Nasihat Emas Ibnu Taimiyah, soal Jama`ah, Bag-2.
Para Aktivis Islam Wajib Mengoreksi Beberapa Pemahamannya. 

Ada beberapa permasalahn yang harus dijelaskan bagi para aktifis Islam, guna mengoreksi beberapa persepsi dan konsepsinya terhadap:
Pimpinan, Tanzhim dan organisasinya, serta Terhadap seluruh kaum muslimin
Syaikhul Islam menjelaskan tentang haramnya menzholimi seorang muslim dan mengganggunya dengan perkataan atau perbuatan tanpa alasan yang benar. Sesungguhnya tidak dibenarkan bagi orang yang menghimpunkan dirinya pada seorang mu’alim (syekh, kiyai, ustadz atau guru) untuk menaatinya dalam menghukumi seorang muslim lainnya hanya dengan dasar perintah dan larangan. Akan tetapi teliti terlebih dulu, lalu hukumlah sesuai dengan dosa yang diperbuatnya, tanpa ditambah.
Beliau juga menjelaskan tentang wajibnya untuk meneliti kembali dan mengoreksi diri, ketika ada pertentangan di antara sesama mu’allim, sesama murid atau antara mu’allim dengan muridnya. Juga tentang haramnya menolong karena kejahilan dan hawa nafsu, baik yang benar itu teman dekat ataupun bukan.

Tentang persepsi terhadap tanzhim dan organisasi, di sini dijelaskan, bahwa di antara para aktifis Islam saat ini diperlukan adanya koreksi terhadap beberapa pemahaman tentang masalah tersebut. bila tidak, simpelnya akan berarti; membiarkan kendala-kendala yang akan memecah belah hati untuk berdiri kokoh; menghancurkan kemampuan diri, dengan tidak mau mengambil manfaat dari pengalaman aktifis gerakan Islam yang ada di seluruh penjuru dunia ini, apalagi untuk mengambil manfaat dari orang-orang yang di luar mereka.
Secara umum, yang harus dikoreksi pada kebanyakan aktifis gerakan Islam saat ini menyangkut:
Pemahaman terhadap Bai’at dan
Pemahaman terhadap jama’ah.

Tentang masalah ini, Ibnu Taimiyyah menjelaskan, “seorang dari mereka –para mu’allim- tidak diperkenankan mengambil satu perjanjian kepada orang lain untuk menyetujuinya dalam segala apa yang ia kehendaki, membela orang-orang yang membelanya dan memusuhi orang-orang yang memusuhinya. Orang yang melakukan hal ini termasuk manusia Jengis Khan, atau orang-orang yang semisal dengannya, yang menjadikan orang-orang yang setuju dengannya sebagai teman, dan orang-orang yang menentangnya sebagai musuh. Akan tetapi mereka dan para pengikutnya harus memenuhi janji Alloh dan RasulNya dengan mentaatiNya dan mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Alloh.”

Awal Munculnya Tanzhim-tanzhim Islam
Ketika dunia Islam, dengan kejahilan, kemunduran dan keterpecah-pecahannya  sampai pada jurang kehacuran, negara barat berhasil menaklukan beberapa bagian negara-negara kaum muslimin dengan kekuatan militer, politik dan peradabannya. Benturannya keras sekali, sehingga kena pengaruhnya itu, bangkitlah orang-orang yang memikul beban dakwah umat ini dari kejatuhannya. Mengerahkan kemampuannya dalam mengembalikan kepercayaan ummat kepada Islam, setelah mengalami kegoncangan dalam hati dan akalnya, bahwa Islam adalah sistem kehidupan yang sempurna.
Sejumlah kaum muslimin menyambut da’wah para pemimpin ini, kemudian berhimpun di sekitar mereka, maka lahirlah apa yang disebut dengan “Harokah Islamiyah Kontemporer”, yang dalam medan (perjuangan) muncul dalam bentuk berbagai tanzhim. Secara Thobi’i tanzhim-tanzhim tersebut bergerak dengan mengajak kaum muslimin supaya bergabung dengannya, dan menghimpun apa yang ada dengan kemampuannya. Lalu untuk menegakkan hujjah tentang wajibnya ta’awun demi mewujudkan tujuan-tujuan Islam, mereka bersandar pada nash-nash Islam –ini memang benar-, dan mengaplikasikan nash-nash tersebut sesuai dengan apa yang ia yakini, bahwa dengan hal tersebut hujjah telah tegak.

Mengeluarkan nash-nash tertentu dari wahyu dalam kandisi yang tidak biasa bukanlah perkara yang mudah. Pekerjaan ini mengharuskan orang-orang yang melakukannya memiliki ilmu syar’i, tegak di atas al Kitab dan as Sunnah yang shahih dan memiliki pengetahuan  yang cukup tentang fakta (Waqi’) pada kondisi yang dilalui. Setelah itu, mampu menghubungkan antara nash-nash dan fakta yang ada, karena tidak akan bisa memproyeksikan fakta tanpa memiliki pengetahuan tentang suatu nash ataupun sebaliknya. Bila tidak, nantinya akan muncul penyimpangan-penyimpangan yang berbeda tingkat bahayanya.

Dari sejumlah nash-nash yang muncul dalam medan amal islami secara haroki, dimana dari nash-nash tersebut akan menelorkan hasil tarbiyah yang membahayakan, adalah nash-nash yang menganjurkan bai’at dan memerintahkan untuk iltizam terhadap ketaatan dan jama’ah.

Nash-nash tentang masalah tersebut cukup banyak, tapi kita ambil contoh sebagian saja untuk menunjukkan tempat bahayanya dalam memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari Ibnu Umar yang dihubungkan kepada Nabi saw.

Barangsiapa yang melepaskan tangan dari suatu ketaatan, dia akan menemui Alloh pada hari kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah. Dan barangsiapa yang mati sementara di lehernya tidak ada bai’at, dia mati dalam keadaan jahiliyyah.
Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya, Ahmad dalam musnadnnya; dan an Nasa’i dalam al Mutjtabanya, dari hadits Abu Hurairoh yang marfu’:
Barangsiapa yang keluar dari suatu ketaatan, memisahkan diri dari jama’ah, maka dia mati dalam jahiliyyah. Dan barangsiapa yang mati di bawah bendera golongan, marah karena suatu kelompok atau menda’wahkan kepada suatu kelompok, kemudian dia terbunuh, maka dia terbunuh dalam keadaan jahiliyyah. Dan barangsiapa yang menyerang ummatku, membunuh yang baik dan durhaka, tidak mengecualikan yang mukmin dan terhadap orang-orang yang mempunyai suatu perjanjian tidak memenuhi perjanjiannya, maka dia bukan dari (golongan) ku dan aku bukan dari golongannya.
Nash-nash tersebut dan makna yang terkandung di dalamnya, memunculkan masalah-masalah yang asasi dalam memahami watak amal jam’i pada masa kita sekarang ini.
Di antara masalah-masalah asasi itu, yang terpenting adalah dua permasalahn berikut ini:

Pertama: Bai’at apa yang termasuk wajib, yang bila seorang muslim meninggalkannya berdosa?
Apakah yang dimaksudkan itu bai’at terhadap syeikh atau ketua tanzhim Islam? Lalu siapakah syaikh atau ketua tanzhim yang layak terhadap bai’at tersebut? sementara syaikh yang ada jumlahnya tidak satu, begitu juga tanzhim. Ataukan bai’at yang dimaksudkan bila seorang muslim meninggalkannya berdosa, adalah bai’at terhadap sulthon muslim yang menegakkan syari’at Alloh Azza Wa Jalla?

Apabila makna yang dimaksudkan adalah yang terakhir, sementara kaum muslimin belum mempunyai sulthon yang layak terhadap bai’at itu, apakah dalam keadaan seperti ini dia akan berdosa juga? Atau barangkali baru berdosa, bila telah ada seorang sulthon muslim sementara dia tidak berbai’at kepadanya?
Sesungguhnya dari sekumpulan nash itu, yang nampak dari wajibnya bai’at adalah hanya bai’at terhadap Sulthon Muslim. Kewajiban ini mengakibatkan seorang muslim berdosa bila meninggalkannya, kalau memang ada kemampuan untuk melakukannya. Bila dia tidak mampu melaksanakannya atau tidak terpenuhinya syarat untuk itu, dia tidaklah berdosa. Wallohu A’lam.

Motivasi dibicarakannya masalah ini adalah karena banyaknya penyebutan hadits-hadits masalah bai’at dalam amal Islami jam’i. Dan banyak pula tanzhim yang menurunkan hadits-hadits tersebut untuk mempengruhi orang lain, untuk membuat mereka mau menerima tentang pentingnyabergabung dalam barisannya. Dari sinilah muncul satu sikap menerima  bahwa semau orang yang di lehernya tidak ada bai’at, seperti bai’at tanzhim, mereka berdosa dan dikhawatirkan mati dalam keadaan jahiliyyah. Akhirnya, pemahaman yang salah tersebut akan mengakibatkan sikap yang kaku.
Pembaca yang budiman, untuk memperjelas masalah, ada baiknya kita menukil beberapa perkataan dari ulama-ulama terkenal, agar kebenaran bisa nampak jelas, tidak tersamar dan rancu.

Imam Ahmad berkata dalam Masa’il Ibnu Hani nomor 2011, setelah menurunkan hadits Rosululloh saw.
Barangsiapa mati dalam keadaan tidak memiliki imam, dia mati dalam keadaan jahiliyyah.
Perkataan ini diucapkannya dalam rangka menjawab pertanyaan Ishaq bin Hani, yang menanyakan tentang makna hadits tersebut. imam Ahmad berkata; “Tahukah kamu, apa yang dimaksud dengan imam itu? Yaitu, yang seluruh kaum muslimin berkumpul kepadanya. Inilah imam dan inilah artinya.”
Al Katsiri berkata dalam Faidlul Bari, IV: 59, “ketahuilah bahwa ibroh didasarkan pada mayoritas jama’atul muslimin. Seandainya dia dibai’at oleh satu, dua atau tiga orang, dia tidak bisa menjadi imam, selama tidak dibai’at oleh mayoritas ummat atau oleh ahlul halli wal aqdi.”

Oleh akrena itu, tidaklah sesuai ancaman tentang meninggalkan bai’at yang terdapat dalam hadits Rosululloh saw. “Barangsiapa mati, sementara di lehernya tidak ada bai’at, dia mati dalam keadaan jahiliyyah”, kecuali memang sudah ada imam yang padanya kaum muslimin berkumpul. Adapun jika mereka tidak mempunyai imam, berarti tidak sesuai dengan ancaman tersebut.

Di sini ditunjukkan, bahwa Nabi Saw telah memberikan bimbingan kepada Hudzaifah di saat tidak adanya jama’ah dan imam dengan mengisolasi diri. Apakah kita memandang bahwa Nabi Saw membimbing Hudzaifah sampai mati dalam keadaan jahiliyyah? Tidak, anda tahu sendiri kesalahan orang-orang yang berpegang dengan hadits itu, yang kemudian mewajibkan berbai’at kepada imam sebelum mewajibkan berbai’at kepada imam sebelum melakukan da’wah dan memberikan penjelasan.

Ketahuilah, bahwa Nabi Saw tidak membai’at kaum Anshor kecuali setelah menyampaikan kebenaran dan menjelaskannya, dan bai’atnya itu hanyalah bai’at tentang keimanan, berpegang dengan amalan yang baik dan menjauhi amalan yang munkar. Sedangkan bai’at yang kedua adalah dalam rangka Saw memperkokoh hijrah, memperkokoh sikap Anshor terhadap Rosululloh saw dan untuk menentramkan hati akan jernihnya suasan di Madinah.

Sayyid Al Alusi menjelaskan di dalam tafsirnya dalam menafsirkan surat al Jumu’ah tentang firman Alloh Ta’al “Wa Yuzakkihim” yang dihubungkan dengan “ar Robithoh” (semacam bai’at) yang dilakukan oleh orang-orang sufi. Dijelaskannya, “...dan mereka berkata: (yaitu) dengan ar Robithoh, agar hati menjadi siap terhadap apa yang akan dilimpahkan kepadanya. Untuk menetapkan hal tersebut, saya tak mendapatkan satu dalil pun yang dapat dipercaya, yang berasal dari pembuat hukum yang agung, Rosululloh Saw maupun dari para kholifahnya – rodhiyallohu ‘Anhum. Semua yang mereka sebutkan dalam masalah ini, dan yang mereka jadikan sebagai dalil tidak terlepas dari cacat. Bahkan kebanyakan di antara mereka, dalam berpegang kepada hal tersebut, bagaikan berpegangnya mereka kepada ‘gunung bulan’. Dan seandainya saya tidak khawatir memperpanjang masalah, tentu akan saya sebutkan dengan apa yang terdapat di dalamnya.”

Ulama yang luas ilmunya ini, memahami apa yang diucapkan oleh pendukung Thoriqoh (sufi) tersebut dalam mencari dalil masalah robithoh dan tawajjuh, dan beliau sendiri tidak mendapati dalil itu dapat memuaskan beliau, sekalipun sedikit. Apakah beliau tidak melihat hadits-hadits yang telah lalu? Padahal hadits-hadits tersebut masyhur di kalangan para pemula dari penuntut ilmu yang memiliki keluasan ilmu.
Bila dalil-dalil tersebut tersembunyi (luput) beliau, apakah lantas tersembunyi juga bagi orang semisal Ibnu Taimiyyah? Dimana beliau ditanya, apakah boleh bagi para pemula (penuntut ilmu) mengambil perjanjian dirinya terhadap sang guru untuk ikut (panut) bersama beliau dalam melaksanakan kebaikan ataupun kebatilannya, menolong orang-orang yang loyal terhadapnya dan memusuhi orang-orang yang memusuhinya? Beliau dalam menjawab tidak berhujjah dengan hadits-hadits itu secara mutlak. Jadi, hal-hal tersebut tidaklah tersembunyi bagi beliau. Para penelaah buku-bukunya mengetahui hal itu, apalagi tentang bukunya As Siyasatusy Syar’iyyah fi Ishlahir Ro’i War Ro’iyah.
Lalu ketika Ibnu Abidin rohimahulloh ditanya, bahwa ada seorang sufi yang mengambil perjanjian kepada seseorang, kemudian orang tersebut memilih syaikh yang lain dan mengambil perjanjian juga kepadanya. Manakah yang sah, perjanjian yang pertama atau yang kedua?

Beliau menjawab, “Perjanjian yang pertama maupun yang kedua sama-sama tidak sah, karena keduanya tidak ada asalnya.” (Lihat Tanqihul Fatawa Hamidiyyah, II: 334). Demikian juga As Suyuthi yang berkata dalam Al Hawi Lil Fatawa, I: 253; dan juga Mahmud Khottob As Subki dalam Ad Dinul Kholish, VI: 290)
Kita lihat juga kaum sufi sekarang ini, mereka meletakkan tangan-tangan mereka di atas tangan laki-laki dan wanita, lalu membai’at mereka untuk menjadi muridnya, untuk berguru kepadanya dan ikut serta dalam hartanya, terkadang makan di rumah-rumah mereka dan mengambil pajak yang dibayar pada saat tertentu yang seolah-olah seperti jizyah yang diambil secara paksa. Yang demikian adalah suatu kejahatan dan pengrusakan yang telah keluar dari batasan syara’, dan juga tidak dibenarkan oleh akal. Kita memohon kepada Allah untuk kita dan seluruh kaum muslimin agar diberikan kesempurnaan hidayah dan taufikNya.

Bukan hanya ulama mutaakhhirin yang menentang mereka (kaum sufi). Banyak ulama di kalangan tabi’in juga menentangnya, seperti al Muthorrif bin Abdillah bin as Syakhhir. Abu Nua’im mengeluarkan di dalam al –Hilyah, II: 204 dari jalan Adz Dzahabi di dalam Siyar A’lamin Nubala’, IV: 92 dengan sanad yang shahih sampai kepada Muthorrif, dia berkata: “Kami pernah mendatangi Zaid bin Shuhan, dimana dia berkata, ‘Wahai hamba Allah, muliakanlah dan baguskanlah, karena sesungguhnya wasilah seorang hamba kepada Allah hanyalah dengan dua perkara, takut dan tamak. Pada suatu hari, saya mendatanginya lagi, dan mereka telah menulis sebuah tulisan dengan menyusun perkataan berikut. Allah Robb kami. Muhammad Nabi kami. Al Qur’an imam kami. Barangsiapa bersama kami, akan menjadi kami dan kami miliknya. Dan barangsiapa menentang kami, tangan kami berada di atasnya dan menjadi kami dan menjadi kami.
Kemudian dia menawarkan tulisan itu kepada mereka satu persatu, lalu mereka bertanya: Apakah engkau menyetujui wahai fulan?

Sampai pertanyaan itu tertuju kepadaku, mereka bertanya: Apakah engkau mengikuti wahai anak muda? Saya menjawab, tidak.
Zaid berkata: jangan terburu-buru kepada anak muda ini. Apa yang engkau katakan wahai anak muda?
Saya katakan: Sesungguhnya Allah telah mengambil satu perjanjian kepadaku di dalam kitabNya, maka saya tidak akan mengamibl suatu perjanjian selain perjanjian yang telah Dia ambil kepadaku.
Akhirnya mereka pun pada menarik diri, tidak ada seorang pun yang mengakui, dimana jumlah mereka itu tidak lebih dari tiga puluh orang.
Zaid bin Shuhan adalah orang yang senantiasa melakukan qiyamullail, banyak shaum, dan menghidupkan malam jum’at. Sebenarnya dia memaksakan diri melakukan hal tersebut, mengingat kebaikan yang didapatkan di dalamnya.
Apa yang dia lakukan terdengar oleh Salman yang kemudian mendatanginya. Sesampai di rumahnya, Salman bertanya kepada isterinya: Dimana Zaid? Isterinya menjawab: Tidak ada di sini.
Salman berkata: kamu harus bikin makanan dan berpakaian yang bagus, kemudian kamu suguhkan kepada Zaid.
Kemudian Zaid datang dan mendekati makanan, Salman berkata: Makanlah wahai Zaid! Zaid menjawab: Saya shoum.
Lalu Salman berkata: Makanlah Zaid! Janganlah kamu mengurangi dienmu. sesungguhnya seburuk-buruknya perjalanan adalah perjalanan yang melelahkan. Sesungguhnya matamu mempunyai hak terhadapmu, badanmu mempunyai hak terhadapmu dan isterimu juga mempunyai hak terhadapmu. Makanlah Zaid!
Zaid pun kemudian makan dan meninggalkan perbuatan yang telah dilakukannya.” (Lihat Tarikh Baghdad, VII: 349).

Dari masalah di atas, anda tahu titik persoalan ingkarnya Muthorrif terhadap Zaid. Sehari-harinya Zaid adalah orang berlebihan dalam beribadah, kecuali setelah meninggalkan perbuatannya yang lalu.
Muthorrif bukanlah orang yang menjauhkan diri dari jama’ah karena dia pernah berkata: “Seorang janda yang duduk di atas kehinaan tidaklah lebih butuh kepada jama’ah ketimbang saya.” (Al Hilyah, II: 208)

Beliau – rohimahulloh - adalah orang yang berpegang teguh kepada syara’, jauh dari ahli bid’ah. Ketika kaum Haruriyyah mendatanginya, mengajaknya supaya mengikuti pemikirannya, beliau berkata: “Seandainya saya mempunyai dua jiwa, saya akan berbai’at kepada kalian dengan salah satu dari keduanya, dan yang satunya saya pegang. Kemudian jika yang kalian katakan itu suatu petunjuk, saya akan mengikutkan yang satunya lagi. Bila yang kalian katakan itu suatu kesesatan, maka saya masih punya satu jiwa, dan saya tidak ingin mencelakakannya.” (Lihat Thobaqah Ibnu Sa’ad, VII: 143; Siyar  A’lamin Nubala’, IV: 195).

Maka sesungguhnya pendapat yang mengatakan bahwa memberikan ‘bai’at’ kepada syaikh dan jama’ah, dengan berdasarkan pada hadits-hadits yang mewajibkan kepada bai’at terhadap Amirul Mukminin, adalah ucapan sembrono dan serampangan serta jauh dari kebenaran. Pengaruh kedua bai’at tersebut tidaklah sama. Seandainya memang sama, tentulah sudah dipahami oleh ulama-ulama tersebut di atas dan juga oleh yang lainnya.


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------