Al-Muwafaqat 4:4)

Pengertian sunnah tersebut didasarkan atas dalil syar`i, baik yang terdapat dalam Al Qur`an maupun berasal dari Nabi Saw, atau merupakan ijtihad para sahabat Ra seperti mengumpulkan mushhaf dan menyuruh orang-orang membaca Al Qur`an dengan satu bahasa, serta membukukannya.(as-Sunnah,hlm.48)
Adapun menurut ta`rif kebanyakan Ulaha Hadits muta`akhirin, kata sunnah adalah ibarat (ungkapan) yang dapat menyelamatkan dari keragu-raguan tentang aqidah, khususnya dalam perkara iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitan-Nya, Rasu-rasul-Nya, hari akhir, takdir, dan masalah keutamaan para sahabat.

Untuk membahas ilmu ini, para Ulama Hadits menyusun beberapa tulisan yang dinamakan Kitab-kitab Sunnah. Mereka mengkhususkan ilmu ini dengan nama Sunnah, karena bahayaya besar (bila terjadi penyimpangan), sedangkan orang yang enentangnya berada di jurang kebinasaan. (Ibnu Rajab)

Istilah sunnah menurut Ulama Hadits muta`akhirin tersebut lebih ditekankan pada aspek aqidah, sebab aspek ini dianggap begitu penting, termasuk bahaya penyelewengannya. Namun jika diperhatikan dengan seksama, lafazh ini lebih mengacu kepada pengertian jalan hidup Nabi Saw dan para sahabatnya Ra, baik ilmu, amal, akhlaq, ataupun segi kehidupan lainnya.

Menurut Ibnu Rajab, Sufyan ats-Tsauri mengatakan, “Perlakukanlah Ahli Sunnah dengan baik, karena mereka adalah orang-orang asing.” Yang dimaksud sunnah oleh Imam-imam itu ialah perjalanan hidup Nabi Saw dan para sahabtnya, yang bersih dari syubhat dan syahwat. Karena itu, Al-Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Ahli Sunnah ialah orang yang terkenal hanya mau memakan makanan yang halal. Dan memakan makanan yang halal merupakan perilaku paling penting dalam Sunnah yang dilakukan oleh Nabi Saw dan para sahabatnya Ra.”

Definisi Al-Jama`ah
Menurut bahasa, kata jama`ah berasal dari al-ijtima` (“berkumpul” atau ‘bersatu”) yang lawan katanya al-firqah (“berpecah belah”). Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Al-Jama`ah berarti persatuan, sedangkan lawan katanya adalah perpecahan. Dan lafazh al-jama`ah telah menjadi nama bagi kaum yang bersatu.” (Majmu` Fatawa 3:157)
Namun, jika lafazh jama`ah dirangkaikan dengan as-sunnah –menjadi Ahli Sunnah Waljama`ah- maka yang dimaksud ialah pendahulu umat ini. Mereka adalah para sahabat dan tabi`in yang bersatu mengikuti kebenaran yang jelas dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Saw. (Harras, Syarah al-Wasithiyyah, hlm.16)

Demikianlah, apa yang dilakukan Nabi Saw dan para sahabatnya Ra merupakan kebenaran yang wajib diteladani dan diikuti. Dan setiap orang yang dating sesudah mereka dengan menempuh jalan mereka dan mengikuti jejak mereka, maka dia itulah “al-jama`ah”, baik secara individu maupun kelompok.
Abu Syamah berkata, “Manakala datang perintah untuk beriltizam kepada jama`ah, maka yang dimaksud iltizam di sini adalah komitmen terhadap kebenaran dan mengikutinya, sekalipun jumlah pengikut kebenaran itu lebih sedikit daripada penentangnya. Sebab, kebenaran itulah yang menjadi pijakan jama`ah generasi pertama dari Nabi Saw dan para sahabatnya Ra dengan tidak melihat banyaknya ahli kebatilan sesudah ereka.” (Al Ba`its hlm. 22)

Ketika Abdullah bin Mubarak ditanya tentang al-jama`ah, beliau menjawab, “Abu Bakar dan Umar.” Ketika dikatakan kepada beliau bahwa Abu Bakar dan Umar telah wafat, beliau  menjawab, “Fulan dan Fulan.” Ketika dikatakan kepada beliau bahwa si Fulan dan Fulan telah wafat, beliau menjawab, “Abu hamzah as-Sukri adalah jama`ah (Al-Baghawi 1:205)
Istilah jama`ah, menurut penafsiran Ibnu Mubarak tersebut, adalah orang yang memiliki sifat-sifat teladan yang sempurna berdasarkan Al Qur`an dan Sunnah Nabi. Karena itu, beliau membuat perumpamaan dengan orang-orang yang menjadi teladan. Maka disebutlah nama ulama sejamannya, Abu Hamzah as-Sukri, dan bukan ulama lainnya. Alasan beliau, Abu Hamzah termasuk ahli ilmu yang memiliki keutamaan dan berlaku zuhud.
Sebagian ulama berbeda pendapat mengenai penjelasan hadits-hadits Nabi yang mewajibkan beriltizam kepada jama`ah dan melarang keluar daripadanya. Menurut pengamatan kami, hadits-hadits tersebut sama sekali tidak bertentangan. Namun, untuk melengkapi pembahasan ini, kami akan menyebutkan pendapat-pendapat tersebut sebagai berikut:

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud al-jama`ah ialah para sahabat saja, dan bukan orang-orang sesudah generasi mereka. Sebab, para sahabat itulah yang sesungguhnya telah menegakkan tonggak-tonggak ad-Din dan menancapkan paku-pakunya. Dan mereka tidak berhimpun di atas  kesesatan. (Lihat Asy-Syathibi, Al-I`thisham 2:262). Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz Ra.
Menurut pendapat ini, lafazh al-jama`ah sesuai dengan riwayat lain dalam sebuah hadits Nabi: “…yakni jalan yang aku tempuh dan para sahabatku.” Kalimat hadits ini merujuk kepada perkataan, perilaku, dan ijtihad mereka. Dengan demikian, lafazh tersebut menjadi hujjah secara mutlak dengan kesaksian Rasulullah Saw, khususnya dengan sabda beliau: “Hendaklah kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah para Khalifah ar-Rasyidin…”

Ada sementara ulama yang mengartikan al-jama`ah itu adalah Ahli Ilmu, Ahli Fiqih, dan Ahli Hadits dari kalangan Imam Mujtahidin. Sebab, Allah telah menjadikan mereka hujjah atas manusia dan mereka menjadi panutan dalam urusan ad-Din.
(Fathul Bari 13:27). Pendapat ini dari Al-Bukhari. Dalam kitabnya bab Wa Kadzalika Ja`alnakum Ummatan Wasathan (Demikian pula Kami Jadikan Kamu Umat Pertengahan) dan perintah Nabi Saw untuk beriltizam kepada al-jama`ah beliau mengatakan bahwa mereka (al-jama`ah) itu adalah Ahli Ilmu. (Fathul Bari 13: 316) 
         
Menurut Turmudzi, para ahli ilmu menafsirkan al-jama`ah dengan ahli fiqih, ahli ilmu, ahli hadits. Kemudian beliau membawakan riwayat dari Ibnul Mubarak yang memberikan jawaban: “Abu Bakar dan Umar” sewaktu itu ditanya mengenai al-jama`ah. (Sunan Turmudzi 4:465)

Ibnu Sinan berpendapat, “Mereka (al-jama`ah) adalah Ahli ilmu dan orang-orang yang punya atsar. (Syaraf Ashabul Hadits, hlm. 26-27)

Berdasarkan pendapat di atas, maka al-jama`ah adalah Ahli Sunnah yang `alim, `arif, dan mujtahid. Maka tidaklah termasuk al-jama`ah mereka yang ahli bid`ah dan orang-orang awam yang taklid. Sebab, mereka tidak bisa diteladani dan biasanya kaum –yang disebut terakhir ini- hanya mengikuti ulama.
Ada Ulama yang mengatakan bahwa al-jama`ah ialah jama`ah Ahlul Islam yang bersepakat dalam masalah syara`. Mereka tidak lain adalah Ahli ijma` yang senantiasa bersepakat dalam suatu masalah atau hukum, baik syara` maupun aqidah. Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi yang artinya: “Umatku tidak bersepakat dalam kesesatan.” (Al-I`tisham 2:263)

Ibnu Hajar mengomentari pendapat Bukhari -yang mengatakan bahwa mereka (al-jama`ah) adalah Ahli ilmu- sebagai berikut: “Yang dimaksud al-jama`ah ialah Ahlul Hal wal`Aqadi, yakni mereka yang mempunyai keahlian menetapkan dan memutuskan suatu masalah pada setiap jaman.”

Adapun menurut Al-Karmani, “Yang dimaksud perintah untuk beriltizam kepada jama`ah ialah beriltizamnya seorang mukallaf dengan mengikuti kesepakatan para mujtahidin. Dan inilah yang dimaksud Bukhari bahwa `mereka adalah Ahli Ilmu`.”

Ayat yang diterjemahkan Bukhari dijadikan hujjah oleh Ahli Ushul karena ijma` adalah hujjah. Sebab, mereka (Ahli Ilmu) dinilai adil, sebagaimana firman Allah (Al-Baqarah 143):”Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil….”
Pernyataan ayat di atas menunjukkan bahwa mereka terpelihara dari kesalahan mengenai apa yang telah mereka sepakati, baik perkataan maupun perbuatan. (Fathul Bari 13:316). Pendapat ini merujuk kepada pendapat kedua.
Ada ulama yang mengatakan, jama`ah adalah as-Sawadul A`zham (Kelompok Mayoritas). Dalam kitab An-Nihayah disebutkan:”Hendaklah kamu mengikuti as-Sawadul A`zham, yaitu mayoritas manusia yang bersepakat dalam mentaati penguasa dan menempuh jalan yang lurus. (An-Nihayah 2:419).

Pendapat tersebut diriwayatkan dari Abi Ghalib yang mengatakan, sesungguhnya as-Sawadul A`zham ialah orang-orang yang selamat dari perpecahan. Maka urusan agama yang mereka sepakati itulah kebenaran. Barangsiapa menentang mereka, baik dalam masalah syari`at maupun keimanan, maka ia menentang kebenaran; dan kalau mati, ia mati jahiliah. (Al-I`tisham 2: 260)
Di mana orang lain yang berpendapat demikian ialah Abu Mas`ud al-Anshari dan Ibnu Mas`ud Ra.

Asy-Syathibi berkomentar, “Berdasarkan pendapat ini, maka yang termasuk al-jama`ah ialah para mujtahid, ulama, dan ahli syari`ah yang mengamalkannya. Adapun orang-orang di luar mereka, termasuk ke dalam hukum mereka, sebab orang-orang tersebut mengikuti dan meneladani mereka. Maka setiap orang yang keluar dari jama`ah mereka, berarti ia telah menyimpang dan menjadi tawanan setan. Yang termasuk kelompok ini ialah semua ahli bid`ah, karena mereka telah menentang para pendahulu umat ini. Sebab itu, mereka sama sekali tidak termasuk as-Sawadul A`zaham.” (Al-I`tisham 2:261)
Ada ulama yang mengatakan bahwa al- jama`ah ialah jama`ah kaum muslimin yang sepakat atas seorang amir (penguasa). Ini adalah pendapat Ath-Thabari yang menyebutkan pendapat-pendapat terdahulu. Kemudian ia mengatakan, “Ya benar –pengertian tentang beriltizham kepada jama`ah- ialah taat dan bersepakat atas amirnya. Maka barangsiapa melanggar bai`atnya, ia telah keluar dari al-jama`ah .” (Fathul Bari 13:37)
Rasulullah Saw telah menyuruh umatnya agar beriltizam kepada pemimpinnya, dan melarang umat mengingkari kesepakatan tentang pemimpin yang telah diangkatnya.(Al-I`tisham 2:264)

Menurut Thabari, jika jama`ah itu telah sepakat dengan ridla untuk mengangkat seorang pemimpin, sedangkan orang yang menentangnya mati dalam keadaan jahiliah, maka itu al-jama`ah yang digambarkan Abu Mas`ud al-Anshari. Mereka adalah mayoritas dari ahli ilmu dan agama serta pengikutnya. Mereka itulah as-Sawadul A`zham. (Al-I`tisham 2:264)
Dengan demikian, al-jama`ah-menurut pendapat ini- ialah atas kesepakatan pemimpin yang sesuai dengan Al Qur`an dan Sunnah. Adapun kesepakatan yang menyalahi Sunnah berarti telah keluar dari makna al-jama`ah yang disebutkan dalam hadits-hadits Rasul. (Al-I`tisham 2:265)

Itulah pendapat-pendapat penting mengenai makna al-jama`ah sehingga kita diperintahkan untuk beriltizam kepadanya. Dari pendapat-pendapat tersebut, akhirnya kita dapat menarik dua kesimpulan:
Ia disebut jama`ah apabila bersepakat dalam hal memilih dan mentaati seorang pemimpin yang sesuai dengan ketentuan syara`. Kita wajib beriltizam kepadanya dan haram keluar dari padanya.

Jama`ah adalah jalan yang ditempuh oleh Ahli Sunnah yang meninggalkan segala macam bid`ah. Inilah yang disebut madzhab al-haq. Pengertian Jama`ah di sini merujuk kepada para sahabat Nabi, ahli ilmu, ahli ijma`, atau as-Sawadul A`zham.
Semua itu kembali kepada satu makna, yaitu: “Orang yang mengikuti jalan hidup Rasulullah Saw dan para sahabatnya Ra, baik sedikit maupun banyak, sesuai dengan keadaan umat serta perbedaan jaman dan tempat.

Karena itu, Ibnu Mas`ud berkata:
“Al-Jama`ah ialah orang yang menyesuaikan diri dengan kebenaran walaupun engkau seorang diri.” (Abu Syamah, Al-Hawadits wal Bida`, hlm. 22, Abu Syamah menyebutkan bahwa perkataan ini juga diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Al Madkhal)
          Dalam Lafazh lain disebutkan:
“Sesungguhnya al-jama`ah itu ialah mentaati Allah, walaupun engkau seorang diri.” (Al-Lalaka`I, Syarhus-Sunnah 1:108-109)

Definisi Ahli Hadits
Menurut bahasa Arab,al-hadits berarti “baru”. Lawan katanya al-qadim, yang berarti “lama”. Adapun menurut istilah, al-hadits ialah perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat, atau akhlak Nabi Saw. (Lihat Manhaj an-Naqdi Fi Ulumil Hadits, hlm.26)
Ilmu hadits terdapat dua macam, yaitu:
Ilmu hadits riwayat
Ilmu hadits dirayah
Ilmu hadits riwayat ialah ilmu yang meliputi perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat-sifat Nabi, riwayat dan penyampaian, serta penulisan lafazh-lafazhnya ( Tadribur-Rawi 1:40)
Ilmu hadits dirayah ialah ilmu tentang peraturan-peraturan yang dipergunakan untuk mengetahui keadaan sanad dan matan. (Tadribur-Rawi 1:41). Ilmu ini disebut juga Musthalah Hadits.

Jika dikatakan Ahli Hadits, ialah orang-orang yang memperhatikan hadits Rasulullah Saw, baik dari segi riwayat maupun dari dirayah. Mereka mencurahkan tenaganya untuk mengkaji hadits-hadits Nabi Saw dan periwayatannya, mengikuti isinya berupa ilmu dan amal, serta menjalankan Sunnah dan menjauhi bid`ah. Mereka berbeda dengan para pengikut hawa nafsu (ahlul hawa) yang cenderung mendahulukan perkataan-perkataanorang sesat daripada sabda Rasulullah Saw. Golongan pengumbar nafsu ini acapkali lebih mendahulukan akal pikiran yang rusak, logika yang kacau, dan perkataan yang bertentangan dengan Al Qur`anul Aziz dan as   -Sunnah asy-Syarifah.
Dengan demikian, Ahli Hadits adalah orang yang paling patut meyakini kebenaran; mengikuti Sunnah, jama`ah, dan golongan yang selamat. Mengenai jama`ah ini, Imam Ahmad berkata,”Kalau bukan Ahli Hadits, maka aku tak tahu lagi siapa mereka itu?” (Syaraf Ashhabul Hadits, hlm. 25).

Syekh Abu Ismail ash-Shabuni juga menyebut  sifat-sifat Ahli Hadits dalam risalah beliau yang berjudul Aqidah as-Salafi Ashhabil Hadits (Aqidah Salaf Ahli Hadits) atau Ar-Risalah Fi I`tiqadi Ahli-Sunnah wa Ashhabil Hadits wa A`immah (Risalah tentang I`tiqadi  Ahli Sunnah, Ahli Hadits, dan Para Imam). Menurut beliau, “Mereka meneladani Nabi Saw dan para sahabatnya. Mereka meneladani orang-orang Salaf yang shaleh dari Imam-imam ad-Din  dan ulama kaum muslimin. Mereka berpegang teguh pada ad-Din yang kokoh dan kebenaran yang nyata. Mereka membenci ahli-ahli bid`ah yang seringkali mengada-ada dalam soal agama.” (Aqidah as-Salafi Ash habil Hadits, hlm. 99-100)

Syekh Al-Ashbahani berpendapat mengenai Ahli Hadits. “Kami mendapatkan sunnahnya dan kami mengetahuinya dengan atsar-atsar yang masyhur yang diriwayatkan dengan sanad-sanad shahih dan bersambung, yang dinukil oleh para ulama penghafal hadits (hafizh); sebagian mereka dari sebagian yang lain. Menurut kami, mereka itu –Ashabul Hadits- sangat gigih mencari,mengumpulkan, dan mengikuti hadits-hadits shahih. Karena itu, kai yakin, berdasarkan Al Qur`an dan as-Sunnah, bahwa merekalah ahlinya, dan bukan kelompok lain.

Kami melihat Ahli Hadits rahimahullah dahulu dan sekarang adalah orang-orang yang berjalan mencari atsar-atsar yang menunjukkan Sunnah Rasulullah Saw.  Lalu mereka mengambilnya dari sumber-sumber aslinaaya, mengumpulkannya, dan memeliharanya. Mereka menyeru orang banyak untuk mengikutinya serta mencela para penentangnya. Karena itu, banyaklah hadits di tangan mereka, sehingga mereka terkenal sebagai Ahli Hadits.” (Al-Hujjah Fi Bayanil Mahajjah, lembaran  166b-167b, dalam tulisan tangan)
Jika kita perhatikan, maka Ahli Hadits dan Ahli Sunnah merupakan dua istilah yang dekat maknanya. Di antara keduanya terdapat keumuman dan kekhususan atau kemutlakan dan keterikatan makna. Jika yang satu disebutkan secara  mutlak, maka yang lain termasuk didalamya. Dan dengan sendirinya lafazh itu pun menunjukan semua golongan yang selamat dari mulai ahli fiqih, ahli hadits, ulama, umara, orang-orang zuhud, para pejuang, para ahli ushul, ahli nahwu dan ahli bahasa, hingga ahli kebaikan. Lafazh ini sama artinya dengan Ahlul Haq atau Ahlul Qur`an dan sebagainya. 

Jika kedua lafazh itu dirangkaikan, maka yang pertama menunjukan kepada ahli ilmu yang khusus membidangi ilmu hadits, sedangkan yang kedua menunjukan kepada para ahli kebaikan (Ahlul Khair).

Ibnu Taimiyah member batasan tentang Ahli Hadits. “Yang kami maksudkan dengan Ahli Hadits bukannya terbatas pada orang-orang yang medengar, menulis, atau meriwayatkan hadits saja, tetapi mencakup semua orang yang lebih patut memelihara, mengetahui, memahami, dan mengikutinya secara lahir dan batin. Begitu pun terhadap Al Qur`an.
Serendah-rendah sifat yang mereka miliki ialah: mencintai Al Qur`an dan Alhadits, membahas dan mengkaji maknanya, serta mengamalkan isi kandungannya yang telah mereka ketahui. Para ahli Hadits lebih tahu tentang Rasulullah Saw daripada ahli – ahli ilmu lainnya. Kaum Sufi mereka lebih sufis daripada sufi-sufi lainnya. Para pemimpin mereka lebih benar-dalam menjalankan politik Nabi- daripada pemimpin lainnya. Orang awam mereka lebih patut mencintai  Rasulullah Saw daripada orang awam lainnya.” (Majmu` Fatawa 4: 91-95)


[1] Masyariqul Anwar 2:223
[2] As-Sunnah wa Makanatuha Fit-Tasyri`il Islami, Musthafa as-Siba`I, hlm.47.


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------